Share

Kau Menjebakku!

Author: AD07
last update Last Updated: 2025-11-07 11:37:54

Pintu tertutup dengan bunyi klik pelan yang terdengar seperti dentuman palu godam di telinga Soraya. Suara langkah kaki George yang menjauh di lorong apartemen semakin menegaskan kenyataan pahit itu.

Dia ditinggalkan.

Lagi.

Ditinggal berdua dengan pria yang tatapannya terasa menguliti setiap lapisan pertahanan yang susah payah ia bangun. Soraya frustrasi, di tambah di tinggal lagi berdua dengan Damien, kekalutannya semakin menjadi.

Keheningan yang ditinggalkan George terasa berat, membebani udara di antara mereka. Soraya masih berdiri mematung di tempatnya, tubuhnya gemetar hebat meski ia berusaha menekannya mati-matian. Teriakan yang tadi hanya menjadi cicitan nyamuk kini tersangkut di tenggorokannya, berubah menjadi rasa mual yang pekat.

Damien tidak bergerak. Dia hanya berdiri di sana, dengan tangan masih terlipat di dada, memperhatikannya. Dia memindai Soraya dari ujung rambut hingga ujung kaki, tatapannya yang lekat dan analitis itu membuat Soraya merasa telanjang dan kotor.

Pria itu tidak terburu-buru. Dia seolah menikmati setiap detik dari kekalutan yang merayapi Soraya. Dia adalah predator yang sabar, menunggu mangsanya kehabisan tenaga untuk lari.

"George...," bisik Soraya, lebih kepada dirinya sendiri, sebuah permohonan yang sia-sia agar suaminya kembali.

"Dia tidak akan kembali," suara Damien memecah keheningan. Dalam, tenang, dan tanpa ampun. "Dia sudah menyerahkanmu padaku."

Kata-kata itu menghantam Soraya. ‘Aku percayakan istriku padamu. Lakukan apapun, aku ingin masalah ini segera selesai’

George telah memberi Damien izin. Izin untuk apa? Izin untuk memaksanya? Izin untuk... mendidiknya?

Frustrasi Soraya memuncak, bercampur dengan ketakutan yang melumpuhkan. Dia menatap Damien, mencoba mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya. "Kau tidak bisa memaksaku," desisnya, meski suaranya bergetar. "Aku tidak mau pergi ke kantor polisi. Aku tidak bersalah! Kau pengacaraku, Vargan! Seharusnya kau yang bicara pada mereka, bukan aku!"

Damien mengangkat sebelah alisnya, ekspresi mengejek yang tipis tersungging di bibirnya yang kaku. "Benarkah? Itu tugas seorang pengacara? Berbohong untuk kliennya yang pengecut? Sebenarnya mudah, tapi aku tidak mau.”

"Aku tidak pengecut!"

"Kalau begitu buktikan," Damien mengambil satu langkah maju. Soraya refleks mengambil satu langkah mundur, punggungnya membentur rak buku di belakangnya. "Kau bilang kau tidak bersalah. Orang yang tidak bersalah tidak akan gemetar seperti daun kering hanya karena diminta memberi keterangan."

"Kau tidak mengerti!" Soraya memekik, suaranya akhirnya keluar, meski pecah dan serak. "Mereka... Aku tidak mau bertemu mereka!"

Damien berhenti, kepalanya sedikit miring. Dia menangkapnya. Kata kunci itu. "Mereka?" ulangnya, suaranya melembut berbahaya. "Siapa 'mereka', Soraya? Polisi? Atau orang-orang yang membuatmu terlibat dalam kasus ini?"

Mata Soraya membelalak ngeri. Dia sudah salah bicara. Dia telah memberi Damien amunisi baru.

"Aku... aku tidak tahu maksudmu," elaknya lemah.

"Kau tahu," Damien melangkah maju lagi, kali ini Soraya tidak bisa mundur. Pria itu kini berdiri tepat di depannya, menjulang tinggi dan mengintimidasi. Soraya harus mendongak untuk menatap wajahnya yang keras. "Kau takut bertemu mereka. Kau takut mereka akan mengatakan sesuatu. Kau takut jawabanmu yang 'konsisten', seperti kata suamimu, tidak akan cukup."

Jantung Soraya berdebar begitu kencang hingga terasa sakit. Pria ini melihat menembusnya. Dia melihat ketakutan yang sebenarnya.

"Ini bukan hanya tentang kasus, kan?" bisik Damien, tatapannya kini menelusuri fitur wajah Soraya, seolah sedang menghafalnya. "Ini tentang 'rasa takut' yang selalu mendominasimu. Rasa takut yang membuatmu 'sulit di ajari'."

Ucapan itu kembali. Ucapan yang sama yang didengarnya beberapa hari lalu. Ucapan yang merujuk pada 'gairah' yang tidak ia akui. Soraya merasa pusing. Semuanya tumpang tindih. Ketakutannya pada 'mereka' di kantor polisi, dan ketakutannya pada Damien di ruang tamu ini, kini terasa menyatu menjadi satu teror besar yang tak terlukiskan.

"Jangan... jangan bicara seperti itu," rintih Soraya.

"Kenapa tidak?" Damien mencondongkan tubuhnya lebih dekat. Aroma cologne-nya yang maskulin dan sedikit pedas menusuk indra Soraya, membuatnya semakin sesak napas. "Suamimu ingin masalah ini cepat selesai. Dia memintaku melakukan apapun. Dan menurutku, masalahmu bukan hanya kasus ini. Masalah utamamu adalah ini."

Damien mengangkat tangannya, sangat pelan. Soraya tersentak, memejamkan mata, mengira akan dipukul. Tapi yang ia rasakan hanyalah ujung jari telunjuk Damien yang dingin menyentuh pelipisnya, di mana keringat dingin mulai mengalir.

"Rasa takutmu," bisiknya. "Kau membiarkannya mengendalikanmu. Kau bisa belajar dengan baik, Soraya, tapi kau memilih untuk takut."

Soraya membuka matanya. Kemarahan yang putus asa tiba-tiba melonjak, mengalahkan ketakutannya sesaat. Dia menepis tangan Damien dengan kasar.

"Hentikan! Hentikan analisis psikologismu! Kau pengacaraku, bukan terapisku! Dan kau bukan... kau bukan apa-apa bagiku selain pengacara yang dibayar George!"

Untuk pertama kalinya, Soraya melihat kilatan emosi di mata Damien. Sesuatu yang gelap dan berbahaya. Tapi itu hilang secepat kemunculannya.

Dia mundur selangkah, kembali melipat tangannya. Wajahnya kembali menjadi topeng tanpa ekspresi.

"Baik," katanya datar. "Sebagai pengacaramu, aku akan beritahu situasinya. Kau wajib datang. Jika kau tidak datang secara sukarela sebagai saksi, mereka akan datang dengan surat perintah, dan kau akan dijemput paksa sebagai tersangka. Pilihan mana yang kau inginkan, Soraya? Terlihat kooperatif, atau terlihat seperti kriminal?"

Logika itu menghantam Soraya. Tidak ada jalan keluar. George tidak akan melindunginya. Dan Damien... Damien tidak hanya akan membiarkannya tenggelam, dia akan mendorong kepalanya ke bawah air sambil mengajarinya cara berenang.

Kekalutan itu mencapai puncaknya. Soraya merasa dunianya berputar. Di satu sisi ada 'mereka' di kantor polisi—ancaman yang tidak diketahui namun sangat ia takuti. Di sisi lain ada Damien, ancaman yang sangat nyata, berdiri di depannya, menuntut kepatuhan mutlak.

Tubuh Soraya merosot. Dia bersandar pada rak buku, kakinya tidak sanggup lagi menopangnya. "Aku tidak bisa..."

"Kau bisa," sela Damien, tanpa simpati. "Kau akan bisa. Karena aku yang akan 'mendidikmu'. Ingat janjiku?"

Damien berjalan ke meja bar kecil di sudut ruangan, menuangkan segelas air putih, dan kembali ke hadapan Soraya. Dia tidak menyodorkan gelas itu. Dia menahannya.

"Minum." Itu bukan permintaan. Itu perintah.

Soraya menatap gelas itu, lalu menatap mata Damien. Tatapan Damien jelas menjanjikan sesuatu. Janji bahwa ini baru permulaan. Bahwa 'pendidikan' ini akan jauh lebih sulit daripada sekadar menghadapi polisi.

Dengan tangan gemetar, Soraya meraih gelas itu. Jari-jarinya menyentuh jari-jari Damien yang dingin dan kuat. Pria itu menahan gelas itu sepersekian detik lebih lama, memaksanya untuk merasakan kontak fisik itu, sebelum akhirnya melepaskannya.

Soraya meneguk air itu dengan rakus, air dingin itu mengalir ke tenggorokannya yang kering, tetapi tidak melakukan apa pun untuk memadamkan api kecemasan dan frustasi yang membakarnya dari dalam.

"Bagus," kata Damien, seolah memuji seekor anjing yang patuh. 

"Sekarang, ganti pakaianmu. Kita berangkat dalam tiga puluh menit. Kau tidak akan pergi ke sana dengan penampilan seperti korban yang ketakutan. Kau akan pergi ke sana sebagai wanita yang memegang kendali."

Soraya menatapnya dengan putus asa. "Bagaimana jika aku tidak bisa?"

Damien tersenyum tipis. Senyuman itu tidak mencapai matanya. 

"Itulah gunaku, Soraya. Aku akan memastikannya. Jangan panggil aku Vargan kalau aku tidak bisa."

Soraya menunduk, menatap sisa air di gelasnya. Dia kalah. Dia terjebak di antara suaminya yang tidak peduli dan pengacara yang terlalu peduli dengan cara yang salah. Kekalutan itu tidak mereda, justru mengeras menjadi semacam keputusasaan yang dingin. Dia harus mengikuti Damien ke kantor polisi, dan setelah itu... dia akan tetap terjebak dengan Damien.

Frustrasinya kini bukan lagi sekadar kemarahan. Itu adalah teror yang hening akan apa yang akan terjadi selanjutnya, setelah George menutup pintu dan menyerahkannya kepada Vargan.

***

Sepanjang perjalanan ke kantor polisi, Damien berkata, "bagaimana rasanya klimaks yang bukan didapat dari suamimu?"

Tubuh Soraya menegang seketika. Darah terasa surut dari wajahnya, meninggalkan rasa dingin dan pusing. Jantungnya yang sudah berdebar kencang kini terasa seperti berhenti berdetak sesaat, sebelum menghantam tulang rusuknya dengan brutal.

Dia tidak menoleh. Dia tidak sanggup.

Damien melanjutkan, matanya lurus menatap jalan di depan, tetapi Soraya bisa merasakan seringai tipis dalam nadanya. "Desahanmu malam itu, membuktikan kau belum pernah mendapat klimaks seperti itu. Diplomat itu tak jago di ranjang? Atau kau yang..."

"Jangan bahas itu!" Soraya memekik, suaranya pecah dan bergetar persis seperti yang ia takutkan. Dengan suara takutnya, ia menoleh, menatap profil pria itu dengan ngeri. "Yang terjadi malam itu..."

"Kesepakatan sudah deal saat kau klimaks," Damien menyela, memotong ucapannya tanpa ampun. Dia akhirnya menoleh, matanya yang kelam bertemu dengan mata Soraya yang panik hanya sepersekian detik. "Kau membayarku dengan tubuhmu."

Pernyataan itu menggantung di udara yang pengap.

Bukan tuduhan. Bukan pertanyaan. Itu adalah fakta. Sebuah transaksi yang telah ditutup. Soraya terkesiap, rasa mual melandanya dengan hebat. Frustrasi dan kekalutan yang ia rasakan di kantor tadi kini terasa kecil dibandingkan dengan gelombang penghinaan dan rasa jijik—jijik pada Damien, dan lebih lagi, jijik pada dirinya sendiri, yang kini menenggelamkannya.

"Tidak," bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri. "Itu tidak benar."

"Apa yang tidak benar?" tanya Damien, masih dengan nada bicara yang santai. "Bahwa kau klimaks? Bahwa kedahsyatan itu yang pertama untukmu? Atau bahwa itu adalah bayarannya?"

"Kau... kau memanfaatkanku!" Suara Soraya naik, histeris. "Aku sedang... aku sedang tidak stabil malam itu! Kau tahu aku ketakutan!"

"Tentu saja," Damien membelokkan mobil dengan mulus ke jalan yang lebih lengang. "Itulah intinya. Rasa takut adalah pemicu terkuat, Soraya. Jauh lebih kuat dari cinta, atau kesetiaan. Kau takut, kau putus asa, dan kau butuh seseorang untuk mengambil alih kendali. Aku memberimu itu. Dan kau berterima kasih padaku dengan cara yang paling jujur."

"Jujur?" Soraya tertawa, tapi suaranya terdengar seperti isak tangis. 

"Kau menyebut itu jujur? Kau menjebakku!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Skandal Di Balik Meja Pengacara   Kau Menjebakku!

    Pintu tertutup dengan bunyi klik pelan yang terdengar seperti dentuman palu godam di telinga Soraya. Suara langkah kaki George yang menjauh di lorong apartemen semakin menegaskan kenyataan pahit itu.Dia ditinggalkan.Lagi.Ditinggal berdua dengan pria yang tatapannya terasa menguliti setiap lapisan pertahanan yang susah payah ia bangun. Soraya frustrasi, di tambah di tinggal lagi berdua dengan Damien, kekalutannya semakin menjadi.Keheningan yang ditinggalkan George terasa berat, membebani udara di antara mereka. Soraya masih berdiri mematung di tempatnya, tubuhnya gemetar hebat meski ia berusaha menekannya mati-matian. Teriakan yang tadi hanya menjadi cicitan nyamuk kini tersangkut di tenggorokannya, berubah menjadi rasa mual yang pekat.Damien tidak bergerak. Dia hanya berdiri di sana, dengan tangan masih terlipat di dada, memperhatikannya. Dia memindai Soraya dari ujung rambut hingga ujung kaki, tatapannya yang lekat dan analitis itu membuat Soraya merasa telanjang dan kotor.Pria

  • Skandal Di Balik Meja Pengacara   Sebanyak itu Saat di Ranjang?

    Malam ini rumah terasa terlalu sunyi. Soraya duduk di ruang keluarga, tangan terlipat di pangkuan, menatap layar televisi yang menyiarkan siaran langsung wawancara eksklusif George Estenne.Studio berita tampak elegan, pencahayaannya sempurna. George duduk tegap, setelan diplomatiknya tanpa cela, wajahnya memancarkan ketenangan. Soraya bisa mendengar bisik-bisik tim produksi sebelum kamera mulai merekam.“Selamat malam, Tuan Estenne,” sapa pewawancara dengan nada hormat. “Terima kasih sudah hadir di tengah situasi yang sedang memanas ini.”George mengangguk sopan. “Terima kasih sudah mengundang saya. Ini kesempatan untuk menjelaskan kepada publik.”Pertanyaan pertama langsung dilontarkan. “Ada banyak spekulasi tentang mengapa dana bantuan internasional itu bisa masuk ke rekening pribadi istri Anda. Bagaimana penjelasan Anda?”George menarik napas perlahan, menatap kamera dengan sorot mata tenang. “Pertama-tama, saya ingin mengatakan bahwa kami sepenuhnya bekerja sama dengan pihak berw

  • Skandal Di Balik Meja Pengacara   Aku suka Keringatnya

    Pagi itu, ruang konferensi di kantor Damien terasa seperti panggung perang. Map berisi pernyataan media sudah tersusun rapi di meja. Soraya berdiri di sudut ruangan, memandangi layar televisi yang menyiarkan ulang cuplikan konferensi pers kemarin. Suaranya sendiri terdengar asing di telinga, kaku, seperti orang yang sedang belajar membaca.Pintu terbuka. George masuk, setelan diplomatiknya sempurna, dasinya senada dengan saku jas. Tatapannya dingin namun senyumnya tetap ramah. “Bagaimana perkembangan istriku?” tanyanya ringan, seolah ini hanya rapat santai.Damien menoleh, bersandar pada meja dengan tangan terlipat di dada. Sorot matanya dingin tapi sedikit menyeringai. “Perkembangan?” Ia mendengus pendek. “Istrimu cukup payah. Untuk membuatnya mengatakan satu kalimat dengan tegas saja butuh keringat berliter.”Soraya terperangah. Darahnya berdesir panas, bukan hanya karena kata-kata Damien, tapi karena nada suaranya yang begitu santai seakan ia sedang membicarakan seseorang yang tid

  • Skandal Di Balik Meja Pengacara   Maaf, Aku Terlambat

    Soraya duduk di ujung ranjang, gaunnya belum berganti. Matanya terpaku pada jam dinding yang jarumnya mendekati angka delapan. Baru saat itu ia teringat janji dengan Damien. Malam ini mereka seharusnya bertemu untuk latihan pernyataan media, menyiapkan strategi untuk konferensi berikutnya. Dadanya sesak.Ia meraih ponsel, ingin mengetik pesan, tetapi pintu kamar terbuka. George Estenne berdiri di ambang pintu. Senyum hangatnya seharusnya menenangkan, tetapi Soraya justru semakin tegang.“Kau belum ganti baju?” tanya George, suaranya terdengar lembut, seperti biasa.Soraya berdiri cepat. “Aku… baru ingat. Aku ada janji dengan Damien malam ini. Kami harus latihan…”Adrian menghentikan langkahnya, lalu tersenyum lebih lebar. “Tenang saja. Kau bisa menemuinya setelah makan malam. Damien tidak akan pergi ke mana-mana.”“Tapi ini penting. Dia bilang…”“Tidak ada tapi,” potong George, suaranya tetap tenang tapi tajam. “Kita belum makan bersama ejak siang. Duduklah bersamaku. Kita makan seper

  • Skandal Di Balik Meja Pengacara   Punya sesuatu dengan Pengacaramu?

    Lampu kamera berkilat-berkilat seperti badai petir. Dari balik tirai, Soraya melihat siluet wartawan yang bergerombol, suara mereka riuh, memanggil-manggil namanya, nama suaminya, bahkan nama negara tempat ia lahir. Tangannya dingin dan basah.Ia menarik napas panjang, mencoba mengingat setiap kata yang Damien latih semalam. Tapi kepalanya penuh dengan suara—suara komentar berita, suara tetangga diplomat yang menatapnya dengan iba, bahkan suara suaminya yang berkata, “Damien Vargan akan membersihkan nama kita. Kau hanya perlu percaya padanya.”Pintu belakang panggung terbuka. Damien masuk dengan langkah mantap, jas hitamnya sempurna, dasi gelap rapi di leher. Soraya mendongak, dan untuk sesaat, ketakutannya mereda hanya karena tatapan itu, tajam, dingin, namun entah bagaimana menenangkan.“Kau siap?” suara Damien rendah, nyaris berbisik.Soraya menelan ludah. “Aku… aku tidak tahu.”Damien berhenti hanya beberapa inci darinya. Bau aftershave-nya yang segar menembus kepanikan Soraya. Ia

  • Skandal Di Balik Meja Pengacara   Membayarku dengan Tubuhmu

    Hujan mengetuk kaca gedung pencakar langit malam itu, membuat lampu kota tampak seperti noda cahaya yang berlarian. Soraya Estenne berdiri di depan pintu kaca berukir nama DAMIEN VARGAN & ASSOCIATES, menahan napas. Tangannya sedikit gemetar, entah karena udara dingin atau karena namanya baru saja menjadi headline di seluruh media internasional.Ia mengetuk sekali.“Masuk,” suara bariton terdengar dari dalam, dalam dan berwibawa, seolah ia sudah tahu siapa yang datang.Soraya mendorong pintu, melangkah masuk. Ruangan itu besar, elegan, dengan dinding kaca menghadap kota. Di balik meja kayu gelap, Damien Vargan duduk santai, jasnya masih rapi meski hari sudah larut. Tatapannya langsung mengunci pandangannya pada Soraya.Beberapa saat ia memperhatikan Soraya, jelas perhatian tersebut tertuju pada lekuk tubuh Soraya. Menggiurkan.“Madame Estenne,” katanya, pelan tapi cukup membuat udara di ruangan terasa lebih padat. “Duduk.”Soraya melangkah, tumit sepatunya terdengar terlalu keras di la

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status