Home / Rumah Tangga / Skandal Gila Suamiku / BAB 5- Ternyata Benar

Share

BAB 5- Ternyata Benar

last update Last Updated: 2023-11-30 23:21:49

“Nasi kotaknya udah diantarkan?” tanyaku pada Bang Roni yang baru saja datang dengan motornya. Dia bilang habis dari warung membeli rokok. Sementara aku baru saja selesai mengaji sehabis shalat Maghrib tadi. Dengan tasbih di tangan, aku sedang menunggu adzan Isya.

“Udah. Sayank yakin nih nggak mau ikut acara di TPQ? Ini kan acara Maulid di tempat anak-anak kita ngaji.”

“Nggak. Aku di rumah aja. Capek, kepalaku pening.” Kataku sambil menaikkan bawahan mukena yang tadi sempat melorot. “Sayank pergi emangnya?” tanyaku, karena kulihat ia seperti hendak mengganti baju.

“Pergi dong. Nggak enak kan kalau orang tua nggak ada yang datang sama sekali? Nanti anak-anak sedih.”

“Tumben...”

“Kok tumben?”

“Iya, selama ini Sayank nggak pernah mau kalau disuruh datang ke acara seperti itu. Biarpun kubilang untuk kepentingan anak-anak. Selalu saja ada alasannya. Tapi sekarang, kok kayak semangat sekali? Bahkan tanpa disuruh. Udah ada janjian kah sama seseorang?” sindirku sinis.

Aku tahu, kalau Riya pasti pergi ke acara itu. Karena kedua anaknya, Hilda dan Ola juga mengaji di TPQ yang sama dengan anak-anakku. Dan Riya sudah dipastikan datang dengan baju dan dandanannya yang heboh, serasa artis.

“Salah lagi kan... Aku pergi Cuma mau gantiin Sayank. Kan harus ada salah satu wali murid yang hadir, karena sekalian ada rapat soal pengadaan Al Qur’an baru.”

Aku diam, meski aku tahu bukan itu alasan sebenarnya. Aku hanya malas berdebat.

“Nanti mau kubawakan nasi kotak nggak?” tanyanya seolah mengalihkan omongan.

“Nggak usah. Lauk ayam yang kumasak tadi masih ada.” Ujarku sambil duduk di kursi ruang tamu yang menghadap langsung ke jalan depan rumah. Aku sudah tak lagi memikirkan makan, seleraku hilang entah ke mana.

Suara adzan Isya berkumandang. Bang Roni sedang berdandan dan mematut diri di depan cermin. Dapat kucium wangi aroma parfum menyengat yang baru saja ia semprotkan ke badannya. Di depan sana, kulihat sekilas Bang Sarip, suami Riya baru saja lewat dengan sepeda motornya hendak shalat Isya ke masjid.

Ini saatnya, pikirku. Aku akan membuktikan omongan Riya tentang pertemuan mereka setiap suaminya pergi shalat. Kalau memang Bang Roni juga izin turun, berarti benar apa yang dikatakannya.

“Aku pergi dulu ya.” Bang Roni pamit sambil mencium punggung tanganku. Aku kaget karena itu berarti wudhu ku batal.

“Wudhu aja lagi.” Katanya sebelum sempat aku protes.

“Mau ke mana? Awal banget turun? Bukannya acara mulai sekitar jam 8?”

“Aku mau ke tempat Mas Indra dulu, nanyain kerjaan besok.” Katanya , dan aku tahu itu hanya alasan. Dia pasti mau ke sebelah, karena suami Riya sedang keluar.

Aku balik mencium tangannya dan aku antar dia sampai ke teras. Kulihat ia berbelok ke kiri, sementara rumah Riya di sebelah kanan rumah kami. Aku masuk dan menutup pintu depan. Namun aku tak langsung beranjak. Aku mengintip di balik gorden jendela kaca.

Tak lama, kulihat Bang Roni lewat lagi, menuju ke arah yang berlawanan. Aku berlari ke kamar anak, mengintip dari jendela. Rumah Riya terlihat dari sini.

Dari keremangan lampu teras rumah Riya dapat kulihat, Bang Roni menghentikan motornya di sana. Ia sempat menoleh kanan kiri, seperti maling yang mau beraksi. Tak lama, Bang Roni masuk ke dalam.

Hatiku bergemuruh. Napasku tersengal-sengal. Kali ini, mataku mulai berair. Entah, kenapa sakit sekali. Berarti benar apa yang dikatakan Riya?

“Ya Allah, apa suamiku ciuman lagi dengan perempuan itu? Apa kalau aku tetap diam di sini, artinya aku membiarkan ia bermesraan dengan wanita lain? Apakah aku bodoh? Apakah aku datangi saja ke sana? Tapi sanggupkah aku menemukan kenyataannya? Apakah aku bisa menghilangkan trauma seandainya semua yang terjadi kulihat secara langsung dan terekam jelas dalam memori otakku? Ya Allah, gimana ini? Suamiku mencium perempuan lain...”

Tanpa sadar aku sampai berjalan bolak-balik dari kamar, ke dapur, ke ruang tamu, sampai kembali ke kamar lagi sambil menutup mulut dan menangis. Sakit sekali. Suamiku sekarang sedang bersama wanita lain, melakukan tindakan tak bermoral. Sementara aku di sini tak bisa berbuat apa-apa.

Aku gemetaran. Sebentar berdiri, sebentar duduk. Aku kembali mengintip melalui celah kecil jendela kamar anakku, memastikan kembali keberadaan Bang Roni di rumah Riya. Dia masih di sana, karena kulihat motornya masih terparkir.

Aku berlari menuju ruang tengah, mengambil ponselku di atas TV. Ku telfon nomor Bang Roni, aku harus menyuruhnya pulang. Aku tak mau ia berlama-lama sana. Sumpah aku sakit dan cemburu.

Tak ada jawaban. Berkali-kali panggilan teleponku tak diangkatnya. Aku semakin panik. Seasyik itukah mereka berciuman sampai-sampai Bang Roni tak mendengar panggilan telepon dariku? Apa mereka benar-benar sangat menikmati apa yang sedang mereka lakukan sekarang?

Aku berlari keluar teras. Ingin rasanya aku turun dan berlari ke rumah Riya. Namun urung karena kulihat ada beberapa orang yang keluar dari masjid tak jauh dari rumah kami. Artinya, orang shalat Isya sudah pada pulang. Dan sebentar lagi suami Riya juga pulang.

Akhirnya kuputuskan untuk duduk menunggu di kursi teras. Benar saja, tak lama Bang Roni keluar dari rumah Riya dengan terburu-buru. Ia menghidupkan motor dan kembali menuju rumah kami.

Begitu sampai di depanku, kupandangi bibirnya sambil bertanya-tanya dalam hati. Apakah Riya baru saja menikmati bibir suamiku? Apakah Riya begitu menyukai Bang Roni dan tergila-gila padanya saat melihat bagaimana tampannya ia malam ini? Meski hanya dibalut kemeja hitam panjang dan sarung, ia terlihat rupawan.

Aku baru sadar, ternyata suamiku ini sangat manis kalau sudah berdandan. Bang Roni memang sangat memperhatikan penampilan. Gayanya yang seperti anak muda meski sudah memasuki pertengahan usia kepala tiga, membuat ia tampak segar dan menawan. Aku bahkan kesengsem melihatnya malam ini.

“Sayank kok ada di luar? Udah shalat Isya?” tanyanya heran.

“Aku nungguin Sayank.” Jawabku sambil berusaha keras agar tak menangis lagi. “Dari mana? Katanya tempat Mas Indra. Kok malah keluar dari rumah Riya? Cepat sekali, sejak kapan ada di situ?” cecarku.

“Jangan curiga gitu dong. Tadi aku ke tempat Mas Indra orangnya nggak ada. Nggak lama Riya nelfon nyuruh aku ke rumahnya. Katanya ada yang mau diberikan ke Sayank.”

“Apa?”

“Nih...” Bang Roni mengulurkan sebuah kantong plastik hitam kecil. Kuambil dan kulihat isinya. Ternyata satu kilogram gula pasir.

Tanpa sadar aku tertawa kecil. Suamiku habis dari sana dan pulang membawa gula sebagai sebuah alasan. Sementara tadi siang Riya mengakui hubungannya dengan Bang Roni dan memintaku untuk membiarkan setiap kali mereka bertemu. Jadi, ini adalah bayaran untukku? Satu kilogram gula? Segitu saja harga yang ku terima setelah aku meminjamkan suamiku padanya? Lucu sekali. Baik aku maupun Bang Roni, harga diri kami telah ia anggap murah. Padahal sebenarnya ia yang gampangan.

“Kok ketawa?”

“Nggak. Bilang sama dia makasih ya.” Kataku.

“Sayank sendiri aja yang bilang, kan punya nomornya.”

“Ya udah, nanti aku chat dia.” Kataku.

“Eh, tadi Sayank ada nelfon aku kah?” tanya Bang Roni, ia baru saja mengeluarkan ponsel dari kocek kemejanya.

“Iya. Tapi nggak Sayank angkat. Keasyikan kali.” Lagi-lagi aku menyindirnya.

“Keasyikan apa?” tanyanya heran.

“Nggak tahu. Emang Sayank tadi lagi ada di mana?”

“Oh, aku tadi di jalan. Hp ku silent. Jadi nggak kedengaran kalau ada orang nelfon.”

“Oh gitu. Ya udah.” Kataku malas. Bang Roni sekarang sudah pandai berbohong. Dan aku sengaja berpura-pura tak tahu. Hanya sekedar ingin melihat, sejauh mana ia mau menipuku.

“Habis acara di TPQ langsung pulang?” tanyaku.

“Nggak. Mau ke tempat Mas Indra dulu. Kan tadi nggak sempat ketemu.”

“Jadi pulang malam lagi?” tanyaku.

“Iya. Ngobrol sebentar aja. Nggak apa kan?”

“Ya terserah sih. Kalau beneran ngobrol dengan Mas Indra sih nggak apa. Takutnya Sayank izin keluar, Cuma biar bisa bebas chat an dengan selingkuhan. Kalau di rumah kan nggak bisa.” Kataku sambil tersenyum.

“Sayank ngomong apa lagi sih. Curiga terus.”

“Nggak. Udah lupain aja. Aku Cuma bergurau.” Kataku sambil menyalim tangannya. Kode agar ia segera pergi. Sungguh aku muak dekat-dekat dengan pengkhianat seperti dia.

Bang Roni berpamitan dengan mencium punggung tanganku seperti biasa, langsung pergi menuju arah TPQ. Tak lama, kulihat Riya keluar dari rumahnya dan menuju ke arah yang sama.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Skandal Gila Suamiku   BAB 50 -TAMAT- (Yang Terbaik Untuk Semua)

    Pagi yang tenang, diiringi kicauan burung di pepohonan sekitar rumah. Embun membasahi tanaman bunga yang menghiasi halaman. Dan angin segar yang masih terasa dingin karena matahari belum juga menampakkan diri, menerpa wajahku yang sejak tadi duduk di teras sambil memegang tasbih digital. “Erin sama Erlan tidur lagi ya, habis shalat subuh?” tanya Ibu yang tiba-tiba saja muncul di belakangku. “Iya Bu. Biarin aja, mungkin mereka masih mengantuk.” Kataku, masih sambil menekan tasbih. “Jangan dibiasakan Sar, mereka tidur lagi habis shalat subuh. Biarpun lagi libur sekolah.” “Hari ini aja Bu. Biarlah mereka mengumpulkan tenaga buat menempuh perjalanan jauh.” “Iya juga sih.” Ibu mengambil posisi duduk di sampingku. “Udah berapa lama ya kamu nggak ketemu sama keluarga Roni? Nggak terasa kamu udah nggak pernah ke sana lagi sejak bercerai dan Roni mondok di pesantren.” “Ya kalau dihitung-hitung , sekitar dua tahunan Bu. Kan Eri

  • Skandal Gila Suamiku   BAB 49 Menjauh Agar Tak Saling Menyakiti

    Aku berdecih mendengar kalimat Riya. Perempuan ini sepertinya masih belum sadar, kalau dialah yang telah membuat hubunganku dengan Bang Roni jadi kandas.Dia pikir, semudah itu aku bisa kembali dengan Bang Roni, setelah rasa cinta dan kepercayaanku dilalap habis-habisan akibat perbuatannya?“Kamu pikir aku akan kembali menerima Roni, setelah aku tahu dia selingkuh dengan sepupunya sendiri?” tanyaku tajam. “Sekarang aku tanya, kenapa nggak kamu aja yang nikah sama dia? Pun kalian sekarang udah sama-sama sendiri. Bukannya dulu kau bilang padaku kalau kau memikirkan Roni terus, sampai nggak enak makan nggak enak tidur? Sekarang ambillah dia, karena aku sudah mengalah dan meninggalkannya. Nggak ada lagi yang menghalangi hubungan kalian sekarang.” Kataku lagi.Riya diam, namun kemudian ia pun mulai kembali bicara.“Aku datang ke sini mau meminta maaf padamu secara langsung. Maaf, atas apa yang telah aku lakukan. Maaf karena aku telah membuat rumah tanggamu dengan Roni

  • Skandal Gila Suamiku   BAB 48 Kembali Bertemu Dengan Riya

    Aku baru ingat, kalau uang yang tadi diberikan Bang Roni belum sempat kumasukkan ke dalam kamar, masih tergeletak di meja ruang tamu.“Sar, ini uang siapa? Kok banyak banget? Dapat dari mana kamu?” tanya Ibu kaget.Aku bingung hendak menjawab apa. Kalau kubilang dari Bang Roni, pasti anak-anak akan menangis karena tahu ayahnya pergi tak berpamitan pada mereka.“Nanti kuberitahu Bu. Sekarang aku mau menyiapkan makanan buat Erin sama Erlan dulu.” Kataku akhirnya.Ibu hanya mengangguk mengiyakan. Aku izin masuk ke dalam dan mengambil uang yang tadi diberikan Bang Roni. Untuk sementara, aku akan menyimpannya terlebih dahulu di lemari dalam kamar.Setelah anak-anak selesai makan, aku menyuruh mereka untuk tidur siang. Itu memang sebuah hal yang wajib, agar mereka tak mengantuk saat pergi mengaji nanti sore.Aku mendatangi Ibu yang sedang sibuk menjahit baju daster favoritnya sambil membawa uang yang tadi diberikan Bang Roni.“Bu, uang ini dari Bang Roni

  • Skandal Gila Suamiku   BAB 47 Perpisahan Yang Menyayat Hati

    “Waktu kemarin aku mau pulang, kamu ada bilang kan, kalau aku harus melakukan sesuatu yang bisa membantuku untuk bangkit dan melupakan semuanya? Aku udah berpikir masak-masak selama beberapa hari ini. Dan aku rasa, aku tahu apa yang harus dilakukan. Aku... Udah memutuskan untuk pergi menenangkan diri di pesantren.” Ujar Bang Roni sambil menunduk.“Kamu mau mondok?” tanyaku agak terkejut. Karena tak pernah terpikir kalau Bang Roni akan mengambil keputusan seperti ini.“Iya. Aku akan melanjutkan pendidikan di salah satu pondok pesantren besar di Jawa Timur.” Jawab Bang Roni.“Kapan?”“Hari ini juga, Sar. Aku ke sini hanya singgah sebentar. Ada yang mau kuberikan padamu.”Aku mengerutkan alis. “Memangnya kamu mau memberikan apa?” tanyaku penasaran.Bang Roni tak langsung menjawab. Ia justru meletakkan di depan kami, tas ransel yang sejak tadi ada di punggungnya.Dan apa yang ia keluarkan dari dalam tas itu membuatku membelalakkan mata.Itu gepoka

  • Skandal Gila Suamiku   BAB 46 Berpamitan

    Aku benar-benar terkejut mendengar pengakuan Azmil. Menjadi salah satu selingkuhan Riya, adalah sesuatu yang sangat tak masuk akal bagiku. Dari mana mereka bisa saling mengenal?“Kamu nggak lagi bercanda kan, Mil? Bagaimana bisa kamu jadi selingkuhan Riya? Dari mana kamu kenal dia?” tanyaku.“Aku sering melihat akun Facebook kamu, Sar. Dan nggak tahu gimana, dia meminta untuk berteman denganku di Facebook. Awalnya aku hanya berharap bisa mendapat kabar tentang kamu, karena aku tahu dia adalah sepupu Roni. Tapi....”“Tapi kenapa?” tanyaku, karena kulihat Azmil seakan ragu untuk melanjutkan kalimatnya.“Lama-kelamaan dia minta aku untuk jadi selingkuhannya. Dia banyak cerita dan curhat soal rumah tangganya yang hambar. Dia bilang, kalau suaminya nggak perhatian dan dingin.”“Dan kamu setuju, menjadi selingkuhan istri orang?” tanyaku geram.“Aku nggak bisa nolak. Selain karena dia membayar aku, dia juga selalu melakukan hal yang mem

  • Skandal Gila Suamiku   BAB 45 Kenyataan Yang Mengejutkan

    “Ayah jangan pulang....”Erin dan Erlan merengek bersamaan saat Bang Roni pamit pulang pagi ini. Sudah lima hari Bang Roni di sini, dan memang sudah saatnya untuk pergi.Meski ikut sedih melihat betapa beratnya melihat perpisahan di depan mata antara ayah dan anak, aku berusaha untuk bersikap biasa saja.“Aku pulang dulu ya Sar. Kamu yakin nggak apa-apa kalau aku tinggal? Aku khawatir Azmil dan ibunya akan mengganggu kamu lagi.” Ujar Bang Roni, sesaat setelah ia melepaskan pelukan pada kedua anaknya.“Nggak apa. Aku bisa mengurus diriku sendiri.” Kataku datar.Bang Roni mengangguk. “Aku tahu, kamu pasti akan baik-baik aja. Kamu adalah perempuan yang hebat.” Katanya dengan nada sedih.Kami berdua sempat terdiam. Bang Roni juga seakan enggan untuk langsung pergi. Mungkin saja dalam hati ia berharap agar aku menahan langkahnya.Tapi itu tak mungkin aku lakukan karena aku sudah melepaskan dan mengikhlaskan dia untuk pergi dari hidupku.“Sartika, s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status