MasukSoraya menarik napas pendek, mengumpulkan sisa keberanian yang terserak. "George..." ia memulai, suaranya bergetar halus. Ia meletakkan serbet di pangkuannya, meremas kain linen itu hingga buku-buku jarinya memutih. "Apakah... apakah hanya dia pilihan kita? Maksudku, pasti ada firma hukum lain yang sama kompetennya, kan?"
Ia menelan ludah, mencoba mencari kata yang tepat, kata yang tidak akan terdengar seperti pengakuan dosa. "Aku... aku merasa tidak nyaman dengannya. Metodenya... dia terlalu... dominan. Terlalu intens." George berhenti mengunyah. Ia meletakkan pisau dan garpunya perlahan, dentingnya seperti lonceng peringatan kecil. Ia menatap Soraya, ekspresinya tak terbaca selama beberapa detik yang menyiksa. "Tidak nyaman?" ulangnya, nada suaranya datar, seolah sedang mencicipi kata itu dan menemukannya hambar. Kemudian, sudut bibirnya terangkat sedikit. Bukan senyum, melainkan seringai kecil yang dingin. "Justru itu intinya. Itu bagus." Soraya mengerjap. "Bagus? Tapi dia membuatku merasa tertekan..." "Tekanan menciptakan berlian, Sayang," potong George dengan halus. Ia meraih gelas airnya, memutarnya perlahan. "Dengar, pengacara yang 'bagus' itu banyak. Mereka lulusan Ivy League, punya kantor mewah, bicara sopan. Tapi mereka bermain aman. Mereka takut kotor." Ia mencondongkan tubuh, tatapan mata birunya mengunci Soraya. "Vargan berbeda. Dia lapar. Dia memiliki jenis ambisi yang buas, dia harus menang, bukan demi uang, tapi karena dia kecanduan rasa kemenangan itu sendiri. Dia satu-satunya bajingan di kota ini yang berani menjaminkan reputasinya untuk kasus sebusuk ini." Soraya membuka mulut, ingin membantah, ingin berteriak bahwa 'ambisi buas' itu kini sedang memangsa istrinya sendiri. Bahwa 'jaminan' itu dibayar bukan dengan uang, melainkan dengan harga dirinya yang dicabik-cabik di atas meja kaca penthouse. Namun George mengangkat satu tangan, gerakan anggun yang seketika membungkamnya. "Biar kuperjelas posisiku," suaranya turun satu oktaf, menjadi lebih lembut, namun setiap suku kata terasa dilapisi racun yang melumpuhkan. "Yang aku inginkan adalah masalah ini lenyap. Bersih. Tanpa sisa. Tanpa drama tambahan." Ia menatap Soraya lekat-lekat, tatapan yang biasanya membuat Soraya merasa dicintai, kini membuatnya merasa kerdil. "Kau tahu berapa banyak yang mengincar kursiku sekarang? Satu kesalahan kecil, satu keraguan darimu, dan mereka akan menerkam. Aku tidak akan membiarkan karier yang kubangun seumur hidup hancur hanya karena kau merasa sedikit... tidak nyaman." Kata terakhir itu diucapkan dengan nada meremehkan yang halus, seolah perasaan Soraya adalah gangguan sepele, seperti lalat yang berdengung di telinganya. "Kita butuh monster untuk melawan monster lain. Dan Damien Vargan adalah monster kita. Jadi, belajarlah untuk nyaman dengan ketidaknyamanan mu itu." George tersenyum lagi, kali ini senyum sempurnanya yang biasa kembali terpasang. "Paham, Sayang?" Soraya menatap pria di hadapannya. Pria yang seharusnya menjadi pelindungnya. Pagi ini, di bawah sinar matahari yang menembus jendela ruang makan mewah mereka, Soraya akhirnya melihat kebenaran yang telanjang, ia sendirian. Benar-benar sendirian di antara dua monster yang berbeda wujud. "Paham," bisiknya, suaranya mati. ** Ruangan kantor Damien Vargan terasa seperti diisi gas beracun. Tiga orang di dalamnya bernafas, tapi hanya dua yang benar-benar memegang kendali atas pasokan oksigen. Soraya berdiri kaku di antara kedua pria itu, merasa seperti sepotong daging yang sedang ditawar di pasar gelap. "Pertama-tama, izinkan aku meminta maaf atas nama istri ku," George memulai, suaranya berwibawa namun ramah, nada sempurna seorang diplomat. "Pembatalan janji dua hari lalu... itu sepenuhnya salahku. Aku sedikit... posesif malam itu. Maklum, kami jarang punya waktu berkualitas sejak badai ini menerjang." Ia menoleh pada Soraya, tatapannya melembut, penuh kasih sayang yang terlihat begitu nyata hingga Soraya hampir terpedaya lagi. Hampir. Tanpa peringatan, George menunduk dan mengecup sudut rahang Soraya. Bukan kecupan singkat yang sopan, melainkan ciuman yang lambat dan basah, cukup lama untuk menjadi pernyataan kepemilikan di depan pria lain. Tubuh Soraya menegang, lalu seketika melemas. Lututnya goyah. Secara refleks, tangannya mencengkeram lapel jas mahal suaminya untuk menjaga keseimbangan. Dari seberang meja eboni, Damien tidak bergerak. Ia duduk bersandar di kursi kulitnya, jemarinya membentuk piramida di depan bibir. Matanya, dingin, kelabu, dan tajam, terkunci lurus pada mata Soraya saat suaminya menciumnya. Ada seringai tak kasat mata di mata itu. ‘Lihat dirimu’, tatapan Damien seolah berkata. ‘Pura-pura menjadi istri setia saat tubuhmu masih mengingat sentuhanku’ George menarik diri sedikit, namun lengannya yang kuat melingkar posesif di pinggang ramping Soraya, menariknya menempel. Ia terkekeh pelan, suara rendah yang intim. "Sayang, kau selalu seperti ini," guraunya santai, seolah mereka hanya berdua di kamar tidur. "Setiap kali kusentuh sedikit saja, kau langsung meleleh." Wajah Soraya memanas hebat hingga ke akar rambutnya. Ia ingin menghilang. Ia ingin bumi membelah dan menelannya bulat-bulat. Rasa malu itu begitu pekat hingga mencekik…, malu karena keterusterangan suaminya di depan pria asing, dan hancur karena ia tahu, dan Damien tahu, bahwa reaksi tubuhnya barusan bukan karena cinta, melainkan karena teror yang bercampur dengan memori sentuhan pria lain. Damien hanya mengangkat satu alisnya sedikit, sebuah gerakan mikro yang sarat ejekan. George, yang tampaknya sama sekali tidak menyadari atau tidak peduli pada ketegangan arus bawah di ruangan itu, kembali menatap Damien dengan ekspresi bisnis. "Jadi, Mr. Vargan," nadanya berubah tajam dan profesional dalam sekejap. "Bagaimana perkembangannya? Aku harap sesi latihan intensif kalian membuahkan hasil yang sepadan dengan biaya yang aku keluarkan." “Istrimu lumayan menjengkelkan. Dia menyadari kemampuannya tapi memilih menyangkal. Dia senang dalam cangkang kerapuhan. Tapi jangan panggil aku Vargan kalau tidak bisa membuatnya mengerti, apa yang harus dilakukannya.” Soraya tercekat. Damien bicara seolah dia tidak ada di antara mereka. Dan yang lebih parah adalah, jawaban Damien tidak mengarah pada pertanyaan suaminya. Suaminya menanyakan kasus, Damien menjawab soal gairah. Soraya tidak tahu apakah suaminya menyadari hal tersebut atau tidak. Tapi saat mendengar tanggapan suaminya, Soraya sadar, tidak ada kecurigaan. “Benarkah? Setahuku Soraya istri yang patuh dan cepat belajar. Oh, dia sempat memberitahu ku ketidaknyamanannya atas sikapmu. Dia bilang kau dominan, dan itu mengganggunya.” Damien menatap Soraya, lalu bertanya, “benarkah begitu Nyonya?” Keringat membasahi punggung Soraya, padahal Ac cukup dingin. Kedua pria ini membuatnya bingung, takut, cemas dan kesal. Soraya mencoba menutupi perasaan tersebut meski tatapan Damien seperti menelanjanginya dengan kasar. Soraya berusaha menetralkan suara saat menjawab, “ya, kau membuatku tidak nyaman, Sir. Kau terlalu menekanku. Seharusnya tidak begitu, aku ini klien-mu.” Damien menyeringai, lalu berkata, “cara kerjaku tidak bisa diatur. Aku tahu benar bagaimana memperlakukan klien. Ada yang harus dilembutin, dikasari atau didominasi. Dan kau… kau tipe yang harus didominasi. Alasannya sederhana, kau terlalu naif dan penakut.” Soraya menutup mata. Jantung berdetak hebat. Ia bisa merasakan kalau Damien menjanjikan hukuman keras setelah ini. Hukuman sepihak yang tak pernah ia setuju-i. Damien memberikan surat pada Goerge, “Istrimu dipanggil untuk dimintai keterangan.” “Apa?!” Teriak Soraya. Suaranya sangat ketakutan.George memperhatikan gerak-gerik istrinya dengan ketelitian seorang penyidik yang sedang mencari retakan mikroskopis pada kesaksian tersangka. Ia mencari kedutan di sudut mata, getaran di bibir, atau perubahan ritme nafas yang menandakan kebohongan. Namun, Soraya berdiri di hadapannya dengan ketenangan yang menakutkan. Wanita itu tidak menarik diri, tidak menunduk, dan yang paling mengganggu George, tidak terlihat merasa bersalah sedikitpun karena tertangkap basah berdiri terlalu dekat dengan pria lain.Soraya menatapnya tenang, matanya jernih memantulkan cahaya lampu gantung, lalu berkata dengan nada rasional yang menusuk, "Reaksimu akan membuat yang lain mengira ada sesuatu di antara kami, George. Pelankan suaramu dan kendalikan wajahmu. Orang-orang mulai menoleh."Peringatan itu telak. George sadar ia hampir tergelincir. Ia hampir membiarkan cemburunya merusak topeng sempurnanya di depan umum.George tersenyum hangat, senyum yang terlatih untuk kamera, tapi dalam hati tidak senang
Kehadiran itu datang tanpa suara, seperti bayangan yang memisahkan diri dari kegelapan untuk berdiri di samping cahaya. Tidak ada sapaan, tidak ada denting gelas yang beradu, hanya perubahan drastis pada tekanan udara di sekitar Soraya. Bulu kuduk di tengkuknya meremang, bukan karena dinginnya pendingin ruangan ballroom Hotel Lux, melainkan karena radar instingnya mendeteksi bahaya yang familiar, bahaya yang kini menjadi candu baginya.Aroma musk yang tajam bercampur dengan tobacco mahal dan hint aroma laut yang dingin menyusup ke indra penciumannya, menyingkirkan aroma parfum citrus ringan milik tamu-tamu lain. Aroma itu adalah tanda tangan Damien Vargan.Soraya langsung menoleh, gerakan lehernya cepat dan antisipatif.Soraya bertemu tatap dengan Damien yang entah sejak kapan sudah berdiri di sampingnya. Pria itu tampak menjulang, mengenakan tuksedo hitam pekat yang dipotong sempurna mengikuti tubuh atletisnya, dengan dasi kupu-kupu yang sedikit miring, memberikan kesan rogue yang m
Limo hitam mengkilap itu berhenti tepat di depan lobi utama Hotel Lux, membelah karpet merah yang telah digelar untuk menyambut para tamu kehormatan malam itu. Pintu mobil dibuka oleh seorang doorman berseragam lengkap, dan detik berikutnya, kilatan lampu blitz dari puluhan kamera wartawan meledak serentak, mengubah malam yang gelap menjadi siang yang menyilaukan dan kacau.George melangkah keluar lebih dulu, sosoknya yang tinggi tegap dalam balutan tuksedo hitam klasik langsung menarik magnet perhatian. Ia tersenyum, melambai sekilas dengan karisma yang sudah dilatih selama puluhan tahun, sebelum berbalik dan mengulurkan tangan ke dalam mobil.George dan Soraya tiba di acara tepat waktu. Soraya menyambut uluran tangan itu, tangan yang sama yang semalam ia tepis, tangan yang sama yang meremasnya dengan ancaman. Namun malam ini, di hadapan lensa kamera yang lapar, tangan itu terasa seperti sutra. Soraya keluar dengan anggun, gaun malam berwarna hitam backless membalut tubuhnya dengan
Bunyi klik pelan dari pintu kamar tidur utama yang tertutup itu terdengar lebih nyaring daripada ledakan meriam di telinga George. Pria itu berdiri mematung di tengah ruangan yang luas, tepat di sisi ranjang tempat ia baru saja mengusir istrinya dengan arogansi yang biasa ia miliki. George menduga, bahkan sangat yakin, bahwa langkah kaki Soraya akan terhenti di ambang pintu. Dalam benaknya, ia sudah membayangkan skenario di mana Soraya akan berbalik, wajahnya basah oleh air mata, lututnya gemetar, lalu menjatuhkan diri di kaki George sambil memohon ampun karena telah lancang menolak sentuhan suaminya. George sudah menyiapkan skenario pemaafan yang agung di kepalanya, ia akan mendiamkan istrinya selama lima menit, membiarkannya menangis, lalu mengangkatnya kembali ke ranjang, menunjukkan bahwa dialah satu-satunya pemberi rasa aman bagi wanita itu.Tapi skenario itu hancur berantakan.Soraya keluar kamar begitu saja. Dia berjalan tanpa menoleh. Punggungnya tegak, langkahnya tidak ragu,
Udara di dalam bangunan raksasa itu terasa sejuk, berbau lilin yang terbakar, kayu tua, dan kesunyian yang mengintimidasi. Langit-langit yang menjulang tinggi dengan lukisan-lukisan para kudus seolah menatapnya dari atas, menghakimi sosok wanita kecil yang berlutut sendirian di tengah deretan bangku kosong. Cahaya matahari sore menembus kaca patri berwarna-warni, menjatuhkan bayangan ungu dan merah darah ke lantai, seolah mewarnai jalan yang Soraya lalui dengan memar dan luka.Soraya berlutut di baris depan, tepat di hadapan altar yang agung. Di sana, patung Sang Juruselamat tergantung dengan kepala tertunduk, ekspresi penderitaan yang abadi terukir di wajah-Nya. Soraya tidak langsung berlutut. Dia berdiri di sana sejenak, meremas tas tangannya, merasakan kontradiksi yang menyakitkan antara kesucian tempat ini dan kekotoran yang ia bawa di dalam jiwanya.Tubuhnya masih mengingat sentuhan Damien, kulitnya masih menyimpan jejak keringat dan aroma dosa yang baru saja ia lakukan di pentho
"Katakan padaku, Jalang. Katakan siapa tuhannya sekarang saat kau berlutut dan mendesah seperti hewan di pintuku? Di mana moralitasmu? Di mana Tuhan yang selalu kau takuti itu saat kau memohon penis pengacaramu untuk merobekmu menjadi dua?"Bisikan vulgar Damien itu meluncur panas ke dalam telinga Soraya, bersaing dengan deru napas mereka yang memburu dan suara gesekan tubuh yang basah dan kasar. Dia sudah sangat ingin klimaks."Kau! Kau tuhanku sekarang, Damien! Ahhh! di situ... hancurkan aku di situ!" jerit Soraya, suaranya pecah menjadi serpihan keputusasaan dan ekstasi.Tubuh Soraya mengejang hebat, pinggulnya yang menempel pada pintu kayu solid itu bergetar tak terkendali. Dinding-dinding kewanitaannya yang bengkak dan sangat basah melakukan tugas alaminya dengan sempurna, mereka meremas, memijat, dan mengurut kejantanan Damien dengan ritme spasmodik yang mematikan.Soraya menggelepar, kakinya mencakar lantai marmer, kuku-kukunya menggaruk permukaan pintu, mencoba mencari pegang







