Home / Romansa / Skandal Panas: Dari Musuh, Jadi Butuh / Bab 6. Ada yang Berniat Buruk

Share

Bab 6. Ada yang Berniat Buruk

Author: Lavinka
last update Huling Na-update: 2024-06-07 16:49:22

“Sialan! Kok, aku malah mau-mau aja dijadiin babu sama itu permen neon!”

Wanita itu mengomel sepanjang jalan menuju dapur. Tangannya mengikat rambutnya tinggi, hingga leher jenjangnya terlihat.

Ia melongok ke arah lemari, mencari-cari keberadaan beras, atau bahan-bahan yang bisa dia pakai untuk menyokong perut mereka.

“What?!” Mata Ama melotot shock saat menemukan persedian dapur di lemari Orion begitu lengkap. “Ini orang emang rajin masak, atau ini kebetulan aja?”

Dia kemudian sibuk mencuci beras, memasukkannya ke dalam magic com dan mengatur timer. Sambil menunggu beras matang, dia memilih untuk mengambil wortel, kol, dan daun bawang, memotongnya, kemudian mencampurnya menjadi satu dengan tepung. Dia ingin membuat bakwan sebagai teman nasi gorengnya nanti.

Setelah nasi matang, dia mulai berkutat membuat nasi goreng. Dia mengambil udang dan juga telur sebagai toping. Tidak lupa daun bawang di potong-potong dan ditaburkan di atas penggorengan.

“Yes! Akhirnya, udah jadi!”

“Kamu masak apa?”

Seseorang tiba-tiba mendekat dan meletakkan kepalanya di bahu Ama dengan santai. Wanita itu menoleh dan mengangkat bahunya kaget.

“Astaganaga! Bikin kaget aja, sih, On!”

Akan tetapi, gerakan refleksnya justru membuat kepala mereka bertabrakan. Ama langsung berteriak keras. Namun, lelaki itu justru tak peduli dan tetap saja berdiri di belakangnya.

Jantung Ama berdegup kencang sesaat ketika dirinya berada sangat dekat dengan Orion. Napas segar bercampur aroma khas dari lelaki itu mendominasi indera penciuman Ama.

“Bisa minggir dulu gak, sih!” pekik Ama, sekali lagi dia menggerakkan bahunya, dan menyikut perut Orion.

Diam-diam, Ama menelan ludah kasar. Dirinya bahkan belum pernah sedekat itu dengan Edrick, tapi Orion dengan kurang ajarnya berani dekat-dekat seperti ini.

“Kenapa? Aku cuma penasaran sama masakan istriku. Gosong atau tidak.” Rion melongok, mengintip ke arah wajan.

“Nggak mungkin gosonglah!” Ama mendengkus.

Dia lalu mengedikkan bahu untuk menyingkirkan lelaki itu. Berjalan sambil membawa dua piring nasi goreng menuju meja makan.

Aroma sedap itu seperti menggiring Rion menuju meja makan tanpa diminta.

“Ini enak!” Pujian Rion langsung terdengar ketika satu suap nasi goreng sudah masuk ke dalam mulutnya.

“Apa aku bilang, Ama gitu loh,” ucap Ama bangga dengan menepuk dadanya.

“Tiap pagi wajib, sih, bikinin aku sarapan!” Lelaki itu menyeringai sambil mengelap mulutnya.

“Apa? Nggak! Enak aja! Suruh bibi aja yang masak!” Ama mengerutkan keningnya.

“Kamu ‘kan istriku.” Rion dengan santai membawa piringnya ke dapur untuk dicuci. “Lagipula, aku gak terbiasa pake asisten rumah tangga.”

Ama terpaku, menegang di kursinya. Pipinya memanas, seiring dengan detak jantungnya semakin menggila.

‘Istriku, dia bilang….’

*

“Melalui video ini, kami ingin mengklarifikasi jika kami sudah menikah. Kejadian malam itu adalah bulan madu kami. Jadi, kami tidak melakukannya di luar nikah.”

Ama mengembuskan napas lega ketika kalimat itu selesai. Namun, Rion tertawa keras di sampingnya. Saat ini mereka sedang menunggu di salah satu ruangan, di kantor Orion, latihan untuk konferensi pers nanti.

“Rion, kamu apaan, sih? Aku tuh udah susah payah buat hafalin kalimat itu seharian, lho!” Ama mencubit perut Rion yang sayangnya tidak bisa, sebab perut lelaki itu keras.

“Hei, Nona. Kamu pikir mereka akan percaya kalau kamu sekaku itu?” cibir Orion.

“Lalu?”

Orion menggeser duduknya lebih dekat dengan Ama. Kemudian, ia menyampirkan tangannya ke bagian belakang sofa, seakan sedang merangkul Ama.

“Misalnya….” jari telunjuk Orion menyentuh dagu Ama. “Kita bisa sedikit… menunjukkan kemesraan…”

“Hih! Pergi sana!” Ama mendorong wajah Orion agak menjauh darinya. “Merinding aku bayanginnya, Rion! P-pokoknya aku gak mau kayak gitu!”

Untungnya, sebelum Ama melempar heelsnya ke kepala Orion, pria itu sudah bangkit lebih dulu. Ia berdiri, dan memperbaiki penampilannya. Sambil memasukkan tangan ke saku, Orion menunjuk dua benda di atas meja.

“Jangan lupa tunjukkan buku nikah dan foto wedding kita kemarin,” katanya.

Ama berdecih, lalu ikut berdiri. Ia membawa skrip klarifikasinya, buku nikah, dan dua lembar foto pre-wedding itu dengan kasar.

“Pria menyebalkan!” umpat Ama untuk terakhir kalinya, sebelum mendahului Orion berjalan menuju ruang konferensi pers.

Bisa Ama dengar kekehan khas pria itu di belakang.

Karena Ama yang bersikeras menginginkan konferensi pers ini, Orion pun lepas tangan. Ia hanya membantu menyiapkan tempat dan informasi saja. Sementara seluruh pernyataan disusun oleh Ama.

Sebenarnya, publik sudah mengetahui kalau Ama dan Orion sudah menikah. Perusahaan Orion pun sudah memberikan klarifikasi. Namun tetap saja, Ama tidak puas.

“Buat apa sih pakai klarifikasi. Toh, semua juga tahu kalau kita sudah menikah,” Orion menjawab seperti itu ketika Ama terus mengulang satu-satunya cara memulihkan namanya adalah konferensi pers.

Mereka pun memasuki ruang konferensi pers bersamaan, lalu duduk bersebelahan. Para wartawan sudah siap dengan kameranya. Ama sempat kaget karena ada begitu banyak wartawan yang datang di konferensi pers.

Ama melirik Orion yang mengangguk di samping, lalu tatapannya turun ke arah bawah meja. Saking gugupnya, ia tanpa sadar sampai menggenggam tangan Orion.

Namun bukannya langsung melepaskan, Orion malah mengelus punggung tangan Ama dengan ibu jarinya.

“Tenang….” bisik Orion dengan gerakan mulut saja.

“Selamat sore, semuanya,” sapa Ama, memulai konferensi pers.

Walaupun sempat gugup di awal, Ama bisa menguasai kondisi dengan cepat. Ia menjelaskan secara runut, dan klarifikasi dibalik gemparnya foto dan video mereka di hotel.

Lalu, mereka mulai ke sesi tanya jawab.

“Jadi, bagaimana kalian bisa menikah? Dan, sejak kapan kalian saling mencintai?” tanya salah satu wartawan dari stasiun televisi Suta.

Ama sempat melihat ke arah Orion, lalu menjawabnya dengan lancar. Dia sudah menduga jika pertanyaan klasik itu pasti akan terlontar dari para wartawan. Jadi, dia sudah menyiapkan, bahkan menghapal jawabannya.

Pertanyaan kedua dari salah satu stasiun televisi GV.

“Kami sempat mendengar kabar, jika perusahaan kalian adalah rival, lalu bagaimana bisa kalian memutuskan menikah? Dan, semua orang juga tahu, kalau Nona Amalthea sudah bertunangan dengan Tuan Edrick!”

Jantung Ama sempat terhenti sekejap. Bukan hanya karena pertanyaannya, tapi wartawan itu juga terlihat terbawa emosi.

Tangan Ama bergetar mengambil mikrofon di depannya. Tatapan wartawan itu masih mengarah kepadanya, dan tersenyum culas. Sepertinya dia mengharapkan Ama salah bicara.

“Untuk hal itu—”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Skandal Panas: Dari Musuh, Jadi Butuh   Bab 116

    Deru mesin itu makin jelas, bercampur dengan suara hujan yang menampar atap seng tetangga. Lampu depan mobil menerobos gelapnya jalan, menyapu genangan air yang berkilat diterpa petir. Ama menggenggam lengan Mama makin erat, tubuhnya sedikit gemetar. “Mas Rion… itu Mas, kan, Ma?” suaranya lirih, penuh harap bercampur rasa sakit. Mama menoleh cepat. “Iya, itu mobil Orion!” katanya lega, meski wajahnya tetap tegang. Mobil berhenti mendadak di depan rumah, ban menyibak air hingga memercik ke sisi jalan. Orion berlari keluar, jas kerjanya basah diguyur hujan, napasnya memburu. “Sayang!” panggilnya panik, setengah berteriak. Ama menoleh, wajahnya pucat, keringat dan sisa air mata bercampur di pipinya. Begitu Orion sampai, ia langsung meraih tubuh istrinya, menopangnya dengan kedua tangan. “Aku di sini, Sayang. Aku di sini.” “Mas, ini sakitnya makin sering.” Ama berbisik, suaranya pecah. Orion menatapnya lekat, lalu beralih pada Mama. “Kita harus ke rumah sakit sekarang!” Mam

  • Skandal Panas: Dari Musuh, Jadi Butuh   Bab 115. Palsu atau Asli?

    Langkah cepat terdengar dari arah dapur. Mama Ama muncul dengan wajah panik, masih memegang lap piring di tangannya.“Ada apa, Nak?”Ama mencoba bicara, tetapi napasnya masih berat. “Perut kayak ditarik, Mah. Dua kali, makin kencang.”Mama langsung mendekat, membimbing Ama duduk kembali di sofa. “Coba tarik napas pelan, buang perlahan gitu. Kita tenang dulu, ya. Air putihnya mana?”Ama menggeleng, matanya masih menyipit menahan sensasi itu. “Masih di dapur.”Mama bangkit, mengambil segelas air lalu kembali dengan langkah tergesa. “Minum dulu. Ini bisa saja kontraksi palsu, dokter kan bilang begitu. Tapi, kita pantau. Kalau makin sering, kita langsung ke rumah sakit.”Ama mencoba meneguk sedikit air. Rasa tegang mulai bercampur dengan gelombang cemas yang merayap di dadanya. Tangannya mencari-cari ponsel di meja. “Aku, telepon Mas Orion aja.”Mama menatapnya ragu. “Masih kerja, kan?”“Aku nggak peduli.” Jemari Ama bergerak cepat menekan tombol panggil.Di sisi lain, Orion baru saja kel

  • Skandal Panas: Dari Musuh, Jadi Butuh   Bab 114. Kontraksi

    Amalthea menghentikan gerakan sendoknya. Tatapannya berpindah ke wajah Orion yang terlihat serius, berbeda dari senyum santainya beberapa menit lalu. “Iri? Maksud kamu apa?”Orion menghela napas, lalu meraih jemari istrinya di atas meja. “Aku cuma, takut kamu membandingkan. Pernikahan kita dulu kan jauh dari kata megah. Apalagi, waktu itu, keadaan kita, ya, kamu tahu sendiri.”Waktu itu memang bukan pernikahan impian. Segala sesuatunya terjadi tiba-tiba, di tengah hiruk-pikuk kabar miring yang memaksa mereka menikah untuk meredam gosip. Bukan tanpa cinta, melainkan jelas bukan awal yang mulus.Amalthea tersenyum tipis, lalu menggeleng. “Mas, aku nggak pernah iri. Aku malah kasihan sama mereka kalau harus mikirin ribetnya pesta segede ini. Lagian,” ia menatap Orion lekat-lekat, “yang aku mau dari awal cuma kamu. Bukan pelaminan, bukan pesta, bukan gaun putih panjang.”Orion terdiam. Rasanya hatinya mencair mendengar ucapan itu. “Kamu serius?”“Serius banget.” Amalthea menyuap sisa cake

  • Skandal Panas: Dari Musuh, Jadi Butuh   Bab 113. Iri?

    Farah memukul lengan Kirun. “Cium, noh, tembok!” Setelah itu, dia pun berlalu pergi meninggalkan calon suaminya di teras. “Yah, Calon Bojo! Kok, lananganmu ditinggal, sih?” Kirun memanggil Farah.“Ora urus!” Bibir wanita itu tak berhenti mengulas senyum. “Jadi, aku sekarang udah mau jadi istri? Kyaaa, aku jadi gak sabar nunggu hari itu tiba!”Farah tak menggubris Kirun di belakang yang sedang memandangnya. Hatinya tengah berbunga-bunga juga malu secara bersamaan. Bagaimana tidak? Orang yang disukai akhirnya melamar. “Amal, aku mau nikah!” Farah berteriak tertahan di depan pintu utama. Namun, wajah itu langsung berubah biasa saja ketika tiba di ruang tamu. Kirun sudah menyusul dan kini duduk di samping ayah dan ibunya. Memandang Farah yang terus mengacuhkan dirinya. Namun, ia tidak marah, justru tersenyum senang karena lamaran keduanya berhasil.“Jadi, kita langsung cari hari bagusnya aja bagaimana, Pak, Bu?” Orang tua Kirun segera berseloroh seolah tak sabar untuk menikahkan anak m

  • Skandal Panas: Dari Musuh, Jadi Butuh   Bab 112. Pilih Kamu, iya kamu

    “Saya berniat melamar anak Bapak dan Ibu,” jeda Leo sambil menunjuk sopan ke arah Farah.Farah membelalak. Tangannya menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi kaget luar biasa. “Melamar saya?”“Iya, Far,” jawab Leo, “sudah lama aku menyimpan perasaan ke kamu. Sekarang, aku ingin melamarmu untuk menjadi pendamping hidupku, dan ibu dari anak-anakku kelak.”Adik Kirun yang perempuan berbisik kepada kakaknya. “Saingan lo pejabat, Bang. Yakin lo masih punya kesempatan?” Kirun sempat insecure melihat lelaki di sampingnya. Leo bahkan datang seorang diri tanpa bala bantuan seperti dirinya untuk melamar seorang wanita. Rivalnya yang terlalu percaya diri, atau dirinya seorang pengecut. Apalagi, saingan kali ini bukan kaleng-kaleng, pejabat negara langsung. Apa dia tidak kalah telak? Jelas, kekayaan yang dimiliki olehnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Leo.Haruskah Kirun menyerah?“Berisik lo, Dek!” timpal Kirun, “ setidaknya gue yakin, kalau Farah itu ada rasa sama gue.”“Percaya diri

  • Skandal Panas: Dari Musuh, Jadi Butuh   Bab 111. Dua Sekaligus

    “Ada yang harus kulakukan. Ya, aku harus memberi makan kucing!” seru Farah cepat.“Loh, sejak kapan Farah punya kucing?” Kirun menggaruk belakang kepalanya. “Eh, apa jangan-jangan dia mau ngehindar lagi dari gue?”Lelaki itu terduduk di kursi dengan lemas. Tubuhnya mendongak, menatap langit cerah yang seolah tengah mengejeknya. “Ya Allah, apa ini adalah karma buat gue yang udah buat hati banyak wanita di luar sana tersakiti? Jika memang benar, Engkau berhasil, Tuhan!”Kirun menepuk bagian dadanya. “Di sini sakit banget, Ya Allah!” Di dalam sana kini tengah menangisi nasibnya yang begitu malang. Ditinggal Farah iya, bahkan ditolak lamarannya sudah dirasakan langsung olehnya dari seorang perempuan yang ia cintai.Sungguh sial sekali nasib percintaan Kirun. Jika dulu, ia begitu masa bodoh dengan para perempuan. Kini, ia seolah bisa melihat dirinya sendiri dari sikap Farah padanya.“Nasib punya muka pas-pasan, tapi ini semua takdir Tuhan.” Bibir Kirun kini menyenandungkan sebuah lagu yan

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status