Share

Bab 5 : Kejadian di Dapur

"Kamu mau buat apa?" tanya Zack seakan tidak terjadi apa-apa. Ia melongok ke arah perlengkapan masak Nabila.

"Ah ... ini, aku ... mau buat sandwich," jawab Nabila semakin gugup.

Zack mencebik. "Oke! Aku mau mandi dulu!" Lelaki itu pun berlalu meninggalkan ruang dapur tersebut dengan santai.

Ketika bayangan pria itu sudah tidak tampak lagi, Nabila sontak menyandarkan pinggangnya ke meja dapur. Kakinya tiba-tiba saja terasa lemas bagai jelly. Ia menarik napas panjang-panjang, lantas mengembuskannya perlahan. "Ya Allah ... mengapa begini?" bisiknya pada diri sendiri.

***

Hari ini hari senin. Tampak Zack merapikan diri di hadapan sebuah cermin besar di ruang tengah. Rutinitas bekerja di kantor kembali menghampiri.

Nabila berada di meja dapur. Ia tengah sibuk berkutat dengan tepung dan telur. Ia berniat membuat roti panggang untuk camilan. Beberapa hari ini dirinya sering merasa lapar. Tidak seperti beberapa bulan yang lalu, justru makanan banyak ditolaknya karena tidak berselera, hanya membuatnya mual ingin muntah.

"Aku buat nasi goreng. Apa kamu suka?" tanya Nabila kepada Zack yang baru saja memasuki ruang makan. Ruang tengah, ruang makan, dan dapur di rumah itu memang tidak bersekat.

"Nasi goreng?" ulang Zack merasa asing dengan nama masakan tersebut. Selama ini ia tidak pernah merasakan makanan seperti itu. Pria itu melihat sebuah mangkuk plastik food grade yang berisi setumpuk nasi berbumbu berwarna kecoklatan di atas meja makan.

"Iya, nasi goreng seafood. Aku kasih udang di dalamnya. Kamu mau coba?" Nabila melangkah ke arah wastafel kemudian mencuci tangannya yang berlumuran tepung, lantas mengelapnya pada apron yang dikenakan. Setelah itu ia mengambilkan sebuah piring untuk Zack yang sudah duduk menikmati kopi paginya. "Ini coba kamu cicipi," tawar wanita manis itu seraya menyodorkan piring yang sudah ia isi dengan nasi goreng.

"Aromanya enak," tutur Zack sembari meraih sebuah sendok. Kemudian ia membaca basmalah, lalu memasukkan sesuap nasi tersebut ke dalam mulutnya.

Nabila menatap Zack dengan rasa penasaran. Ia menunggu tanggapan pria tampan yang beberapa waktu ini membuatnya berkali-kali kehilangan fokus. "Mmm ... gimana? Nggak enak ya?" tanyanya karena melihat Zack memasang wajah yang tidak dapat ia tebak.

"Hmm ... ini enak sekali, Nabila!" seru Zack dengan mata yang berbinar, "ini nasi yang digoreng? Ide dari mana itu?"

Nabila merasa lega dan ia tertawa kecil mendengar tanggapan Zack. "Ini masakan yang familiar di Indonesia. Biasanya untuk memanfaatkan nasi sisa kemarin yang tidak habis. Kasih ini!" Nabila menyodorkan potongan mentimun di hadapan Zack.

"Ini nasi kemarin?" tanya Zack lagi dengan alis yang terangkat. Ia meraih sepotong mentimun dari piring kecil yang diberikan Nabila. Kemudian menyuapnya ke dalam mulutnya yang sudah berisi nasi goreng. Ia merasakan sensasi rasa nasi goreng bercampur mentimun yang begitu nikmat.

Nabila melebarkan senyumnya dan mengangguk-anggukkan kepala.

"Hahaha ... kreatif sekali. Mengapa Ve tidak pernah bikin ini?" tanya Zack pada diri sendiri. "Dia memang jarang masak." Pria itu tersenyum lebar menatap Nabila. "Tapi aku suka pai buatannya!"

Nabila tersenyum tipis mendengar Zack memuji istrinya ... istri pertamanya. Terasa sedikit jentikan di daging merah di dalam rongga dadanya. Setiap kali Zack menyebut nama Veronica, tampak binar cinta yang tulus di manik biru itu.

Selama ini memang Veronica jarang terlihat memasak. Mereka lebih sering memesan makanan dari luar. Untuk sarapan pun mereka lebih suka makan roti. Mau tidak mau, Nabila berusaha mengikuti culture mereka. Sesekali saja Nabila terkadang memasak untuk dirinya sendiri jika sedang rindu masakan Indonesia. Lagi pula Zack dan Veronica jarang makan di rumah, kecuali di saat weekend.

"Kak Ve wanita yang beruntung ...," lirih Nabila. Namun, itu terdengar di telinga Zack.

"Maksud kamu?" tanya Zack heran.

"Ya, Kak Veronica beruntung punya suami seperti kamu, Zack," jelas Nabila.

Alis Zack bertaut, tetapi bibirnya tersenyum. "Memangnya kenapa?" tanyanya lagi penasaran.

"Kamu pria yang baik dan penuh perhatian. Kamu sangat mencintai Kak Ve?" Pertanyaan itu terlintas begitu saja di kepala Nabila. Tidak, itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan.

Zack tertegun sejenak. "Dia duniaku," ucapnya dengan mata menerawang.

Hening.

"Hmm ... aku harus ke kantor sekarang!" Zack segera memasukkan suapan terakhir nasi goreng di atas piringnya. "Thank you, Nabila. Nasi gorengnya enak!" ucapnya seraya bangkit dan mengelap bibirnya dengan sehelai kain lap bersih dari atas meja.

Nabila hanya bisa tersenyum getir di hadapan pria rupawan itu. Ia membayangkan betapa bahagianya jika ia yang berada di posisi Veronica.

"Daddy pergi dulu, Boy! Jangan nakal!" Zack memegang perut Nabila. Kemudian membungkuk dan mengecup singkat perut itu.

Nabila hanya terdiam menahan sensasi menggelitik untuk kesekian kalinya itu. Membuat bulu romanya seketika saja berdiri.

"Bye!" pamit Zack kepada Nabila yang terpaku di sana. Pria itu pun meraih jasnya yang tersampir di sofa ruang tengah, lantas melenggang pergi.

***

Sepekan semenjak Veronica pergi ke Paris artinya sepekan pula Nabila sudah tidak lagi bekerja di butiknya. Bukan, bukan ia merasa bosan. Hanya saja sepi. Dari pagi hingga malam ia hanya berkutat di taman, dapur, dan kamarnya. Sesekali saja ia pergi berjalan kaki ke mini market yang tidak jauh dari rumah itu untuk sekadar membeli camilan. Dan di dalam kesendirian itu ia semakin larut dalam angan-angan semu.

Ya, ia semakin hari semakin kagum kepada Zack. Rasa ingin memiliki sosok pria tampan itu semakin kuat. Nabila sadar, ia tidak boleh bermain perasaan di sini. Akan tetapi, rasa itu terus saja tumbuh, meranggas, dan mencengkeram daging merah di dalam rongga dadanya.

Setiap pagi mereka berdua sarapan bersama, saling bercerita dan bercanda. Zack semakin sering menyentuh dan merangkul Nabila. Tanpa pria itu sadari perasaan Nabila semakin dalam.

Lelaki itu sering mengajak bicara bayi kecil yang berada di dalam perut Nabila. Pria itu membuatkan air hangat ketika sesekali rasa mual dan ingin muntah menyapa Nabila. Zack tidak sadar, kalau sentuhan dan perhatiannya itu membuat wanita muda tersebut semakin jatuh. Jatuh ke lubang tanpa dasar di mana Nabila tak sanggup berdiri sebab terus berada di awang-awang.

Kemesraan Zack kepada Veronica kadang terbayang kembali. Kuluman hangat pada jarinya waktu tergores pisau. Astaga ... Nabila sering membayangkan, andai saja bibirnyalah yang dikulum oleh pria itu. Andai kecupan lelaki itu bukan hanya di perutnya. Ia ingin lebih ... lebih! Nabila menginginkan Zack secara utuh!

Ia bukan ingin merebut pria itu dari Veronica. Tidak! Tidak seperti itu. Namun, ia benar-benar berharap andai saja Zack bisa dibagi. Ya, pikiran yang tidak masuk akal memang. Namun, dirinya sungguh-sungguh menginginkan pria tersebut.

"Bukankah aku juga berhak? Dia juga suamiku ...," lirih Nabila pada diri sendiri.

Drrrt ... drrrt ...!

Suara getar ponsel di atas nakas menarik Nabila dari lamunan. Ia pun meraih benda segi empat tersebut. Tertera nama Metta di layar ponsel. Ia sesekali memang menghubungi teman sekamar kost-nya itu untuk sekadar menyapa atau bercerita.

"Hallo, assalamualaikum." Nabila mengucap salam, "Metta, apa kabar? Tumben ngubungi jam segini?" Di Indonesia hari sudah malam.

"Wa alaikumus sallam. Alhamdulillah, aku baik, Nab. Kamu gimana kabarnya?" tanya Metta.

"Aku juga baik, alhamdulilah ... kamu nggak kerja?" tanya Nabila. Biasanya jam segini Metta masih kerja di sana. Metta biasa kena shift malam.

"Aku minta gantiin teman buat sementara," jawab Metta.

"Ooh, gitu. Memang kenapa? Kamu sakit?" tanya Nabila cemas.

"Nggak ...."

Nabila menangkap kesedihan dari tanggapan Metta tersebut.

"Eh, iya. Gimana kehamilan kamu, sehat?" Metta mengalihkan pembicaraan.

"Alhamdulillah, sehat, Met. Nggak kayak tiga bulan pertama, mayan berat buatku. Sering mual muntah. Syukurlah sekarang sudah jauh berkurang. Aku udah bisa makan banyak sekarang," jawab Nabila semringah.

"Iya, inget waktu itu lu ngeluh mulu. Hihihi ...." Metta tertawa kecil ketika mengingat Nabila yang sering mengeluh baik di chatting-an ataupun pada saat menelepon teman yang terasa sudah jadi sahabatnya itu.

"Hehehehe." Nabila menertawakan dirinya sendiri. Ia kembali mengenang masa ketika ia baru berkenalan dengan Metta.

Nabila waktu itu bertemu dengan wanita itu secara tidak sengaja. Nabila baru saja diusir oleh pemilik kost sekaligus pemilik rumah makan padang di mana ia bekerja.

Ia dituduh menggoda suami ibu kost-nya. Tengah malam, ia ingat, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat. Cuaca sedang dalam keadaan hujan lebat. Suami ibu kost dan Nabila tertangkap basah dalam posisi di lantai di mana pria tua itu berada di atasnya. Tanpa mau menerima penjelasan apa pun, Nabila diusir malam itu juga oleh sang pemilik kost.

Mau tidak mau ia pun pergi dalam keadaan sedih. Ia menangis di bawah atap sebuah halte di pinggir trotoar dengan koper berisi pakaian. Ketika itu Metta yang baru pulang kerja melihatnya. Karena tidak tega, kemudian Metta mengajak wanita muda itu untuk ikut bersamanya. Akhirnya, Metta yang memang punya masalah keuangan mengusulkan agar mereka berbagi kamar. Membayar kost dengan cara patungan.

Nabila menyetujui usulan itu, tetapi ia bingung, setelah dua bulan lebih di sana, masih tidak juga mendapat pekerjaan baru. Tabungan yang pernah ia kumpulkan terkuras habis. Kemudian akhirnya ia mendapat pekerjaan sebagai pelayan kafe. Di sanalah ia bertemu dengan Hana sehingga mengantarkannya sampai di titik ini.

"Nab ...," panggil Metta dengan suara lirih.

Nabila mengernyitkan dahinya. Sepertinya Metta sedang ada masalah. Hatinya menebak-nebak. "Iya," sahutnya siap menyimak.

"Nab, gue mau pinjem duit," ujar Metta terdengar sedih.

Next

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status