MasukMalam ini rumah terasa terlalu sunyi. Soraya duduk di ruang keluarga, tangan terlipat di pangkuan, menatap layar televisi yang menyiarkan siaran langsung wawancara eksklusif George Estenne.
Studio berita tampak elegan, pencahayaannya sempurna. George duduk tegap, setelan diplomatiknya tanpa cela, wajahnya memancarkan ketenangan. Soraya bisa mendengar bisik-bisik tim produksi sebelum kamera mulai merekam.
“Selamat malam, Tuan Estenne,” sapa pewawancara dengan nada hormat. “Terima kasih sudah hadir di tengah situasi yang sedang memanas ini.”
George mengangguk sopan. “Terima kasih sudah mengundang saya. Ini kesempatan untuk menjelaskan kepada publik.”
Pertanyaan pertama langsung dilontarkan. “Ada banyak spekulasi tentang mengapa dana bantuan internasional itu bisa masuk ke rekening pribadi istri Anda. Bagaimana penjelasan Anda?”
George menarik napas perlahan, menatap kamera dengan sorot mata tenang. “Pertama-tama, saya ingin mengatakan bahwa kami sepenuhnya bekerja sama dengan pihak berwajib untuk mengungkap kebenaran. Rekening yang digunakan adalah rekening lama yang seharusnya tidak aktif. Kami percaya ada kelalaian administratif yang dimanfaatkan oleh pihak tertentu.”
Soraya meremas ujung bantal di pangkuannya. Suara George terdengar begitu meyakinkan, bahkan untuk telinganya sendiri.
“Dan mengenai istri Anda?” pewawancara mencondongkan tubuh. “Ada yang mempertanyakan bagaimana mungkin seorang istri diplomat tidak tahu jika ada aliran dana dalam jumlah besar ke rekeningnya.”
George tersenyum kecil, senyum yang selalu berhasil memikat media. “Istri saya adalah perempuan paling jujur yang saya kenal. Dia tidak pernah terlibat dalam urusan keuangan negara. Tugasnya adalah mendampingi saya di setiap acara resmi, menjadi tuan rumah bagi para tamu. Mengelola dana? Itu bukan bagiannya.”
Soraya menelan ludah. Kata-kata itu terasa seperti pedang bermata dua. Ada bagian dirinya yang lega karena dibela, tetapi ada bagian lain yang merasa dijadikan ikon kesucian yang harus selalu sempurna.
“Beberapa media juga mengangkat rumor… hubungan antara istri Anda dan pengacara yang saat ini mewakilinya,” tanya pewawancara, nada suaranya sedikit menekan.
George tidak terguncang sedikit pun. “Saya percaya pada istri saya,” jawabnya mantap. “Kami pasangan yang saling mencintai. Rumor itu hanyalah pengalihan isu. Orang lebih senang mengarang cerita tentang skandal daripada membicarakan bukti yang sebenarnya.”
Soraya menutup mata, wajahnya memanas. Kata “saling mencintai” terdengar indah di layar televisi, tetapi di telinganya terasa seperti penjara yang semakin sempit.
Di sisi lain kota, di kantor yang lampunya masih menyala, Damien berdiri di depan televisi. Lengan kirinya disilangkan di dada, tangan kanan memegang gelas bourbon. Matanya tidak berkedip saat George berbicara.
Ketika George mengatakan “Kami pasangan yang saling mencintai,” sebuah senyum tipis terbit di wajah Damien. Senyum yang dingin, licik, seolah ia sedang menonton permainan yang hanya dia tahu akhirnya.
Ia mematikan televisi, lalu berjalan ke jendela, menatap lampu kota yang berkelip. “Bagus,” gumamnya pada diri sendiri. “Biarkan dunia percaya kalian pasangan sempurna. Itu akan membuat kejatuhanmu nanti semakin dramatis.”
Soraya masih duduk di depan televisi ketika wawancara berakhir. George kembali dengan sorot mata penuh percaya diri, berterima kasih pada pewawancara, lalu keluar dari studio dengan senyum lebar.
Soraya merasa tubuhnya lelah. George baru saja menyelamatkan reputasinya di mata publik, tetapi entah mengapa ia tidak merasa lega. Yang ia rasakan justru adalah berat di dada, seperti jaring yang makin kencang melilit tubuhnya.
Telepon rumah berdering. Soraya terlonjak, lalu mengangkat. Suara Damien terdengar dari seberang.
“Bagus sekali wawancaranya,” katanya, nada suaranya datar tapi ada ironi yang tajam. “George benar-benar tahu cara memainkan peran suami sempurna.”
Soraya menggigit bibir. “Ada apa?”
“Besok pagi kita mulai persiapan interogasi. Dan Soraya…” ia berhenti sejenak, suaranya turun lebih pelan, “jangan percaya semua yang kau dengar di televisi. Kamera hanya menampilkan apa yang ingin ditampilkan.”
Soraya terdiam, jantungnya berdetak lebih kencang.
“Tidurlah,” kata Damien akhirnya sebelum memutuskan sambungan.
Soraya meletakkan gagang telepon perlahan, lalu menatap bayangannya di cermin di ruang tamu. Kata-kata George dan Damien berputar di kepalanya.
Saling mencintai.
Jangan percaya apa yang kau lihat di layar.
***
Soraya melangkah masuk ke kantor Damien, jantungnya berdetak lebih cepat setiap kali berada di sini. Bau kopi hitam dan parfum kayu yang maskulin memenuhi ruangan, memaksanya mengingat malam-malam latihan yang membuat tubuhnya lelah tapi entah mengapa ia rindukan.
Damien berdiri di depan meja, jasnya terlepas, lengan kemeja digulung hingga siku. Ia menatap Soraya dari ujung rambut hingga ujung kaki sebelum berkata pelan, “Duduk.”
Soraya duduk di kursi yang selalu membuatnya merasa seperti terdakwa di ruang interogasi. Tangannya saling menggenggam di pangkuan.
Damien menyandarkan pinggulnya pada meja, menyilangkan tangan di dada. Tatapannya kali ini berbeda, lebih dingin, lebih tajam, tapi juga ada sesuatu di baliknya yang membuat Soraya merasakan panas menjalar di kulitnya.
“Aku ingin memastikan kau siap menghadapi interogasi besok,” katanya akhirnya. “Jadi kita akan latihan lebih keras hari ini. Aku akan menanyakan apapun, bahkan yang paling pribadi.”
Soraya mengangguk pelan. “Baik.”
Damien mencondongkan tubuh sedikit, suaranya turun setengah nada. “Apa benar keringatmu sebanyak itu saat di ranjang?”
Soraya membeku. Jantungnya seperti berhenti berdetak. Tatapannya membelalak, menatap Damien yang sama sekali tidak menunjukkan ekspresi bercanda.
Udara di ruangan itu seolah menipis.
Seketika wajah Soraya memanas, pipinya merah menyala. “Pertanyaanmu barusan…” suaranya pecah, bergetar antara takut dan marah, “…bukan bagian dari kasusku.”
Damien tidak bergeser sedikit pun. “Tugas pengacara,” katanya perlahan, “adalah menanyakan hal apa pun yang mungkin bisa mempengaruhi kliennya. Dan klien tidak boleh menyangkal.”
Soraya menunduk, merasa darahnya mendesir. “Kau tidak perlu tahu hal itu.”
“Tapi aku ingin tahu,” Damien mendekat, berdiri hanya beberapa langkah dari kursinya. Tatapannya menelusuri wajah Soraya dengan lambat, seolah mencari celah di dinding pertahanannya. “Aku ingin tahu seberapa jauh kau bisa bertahan. Seberapa banyak yang kau sembunyikan.”
Soraya mendongak, marah bercampur rasa malu. “Kau hanya ingin mempermalukanku.”
Damien tidak menjawab. Ia hanya menatap, dan itu membuat Soraya semakin gelisah.
“Kau tidak seharusnya…” Soraya berdiri, tetapi kakinya goyah. “…tidak seharusnya bertanya hal seperti itu. Aku datang ke sini untuk belajar bagaimana menghadapi penyidik, bukan untuk…”
“...belajar menghadapi dirimu sendiri?” Damien memotong dengan tenang.
Soraya terdiam, dadanya naik turun cepat.
Damien berjalan mengitari meja, hingga kini berdiri tepat di sampingnya. “Soraya,” katanya, suaranya terdengar hampir seperti bisikan, “jika kau tidak bisa menjawab pertanyaanku, bagaimana kau akan menjawab pertanyaan penyidik yang lebih kejam? Mereka akan menyeret namamu ke lumpur, mereka akan meragukan pernikahanmu, mereka akan mempertanyakan kehormatanmu.”
Soraya memejamkan mata, mencoba mengusir rasa panas di wajahnya.
“Jawab,” kata Damien lagi, kali ini nadanya lebih lembut, tetapi entah kenapa terdengar seperti perintah yang tak bisa ditolak.
Soraya membuka mata, menatap Damien. “Keringatku… bukan urusanmu,” katanya pelan, hampir berbisik.
Damien menatapnya lama, lalu sebuah senyum samar muncul di bibirnya. “Akhirnya kau berani mengatakan sesuatu yang bukan naskah. Itu kemajuan.”
Soraya terperangah. “Kau…”
“Begitu kau mulai bicara dengan emosi,” Damien kembali ke kursinya, duduk santai, “kau terdengar lebih meyakinkan. Ingat itu besok. Interogasi bukan hanya soal fakta. Itu soal bagaimana kau meyakinkan mereka untuk percaya padamu.”
Soraya masih berdiri, jantungnya berdegup tak karuan. “Jadi ini… semua hanya latihan bagimu?”
Damien menatapnya tajam. “Bagiku ini perang. Dan aku tidak punya waktu untuk klien yang rapuh.”
Soraya menelan ludah, lalu perlahan duduk kembali. Tangannya mengepal di atas meja.
“Baik,” katanya akhirnya. “Tanyakan apa saja. Aku akan menjawab.”
Damien mengangguk pelan, lalu membuka map di hadapannya. “Bagus. Karena besok, Soraya Estenne, mereka akan mencoba merobekmu. Dan aku ingin memastikan ketika itu terjadi, kau sudah tahu cara berdiri tanpa jatuh.”
“Tapi sejujurnya, pertanyaan itu bukan rasa ingin tahu seorang pengacara, melainkan… pria.”
Pintu tertutup dengan bunyi klik pelan yang terdengar seperti dentuman palu godam di telinga Soraya. Suara langkah kaki George yang menjauh di lorong apartemen semakin menegaskan kenyataan pahit itu.Dia ditinggalkan.Lagi.Ditinggal berdua dengan pria yang tatapannya terasa menguliti setiap lapisan pertahanan yang susah payah ia bangun. Soraya frustrasi, di tambah di tinggal lagi berdua dengan Damien, kekalutannya semakin menjadi.Keheningan yang ditinggalkan George terasa berat, membebani udara di antara mereka. Soraya masih berdiri mematung di tempatnya, tubuhnya gemetar hebat meski ia berusaha menekannya mati-matian. Teriakan yang tadi hanya menjadi cicitan nyamuk kini tersangkut di tenggorokannya, berubah menjadi rasa mual yang pekat.Damien tidak bergerak. Dia hanya berdiri di sana, dengan tangan masih terlipat di dada, memperhatikannya. Dia memindai Soraya dari ujung rambut hingga ujung kaki, tatapannya yang lekat dan analitis itu membuat Soraya merasa telanjang dan kotor.Pria
Malam ini rumah terasa terlalu sunyi. Soraya duduk di ruang keluarga, tangan terlipat di pangkuan, menatap layar televisi yang menyiarkan siaran langsung wawancara eksklusif George Estenne.Studio berita tampak elegan, pencahayaannya sempurna. George duduk tegap, setelan diplomatiknya tanpa cela, wajahnya memancarkan ketenangan. Soraya bisa mendengar bisik-bisik tim produksi sebelum kamera mulai merekam.“Selamat malam, Tuan Estenne,” sapa pewawancara dengan nada hormat. “Terima kasih sudah hadir di tengah situasi yang sedang memanas ini.”George mengangguk sopan. “Terima kasih sudah mengundang saya. Ini kesempatan untuk menjelaskan kepada publik.”Pertanyaan pertama langsung dilontarkan. “Ada banyak spekulasi tentang mengapa dana bantuan internasional itu bisa masuk ke rekening pribadi istri Anda. Bagaimana penjelasan Anda?”George menarik napas perlahan, menatap kamera dengan sorot mata tenang. “Pertama-tama, saya ingin mengatakan bahwa kami sepenuhnya bekerja sama dengan pihak berw
Pagi itu, ruang konferensi di kantor Damien terasa seperti panggung perang. Map berisi pernyataan media sudah tersusun rapi di meja. Soraya berdiri di sudut ruangan, memandangi layar televisi yang menyiarkan ulang cuplikan konferensi pers kemarin. Suaranya sendiri terdengar asing di telinga, kaku, seperti orang yang sedang belajar membaca.Pintu terbuka. George masuk, setelan diplomatiknya sempurna, dasinya senada dengan saku jas. Tatapannya dingin namun senyumnya tetap ramah. “Bagaimana perkembangan istriku?” tanyanya ringan, seolah ini hanya rapat santai.Damien menoleh, bersandar pada meja dengan tangan terlipat di dada. Sorot matanya dingin tapi sedikit menyeringai. “Perkembangan?” Ia mendengus pendek. “Istrimu cukup payah. Untuk membuatnya mengatakan satu kalimat dengan tegas saja butuh keringat berliter.”Soraya terperangah. Darahnya berdesir panas, bukan hanya karena kata-kata Damien, tapi karena nada suaranya yang begitu santai seakan ia sedang membicarakan seseorang yang tid
Soraya duduk di ujung ranjang, gaunnya belum berganti. Matanya terpaku pada jam dinding yang jarumnya mendekati angka delapan. Baru saat itu ia teringat janji dengan Damien. Malam ini mereka seharusnya bertemu untuk latihan pernyataan media, menyiapkan strategi untuk konferensi berikutnya. Dadanya sesak.Ia meraih ponsel, ingin mengetik pesan, tetapi pintu kamar terbuka. George Estenne berdiri di ambang pintu. Senyum hangatnya seharusnya menenangkan, tetapi Soraya justru semakin tegang.“Kau belum ganti baju?” tanya George, suaranya terdengar lembut, seperti biasa.Soraya berdiri cepat. “Aku… baru ingat. Aku ada janji dengan Damien malam ini. Kami harus latihan…”Adrian menghentikan langkahnya, lalu tersenyum lebih lebar. “Tenang saja. Kau bisa menemuinya setelah makan malam. Damien tidak akan pergi ke mana-mana.”“Tapi ini penting. Dia bilang…”“Tidak ada tapi,” potong George, suaranya tetap tenang tapi tajam. “Kita belum makan bersama ejak siang. Duduklah bersamaku. Kita makan seper
Lampu kamera berkilat-berkilat seperti badai petir. Dari balik tirai, Soraya melihat siluet wartawan yang bergerombol, suara mereka riuh, memanggil-manggil namanya, nama suaminya, bahkan nama negara tempat ia lahir. Tangannya dingin dan basah.Ia menarik napas panjang, mencoba mengingat setiap kata yang Damien latih semalam. Tapi kepalanya penuh dengan suara—suara komentar berita, suara tetangga diplomat yang menatapnya dengan iba, bahkan suara suaminya yang berkata, “Damien Vargan akan membersihkan nama kita. Kau hanya perlu percaya padanya.”Pintu belakang panggung terbuka. Damien masuk dengan langkah mantap, jas hitamnya sempurna, dasi gelap rapi di leher. Soraya mendongak, dan untuk sesaat, ketakutannya mereda hanya karena tatapan itu, tajam, dingin, namun entah bagaimana menenangkan.“Kau siap?” suara Damien rendah, nyaris berbisik.Soraya menelan ludah. “Aku… aku tidak tahu.”Damien berhenti hanya beberapa inci darinya. Bau aftershave-nya yang segar menembus kepanikan Soraya. Ia
Hujan mengetuk kaca gedung pencakar langit malam itu, membuat lampu kota tampak seperti noda cahaya yang berlarian. Soraya Estenne berdiri di depan pintu kaca berukir nama DAMIEN VARGAN & ASSOCIATES, menahan napas. Tangannya sedikit gemetar, entah karena udara dingin atau karena namanya baru saja menjadi headline di seluruh media internasional.Ia mengetuk sekali.“Masuk,” suara bariton terdengar dari dalam, dalam dan berwibawa, seolah ia sudah tahu siapa yang datang.Soraya mendorong pintu, melangkah masuk. Ruangan itu besar, elegan, dengan dinding kaca menghadap kota. Di balik meja kayu gelap, Damien Vargan duduk santai, jasnya masih rapi meski hari sudah larut. Tatapannya langsung mengunci pandangannya pada Soraya.Beberapa saat ia memperhatikan Soraya, jelas perhatian tersebut tertuju pada lekuk tubuh Soraya. Menggiurkan.“Madame Estenne,” katanya, pelan tapi cukup membuat udara di ruangan terasa lebih padat. “Duduk.”Soraya melangkah, tumit sepatunya terdengar terlalu keras di la







