Beranda / Romansa / Skandal Panas: Dari Musuh, Jadi Butuh / Bab 8. Intinya, kita udah nikah.

Share

Bab 8. Intinya, kita udah nikah.

Penulis: Lavinka
last update Terakhir Diperbarui: 2024-06-08 12:59:01

Keesokan paginya, Ama dibuat kesal lantaran tak menemukan baju yang pas untuk dirinya berangkat ke kantor. Ya, hari ini ada rapat penting, dan dia sebagai seorang CEO maka harus datang.

“Bisa-bisanya aku lupa, kalau hari ini ada rapat,” dumel Ama, kekesalan itu makin menjadi lantaran ia tak menemukan pakaian miliknya.

“Terus, aku harus pakai baju apa?” Ia pun menendang lemari di hadapannya.

“Apa salah lemariku sih, Mal? Kenapa sepagian kamu udah marah-marah?” Suara dari balik punggung Ama menginterupsi.

Ama mendengkus, lalu berjalan menuju sofa dan duduk di sana. Bibirnya cemberut dengan tangan mengutak-atik hp.

“Gak usah ganggu aku!” Ia menelpon sekretarisnya, tetapi sebuah tangan merebut ponselnya. “Rion, kamu ngapain, sih?!”

“Pakai ini aja!” Sebuah paper bag tiba-tiba disodorkan oleh Orion, tepat di depan Ama.

“Apa ini?” Kening Ama mengernyit, tetapi tetap menerima paper bag itu. “Loh, baju siapa ini?”

Wanita itu membolak-balikkan setelan kantor yang baru saja diberikan oleh Orion.

“Udah pakai aja, sih!”

“Tapi, Rion–” Belum sempat Ama menyelesaikan ucapannya, ia sudah didorong masuk ke dalam kamar mandi.

“Aku tunggu 10 menit. Kalau kamu gak keluar juga, aku bakalan dobrak pintu dan memakaikan pakaian itu!” ancam Rion.

“What?!”

Ama melihat ke arah pintu, lalu ke paper bag dengan perasaan dongkol. Dia mendesah keras, berpikir sebentar hingga akhirnya, mau tidak mau ia pun menurut dan memakainya.

“Gila itu cowok, cuman sekali doang udah paham aja size aku,” ucapnya sambil berputar di depan cermin.

Setelan itu terdiri dari kemeja warna putih dengan tali menggantung di kerah, dan dipadukan rok pensil di bawah lutut dengan saku kecil di bagian depan. Ini memang bukan style Ama, tetapi ia cukup terkesan dengan pemilihan pria tersebut.

“Amal, mau berapa lama lagi kamu di dalam?” Suara ketukan disusul panggilan dari Orion memecah lamunan Ama.

“Astaga! Kenapa gak sabaran banget?!” Ama melihat ke arah pintu dengan kesal. Ia pun berjalan keluar dengan wajah ditekuk. “Berisik banget, sih!” omelnya.

Ama sempat melihat pria itu tertegun, tetapi dengan secepat kilat tatapan itu berubah biasa saja. Aneh.

“Ya, lumayanlah,” celetuk Orion setelah terdiam beberapa saat.

Kening Ama mengerut, apalagi melihat sikap dan ekspresi Orion yang malu-malu. Ucapannya memang sedikit meremehkan, tetapi telinga pria itu memerah, seperti waktu kemarin.

“Cih!” Ama mendengkus. “Aku gak butuh penilaianmu!”

Ia mendorong dada Orion agar menyingkir dari hadapannya. Ia lalu berjalan menuju meja nakas, mengambil ponsel dan juga dompetnya.

“Mau bareng?” Suara Orion terdengar di balik bahunya.

“Hm. Nanti pulangnya aku bisa sendiri,” jawabnya acuh.

“Ok, seenak kamu aja!”

Ama hendak menjawab, tetapi pria itu sudah lebih dulu pergi. Ia pun hanya bisa menghela napas panjang. “Bisa-bisanya aku terjebak sama cowok modelan kayak dia,” keluhnya.

Ama tidak bisa banyak mengeluh sekarang. Ia harus segera berangkat ke kantor sebelum rapat dimulai. Ia tak ingin memberikan contoh yang buruk kepada karyawannya.

Dalam perjalanan, ia menatap Orion yang hari ini terlihat lebih banyak diam. Padahal dulu, tiada hari tanpa pria itu mengejeknya. Dimulai dari masalah gaya rambut, sampai cara berjalan Ama un dikomentarinya.

Di tengah keheningan, tiba-tiba pria itu malah mengucapkan, “Nanti, pulang kerja biar aku yang jemput. Sekalian aku mau ngajak kamu beli baju!”

“Gak usah!” tolak Ama cepat. “Bajuku udah banyak. Lagian, nanti aku bakalan minta bibi buat beresin bajuku buat dikirim ke rumahmu!”

“Sayangnya, aku gak suka dibantah, Amal.” Pria itu melirik sebentar sebelum kembali fokus dengan jalanan di depan.

“Hah! Whatever!” Ama juga malas berdebat. Ia lebih memilih fokus untuk membuka email dari sekretarisnya di ponsel.

***

Satu alis Ama naik ke atas melihat chat dari Orion.

[Mal, kamu bisa pulang sendiri, kan? Maaf, tiba-tiba ada keperluan mendesak, dan ini gak bisa diwakilkan.]

Ama tertawa hambar. “Wah, wah, wah!”

Ama lalu berdiri dari kursinya, berkacak pinggang dengan wajah mendongak. Matanya tertuju pada langit-langit ruang kerjanya yang berwarna putih.

Padahal pria itu yang tadi menawarkannya pulang bersama. Karena tadi mereka berangkat bersama, Ama jadi tidak bawa mobil sendiri. Lalu tiba–tiba, pria itu membatalkan janjinya begitu saja.

“Kenapa aku jadi sakit hati begini, yah?!” ocehnya sendiri.

“Bajingan itu benar-benar sudah membuat moodku hancur!” Ama mendesah kesal, lalu menatap kembali chat dari Orion. “Siapa yang maksa buat beli baju bareng? Dia, kan? Terus, kenapa malah dia batalin? Mendadak lagi!”

Ama semakin kesal karena ia sudah membatalkan pertemuannya dengan salah satu klien hanya untuk pergi dengan Orion. Kenyataannya, ia mendapati pria itu membatalkan secara sepihak janjinya.

“Sebenarnya itu orang mau ke mana, sih? Urusan sepenting apa sampai dia membatalkan janjinya?” Ama terus mengoceh sendiri.

“Kalau gak inget itu orang udah pernah nolongin aku, udah aku bumi hanguskan kantornya itu!” dengkusnya.

Akhirnya, Ama memutuskan untuk pergi ke rumah sakit saja. Ia ingin menjenguk ayahnya. Sudah dua hari ia tak bertemu Akbar lantaran sibuk mengurusi masalahnya yang seperti tak henti-henti datang menghampiri.

Sambil menjalankan mobilnya, Ama menghubungi sekretaris ayahnya untuk menanyakan keadaan beliau. Setelah mengetahui jika Akbar masih belum sadar, Ama semakin menginjak gasnya menuju rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, Ama langsung menuju kamar rawat ayahnya. Ia berharap tidak bertemu dengan Ameera, ataupun Karina. Dirinya sedang tak mood untuk ribut.

Sayangnya, harapan Ama tak terkabul. Kenyataannya, di ruangan sang ayah sudah ada Karina, Ameera, dan Edrick. Entah sejak kapan ia sadar jika wajah calon suaminya itu jelek. Mungkin, semenjak diputusin kali.

“Ngapain kamu ke sini? Bukankah dirimu sedang sibuk konferensi pers sana-sini?” Karian menyapanya dengan wajah sinis. Wanita bermuka dua itu bahkan tak malu menggunakan pakaian yang dibelinya di Korea.

“Selain tak tahu malu, kamu juga senang, yah, ngumpulin bekasan dari diriku?” Ama berkata dengan enteng.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Skandal Panas: Dari Musuh, Jadi Butuh   Bab 116

    Deru mesin itu makin jelas, bercampur dengan suara hujan yang menampar atap seng tetangga. Lampu depan mobil menerobos gelapnya jalan, menyapu genangan air yang berkilat diterpa petir. Ama menggenggam lengan Mama makin erat, tubuhnya sedikit gemetar. “Mas Rion… itu Mas, kan, Ma?” suaranya lirih, penuh harap bercampur rasa sakit. Mama menoleh cepat. “Iya, itu mobil Orion!” katanya lega, meski wajahnya tetap tegang. Mobil berhenti mendadak di depan rumah, ban menyibak air hingga memercik ke sisi jalan. Orion berlari keluar, jas kerjanya basah diguyur hujan, napasnya memburu. “Sayang!” panggilnya panik, setengah berteriak. Ama menoleh, wajahnya pucat, keringat dan sisa air mata bercampur di pipinya. Begitu Orion sampai, ia langsung meraih tubuh istrinya, menopangnya dengan kedua tangan. “Aku di sini, Sayang. Aku di sini.” “Mas, ini sakitnya makin sering.” Ama berbisik, suaranya pecah. Orion menatapnya lekat, lalu beralih pada Mama. “Kita harus ke rumah sakit sekarang!” Mam

  • Skandal Panas: Dari Musuh, Jadi Butuh   Bab 115. Palsu atau Asli?

    Langkah cepat terdengar dari arah dapur. Mama Ama muncul dengan wajah panik, masih memegang lap piring di tangannya.“Ada apa, Nak?”Ama mencoba bicara, tetapi napasnya masih berat. “Perut kayak ditarik, Mah. Dua kali, makin kencang.”Mama langsung mendekat, membimbing Ama duduk kembali di sofa. “Coba tarik napas pelan, buang perlahan gitu. Kita tenang dulu, ya. Air putihnya mana?”Ama menggeleng, matanya masih menyipit menahan sensasi itu. “Masih di dapur.”Mama bangkit, mengambil segelas air lalu kembali dengan langkah tergesa. “Minum dulu. Ini bisa saja kontraksi palsu, dokter kan bilang begitu. Tapi, kita pantau. Kalau makin sering, kita langsung ke rumah sakit.”Ama mencoba meneguk sedikit air. Rasa tegang mulai bercampur dengan gelombang cemas yang merayap di dadanya. Tangannya mencari-cari ponsel di meja. “Aku, telepon Mas Orion aja.”Mama menatapnya ragu. “Masih kerja, kan?”“Aku nggak peduli.” Jemari Ama bergerak cepat menekan tombol panggil.Di sisi lain, Orion baru saja kel

  • Skandal Panas: Dari Musuh, Jadi Butuh   Bab 114. Kontraksi

    Amalthea menghentikan gerakan sendoknya. Tatapannya berpindah ke wajah Orion yang terlihat serius, berbeda dari senyum santainya beberapa menit lalu. “Iri? Maksud kamu apa?”Orion menghela napas, lalu meraih jemari istrinya di atas meja. “Aku cuma, takut kamu membandingkan. Pernikahan kita dulu kan jauh dari kata megah. Apalagi, waktu itu, keadaan kita, ya, kamu tahu sendiri.”Waktu itu memang bukan pernikahan impian. Segala sesuatunya terjadi tiba-tiba, di tengah hiruk-pikuk kabar miring yang memaksa mereka menikah untuk meredam gosip. Bukan tanpa cinta, melainkan jelas bukan awal yang mulus.Amalthea tersenyum tipis, lalu menggeleng. “Mas, aku nggak pernah iri. Aku malah kasihan sama mereka kalau harus mikirin ribetnya pesta segede ini. Lagian,” ia menatap Orion lekat-lekat, “yang aku mau dari awal cuma kamu. Bukan pelaminan, bukan pesta, bukan gaun putih panjang.”Orion terdiam. Rasanya hatinya mencair mendengar ucapan itu. “Kamu serius?”“Serius banget.” Amalthea menyuap sisa cake

  • Skandal Panas: Dari Musuh, Jadi Butuh   Bab 113. Iri?

    Farah memukul lengan Kirun. “Cium, noh, tembok!” Setelah itu, dia pun berlalu pergi meninggalkan calon suaminya di teras. “Yah, Calon Bojo! Kok, lananganmu ditinggal, sih?” Kirun memanggil Farah.“Ora urus!” Bibir wanita itu tak berhenti mengulas senyum. “Jadi, aku sekarang udah mau jadi istri? Kyaaa, aku jadi gak sabar nunggu hari itu tiba!”Farah tak menggubris Kirun di belakang yang sedang memandangnya. Hatinya tengah berbunga-bunga juga malu secara bersamaan. Bagaimana tidak? Orang yang disukai akhirnya melamar. “Amal, aku mau nikah!” Farah berteriak tertahan di depan pintu utama. Namun, wajah itu langsung berubah biasa saja ketika tiba di ruang tamu. Kirun sudah menyusul dan kini duduk di samping ayah dan ibunya. Memandang Farah yang terus mengacuhkan dirinya. Namun, ia tidak marah, justru tersenyum senang karena lamaran keduanya berhasil.“Jadi, kita langsung cari hari bagusnya aja bagaimana, Pak, Bu?” Orang tua Kirun segera berseloroh seolah tak sabar untuk menikahkan anak m

  • Skandal Panas: Dari Musuh, Jadi Butuh   Bab 112. Pilih Kamu, iya kamu

    “Saya berniat melamar anak Bapak dan Ibu,” jeda Leo sambil menunjuk sopan ke arah Farah.Farah membelalak. Tangannya menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi kaget luar biasa. “Melamar saya?”“Iya, Far,” jawab Leo, “sudah lama aku menyimpan perasaan ke kamu. Sekarang, aku ingin melamarmu untuk menjadi pendamping hidupku, dan ibu dari anak-anakku kelak.”Adik Kirun yang perempuan berbisik kepada kakaknya. “Saingan lo pejabat, Bang. Yakin lo masih punya kesempatan?” Kirun sempat insecure melihat lelaki di sampingnya. Leo bahkan datang seorang diri tanpa bala bantuan seperti dirinya untuk melamar seorang wanita. Rivalnya yang terlalu percaya diri, atau dirinya seorang pengecut. Apalagi, saingan kali ini bukan kaleng-kaleng, pejabat negara langsung. Apa dia tidak kalah telak? Jelas, kekayaan yang dimiliki olehnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Leo.Haruskah Kirun menyerah?“Berisik lo, Dek!” timpal Kirun, “ setidaknya gue yakin, kalau Farah itu ada rasa sama gue.”“Percaya diri

  • Skandal Panas: Dari Musuh, Jadi Butuh   Bab 111. Dua Sekaligus

    “Ada yang harus kulakukan. Ya, aku harus memberi makan kucing!” seru Farah cepat.“Loh, sejak kapan Farah punya kucing?” Kirun menggaruk belakang kepalanya. “Eh, apa jangan-jangan dia mau ngehindar lagi dari gue?”Lelaki itu terduduk di kursi dengan lemas. Tubuhnya mendongak, menatap langit cerah yang seolah tengah mengejeknya. “Ya Allah, apa ini adalah karma buat gue yang udah buat hati banyak wanita di luar sana tersakiti? Jika memang benar, Engkau berhasil, Tuhan!”Kirun menepuk bagian dadanya. “Di sini sakit banget, Ya Allah!” Di dalam sana kini tengah menangisi nasibnya yang begitu malang. Ditinggal Farah iya, bahkan ditolak lamarannya sudah dirasakan langsung olehnya dari seorang perempuan yang ia cintai.Sungguh sial sekali nasib percintaan Kirun. Jika dulu, ia begitu masa bodoh dengan para perempuan. Kini, ia seolah bisa melihat dirinya sendiri dari sikap Farah padanya.“Nasib punya muka pas-pasan, tapi ini semua takdir Tuhan.” Bibir Kirun kini menyenandungkan sebuah lagu yan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status