Share

Skandal Cinta Wanita Penghibur
Skandal Cinta Wanita Penghibur
Penulis: Asmara Dana

Klien Penting

"Bagaimana, kamu puas, Sayang?" tanya Jaya membelai pipi Mayra dengan lembut. Dengan sayup, bibir Mayra menyunggingkan seulas senyum manis kepada Jaya. Apa yang harus dikatakan Mayra? Tidak puas? Kecewa? Tidak suka? Tentu saja tidak itu semua. Bisa-bisa Mayra pulang hanya tinggal nama saja jika berani melakukan hal itu.

Jaya tertawa terbahak-bahak melihat senyum yang tersungging di bibir Mayra. Sudah waktunya untuk bermain lagi. Senyum dingin mulai terukir di bibir Jaya. Senyum yang membuat Mayra sedikit menyesal menerima tawaran Nona Lolita kali ini.

Jaya mengeluarkan sesuatu dari dalam tas hitamnya. Tas yang selalu dibawanya kemanapun dia pergi. Tidak ada yang menyangka bahwa didalam tas itu ada benda-benda aneh yang selalu dibawa Jaya kemanapun dia pergi.

Jaya mengeluarkan cambuk yang berwarna hitam kecoklatan itu dengan netranya yang memandang nyalang ke Mayra disertai dengan tatapan yang penuh nafsu.

Dengan semangat yang berkobar kembali, Jaya memegang cambuknya dan melecutkan ke tubuh Mayra tanpa belas kasihan.

"Arghh!!" Hanya terdengar teriakan dari Mayra. Teriakan yang pasti tidak akan terdengar kemana-mana karena keberadaan mereka di Apartemen Jaya. Apalagi Apartemen Jaya terletak di kawasan elit dengan sistem keamanan dan juga privasi yang tinggi. Ditambah dengan kamar Jaya yang kedap suara, menjadikan teriakan Mayra hanya menjadi suara yang memantul di dinding saja.

Jaya kembali melecutkan cambuknya ke badan Mayra.

"Argh!!!" Teriakan Mayra kembali menggema ke seluruh penjuru ruangan. Tidak ada yang bisa menolong, karena siapa yang akan menolong? Itu sudah menjadi resiko pekerjaan Mayra. Apalagi motto Nona Lolita adalah kepuasan pelanggan merupakan kebanggaan kami. Motto itu juga yang diterapkan Nona Lolita kepada anak buahnya, termasuk Mayra. Jadi, semua kesakitan dan perih yang diderita Mayra kali ini memang sudah menjadi resiko yang harus diterimanya.

Jaya berhenti sejenak, menatap tubuh polos Mayra yang sudah menimbulkan bekas kemerahan hasil cambukannya. Jaya hanya menggeleng, merasa belum puas dengan hasil karyanya, dia melangkah lagi ke sudut kamar.

Dimana terletak lemari berwarna hitam dengan aksen minimalis. Jaya membuka lemari dan mengambil sesuatu dari dalamnya.

Dengan selembar gaun tidur berwarna pink, Jaya tersenyum dan menghampiri kembali Mayra.

"Sayang, jangan takut, ini akan menyenangkan!" seru Jaya sambil membelai lembut pipi Mayra. Yang membuat Mayra bergidik dan memalingkan muka.

Melihat reaksi dari Mayra, seketika netra Jaya dingin bagaikan es, dengan kasar Jaya memegang rahang Mayra dan dipegangnya agar tepat berada di hadapan Jaya.

"Jangan pernah memalingkan wajah cantikmu dari aku, kita akan bersenang-senang. Jadi, tersenyumlah!" Jaya mengatakan dengan ekspresi dingin yang membekukan, seolah-olah bersaing dengan suhu pendingin udara yang memang dipasang di suhu paling dingin.

"Oh, Sayang, kamu cantik sekali, apalagi dengan bekas-bekas seperti ini!" kata Jaya sambil tangannya menelusuri bekas cambukan di kulit Mayra.

"Tetapi, ini belum seberapa kelihatan. Aku akan membuatnya lebih indah lagi, Sayang!" kata Jaya lagi dengan binar-binar penuh kebahagiaan.

Dengan lembut, Jaya memakaikan gaun itu ke tubuh Mayra. Mayra hanya bisa pasrah apalagi kakinya juga sudah diikat. Meskipun, dia bisa berguling untuk menyelamatkan diri, tetapi itu percuma, malah yang ada Jaya akan semakin menyiksanya. Mayra tahu perilaku Sadomasokisme yang dilakukan Jaya. Sebisa mungkin, Mayra tidak akan berteriak. Karena Mayra tahu, semakin dia berteriak, maka Jaya akan semakin puas dan melancarkan aksinya lebih gila lagi.

Setelah selesai memakaikan gaun lembut itu ke tubuh Mayra dan melihat dengan puas hasil kerjanya, Jaya menampilkan senyumnya lagi. Senyum yang berhasil memikat para gadis di luar sana, tetapi merupakan senyum maut bagi Mayra. Karena, Mayra tahu, setelah ini penyiksaan yang dilakukan oleh Jaya akan lebih sadis lagi.

Jaya berjalan mundur, melihat penampilan Mayra yang sedang berbaring pasrah dengan kaki terikat. Mungkin, Jaya harus mengikat juga kedua tangan Mayra agar Jaya bisa lebih terpuaskan. Benar, harus seperti itu. Tidak asik jika tangan Mayra masih bergerak bebas. Jadi, Jaya melaksanakan niatnya dengan segera.

Jaya menekan tombol di balik tempat tidurnya. Serta merta kepala ranjang mengelurkan rantai hitam di kedua sisinya, tepat di bagian tangan Mayra. Mayra semakin bergidik memandang rantai itu. Yang bisa dilakukannya hanyalah pasrah kali ini. Dan juga berdoa. Ah, berdoa. Rasanya Mayra terlalu kotor hanya untuk bisa menyebut kata itu. Kata berdoa sungguh tidak pantas diucapkan oleh pendosa seperti dirinya.

"Tersenyum kataku!" seru Jaya dengan tertahan dan tetap mempertahankan tatapannya yang dingin.

Dengan susah payah, Mayra menyunggingkan seulas senyum tipis di balik ketakutannya. Tangannya sudah terikat dengan rantai sekarang. Entah apa yang akan terjadi nanti. Biarkan saja, anggap saja ini adalah pembalasan untuknya.

Jaya memegang cambuknya lagi dan melecutkan cambuk itu ke lantai kamar.

Suara cambuk seakan berdenging memilukan di telinga Mayra, membuat Mayra merasa ngilu sebadan-badan.

Jaya tersenyum lagi dan menghampiri Mayra yang masih menatapnya dengan penuh ketakutan.

"Tuan Jaya, jangan lakukan itu lagi, saya mohon, lepaskan saya!" kata Mayra dengan menghiba. Hanya ini satu-satunya cara sepertinya. Memohon belas kasihan Jaya.

Sama sekali tidak ada jawaban, badan kokoh dan berotot milik Jaya sudah maju ke dekat ranjang. Dengan sekuat tenaga, Jaya melecutkan kembali cambuk itu ke arah Mayra. Dengan sekali lecutan, cambuk itu mengoyak gaun Mayra. Membuatnya robek di bagian depan sekarang, tidak ketinggalan pula tanda merah yang memanjang tampak di bagian depan tubuh Mayra.

"Arghhh!!" Tidak tahan dengan kesakitan yang mendera, Mayra berteriak panjang yang membuat sinar mata Jaya lebih hidup lagi.

Jaya meraih gaun Mayra yang sobek dan menghirup aromanya dengan dalam. Tidak cukup sampai disitu, jemarinya dengan lembut meneluri bekas luka Mayra.

"Ampun, Tuan Jaya, sakit sekali!" Dengan lirih Mayra bersuara sekaligus diiringi dengan air mata yang mengalir dengan sendirinya.

"Menangislah, maka aku akan menyiksamu lebih dari ini!" seru Jaya tetap dengan senyum dinginnya. Dengan kasar, Jaya menyentakkan kembali cambuk yang berada di tangannya.

Melihat dengan gembira ketika melihat ada warna merah yang samar-samar membayang di gaun tidur Mayra yang sudah tidak jelas bentuknya itu. Tangan Mayra sendiri sudah terkulai lemah. Bahkan suaranya sudah tidak terdengar lagi, hanya aliran air mata dan nafasnya saja yang menunjukkan bahwa gadis itu masih hidup.

Jaya mencium netra Mayra yang sekarang sudah terpejam.

"Jangan tidur dulu, Sayang, ini masih awal. Kamu pasti akan menerima dengan penuh terima kasih!" kata Jaya lagi dan bangkit dari tubuh Mayra dengan wajah dingin tapi netra yang memancarkan semangat tinggi.

Bunyi cambukan yang terdengar untuk kesekian kalinya menorehkan luka di kulit putih Mayra sekarang tidak terdengar lagi. Yang ada hanya kegelapan yang pekat, mungkin segelap kehidupan Mayra.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Iin Sari
Ceritanya bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status