Bau antiseptik yang tercampur dengan bau pahit obat mengusik ujung hidung Irene. Kepalanya masih terasa nyeri, tetapi pernapasannya sudah lebih ringan. Irene juga merasa seperti ada aliran udara masuk melalui lubang hidungnya.
Matanya bergerak perlahan dan akhirnya terbuka. Cahaya yang menyorot membuatnya sejenak berpikir, apakah aku sudah mati?. Namun, langit-langit tinggi berwarna kebiruan dan suara riuh-rendah di sekitar meyakinkan Irene kalau ini bukan surga, melainkan hanya Unit Gawat Darurat sebuah rumah sakit.
Irene menoleh. Di sekeliling ranjangnya ditutupi oleh tirai berwarna putih. Entah ini memang prosedur dari rumah sakit atau memang mereka menyadari siapa Irene. Oh, iya, omong-omong kenapa dia bisa berada di sini?
Irene baru ingin mengangkat tangannya ketika tirai itu terbuka. Seorang dokter wanita terlihat sedikit terkejut ketika melihat Irene sudah sadar. Ia pun mendekati brankarnya.
“Anda sudah sadar? Bagaimana keadaan Anda? Apa ada yang tidak nyaman?” tanya dokter itu lembut. Ia juga memeriksa selang infus dan oksigen Irene.
“Lebih baik, Dok,” jawab Irene lemah.
“Ada mengalami gejala tipes dan malnutrisi. Sepertinya Anda juga memiliki stres yang cukup parah belakangan ini. Apa benar begitu?”
Irene terdiam sejenak. Ada yang lebih penting daripada soal keadaan tubuhnya sendiri, tapi... ia masih enggan untuk bertanya. “Iya, Dok,” akhirnya, hanya itu yang bisa Irene ucapkan.
“Saya akan meresepkan beberapa vitamin dan antibiotik untuk Anda. Selain itu, Anda juga diperbolehkan pulang setelah infusnya habis.”
Dokter itu masih berkata dengan sangat ramah, tanpa ada prasangka apa pun. Namun, Irene tetap merasa waspada. Ada sebuah ketakutan kecil di dalam hatinya. Kepalanya tertunduk, menatap tautan tangannya di pangkuan.
“Dan janin Anda sehat,” lanjut dokter itu, membuat Irene dengan cepat mengangkat kepalanya.
“Walaupun tergolong lemah, dia masih bisa bertahan.” Dokter itu meraih tangan Irene dan mengusapnya pelan. “Dia kuat kayak bundanya.”
Mata Irene mengerjap. Kelegaan luar biasa memenuhi dadanya, seperti beban berat itu baru saja terangkat. Tangannya refleks mengusap perutnya sendiri. Dia masih hidup... dia masih kuat....
“Terima kasih, Dok...,” ucap Irene pelan.
Dokter itu mengangguk. “Anda bisa istirahat lagi. Saya akan datang sekitar setengah jam lagi untuk memeriksa infusnya.”
Sebelum dokter itu berbalik badan, Irene menahannya, “Anu, Dok...”
“Ya?”
“Itu... soal... hm... saya....” Irene sangat ragu untuk bertanya. Ia khawatir kalau itu terdengar seperti orang narsis. “Identitas saya....”
“Ah....” Dokter itu sepertinya paham apa yang Irene ingin tanyakan. Wanita itu kembali tersenyum. “Rumah Sakit Dashar sangat mengutamakan kenyaman pasien, termasuk soal privasinya. Jadi, Anda tidak perlu khawatir.”
Seperti yang Irene duga, dokter itu sudah mengetahui siapa dirinya. Itu sudah terlihat sejak Irene menyadari kalau dokter itu tidak menanyakan namanya lebih dulu. Senyum sang dokter membuatnya jadi lebih lega.
“Orang yang mengantar Anda pun salah satu kenalan dokter kami, jadi Anda bisa beristirahat dengan tenang setelah ini,” lanjut sang dokter.
Benar juga. Irene melupakan seseorang yang menolongnya. Ia tidak mungkin jalan ke rumah sakit sendirian di tengah rasa sakit itu, kan.
“Maaf, Dok. Kira-kira di mana saya bisa pinjam telepon, ya? Saya mau menghubungi teman saya untuk minta jemput,” tanya Irene. Ia tidak melihat tasnya di sini, jadi kemungkinan besar masih tertinggal di mobil.
“Anda bisa coba ke resepsionis. Ah, tapi jangan langsung ke sana. Anda masih harus berbaring sebentar lagi. Setidaknya... sekitar 15 menit lagi.”
Irene mengangguk. Ia juga meminta dokter itu melepas oksigennya karena sudah merasa lebih baik. Setelah dokter itu pergi, Irene berbaring lagi. Mungkin karena sudah terlalu lama pingsan, Irene jadi tak bisa memejamkan matanya. Ia terus berkali-kali melirik jam tangannya. Harus tepat 15 menit.
Lima belas menit.
Irene bangun dari brankar sambil mendorong tiang infusnya. Untung saja ia sempat meminta masker, jadi setidaknya itu bisa menyamarkan sedikit wajahnya. Ia berjalan ke meja resepsionis yang tampak sangat sibuk.
“Permisi, boleh pinjam telepon? Kebetulan hape saya hilang, tapi saya mau telepon saudara saya,” ucap Irene sopan dan pelan.
“Boleh. Silakan di sebelah sana, Bu.”
Rumah sakit ini memang luar biasa. Selain dokternya tidak memiliki prasangka, perawat dan staf yang lainnya pun sangat ramah. Setidaknya, Irene bisa lebih tenang di sini.
Irene menghubungi nomor manajernya yang sudah dihapal di luar kepala. Pada dering ketiga, panggilan itu diangkat.
“Halo?” sapa Maudy, manajernya yang terdengar agak curiga.
“Dy, ini gue, Irene.”
“Irene?! Eh, anjir, lo di mana?! Gue teleponin dari tadi, tapi gak ada jawaban! Hape lo kemakan ikan hiu, hah?!” tanya Maudy menggebu-gebu dengan suara nyaris 2 oktaf.
Irene menghela napas. “Gue di rumah sakit.”
“HAH?!” Suara wanita itu melengking semakin tinggi. “KOK, BISA?!”
“Panjang ceritanya.” Irene menghela napas. “Intinya, mobil gue masi di jalan, entah di mana—gue lupa. Dompet sama hape gue di sana. Jadi, tolong cariin, ya. Derek aja gak apa-apa.”
“Gimana gue bisa derek kalau lo aja gak tau posisi mobilnya di mana....” sekarang, Irene yang mendengar helaan napas frustrasi dari Maudy. “Ya udah, ya udah, nanti gue cari. Lo di rumah sakit mana?”
Begitulah Maudy. Walaupun bawel dan ucapannya kadang ketus dan pedas, dia adalah salah satu manusia yang paling memahami Irene. Sudah hampir 10 tahun mereka bekerja bersama. Maudy adalah teman SMA Irene, yang kemudian diangkatnya menjadi manajer. Jadi, sepanjang apa pun Maudy mengoceh atau mengomel, Irene pasti akan mendengarkannya sampai habis.
Itu lebih baik daripada diabaikan sama sekali.
“Rumah Sakit Dashar. Gue—“
“REGANTARA DASHAR!”
Ucapan Irene terhenti gara-gara teriakan menggelegar itu. Bukan hanya dirinya yang sampai memutar kepala, tetapi staf dan pasien yang ada di sana pun ikut menoleh. Irene tidak bisa memastikan siapa yang berteriak itu, tapi langkah kaki yang terdengar menggebu-gebu itu seolah menggambarkan betapa emosinya pria itu.
Tapi... kok, suaranya gak asing, ya?
“Halo, Rene? Kenapa? Lo masih sakit? O-oke, gue jemput sekarang. Lima belas—“
“Gak apa-apa,” potong Irene, menyadari kepanikan Maudy. “Gak usah buru-buru. Gue udah gak apa-apa.”
“Serius?”
Irene masih melirik ke koridor. Entah kenapa ia jadi penasaran dengan pria yang berteriak tadi. “Hm. I’m okay.”
“And, cut! Nice!”Teriakan Koko, sutradara muda yang mengokestra film ‘Target’, mengakhiri tendangan Arunika—tokoh yang diperankan Irene—kepada salah satu pemeran figuran. Suara tepuk tangan dan pujian pun mengiringin, membuat Irene mau tidak mau membalasnya dengan senyuman. Irene juga mengucapkan terima kasih pada beberapa pemeran figuran yang ada di sana.“Seperti biasa, keren banget, Ren! Fix tahun ini bopong piala Citra lagi, dah!” Koko memujinya sambil memberi tepukan di bahu.“Di-aminin aja dulu,” jawab Irene santai. Siapa yang tidak mau mendapat penghargaan besar itu? Hanya saja, ia tidak mau memperlihatkan sisi ambisiusnya yang berlebihan.“Eh, tapi badan lu aman, kan? Katanya kemarin sempat demam sampai kram perut gitu.”“Biasa, Mas, lagi hari pertama,” Irene menjawab dengan agak berbisik di akhir
Irene keluar satu jam kemudian dengan mata yang merah dan sembab. Untung saja dia membawa topi dan kacamata, sehingga dia bisa menghindari tatapan warga yang berlalu lalang ingin ke ladang. Irene masuk ke mobil dengan tenang untuk mengantisipasi kecurigaan.Irene tidak langsung menyalakan mesin mobilnya. Ia menengadahkan kepala sambil memejamkan mata. Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya. Perlahan, tangannya mengusap perut, berharap ia bisa merasakan detak jantung kecil itu lagi.Maaf, ya. Saya belum bisa jadi ibu yang layak buat kamu....***Irene memastikan sekali lagi kalau penampilannya sudah jauh lebih baik sekarang melalui kamera depan ponselnya. Setelah melap wajahnya dengan tisu basah, Irene memakai sedikit consealer untuk menutupi sembab dan kemerahan pada kulitnya. Ia juga sudah mengganti kacamatanya dengan lensa kontak agar tidak menimbulkan kecurigaan lain. Setelah menarik napas
Di dalam ruang periksa yang sederhana itu, mata Irene bergerak gelisah menatap layar di sampingnya. Gambar hitam-putih itu sekilas hanya berbentuk abstrak yang bergerak pelan seraya tarikan napasnya. Ada setitik kecil di antara ruang hitam layar itu, seolah menggambarkan bagaimana perasaan Irene sekarang.“Bu Arini bisa lihat, kan?” Bu Kemala bertanya lembut sembari menggerakkan transduser ke perut Irene yang belum terlihat tonjolan berarti. “Dia sudah sebesar kacang polong sekarang.”Mata Irene berkedip. “Berapa... usianya sekarang?”Masih dengan tangan yang menggerakkan transduser dan mengamati janin Irene gambar dua dimensi itu di layar, Bu Kemala menjawab, “Kalau dari hasil data Bu Arini dan berkembangan janin, kira-kira sudah berusia enam atau tujuh minggu.”Ini adalah kali pertama Irene mengetahui usia janin yang dikandungnya—sama seperti kali pertama Irene
Bola mata hitam pekat itu bergulir ke kiri.Keadaan gak aman.Sekarang, dia bergerak ke sisi yang lain.Ah... di sini juga gak aman.Akhirnya, dia menatap ke depan.Sialan! Makin gak aman!“Aduh... kalian kenapa sih ngelihatin aku kayak gitu?!” Dante melenguh sambil meletakkan cangkir kopinya kembali ke meja. Padahal, dia hanya ingin menikmati pagi harinya yang damai ini tanpa kehadiran adik ipar menyebalkan itu—dibaca, Regan.Pria itu ada seminar di Singapura selama tiga hari, jadi Dante diminta untuk menjaga Poppy. Keadaan adiknya masih sangat payah di trimester awal ini, jadi Regan dengan berat hati tidak bisa mengajaknya. Oleh sebab itu Dante, Mami, dan Papi menginap di rumah mereka sejak kemarin.“Tuh kan, Pi. Kayaknya emang mustahil,” celetuk Mami tiba-tiba sambil masih menatap Dante dengan dahi berkerut.
Irene membuka matanya yang terasa sangat berat hari ini. Sudah tiga hari sejak pertemuannya dengan pria bernama Dante itu, tapi rumor itu masih belum mereda. Maudy dan agensinya sudah menangani bagian yang harus mereka tangani, dan pihak Rumah Sakit Dashar pun membuat pernyataan sikap untuk orang-orang penyebar rumor tak berdasar. Walaupun begitu, netizen seolah tidak punya telinga atau mata untuk semuanya.Itulah kenapa kadar stres Irene agak menumpuk belakangan ini. Terlebih, dua hari ini, ia harus melakukan adegan cukup ekstrem untuk film terbarunya yang memang bergenre aksi. Irene harus menahan segala kram perut dan rasa lelahnya agar tidak dicurigai siapa pun—termasuk Maudy. Hasilnya, tubuh Irene seperti habis ditindih sepuluh gajah dan hampir tak bisa digerakan.“Sialan....,” Irene mengumpat saat mencoba bangun dari kasur. Bagian terparah dari rasa nyeri itu ada di perut bagian bawahnya. Ini seperti sakit saat hari
Dante menghela napas, tahu persis apa yang dimaksud Irene. “Ayo, kita ngobrol di ruangan saya saja.”Irene datang ke tempat ini sama saja seperti sedang mempertaruhkan nyawanya. Ia memanfaatkan waktu jeda syuting beberapa jam untuk kembali ke Jakarta dan menemui seorang Dante Januar di gedung Dashar Group. Padahal, dirinya sendiri tidak yakin apakah Dante benar-benar karyawan di sini atau tidak, tapi nekat menemuinya bahkan sampai memakai nama asli dan alasan “urusan pribadi” ketika resepsionis bertanya.Irene mengikuti langkah pria itu menuju sebuah ruangan yang ada di ujung lorong. Tulisan “Legal Director” terpatri di depan pintunya. Ruangan itu tidak begitu luas, tapi tidak bisa juga dibilang sempit. Hanya saja, tumpukkan dokumen di meja kerja membuat suasananya agak sumpek. Terlebih, sepertinya pria itu memang sengaja tidak merapikan kertas-kertas itu.“Silakan duduk di sofa. Maaf b