Share

BAB 2- Cerita Berlanjut

“Eh Say, tolonglah... Jangan bilang, aku takut..!” suara Riya semakin terdengar panik di seberang sana. Aku hanya tertawa kecil. Entah karena menutupi rasa sakit hati atau karena mendengar Riya brengsek itu ketakutan. Bang Roni yang baru saja masuk, melihatku sedang menelepon seseorang sambil tertawa jadi curiga.

“Sayank lagi ngomong sama siapa?” tanyanya. Kami memang saling memanggil dengan panggilan ‘Sayank’. Karena usia kami yang hanya terpaut beberapa bulan saja, membuatku merasa enggan memanggilnya dengan sebutan Abang ataupun Mas. Jadi sejak awal pacaran, kami sudah membiasakan diri memanggil dengan panggilan Sayank sampai sekarang, sampai kami sudah punya dua anak.

“Oh, ini Riya yang nelfon,” kataku sambil tertawa tawar.

“Ngomong apa dia?!” Bang Roni tampak gusar dan sedikit panik. Dia pasti menyangka kalau Riya mengatakan hal yang sebenarnya.

“Eh Say, tolonglah jangan bilang. Nanti Roni ngamuk.” Riya masih memohon, dan demi kebaikannya padaku selama ini, aku tak akan menyusahkannya sekarang. Lagi pula, aku punya rencana lain.

Kami sama-sama tahu kalau Bang Roni adalah orang yang temperamental. Kalau emosinya sudah memuncak, ia tak segan mengamuk dan mengeluarkan pisau. Aku paham, Riya sangat takut kalau ku adukan.

“Nggak ngomong apa-apa kok. Riya Cuma minta masakin ikan asam pedas. Emang Riya harus ngomong apa?” pancingku, sekalian menyindir Bang Roni.

“Oh, kirain gosipin aku.” Bang Roni tampak berusaha bergurau, namun bagiku kini sudah tak lucu sama sekali. Aku sangat benci melihatnya.

“Nggak. Ge er amat, Yank. Nggak perlu nunggu digosipin. Kalau emang ada berbuat salah, langsung ngaku aja.” Aku menyindir lagi. Dan sengaja berkata seperti itu agar Riya mendengar. Namun ternyata suamiku itu memang kelewatan bebal. Ia sama sekali tak merasa tersindir.

“Gimana dengan pesanan aku untuk nanti malam, Yank?” tanyaku mengalihkan omongan. Aku ingin ia segera pergi, karena aku mau melanjutkan pembicaraan dengan Riya. Aku harus mengorek keterangan sebanyak-banyaknya dari perempuan bodoh tak berakhlak itu.

“Oh iya lupa!” Bang Roni menepuk keningnya. “Yang untuk acara pengajian di TPQ nanti malam ya? Emang kita disuruh nyumbang berapa kotak?” tanyanya lagi.

“Cuma lima kotak kok. Beli ayam dua kilo cukup.” Kataku, masih dengan panggilan telepon Riya yang tetap tersambung.

“Apa lagi?” tanya Bang Roni.

“Beli telur 5 sama mie kuning atau bihun buat tambahan lauk.”

“Itu aja?”

“Air mineral gelasnya jangan lupa.” Pesanku. “Nanti sore bantu aku ngotakin nasi ya.”

“Oke siap. Aku pergi dulu ya, sayank.” Bang Roni mencium punggung tangan dan keningku. Entah aku harus merasa senang atau sedih. Aku tak tahu apa maksudnya melakukan hal itu. Apakah karena merasa bersalah atau karena mau menutupi kemunafikannya? Yang jelas bukan karena ia benar-benar menyayangiku. Sebab, ia tak akan mungkin berkhianat kalau memang benar cintanya hanya buatku.

“Dia udah pergi kah?” Riya bertanya. Sesaat aku hampir lupa kalau dia masih di sana.

“Iya. Jadi gimana?”

“Aku lanjutin cerita ya.” Terdengar suara Riya yang sangat antusias. Entah kenapa dia seolah bangga memamerkan kebusukannya.

“Aku mau masak ikan kamu dulu. Kita lanjut nanti aja.”

“Ih, sambil masak aja. Kalau nanti, keburu Ayah Hilda datang.”

Aku membuang napas. Dia memang selalu memaksakan keinginannya. Kalau saja bukan karena selama ini dia sangat baik padaku, sering memberi pakaian mahal yang bagus dan makanan yang enak-enak, mungkin sudah kuludahi mukanya.

Tapi aku sadar, aku tak bisa bergerak sembarangan. Kalau gegabah, bisa-bisa aku yang stres. Karena semua yang ada di sini adalah keluarga besarnya. Sedangkan aku, tak punya siapa-siapa. Keluargaku jauh di kota sebelah.

“Ya udah. Sampai di mana tadi kita ngomong?”

“Itu... Aku Cuma minta kamu merestui hubungan kami.”

“Iya, aku restui. Tenang aja.” Sahutku enteng, seolah tak marah sama sekali. “Eh, tapi aku penasaran. Sejak kapan sih kalian selingkuh?”

“Belum lama ini. Baru berapa hari.”

“Trus, apa aja yang udah kalian lakukan?” tanyaku, meski aku memang harus mempersiapkan diri untuk mendengar jawaban darinya.

“Nggak jauh sih, cuma ciuman bibir.”

Hatiku kembali nyeri. Aku tahu kalau suamiku memang sering menggoda wanita. Tapi aku tak pernah ambil hati karena aku tahu dia hanya bergurau. Dan Bang Roni bahkan sering bercerita di depanku siapa saja perempuan yang pernah dekat dengannya.

Namun kali ini, dia chat an, video call, bertemu diam-diam sampai berciuman dengan Riya sepupunya sendiri tanpa sepengetahuanku. Artinya kini dia memang sedang berkhianat.

“Gimana ciumannya? Asyik dong?” Aku lagi-lagi tertawa untuk menutupi sakit hatiku.

Kudengar Riya tertawa di seberang sana. Tak ia pikirkan perasaanku yang hancur lebur akibat perbuatannya. Di sana ia justru tertawa senang dan bangga karena merasa telah berhasil merebut kasih sayang dan cinta suamiku. Ia merasa kalau ia adalah wanita hebat yang bisa membuat suami orang jatuh cinta padanya. Padahal ia hanya seorang wanita murahan, tak lebih.

“Biasa aja Say. Kalau Cuma ciuman sih nggak ada yang spesial. Cuma emang Roni itu pandai ciuman.”

Aku sakit. Aku marah. Kenapa? Kenapa aku harus mendengar hal seperti ini? Bang Roni mencium perempuan lain. Tidak boleh! Seharusnya ciuman itu hanya untukku. Aku tak ikhlas membaginya dengan wanita lain. Padahal selama ini aku selalu menjaga mata dan hatiku agar tak pernah tertarik dengan laki-laki selain dirinya.

“Trus.. trus...?”

“Ih kamu kok malah penasaran sih, Say?”

“Iya. Soalnya cerita kalian seru.” Kataku, padahal aku sedang mati-matian menahan gejolak benci pada perempuan tak tahu malu ini. Aku akan membuat ia percaya sepenuhnya padaku. Akan aku buat ia menceritakan semua. Dan perlahan, akan kubuat ia jatuh sejatuh-jatuhnya, seperti yang ia lakukan padaku seperti sekarang. Bahkan mungkin akan jauh lebih sakit.

Akan aku buat dia merasakan sakitnya dikhianati orang terdekat, di saat kita percaya sepenuhnya pada mereka. Sungguh, aku tak akan tinggal diam.

“Makasih ya Say karena nggak marah sama aku. Ternyata emang nggak salah kalau aku cerita ke kamu. Aku yakin kamu nggak akan marah.”

“Kenapa?” tanyaku.

“Ya kamu kan tahu kenapa aku bisa dekat sama Roni. Aku punya jin pendamping, dia juga punya. Jadi kalau kami berdua bertemu, jin kami saling tarik-menarik. Kamu pasti percaya kan hal yang kayak gitu? Kalau suamiku nggak bakalan percaya. Makanya aku nggak cerita ke dia, tapi aku cerita ke kamu.”

What the... Perempuan satu ini benar-benar bodoh apa ya? Alasan goblok macam apa itu? Pakai bawa-bawa jin segala. Dia bilang suaminya nggak bakal percaya. Memangnya aku percaya? Aku bahkan jauh lebih tak percaya dengan hal seperti itu.

Alasan saja jin pendamping. Semua manusia pasti punya pendamping, dan itu adalah setan. Tinggal kita saja yang mau menuruti atau melawan kemauan setan. Riya berselingkuh dengan Bang Roni bukan karena jin pendamping, tapi karena emang dasar dia aja yang bernafsu dengan suamiku itu.

“Oh jadi karena itu? Kalian jadi dekat karena itu?”

“Nggak Cuma karena itu sih. Aku dekat sama Roni awalnya karena kami sama-sama curhat soal rumah tangga kami masing-masing. Dan dia banyak ngeluh soal kamu Say.”

“Oh ya? Emang dia cerita apa aja tentang aku?” tanyaku dengan gigi gemeretak menahan marah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status