Sosoknya yang tinggi itu tampak mengintimidasi Edrick. Ama terdiam di tempatnya. Untuk pertama kalinya, ia melihat sisi lain dari Orion.
“Seperti yang kau bilang, dua hari yang lalu kalian masih bertunangan,” Orion lalu melirik Karina yang berdiri di sebelah Edrick. “Tapi, apa kau tidak memiliki kaca di rumah?” Ama tidak bisa berpaling. Pesona Orion hari ini benar-benar menjeratnya hingga netra Ama sulit sekali dialihkan dari pria tersebut. “Sayang sekali istriku harus bertemu ubur-ubur sepertimu kemarin,” Nada bicara Orion kembali seperti semula. “Dia sangat malang malang bertemu dengan pria bodoh yang sudah menyia-nyiakannya.” Sudut bibir pria itu tertarik ke atas hingga membentuk sebuah kurva senyum. Ama terpaku sesaat, merasakan debaran jantungnya yang mendadak jadi aneh. “Istriku,” panggil Orion lembut. Ama baru sadar ketika pria itu sudah merangkul pinggangnya kembali. “Hm?” sahut Ama. “Bukankah aku ini tampan?” Seperti terhipnotis, Ama mengangguk saja hingga Orion semakin mendekatkan wajah mereka. “Aku siapa?” tanyanya. Ama menelengkan kepala sebentar, lalu menjawab, “Suamiku.” “Good!” Entah setan apa yang sudah merasuki Orion. Pria itu mencium Ama tepat di bibirnya, di depan dua orang yang jelas tengah memperhatikan mereka. Bodohnya, dia hanya diam saja, menikmati setiap lumatan yang diberikan Orion kepadanya. Tangan besar pria itu bahkan sudah meremas pinggangnya, dan menempelkan tubuh mereka lebih rapat. “MENJIJIKAN!” Itu adalah kalimat terakhir yang Edrick lontarkan sebelum keluar dari ruangan itu. Karina pun mengikuti setelahnya. Sementara dirinya yang sudah terlalu nyaman berada dalam dekapan Orion. Jelas ia mendengar jantung pria itu berdebar begitu cepat. Derap langkah dan suara bantingan pintu dari Edrick membuat Ama kembali sadar. Dia segera menyudahi ciuman mereka, dan mendorong Orion menjauh. Gila! Mereka berciuman seperti itu di kamar rawat ayahnya! “A-apa-apaan kamu!” ucap Ama gugup, lalu kembali ke sofa di seberang brankar ayahnya. Dia terus mengalihkan pandangan dari Orion. “Padahal kamu terlihat menyukainya.” Orion terkekeh, dan menyusul Ama duduk. “Gila!” Setelah adegan tidak diduga itu, Ama sama sekali tidak mau berbicara dengan Orion. Ia terlanjur malu. Mereka pun hanya saling berdiam untuk waktu yang cukup lama. Sampai akhirnya, Ama mendapat sebuah pesan dari sekretarisnya. [Bu, sepertinya konferensi pers harus dipercepat. Beritanya naik lagi!] Sekretaris itu mengirimkan sebuah tautan berisi video. Dalam video itu terlihat Ama sedang meraba-raba dada Orion di lorong hotel, dan kemudian berlanjut pada narasi soal pernikahan diam-diam mereka. Kolam komentar dari netizen pun ramai menghujat Ama. “Ternyata dibalik parasnya yang cantik, menyimpan sifat jalang!” “Pemimpin perusahaan? Serius? Cih! Mau jadi apa itu perusahaan kalau pemimpinnya bobrok begitu!” “Udah, lengserin aja CEO begitu! Bikin malu doang!” “Mending kakak tirinya. Dia udah cantik, baik, orangnya juga ramah. Lah, dia? Lihat mukanya aja udah muak!” Ama bergetar, semua hujatan itu mulai mempengaruhi mentalnya. “Udahlah, gak usah dilihat lagi.” Orion mengambil ponsel Ama. “Itu semua gak penting, Ma.” “Nggak penting?!” Ama memekik tertahan. “Nama baik aku dan perusahaan tercoreng gegara video itu tersebar luas!” Ama terlihat semakin tidak sabar. Dia pun tiba-tiba berdiri dari sofa. “Nggak bisa! Kita harus segera melakukan konferensi pers!” Ama segera keluar dari ruangan ayahnya dengan langkah berderap karena emosi. Ia tidak sadar kalau Orion mengikutinya di belakang. Sampai, pria itu meraih tangannya. “Oke, nanti kita pikirkan, ya?” Orion merapikan anak rambut Ama yang berantakan. Wanita itu terlihat sangat emosi, sampai napasnya memburu. Ia pun hanya diam saja ketika Orion mengusap wajahnya dengan lembut. “Kamu kelihatan pucat banget. Kita pulang untuk beristirahat terlebih dahulu, oke?” ucap Orion, khawatir. Wanita itu akhirnya menepis tangan Orion. “Tapi, aku ingin membereskan masalah ini secepat mungkin, Orion!” “Iya, nanti aku bantu buat pikirin,” sahut Orion sekali lagi. “Tapi, kamu harus istirahat dulu, oke.” Begitu banyak yang Ama lalui dua hari ini. Dimulai dari ayahnya masuk rumah sakit, pembatalan pertunangan, sampai menikah dengan pria menyebalkan ini. Belum lagi hujatan-hujatan yang di media sosial. Kepala Ama rasanya ingin pecah. Ama tidak memberontak saat Orion menuntunnya menuju mobil. Ia pun hanya memejamkan mata, membiarkan Orion membawanya entah ke mana. Wanita itu berkali-kali membuang napas besar sepanjang perjalanan. Pikirannya masih ruwet seperti benang kusut. *** “Ngh….” Ama melenguh panjang ketika merasakan seluruh tubuhnya pegal. Ia pun berusaha meregangkan otot, tapi sayangnya, tubuhnya seperti terlilit sesuatu. Ia pun membuka matanya perlahan. Hal pertama yang ia lihat adalah dada bidang seorang pria yang tertutup piyama. Namun karena tidak terkancing sempurna, ia bisa melihat sedikit kulitnya. ‘Kayaknya kalau disentuh….’ “Udah lebih baik?” Suara Orion itu membuat Ama tersadar, dan mengangkat pandangannya. “Orion?” “Iya?” Orion bergerak sedikit, sambil membetulkan posisi lengannya yang memeluk Ama. “Tolong jangan menendangku seperti waktu itu… Aku masih ngantuk, Mal.” Ama terdiam. Walaupun ucapan Orion terdengar menyebalkan, ia tidak berpikiran untuk menendangnya seperti di hotel. Pada akhirnya, dia membiarkan dirinya berada dalam pelukan Orion. Kepalanya masih sibuk merangkai kejadian kemarin. “Kenapa diam?” tanya Orion kemudian. Ia pun sedikit mengendurkan pelukannya. Ama melirik ke arah Orion, lalu meringis. “Kepalaku sakit.” Pria di sebelahnya malah menguap. “Katanya kamu mau ngasih solusi, tapi mana?” Wanita Itu mendengkus. “Aku nggak bisa mikir kalo lapar.” Orion mengulat sebentar, lalu mengeluarkan senyum khasnya kepada Ama. “Terus?” Ama menaikkan sebelah alisnya dengan tangan terlipat di dada. “Buatin aku sarapan dulu.”Deru mesin itu makin jelas, bercampur dengan suara hujan yang menampar atap seng tetangga. Lampu depan mobil menerobos gelapnya jalan, menyapu genangan air yang berkilat diterpa petir. Ama menggenggam lengan Mama makin erat, tubuhnya sedikit gemetar. “Mas Rion… itu Mas, kan, Ma?” suaranya lirih, penuh harap bercampur rasa sakit. Mama menoleh cepat. “Iya, itu mobil Orion!” katanya lega, meski wajahnya tetap tegang. Mobil berhenti mendadak di depan rumah, ban menyibak air hingga memercik ke sisi jalan. Orion berlari keluar, jas kerjanya basah diguyur hujan, napasnya memburu. “Sayang!” panggilnya panik, setengah berteriak. Ama menoleh, wajahnya pucat, keringat dan sisa air mata bercampur di pipinya. Begitu Orion sampai, ia langsung meraih tubuh istrinya, menopangnya dengan kedua tangan. “Aku di sini, Sayang. Aku di sini.” “Mas, ini sakitnya makin sering.” Ama berbisik, suaranya pecah. Orion menatapnya lekat, lalu beralih pada Mama. “Kita harus ke rumah sakit sekarang!” Mam
Langkah cepat terdengar dari arah dapur. Mama Ama muncul dengan wajah panik, masih memegang lap piring di tangannya.“Ada apa, Nak?”Ama mencoba bicara, tetapi napasnya masih berat. “Perut kayak ditarik, Mah. Dua kali, makin kencang.”Mama langsung mendekat, membimbing Ama duduk kembali di sofa. “Coba tarik napas pelan, buang perlahan gitu. Kita tenang dulu, ya. Air putihnya mana?”Ama menggeleng, matanya masih menyipit menahan sensasi itu. “Masih di dapur.”Mama bangkit, mengambil segelas air lalu kembali dengan langkah tergesa. “Minum dulu. Ini bisa saja kontraksi palsu, dokter kan bilang begitu. Tapi, kita pantau. Kalau makin sering, kita langsung ke rumah sakit.”Ama mencoba meneguk sedikit air. Rasa tegang mulai bercampur dengan gelombang cemas yang merayap di dadanya. Tangannya mencari-cari ponsel di meja. “Aku, telepon Mas Orion aja.”Mama menatapnya ragu. “Masih kerja, kan?”“Aku nggak peduli.” Jemari Ama bergerak cepat menekan tombol panggil.Di sisi lain, Orion baru saja kel
Amalthea menghentikan gerakan sendoknya. Tatapannya berpindah ke wajah Orion yang terlihat serius, berbeda dari senyum santainya beberapa menit lalu. “Iri? Maksud kamu apa?”Orion menghela napas, lalu meraih jemari istrinya di atas meja. “Aku cuma, takut kamu membandingkan. Pernikahan kita dulu kan jauh dari kata megah. Apalagi, waktu itu, keadaan kita, ya, kamu tahu sendiri.”Waktu itu memang bukan pernikahan impian. Segala sesuatunya terjadi tiba-tiba, di tengah hiruk-pikuk kabar miring yang memaksa mereka menikah untuk meredam gosip. Bukan tanpa cinta, melainkan jelas bukan awal yang mulus.Amalthea tersenyum tipis, lalu menggeleng. “Mas, aku nggak pernah iri. Aku malah kasihan sama mereka kalau harus mikirin ribetnya pesta segede ini. Lagian,” ia menatap Orion lekat-lekat, “yang aku mau dari awal cuma kamu. Bukan pelaminan, bukan pesta, bukan gaun putih panjang.”Orion terdiam. Rasanya hatinya mencair mendengar ucapan itu. “Kamu serius?”“Serius banget.” Amalthea menyuap sisa cake
Farah memukul lengan Kirun. “Cium, noh, tembok!” Setelah itu, dia pun berlalu pergi meninggalkan calon suaminya di teras. “Yah, Calon Bojo! Kok, lananganmu ditinggal, sih?” Kirun memanggil Farah.“Ora urus!” Bibir wanita itu tak berhenti mengulas senyum. “Jadi, aku sekarang udah mau jadi istri? Kyaaa, aku jadi gak sabar nunggu hari itu tiba!”Farah tak menggubris Kirun di belakang yang sedang memandangnya. Hatinya tengah berbunga-bunga juga malu secara bersamaan. Bagaimana tidak? Orang yang disukai akhirnya melamar. “Amal, aku mau nikah!” Farah berteriak tertahan di depan pintu utama. Namun, wajah itu langsung berubah biasa saja ketika tiba di ruang tamu. Kirun sudah menyusul dan kini duduk di samping ayah dan ibunya. Memandang Farah yang terus mengacuhkan dirinya. Namun, ia tidak marah, justru tersenyum senang karena lamaran keduanya berhasil.“Jadi, kita langsung cari hari bagusnya aja bagaimana, Pak, Bu?” Orang tua Kirun segera berseloroh seolah tak sabar untuk menikahkan anak m
“Saya berniat melamar anak Bapak dan Ibu,” jeda Leo sambil menunjuk sopan ke arah Farah.Farah membelalak. Tangannya menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi kaget luar biasa. “Melamar saya?”“Iya, Far,” jawab Leo, “sudah lama aku menyimpan perasaan ke kamu. Sekarang, aku ingin melamarmu untuk menjadi pendamping hidupku, dan ibu dari anak-anakku kelak.”Adik Kirun yang perempuan berbisik kepada kakaknya. “Saingan lo pejabat, Bang. Yakin lo masih punya kesempatan?” Kirun sempat insecure melihat lelaki di sampingnya. Leo bahkan datang seorang diri tanpa bala bantuan seperti dirinya untuk melamar seorang wanita. Rivalnya yang terlalu percaya diri, atau dirinya seorang pengecut. Apalagi, saingan kali ini bukan kaleng-kaleng, pejabat negara langsung. Apa dia tidak kalah telak? Jelas, kekayaan yang dimiliki olehnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Leo.Haruskah Kirun menyerah?“Berisik lo, Dek!” timpal Kirun, “ setidaknya gue yakin, kalau Farah itu ada rasa sama gue.”“Percaya diri
“Ada yang harus kulakukan. Ya, aku harus memberi makan kucing!” seru Farah cepat.“Loh, sejak kapan Farah punya kucing?” Kirun menggaruk belakang kepalanya. “Eh, apa jangan-jangan dia mau ngehindar lagi dari gue?”Lelaki itu terduduk di kursi dengan lemas. Tubuhnya mendongak, menatap langit cerah yang seolah tengah mengejeknya. “Ya Allah, apa ini adalah karma buat gue yang udah buat hati banyak wanita di luar sana tersakiti? Jika memang benar, Engkau berhasil, Tuhan!”Kirun menepuk bagian dadanya. “Di sini sakit banget, Ya Allah!” Di dalam sana kini tengah menangisi nasibnya yang begitu malang. Ditinggal Farah iya, bahkan ditolak lamarannya sudah dirasakan langsung olehnya dari seorang perempuan yang ia cintai.Sungguh sial sekali nasib percintaan Kirun. Jika dulu, ia begitu masa bodoh dengan para perempuan. Kini, ia seolah bisa melihat dirinya sendiri dari sikap Farah padanya.“Nasib punya muka pas-pasan, tapi ini semua takdir Tuhan.” Bibir Kirun kini menyenandungkan sebuah lagu yan