Share

BAB 4

Author: Ziajung
last update Last Updated: 2025-03-19 10:23:13

 

Bau antiseptik yang tercampur dengan bau pahit obat mengusik ujung hidung Irene. Kepalanya masih terasa nyeri, tetapi pernapasannya sudah lebih ringan. Irene juga merasa seperti ada aliran udara masuk melalui lubang hidungnya.

Matanya bergerak perlahan dan akhirnya terbuka. Cahaya yang menyorot membuatnya sejenak berpikir, apakah aku sudah mati?. Namun, langit-langit tinggi berwarna kebiruan dan suara riuh-rendah di sekitar meyakinkan Irene kalau ini bukan surga, melainkan hanya Unit Gawat Darurat sebuah rumah sakit.

Irene menoleh. Di sekeliling ranjangnya ditutupi oleh tirai berwarna putih. Entah ini memang prosedur dari rumah sakit atau memang mereka menyadari siapa Irene. Oh, iya, omong-omong kenapa dia bisa berada di sini?

Irene baru ingin mengangkat tangannya ketika tirai itu terbuka. Seorang dokter wanita terlihat sedikit terkejut ketika melihat Irene sudah sadar. Ia pun mendekati brankarnya.

“Anda sudah sadar? Bagaimana keadaan Anda? Apa ada yang tidak nyaman?” tanya dokter itu lembut. Ia juga memeriksa selang infus dan oksigen Irene.

“Lebih baik, Dok,” jawab Irene lemah.

“Ada mengalami gejala tipes dan malnutrisi. Sepertinya Anda juga memiliki stres yang cukup parah belakangan ini. Apa benar begitu?”

Irene terdiam sejenak. Ada yang lebih penting daripada soal keadaan tubuhnya sendiri, tapi... ia masih enggan untuk bertanya. “Iya, Dok,” akhirnya, hanya itu yang bisa Irene ucapkan.

“Saya akan meresepkan beberapa vitamin dan antibiotik untuk Anda. Selain itu, Anda juga diperbolehkan pulang setelah infusnya habis.”

Dokter itu masih berkata dengan sangat ramah, tanpa ada prasangka apa pun. Namun, Irene tetap merasa waspada. Ada sebuah ketakutan kecil di dalam hatinya. Kepalanya tertunduk, menatap tautan tangannya di pangkuan.

“Dan janin Anda sehat,” lanjut dokter itu, membuat Irene dengan cepat mengangkat kepalanya.

“Walaupun tergolong lemah, dia masih bisa bertahan.” Dokter itu meraih tangan Irene dan mengusapnya pelan. “Dia kuat kayak bundanya.”

Mata Irene mengerjap. Kelegaan luar biasa memenuhi dadanya, seperti beban berat itu baru saja terangkat. Tangannya refleks mengusap perutnya sendiri. Dia masih hidup... dia masih kuat....

“Terima kasih, Dok...,” ucap Irene pelan.

Dokter itu mengangguk. “Anda bisa istirahat lagi. Saya akan datang sekitar setengah jam lagi untuk memeriksa infusnya.”

Sebelum dokter itu berbalik badan, Irene menahannya, “Anu, Dok...”

“Ya?”

“Itu... soal... hm... saya....” Irene sangat ragu untuk bertanya. Ia khawatir kalau itu terdengar seperti orang narsis. “Identitas saya....”

“Ah....” Dokter itu sepertinya paham apa yang Irene ingin tanyakan. Wanita itu kembali tersenyum. “Rumah Sakit Dashar sangat mengutamakan kenyaman pasien, termasuk soal privasinya. Jadi, Anda tidak perlu khawatir.”

Seperti yang Irene duga, dokter itu sudah mengetahui siapa dirinya. Itu sudah terlihat sejak Irene menyadari kalau dokter itu tidak menanyakan namanya lebih dulu. Senyum sang dokter membuatnya jadi lebih lega.

“Orang yang mengantar Anda pun salah satu kenalan dokter kami, jadi Anda bisa beristirahat dengan tenang setelah ini,” lanjut sang dokter.

Benar juga. Irene melupakan seseorang yang menolongnya. Ia tidak mungkin jalan ke rumah sakit sendirian di tengah rasa sakit itu, kan.

“Maaf, Dok. Kira-kira di mana saya bisa pinjam telepon, ya? Saya mau menghubungi teman saya untuk minta jemput,” tanya Irene. Ia tidak melihat tasnya di sini, jadi kemungkinan besar masih tertinggal di mobil.

“Anda bisa coba ke resepsionis. Ah, tapi jangan langsung ke sana. Anda masih harus berbaring sebentar lagi. Setidaknya... sekitar 15 menit lagi.”

Irene mengangguk. Ia juga meminta dokter itu melepas oksigennya karena sudah merasa lebih baik. Setelah dokter itu pergi, Irene berbaring lagi. Mungkin karena sudah terlalu lama pingsan, Irene jadi tak bisa memejamkan matanya. Ia terus berkali-kali melirik jam tangannya. Harus tepat 15 menit.

Lima belas menit.

Irene bangun dari brankar sambil mendorong tiang infusnya. Untung saja ia sempat meminta masker, jadi setidaknya itu bisa menyamarkan sedikit wajahnya. Ia berjalan ke meja resepsionis yang tampak sangat sibuk.

“Permisi, boleh pinjam telepon? Kebetulan hape saya hilang, tapi saya mau telepon saudara saya,” ucap Irene sopan dan pelan.

“Boleh. Silakan di sebelah sana, Bu.”

Rumah sakit ini memang luar biasa. Selain dokternya tidak memiliki prasangka, perawat dan staf yang lainnya pun sangat ramah. Setidaknya, Irene bisa lebih tenang di sini.

Irene menghubungi nomor manajernya yang sudah dihapal di luar kepala. Pada dering ketiga, panggilan itu diangkat.

“Halo?” sapa Maudy, manajernya yang terdengar agak curiga.

“Dy, ini gue, Irene.”

“Irene?! Eh, anjir, lo di mana?! Gue teleponin dari tadi, tapi gak ada jawaban! Hape lo kemakan ikan hiu, hah?!” tanya Maudy menggebu-gebu dengan suara nyaris 2 oktaf.

Irene menghela napas. “Gue di rumah sakit.”

“HAH?!” Suara wanita itu melengking semakin tinggi. “KOK, BISA?!”

“Panjang ceritanya.” Irene menghela napas. “Intinya, mobil gue masi di jalan, entah di mana—gue lupa. Dompet sama hape gue di sana. Jadi, tolong cariin, ya. Derek aja gak apa-apa.”

“Gimana gue bisa derek kalau lo aja gak tau posisi mobilnya di mana....” sekarang, Irene yang mendengar helaan napas frustrasi dari Maudy. “Ya udah, ya udah, nanti gue cari. Lo di rumah sakit mana?”

Begitulah Maudy. Walaupun bawel dan ucapannya kadang ketus dan pedas, dia adalah salah satu manusia yang paling memahami Irene. Sudah hampir 10 tahun mereka bekerja bersama. Maudy adalah teman SMA Irene, yang kemudian diangkatnya menjadi manajer. Jadi, sepanjang apa pun Maudy mengoceh atau mengomel, Irene pasti akan mendengarkannya sampai habis.

Itu lebih baik daripada diabaikan sama sekali.

“Rumah Sakit Dashar. Gue—“

“REGANTARA DASHAR!”

Ucapan Irene terhenti gara-gara teriakan menggelegar itu. Bukan hanya dirinya yang sampai memutar kepala, tetapi staf dan pasien yang ada di sana pun ikut menoleh. Irene tidak bisa memastikan siapa yang berteriak itu, tapi langkah kaki yang terdengar menggebu-gebu itu seolah menggambarkan betapa emosinya pria itu.

Tapi... kok, suaranya gak asing, ya?

“Halo, Rene? Kenapa? Lo masih sakit? O-oke, gue jemput sekarang. Lima belas—“

“Gak apa-apa,” potong Irene, menyadari kepanikan Maudy. “Gak usah buru-buru. Gue udah gak apa-apa.”

“Serius?”

Irene masih melirik ke koridor. Entah kenapa ia jadi penasaran dengan pria yang berteriak tadi. “Hm. I’m okay.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Skandal Panas: Pernikahan Palsu Bersama Direktur   BAB 6

    Seminggu berlalu dengan damai, yang justru itu membuat Irene merasa sangat kosong. Ini terlalu normal dengan segala huru-hara yang terjadi hari itu. Keenan tidak menghubunginya sama sekali dan media juga tidak ada yang berisik. Sekarang, Irene seperti sedang diabaikan.Bukannya Irene berharap ada kejadian yang luar biasa, yang bisa membuat setidaknya Bu Kristin melempar asbak ke arahnya. Setidaknya, ia ingin mendengar satu penjelasan dari Keenan. Mual yang dirasakannya setiap pagi masih terjadi, seolah terus mengingatkan Irene bahwa janin ini masih hidup. Hubungan mereka masih terjalin, tetapi kenapa hanya dirinya yang menanggung?“Apa digugurin aja?”“Hah?”Irene mengerjap. Dia baru sadar kalau dirinya masih berada di dalam mobil bersama Maudy. Saat ini, ia sedang dalam perjalanan menuju lokasi syuting film terbarunya di daerah Bandung. Karena terlalu tenggelam dalam lamunannya, Irene tidak sengaja mengucapkan apa yang pikirannya.“Gak,” kilah Irene, sebelum menghela napas panjang da

  • Skandal Panas: Pernikahan Palsu Bersama Direktur   BAB 5

    Setelah mendapatkan persetujuan dari Maudy, Irene pun kembali ke brankarnya. Tidak lupa dia menutup rapat setiap sisi tirai. Beruntungnya dia sudah meminta Maudy mengosongkan satu hari dari jadwal apa pun. Dia sudah berpikir ingin menghabiskan waktunya dengan Keenan.Ah, pria itu. Untuk sesaat, Irene sempat melupakannya karena serangan panik dan rasa kekhawatirannya akan janin itu. Bukan diselingkuhi, tapi menjadi selingkuhan. Bukan sekadar berpacaran, tapi mereka sudah menikah. Tidak ada pembelaan, Keenan malah menciut di depan istrinya.Irene kehilangan harapan lagi.Namun entah kenapa, ia tidak bisa menangis. Apakah ini berarti perasaan yang sempat hidup karena Keenan, sudah mati seketika kembali?Irene menunduk dan meletakkan tangannya di perut. Tidak ada harapan lagi untuk janin ini. Dia harus—Srak!“Eh? Sudah siuman?”Irene menoleh dengan cepat ke arah pria yang tiba-tiba menyibai tirai brankarnya. Pria itu memakai kemeja berwarna hitam yang digulung sampai siku yang sisi bawah

  • Skandal Panas: Pernikahan Palsu Bersama Direktur   BAB 4

    Bau antiseptik yang tercampur dengan bau pahit obat mengusik ujung hidung Irene. Kepalanya masih terasa nyeri, tetapi pernapasannya sudah lebih ringan. Irene juga merasa seperti ada aliran udara masuk melalui lubang hidungnya.Matanya bergerak perlahan dan akhirnya terbuka. Cahaya yang menyorot membuatnya sejenak berpikir, apakah aku sudah mati?. Namun, langit-langit tinggi berwarna kebiruan dan suara riuh-rendah di sekitar meyakinkan Irene kalau ini bukan surga, melainkan hanya Unit Gawat Darurat sebuah rumah sakit.Irene menoleh. Di sekeliling ranjangnya ditutupi oleh tirai berwarna putih. Entah ini memang prosedur dari rumah sakit atau memang mereka menyadari siapa Irene. Oh, iya, omong-omong kenapa dia bisa berada di sini?Irene baru ingin mengangkat tangannya ketika tirai itu terbuka. Seorang dokter wanita terlihat sedikit terkejut ketika melihat Irene sudah sadar. Ia pun mendekati brankarnya.“Anda sudah sadar? Bagaimana keadaan Anda? Apa ada yang tidak nyaman?” tanya dokter itu

  • Skandal Panas: Pernikahan Palsu Bersama Direktur   BAB 3

    Irene membanting pintu mobilnya sebelum menarik napas panjang. Namun anehnya, sebanyak apa pun udara yang ia hirup, itu tidak membuat rasa sesak di dadanya berkurang. Justru rasanya semakin menghimpit, sampai Irene tidak menyadari bahwa telapak tangannya tergores oleh kukunya sendiri yang tergenggam erat.Biasanya Irene adalah tipe yang sangat bisa mengendalikan diri. Mau sebesar apa gejolak emosinya, ia selalu bisa mempertahankan wajah tegas yang dihiasi senyum anggun. Namun tidak kali ini. Aura Ayudira mendominasi, ditambah Keenan yang sama sekali tak berkutik. Irene merasa dipojokkan walaupun faktanya bukan hanya dirinya yang salah di sana.“Gila....” Irene menjedotkan dahinya ke setir berkali-kali, berharap itu bisa menghilangkan rasa sakitnya. “Kenapa....”Kenapa ini harus terjadi padanya? Kenapa Keenan begitu jahat? Kenapa Tuhan tidak adil? Dan begitu banyak kenapa yang berputar di otaknya.Irene pikir, Keenan adalah akhir penantiannya akan kebahagiaan. Namun ternyata, pria itu

  • Skandal Panas: Pernikahan Palsu Bersama Direktur   BAB 2

    Irene yakin telah mendengar sesuatu, tapi entah kenapa kepalanya mendadak kosong. Apakah benar dirinya sudah menjadi bodoh—seperti yang Ayudira katakan?“Apa?” Di antara ribuan pertanyaan di kepalanya, hanya itu yang bisa Irene ucapkan.“Apa kamu baru paham kalau Keenan sendiri yang bilang?”Mendengar nama Keenan, Irene refleks menoleh ke arah pria yang terus diam sedari tadi. Tidak seperti biasanya, Keenan hanya duduk kaku di kursinya dengan punggung yang tegak. Kedua tangannya berada di atas paha dan kepalanya tertunduk. Aura dominan yang biasanya kental itu sirna sudah, seolah telah tersedot oleh Ayudira yang duduk di sebelahnya. Irene menggeleng, semua sikapnya itu sudah cukup menjadi jawaban.Namun tetap saja, Irene butuh penjelasan.“Mas... ini gak benar, kan?”Irene melihat Keenan menelan air liurnya. “Maaf, Rene.”Napas Irene tercekat di tenggorokannya. Matanya sudah panas, tapi ia menahan diri agar tidak menangis. “Sejak kapan?”“Dua tahun yang lalu.”Dan mereka bertemu setah

  • Skandal Panas: Pernikahan Palsu Bersama Direktur   BAB 1

    Positif.Tangan Irene bergetar melihat satu garis yang muncul samar di sebelah garis lainnya. Ia menghela napas panjang, lalu menjatuhkan benda itu ke lantai—membuatnya ikut bergabung dengan 3 benda serupa lainnya di sana. Irene mengusap wajahnya dengan kedua tangan, seharusnya ia sudah menduga ini akan terjadi.Hari itu, Irene memang merasa seperti bukan dirinya. Ya, dirinya yang penuh perhitungan, perhatian cermat, dan agak keras. Malam itu, Irene terbuai oleh bujuk rayu kekasihnya untuk menyerahkan pengalaman pertamanya. Ditambah dengan pengaruh alkohol, lengkap sudah kebodohan Irene.Irene menurunkan tangannya dan melihat kembali empat testpack yang berserakan di lantai. Ketika merasa tubuhnya ada yang aneh, hal pertama yang ia lakukan adalah memeriksa jadwal menstruasinya. Benar saja, itu sudah telat sembilan hari. Dengan implusif, Irene pun segera pergi ke apotek yang berada di depan apartemennya, dan membeli lima buah testpack sekaligus.Kali ini, tatapan Irene berpindah pada s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status