Mendapati dirinya hamil ketika berada di puncak karier sebagai aktris adalah hal yang tidak pernah Irene bayangkan sebelumnya. Tentu saja ia panik dan takut, tetapi di satu sisi hatinya merasakan kehangatan yang asing. Apakah itu artinya dia bisa memulai keluarga yang utuh? Pikirnya sebelum skandal kehamilan di luar nikahnya ini tersebar di publik secara tiba-tiba. Terlebih, pria yang dikabarkan menjadi pasangannya bukanlah ayah kandung janin ini. Irene mencoba untuk menghentikan semuanya, tetapi asumsi netizen malah semakin liar. Jadi... inilah satu-satunya langkah terakhir yang harus Irene tempuh. Menghentikan skandal dengan skandal baru.
view morePositif.
Tangan Irene bergetar melihat satu garis yang muncul samar di sebelah garis lainnya. Ia menghela napas panjang, lalu menjatuhkan benda itu ke lantai—membuatnya ikut bergabung dengan 3 benda serupa lainnya di sana. Irene mengusap wajahnya dengan kedua tangan, seharusnya ia sudah menduga ini akan terjadi.
Hari itu, Irene memang merasa seperti bukan dirinya. Ya, dirinya yang penuh perhitungan, perhatian cermat, dan agak keras. Malam itu, Irene terbuai oleh bujuk rayu kekasihnya untuk menyerahkan pengalaman pertamanya. Ditambah dengan pengaruh alkohol, lengkap sudah kebodohan Irene.
Irene menurunkan tangannya dan melihat kembali empat testpack yang berserakan di lantai. Ketika merasa tubuhnya ada yang aneh, hal pertama yang ia lakukan adalah memeriksa jadwal menstruasinya. Benar saja, itu sudah telat sembilan hari. Dengan implusif, Irene pun segera pergi ke apotek yang berada di depan apartemennya, dan membeli lima buah testpack sekaligus.
Kali ini, tatapan Irene berpindah pada satu testpack yang belum terbuka. Sepertinya, percuma saja dia menggunakan yang terakhir, hasilnya pasti sama saja. Jalan selanjutnya adalah membicarakan hal ini dengan sang kekasih.
Irene menatap perutnya yang masih belum ada perbedaan. Di dalam sini... ada makhluk kecil yang mulai tumbuh. Entahlah... Irene tidak memahami apa yang dirasakannya. Sedih? Marah? Atau malah... bahagia?
Aku... gak sendiri lagi di tubuh ini....
Dirinya yang sudah lama memendam kesendirian, akhirnya bisa memiliki keluarga. Memang, ini bukan awal yang mulus, tetapi... mereka pasti bisa menjadi keluarga kecil yang normal, kan? Tidak seperti keluarganya yang tidak pernah utuh itu. Irene tidak pernah tahu siapa ibu kandungnya, dan ayahnya... meninggal ketika dia berusia enam tahun. Bibinya pun tak pernah memberikan kasih sayang sesungguhnya, hanya selalu memarahi dan memukul Irene.
“Mas Keenan adalah pria yang baik... dia pasti terima anak ini, kan?” Irene bergumam sambil masih mengusap perutnya.
Ting!
Satu pesan masuk.
Mas Keenan: [Irene, aku mau ngomong sesuatu]
Mas Keenan: [Temui aku di kafe Hotel Candrika, jam 10 besok]
Senyum Irene terbit. Telepatinya dengan Keenan ternyata begitu kuat. Pria itu pasti sangat merindukannya dan ingin segera menemuinya.
“Tapi... Mas Keenan mau ngomong sesuatu?” Irene membaca lagi sebaris kata itu.
Jangan-jangan....
Lamaran?
***
Irene menghentikan mobilnya di parkir basemen Hotel Candrika. Ia sudah meminta izin kepada manajernya untuk mengosongkan jadwal pagi ini, sehingga bisa bertemu dengan Keenan lebih santai. Lagi pula, Irene tidak mau menyita waktu Keenan terlalu lama. Pria itu adalah direktur kreatif di G Magazine—sebuah majalah fesyen online dan cetak terkenal. Satu detik waktu luangnya pasti sama berharganya dengan ribuan views konten yang harus dikejarnya.
Irene memastikan penampilannya sekali lagi melalui cermin di tengah mobil. Ia tidak mau terlihat mencolok, jadi hanya memakai celana jeans, kaus biru muda, yang dipadukan dengan sweater putih. Ia juga memakai kacamata minus berbingkai hitam juga topi baseball untuk penyamaran tambahan. Berterimakasihlah atas suksesnya drama terakhir yang dia bintangi, sehingga hampir tak ada orang di negeri ini yang tak mengenali dirinya.
Seingat Irene, kafe Hotel Chandrika berada di lantai dua. Jadi, dari basemen, Irene menaiki lift dan langsung memencet angka 2. Beruntungnya lift itu sedang sepi, jadi Irene tidak perlu merasa was-was. Turun dari lift, wanita itu melangkah menuju resepsionis dan menyebutkan nama Keenan. Ia pun dipandu ke sebuah meja yang berada agak pojok.
Sebenarnya, Irene tidak keberatan dengan hubungan yang disembunyikan begini. Walaupun berkali-kali ia meyakinkan Keenan kalau dirinya bisa menahan semua komentar buruk, tapi pria itu tetap tidak mau mempublikasikan hubungan mereka. Mungkin dengan kehadiran janin ini, pada akhirnya Keenan akan luluh. Bagaimanapun, Irene tidak mau pernikahannya terjadi secara rahasia.
Sembari menunggu, Irene sudah memesan secangkir Americano hangat. Ia sempat membaca semalam kalau ibu hamil masih boleh meminum kopi, hanya saja jangan terlalu sering. Ya... sepertinya ini adalah waktu yang tepat untuk mengurangi adiksinya terhadap minuman pahit itu.
Irene sudah mengirimkan pesan kalau dirinya sudah tiba sejak lima menit yang lalu, tapi tidak ada balasan dari Keenan. Mungkin pria itu masih menyetir. Ia pun kembali menunggu dengan sabar. Ini bukan kali pertamanya dia menunggu Keenan, meskipun jadwalnya tidak kalah sibuk. Pernah sekali Irene menunggu sampai satu jam karena pria itu masih rapat.
“Irene.”
Panggilan itu membuat Irene mengangkat pandangannya dari ponsel. Senyum di balik topi itu langsung melebar begitu mengetahui siapa pemilik suara itu. Namun hanya beberapa detik, sampai matanya menatap sosok lain yang berdiri di samping Keenan.
Perlahan, Irene berdiri dari kursi. Matanya masih menatap Keenan dan wanita itu bergantian. Wanita itu terlalu muda untuk dikatakan ibunya Keenan, dan terlalu dewasa kalau disebut sebagai adiknya. Penampilannya terlihat elegan dengan dress berwarna krem dengan bros berlabel C. Tangannya memegang tas kulit hitam yang Irene tahu persis berapa harganya. Intinya, wanita ini dilapisi barang mewah dari atas sampai bawah.
“Dia... siapa, Mas?” tanya Irene pelan, penuh kebingungan.
“Mari kita duduk dulu,” Keenan menjawab dengan cepat, bahkan Iren bisa merasakan kepanikannya.
Hal yang lebih mencengangkan pun terjadi. Keenan menarik kursi untuk wanita itu, sebelum dirinya juga duduk. Irene kehabisan kata. Aroma kopi yang kuat di depannya pun seakan menghilang begitu saja.
“Mas, apa maksudnya?” tanya Irene langsung. Pikirnya, tidak ada waktu untuk berbasa-basi sementara di depan matanya sudah terjadi sesuatu.
“Irene, jadi begini—“
“Sudah berapa lama kamu berhubungan sama Keenan?” sebelum Keenan menyelesaikan ucapannya, wanita itu menyambar lebih dulu.
Pandangan Irene pun teralihkan. “Kenapa saya harus menjawab pertanyaan Anda?”
Satu sudut bibir wanita itu terangkat. “Oh, maaf, saya lupa memperkenalkan diri.” Dia pun merogoh tas mahalnya itu, lalu menggeser satu kartu nama ke hadapan Irene. “Perkenalkan, saya Ayudira Teresa Greg, desainer....”
Irene membaca nama di kartu itu tanpa mengangkatnya. Tertulis di sana kalau Ayudira adalah seorang kepala desainer untuk brand Giselle—brand yang terkenal dengan gaun-gaun dan tuxedo mewahnya. “Greg” merupakan nama keluarga yang tak biasa dan tentu saja ia mengenal betul siapa mereka. Keluarga itu hampir menguasai bidang fesyen di negara ini, termasuk G Magazine tempat Keenan bekerja.
Namun... apa hubungan semua ini? Apakah Keenan melakukan kesalahan dan salah satu keluarga Greg ini sedang mengadu padanya?
“Oh, mungkin kamu juga belum paham, ya? Maaf, saya kira kamu orang pintar,” suara Ayudira yang agak mengejek itu membuat alis Irene berkerut. Namun sebelum sempat membalas, wanita itu kembali berucap, “Saya putri bungsu Brandon Greg, pemilik G Magazine, dan juga istri dari Keenan Djatmiko.”
“And, cut! Nice!”Teriakan Koko, sutradara muda yang mengokestra film ‘Target’, mengakhiri tendangan Arunika—tokoh yang diperankan Irene—kepada salah satu pemeran figuran. Suara tepuk tangan dan pujian pun mengiringin, membuat Irene mau tidak mau membalasnya dengan senyuman. Irene juga mengucapkan terima kasih pada beberapa pemeran figuran yang ada di sana.“Seperti biasa, keren banget, Ren! Fix tahun ini bopong piala Citra lagi, dah!” Koko memujinya sambil memberi tepukan di bahu.“Di-aminin aja dulu,” jawab Irene santai. Siapa yang tidak mau mendapat penghargaan besar itu? Hanya saja, ia tidak mau memperlihatkan sisi ambisiusnya yang berlebihan.“Eh, tapi badan lu aman, kan? Katanya kemarin sempat demam sampai kram perut gitu.”“Biasa, Mas, lagi hari pertama,” Irene menjawab dengan agak berbisik di akhir
Irene keluar satu jam kemudian dengan mata yang merah dan sembab. Untung saja dia membawa topi dan kacamata, sehingga dia bisa menghindari tatapan warga yang berlalu lalang ingin ke ladang. Irene masuk ke mobil dengan tenang untuk mengantisipasi kecurigaan.Irene tidak langsung menyalakan mesin mobilnya. Ia menengadahkan kepala sambil memejamkan mata. Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya. Perlahan, tangannya mengusap perut, berharap ia bisa merasakan detak jantung kecil itu lagi.Maaf, ya. Saya belum bisa jadi ibu yang layak buat kamu....***Irene memastikan sekali lagi kalau penampilannya sudah jauh lebih baik sekarang melalui kamera depan ponselnya. Setelah melap wajahnya dengan tisu basah, Irene memakai sedikit consealer untuk menutupi sembab dan kemerahan pada kulitnya. Ia juga sudah mengganti kacamatanya dengan lensa kontak agar tidak menimbulkan kecurigaan lain. Setelah menarik napas
Di dalam ruang periksa yang sederhana itu, mata Irene bergerak gelisah menatap layar di sampingnya. Gambar hitam-putih itu sekilas hanya berbentuk abstrak yang bergerak pelan seraya tarikan napasnya. Ada setitik kecil di antara ruang hitam layar itu, seolah menggambarkan bagaimana perasaan Irene sekarang.“Bu Arini bisa lihat, kan?” Bu Kemala bertanya lembut sembari menggerakkan transduser ke perut Irene yang belum terlihat tonjolan berarti. “Dia sudah sebesar kacang polong sekarang.”Mata Irene berkedip. “Berapa... usianya sekarang?”Masih dengan tangan yang menggerakkan transduser dan mengamati janin Irene gambar dua dimensi itu di layar, Bu Kemala menjawab, “Kalau dari hasil data Bu Arini dan berkembangan janin, kira-kira sudah berusia enam atau tujuh minggu.”Ini adalah kali pertama Irene mengetahui usia janin yang dikandungnya—sama seperti kali pertama Irene
Bola mata hitam pekat itu bergulir ke kiri.Keadaan gak aman.Sekarang, dia bergerak ke sisi yang lain.Ah... di sini juga gak aman.Akhirnya, dia menatap ke depan.Sialan! Makin gak aman!“Aduh... kalian kenapa sih ngelihatin aku kayak gitu?!” Dante melenguh sambil meletakkan cangkir kopinya kembali ke meja. Padahal, dia hanya ingin menikmati pagi harinya yang damai ini tanpa kehadiran adik ipar menyebalkan itu—dibaca, Regan.Pria itu ada seminar di Singapura selama tiga hari, jadi Dante diminta untuk menjaga Poppy. Keadaan adiknya masih sangat payah di trimester awal ini, jadi Regan dengan berat hati tidak bisa mengajaknya. Oleh sebab itu Dante, Mami, dan Papi menginap di rumah mereka sejak kemarin.“Tuh kan, Pi. Kayaknya emang mustahil,” celetuk Mami tiba-tiba sambil masih menatap Dante dengan dahi berkerut.
Irene membuka matanya yang terasa sangat berat hari ini. Sudah tiga hari sejak pertemuannya dengan pria bernama Dante itu, tapi rumor itu masih belum mereda. Maudy dan agensinya sudah menangani bagian yang harus mereka tangani, dan pihak Rumah Sakit Dashar pun membuat pernyataan sikap untuk orang-orang penyebar rumor tak berdasar. Walaupun begitu, netizen seolah tidak punya telinga atau mata untuk semuanya.Itulah kenapa kadar stres Irene agak menumpuk belakangan ini. Terlebih, dua hari ini, ia harus melakukan adegan cukup ekstrem untuk film terbarunya yang memang bergenre aksi. Irene harus menahan segala kram perut dan rasa lelahnya agar tidak dicurigai siapa pun—termasuk Maudy. Hasilnya, tubuh Irene seperti habis ditindih sepuluh gajah dan hampir tak bisa digerakan.“Sialan....,” Irene mengumpat saat mencoba bangun dari kasur. Bagian terparah dari rasa nyeri itu ada di perut bagian bawahnya. Ini seperti sakit saat hari
Dante menghela napas, tahu persis apa yang dimaksud Irene. “Ayo, kita ngobrol di ruangan saya saja.”Irene datang ke tempat ini sama saja seperti sedang mempertaruhkan nyawanya. Ia memanfaatkan waktu jeda syuting beberapa jam untuk kembali ke Jakarta dan menemui seorang Dante Januar di gedung Dashar Group. Padahal, dirinya sendiri tidak yakin apakah Dante benar-benar karyawan di sini atau tidak, tapi nekat menemuinya bahkan sampai memakai nama asli dan alasan “urusan pribadi” ketika resepsionis bertanya.Irene mengikuti langkah pria itu menuju sebuah ruangan yang ada di ujung lorong. Tulisan “Legal Director” terpatri di depan pintunya. Ruangan itu tidak begitu luas, tapi tidak bisa juga dibilang sempit. Hanya saja, tumpukkan dokumen di meja kerja membuat suasananya agak sumpek. Terlebih, sepertinya pria itu memang sengaja tidak merapikan kertas-kertas itu.“Silakan duduk di sofa. Maaf b
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments