Aku menggoyangkan tubuh Bang Roni. Awalnya pelan. Namun karena ia masih belum juga membuka mata, ku goyang tubuhnya lebih keras lagi sambil ku pukul-pukul dengan tanganku. Mungkin bawaan emosi dan benci padanya, membuatku berlaku agak kasar. Sekalian, pikirku. Sambil membangunkan, sambil menyakiti badannya.
Bang Roni tersadar dan langsung memandangku saat ia membuka mata. Ia sempat menggeliat.“Kenapa Sayank? Jam berapa ini?” tanyanya.“Aku bukan Sayank kamu,” sahutku cetus. “Bangun! Semalam Riya pesan, kamu disuruh ke sana.”“Ngapain?”“Dia minta diantarkan sarapan. Terus kamu nanti juga ngantar dia ke sana-sini buat belanja baju sama beli HP baru.”Bang Roni duduk. Dengan mata yang masih tampak sepat, ia memandangiku.“Emangnya kamu bolehin?” tanyanya.“Pergi aja. Dia semalam protes kalau aku melarang kamu bantu dia. Katanya, kalian itu sepupu yang sampai kapan pun nggak akan bisa diputus hubungannya.”“Ada apa Bang Sarip?” tanyaku sambil memasukkan anak rambut yang sempat keluar dari mukena. Sementara Hilda dan Ola sudah berebut untuk masuk ke dalam sambil berteriak memanggil Erin dan Erlan. Aku sudah bersiap untuk menjawab pertanyaan Bang Sarip seandainya ia menanyakan tentang Riya. “Mama Erin, tolong titip Hilda sama Ola ya. Saya mau ke pasar sebentar. Mau ngantar pesanan sayur orang.” Katanya. “Iya, boleh. Biar mereka main sama Erin dan Erlan. Udah pada makan belum?” tanyaku lagi. “Udah tadi saya suapin. Tapi mereka nggak mau makan banyak.” “Nggak apa, nanti biar makan lagi. Kalau makan rame-rame biasanya anak-anak jadi lebih semangat makan.” Kataku sambil memperhatikan gerak-geriknya. Bang Sarip seperti orang yang ingin menanyakan sesuatu, tapi tampak ragu. Dia bahkan sempat pamit dan membalikkan badan. Namun ia kembali dan lama berdiri menatapku. “Kenapa Bang?” Bang Sarip lagi-lagi diam, seperti sedang berpikir keras dan menimbang-nimb
Dua hari setelah tak ada kabar sama sekali dari Riya, aku pikir ia tak akan kembali lagi. Untuk sementara hatiku merasa plong karena tak ada lagi perempuan memuakkan itu di sekitarku. Namun hal itu tak bertahan lama, saat tiba-tiba saja siang ini ketika aku sedang menyapu ruang tamu, sebuah sepeda motor berhenti di depan rumah. Aku yang bahkan belum sempat menjawab salam, sangat terkejut melihat Riya yang tahu-tahu sudah berada di depanku dengan menenteng dua kantong plastik besar.“Riya...?”“Sssttttt..... Udah diem, jangan banyak omong.” Katanya sambil meletakkan dua kantong itu di lantai.Dengan cepat ia mengeluarkan beberapa isinya dan membagi menjadi dua. Aku terheran-heran melihat apa yang sedang ia lakukan.“Kamu ngapain? Ke mana aja kamu dua hari ini?” tanyaku. Namun sama sekali tak ada jawaban dari Riya. Ia sibuk membagi barang bawaannya yang entah untuk apa.Aku melirik ke arah dapur, di mana Bang Roni sedang makan siang. Aku yakin kalau ia p
“Berarti kamu udah baikan sama Bang Sarip?” Tanyaku sambil menyerahkan piring dan pisau kecil pada Riya.“Ya... Baik-baik gitu lah.” Jawabnya agak acuh.“Maksudnya?”“Ya aku pulang seolah nggak ada terjadi apa-apa. Dia juga biasa aja. Nggak ada membahas tentang ini sama sekali.”“Emang dia nggak nanya, selama tiga hari ini kamu ke mana? Dengan siapa? Terus siapa yang nganter kamu kabur malam itu?” tanyaku masih penasaran. Sebab kulihat ia begitu santai, seperti bukan seseorang yang habis lari dari rumah.“Nggak ada. Kalaupun nanya, paling nanti kalau udah agak lama. Aku pulang aja dicuekin. Sampai sekarang aja, nggak ada dia negur aku.”Aku ternganga mendengarnya. Bagaimana bisa ada suami yang seperti itu terhadap istrinya? Aku jangankan kabur dari rumah, pergi belanja sayur agak lama aja sampai disusul dan ditanya ini itu sama Bang Roni. Ini Bang Sarip, istrinya lari dari rumah sampai berhari-hari, ditegur aja nggak.Aku baru saja hendak bertanya
“Aku boleh duduk di sini?” tanya Bang Roni padaku, yang kini sedang duduk melamun sendirian di teras rumah. Aku tak menjawab. Malas sekali bicara dengannya. Lagi pula aku tak suka ia mengganggu waktuku bersantai sendiri seperti ini. Kami baru saja selesai makan malam sehabis shalat Isya tadi. Dan aku, memang lebih suka duduk melamun di kursi teras rumahku, memandang orang yang lalu lalang.Meski tak kujawab pertanyaannya, Bang Roni langsung duduk di sampingku. Mungkin karena aku pun tak menolak. Aku menggeser posisi, agak menjauh darinya.“Nggak usah jauh-jauh dong. Masa’ didekatin suami malah menghindar.” Bang Roni berusaha menggodaku. Tapi maaf, kali ini sudah tak mempan lagi.Bang Roni menghidupkan sebatang rokok dan mengembuskan asapnya di udara. Aku melirik ke arahnya dengan tatapan tak suka. Namun, ternyata ia pun sedang memandangiku. Jadinya tanpa sengaja kami beradu pandang. Dia sempat mengangkat kedua alisnya, namun aku melengo
Aku baru saja sampai di rumah dan mematikan mesin sepeda motorku, saat Riya nongol di pagar samping rumahnya. Dengan setengah berbisik ia memanggilku.“Sssttt... Roni. Baru pulang kerja kah?” tanyanya pelan.“Iya, emang kenapa?” “Sini dulu....” ia melambaikan tangan padaku.“Ada apa sih?” tanyaku risih. Dia memang suka memanggilku ke rumahnya saat Sarip sedang tak ada di rumah. “Sarip ada?” tanyaku lagi.“Nggak ada. Lagi keluar.”“Nggak ah. Aku nggak enak mau ke situ kalau nggak ada Sarip. Nanti dikira aku mau ngapa-ngapain.” Tolakku.“Sebentar aja. Ada yang mau kuberikan untuk istrimu.” Katanya memaksa.“Ya kenapa tadi nggak manggil atau nelfon dia langsung sih?” protesku. Jujur saja, selama ini aku agak risih kalau berdekatan dan mengobrol dengan Riya.Meski di luar tampak kalau aku suka bergurau dan menggodanya, itu sekedar hanya menghargai dia yang suka mengajakku bercanda. Yang buat aku kadang merasa tak suka, setiap kali ia Cuma be
Aku sedang asyik mengobrol dengan Mas Indra, saat sebuah chat masuk dari Riya. Aku mengerutkan kening. Jam segini dia chat aku buat apa? Ini sudah hampir tengah malam.[ Roni, mana janjimu? ] Aku berpikir, janji apa? Perasaan aku nggak pernah berjanji apa-apa padanya. Kuketik balasan.[ Emang aku ada janji apa? ][ Tuh kan pura-pura lupa. Berarti apa yang kamu bilang tadi siang itu bohong!” ]Otakku cepat berpikir. Oh, ternyata dia menagih janji bualanku? Aku ukir senyum jahat. Sungguh sangat menyenangkan mengerjai perempuan seperti ini. Perempuan kesepian yang haus akan kasih sayang dan perhatian.[ Oh, yang rekaman itu? Nggak jadi. Nanti kamu sebarkan ][ Buat apa aku sebarkan? Memangnya aku berani? ][ Nggak. Itu rahasia antara aku dan istriku. Kalau Sartika tahu aku ngirim gituan ke kamu, dia bisa ngamuk ][ Kamu takut sama Sartika? ][ Aku nggak takut. Aku Cuma menghargai dia, karena aku sayang dia ]Cukup lama Riya tak me
“Mamanya Riya dulu pernah merendahkan aku.” “Merendahkan gimana? Menghina maksudnya?”Aku mengangguk lagi. Kumatikan bara api rokokku, meski masih tersisa setengah batang yang belum terbakar. Aku akan ceritakan semua pada Eko.“Dulu waktu masih SMA, aku pernah dijodohin sama Riya. Bukan dijodohkan sih. Lebih tepatnya, Bi Surani yang ngajak orang tuaku buat besanan. Tapi aku dan orang tuaku nggak setuju karena punya alasan.” Sejenak aku menghentikan cerita.“Trus?” Eko tampak tak sabar.“Nah, dulu kan Riya udah nikah duluan dari aku, dengan suami pertamanya, yang namanya Khoiri kan? Trus dia bercerai dan jadi janda. Saat itu aku udah nikah dengan Sartika. Waktu Riya janda selama beberapa waktu, Bi Surani seolah sibuk mencarikan ia suami baru. Jadi aku bercandain dia. Kubilang, biar aku aja yang nikahin Riya. Padahal waktu itu aku benar-benar Cuma bercanda, nggak ada maksud apa-apa. Tapi jawabannya Bi Surani sungguh membuatku tersinggung.”
“Mau ke mana?” tanya Sartika saat kami tadi berpapasan di jalan depan rumah.“Aku mau ke rumah Riya. Mau numpang transfer duit.” Kataku memberi alasan. Aku yakin Sartika tak akan curiga sedikit pun, karena kami memang sudah biasa menumpang transfer uang dengan Riya. Padahal, siang ini aku ke rumah Riya, karena dia baru saja mengirim chat, kalau Sarip sedang tak ada. Riya menagih janjiku yang bilang akan mendatangi ia ke rumahnya.“Aku izin ya, mau ke rumah Mbah Muri, mau rewang ada acara nanti malam.”Kebetulan, pikirku. Kalau Sartika tak ada di rumah, akan jauh lebih aman.“Ya udah. Pulangnya jangan terlalu sore ya.” Pesanku. Sartika mengangguk, kemudian mendekat dan mencium tanganku. Aku membalasnya. Hal yang memang sudah kami lakukan sejak dulu dari awal menikah.Kulihat ia berjalan kaki bersama Bi Rabiah, menuju rumah Mbah Muri yang memang tak begitu jauh dari rumah kami. Aku tersenyum dan mengarahkan sep