Irene membanting pintu mobilnya sebelum menarik napas panjang. Namun anehnya, sebanyak apa pun udara yang ia hirup, itu tidak membuat rasa sesak di dadanya berkurang. Justru rasanya semakin menghimpit, sampai Irene tidak menyadari bahwa telapak tangannya tergores oleh kukunya sendiri yang tergenggam erat.
Biasanya Irene adalah tipe yang sangat bisa mengendalikan diri. Mau sebesar apa gejolak emosinya, ia selalu bisa mempertahankan wajah tegas yang dihiasi senyum anggun. Namun tidak kali ini. Aura Ayudira mendominasi, ditambah Keenan yang sama sekali tak berkutik. Irene merasa dipojokkan walaupun faktanya bukan hanya dirinya yang salah di sana.
“Gila....” Irene menjedotkan dahinya ke setir berkali-kali, berharap itu bisa menghilangkan rasa sakitnya. “Kenapa....”
Kenapa ini harus terjadi padanya? Kenapa Keenan begitu jahat? Kenapa Tuhan tidak adil? Dan begitu banyak kenapa yang berputar di otaknya.
Irene pikir, Keenan adalah akhir penantiannya akan kebahagiaan. Namun ternyata, pria itu adalah awal segala petaka baru bagi Irene.
Padahal, baru sebentar ia merasakan bagaimana menjadi wanita paling bahagia di Bumi. Kariernya sedang berada di atas, dia mempunyai seorang pria yang—dia kira—mencintainya, dan sebentar lagi dia pun akan menyandang status baru sebagai ibu.
Irene masih menyandarkan dahinya di setir. Pandangannya turun ke arah perutnya yang mulai terasa nyeri sejak turun dari lift tadi. Apakah janin ini harus mengalami hal yang sama sepertinya? Tidak diinginkan, diabaikan, dan dikucilkan...
“Maaf....”
Entah kepada siapa Irene meminta maaf—apakah untuk si jabang bayi atau dirinya sendiri. Dia sangat mendambakan kebahagiaan, tapi pada akhirnya hanya membuat dirinya sendiri mengharapkan hal kosong. Dia merasa malu.
“Maaf....” Kali ini, suara Irene mulai bergetar. Setetes air mata meluncur sebagai pembuka, sebelum semakin deras dan mengaburkan pandangannya.
Tangis, kecewa, rasa sakit yang ditahannya sedari tadi pun tumpah. Untuk sekarang, tidak ada Irene Gabriella, seorang aktris papan atas yang disebut sebagai jenius akting. Sosok yang ada di dalam mobil hitam ini hanyalah seorang wanita rapuh dengan segala bebannya. Di balik semua gemerlapnya itu, Irene tidak lebih dari sebuah batu yang kesepian.
Hampir setengah jam Irene habiskan menangis keras di dalam mobil. Masih di tempat yang sama, parkir basemen Hotel Chandrika. Seluruh energinya sudah terkuras menjadi air mata, meski begitu perutnya masih terasa kram. Irene memang pernah membaca kalau kram adalah hal yang wajar dialami ibu hamil, tapi kalau sudah seperti ini... apakah masih wajar?
Dengan sisa kesadarannya, Irene menyalakan mesin mobil dan keluar dari area parkir. Ia bahkan tidak mau repot-repot memperbaiki riasan atau sekadar mengusap air matanya. Hal yang ia pikirkan hanyalah ingin cepat sampai ke apartemennya dan berbaring. Mungkin sebelum itu, ia bisa mampir ke apotek untuk membeli obat pereda nyeri.
Padahal jam makan sian sudah berlalu, tapi jalanan ibu kota masih sama padatnya. Irene semakin tersiksa di dalam mobil. Kepala dan perutnya berdenyut bergantian, menimbulkan rasa nyeri yang tak bisa ia deskripsikan. Sambil terus meringis, Irene berusaha mengendarai mobil, walaupun sesekali harus melepaskan satu tangan untuk mengusap perut bagian bawahnya.
Tiin!
Itu bukan klakson pertama yang Irene dapatkan hari ini. Beberapa kali mobilnya oleng dan hampir menabrak pengendara lain. Ia juga bisa melihat ekspresi kesal pengendara motor yang hampir disenggolnya.
Rasanya semakin menusuk. Irene tak tahan lagi. Entah di mana posisinya sekarang, ia pun membanting stirnya ke kiri dengan kasar. Masa bodoh dengan posisi mobil yang menghalangi jalan atau tidak. Fokusnya hanya berpusat pada perutnya yang sakit.
“Gak mungkin, kan....” Gak mungkin kalau aku harus kehilangan dia secepat ini, kan? Hati kecil Irene melirih.
Ini... baru sehari mereka berkenalan.
“Please.... jangan....” Suara Irene bergetar. Satu tangannya menggenggam setir dengan erat sampai buku jarinya memutih, sedangkan tangan yang lain berusaha mencari ponselnya di tas untuk menghubungi sang manajer.
Di tengah kepanikan itu, tangan Irene menjadi gemetaran. Ponselnya meluncur bebas ke bawah sebelum ia menekan satu nomor pun. Rasa panik Irene bertambah besar, sehingga membuat dadanya berdebar keras. Sesak itu kembali muncul. Ia merasa seolah mobil ini menyempit dan mulai menghimpitnya dari segala arah.
“Sakit... t-tolong....”
Irene tidak tahu rasa sakit apa yang harus menjadi prioritasnya. Sakit di kepalanya, rasa sesaknya, atau kram di perutnya. Seluruh tubunya mendingin, seakan sedang menanti ajal menjemput. Bahkan ia sudah melihat sesosok tinggi berdiri di samping mobilnya.
Ah... jadi beginilah cara aku mati...
Tok! Tok!
“Permisi! Mas? Mbak? Mobilnya ada masalah?”
Dalam pandangannya yang memburam, samar-samar Irene mendengar suara dari luar. Sepertinya malaikat maut itu sedang berteriak sangat keras.
“Mas! Mobilnya ngalangin jalan, nih! Kalau mau parkir, parkir paralel aja, jangan begini!” Malaikat itu masih mengomel, kali ini sambil mengetuk-ketuk kaca jendelanya.
Baiklah... biarpun itu malaikat maut, setidaknya aku gak bakal mati membusuk di mobil ini sendirian..., itulah pikiran gila terakhir Irene sebelum mengulurkan tangannya yang gemetar, Ia menekan tombol untuk menurunkan kaca jendela.
“Mas, mobilnya—eh, mbak ternyata.”
Untuk ukuran malaikat maut, dia sopan juga dan... ganteng....
“E-eh, Mbak! Mbak! Kok, pingsan?! Mbak—“
Tiiiin!
Klakson panjang itu bersamaan dengan kepala Irene yang terjatuh di atas stir mobilnya.
“And, cut! Nice!”Teriakan Koko, sutradara muda yang mengokestra film ‘Target’, mengakhiri tendangan Arunika—tokoh yang diperankan Irene—kepada salah satu pemeran figuran. Suara tepuk tangan dan pujian pun mengiringin, membuat Irene mau tidak mau membalasnya dengan senyuman. Irene juga mengucapkan terima kasih pada beberapa pemeran figuran yang ada di sana.“Seperti biasa, keren banget, Ren! Fix tahun ini bopong piala Citra lagi, dah!” Koko memujinya sambil memberi tepukan di bahu.“Di-aminin aja dulu,” jawab Irene santai. Siapa yang tidak mau mendapat penghargaan besar itu? Hanya saja, ia tidak mau memperlihatkan sisi ambisiusnya yang berlebihan.“Eh, tapi badan lu aman, kan? Katanya kemarin sempat demam sampai kram perut gitu.”“Biasa, Mas, lagi hari pertama,” Irene menjawab dengan agak berbisik di akhir
Irene keluar satu jam kemudian dengan mata yang merah dan sembab. Untung saja dia membawa topi dan kacamata, sehingga dia bisa menghindari tatapan warga yang berlalu lalang ingin ke ladang. Irene masuk ke mobil dengan tenang untuk mengantisipasi kecurigaan.Irene tidak langsung menyalakan mesin mobilnya. Ia menengadahkan kepala sambil memejamkan mata. Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya. Perlahan, tangannya mengusap perut, berharap ia bisa merasakan detak jantung kecil itu lagi.Maaf, ya. Saya belum bisa jadi ibu yang layak buat kamu....***Irene memastikan sekali lagi kalau penampilannya sudah jauh lebih baik sekarang melalui kamera depan ponselnya. Setelah melap wajahnya dengan tisu basah, Irene memakai sedikit consealer untuk menutupi sembab dan kemerahan pada kulitnya. Ia juga sudah mengganti kacamatanya dengan lensa kontak agar tidak menimbulkan kecurigaan lain. Setelah menarik napas
Di dalam ruang periksa yang sederhana itu, mata Irene bergerak gelisah menatap layar di sampingnya. Gambar hitam-putih itu sekilas hanya berbentuk abstrak yang bergerak pelan seraya tarikan napasnya. Ada setitik kecil di antara ruang hitam layar itu, seolah menggambarkan bagaimana perasaan Irene sekarang.“Bu Arini bisa lihat, kan?” Bu Kemala bertanya lembut sembari menggerakkan transduser ke perut Irene yang belum terlihat tonjolan berarti. “Dia sudah sebesar kacang polong sekarang.”Mata Irene berkedip. “Berapa... usianya sekarang?”Masih dengan tangan yang menggerakkan transduser dan mengamati janin Irene gambar dua dimensi itu di layar, Bu Kemala menjawab, “Kalau dari hasil data Bu Arini dan berkembangan janin, kira-kira sudah berusia enam atau tujuh minggu.”Ini adalah kali pertama Irene mengetahui usia janin yang dikandungnya—sama seperti kali pertama Irene
Bola mata hitam pekat itu bergulir ke kiri.Keadaan gak aman.Sekarang, dia bergerak ke sisi yang lain.Ah... di sini juga gak aman.Akhirnya, dia menatap ke depan.Sialan! Makin gak aman!“Aduh... kalian kenapa sih ngelihatin aku kayak gitu?!” Dante melenguh sambil meletakkan cangkir kopinya kembali ke meja. Padahal, dia hanya ingin menikmati pagi harinya yang damai ini tanpa kehadiran adik ipar menyebalkan itu—dibaca, Regan.Pria itu ada seminar di Singapura selama tiga hari, jadi Dante diminta untuk menjaga Poppy. Keadaan adiknya masih sangat payah di trimester awal ini, jadi Regan dengan berat hati tidak bisa mengajaknya. Oleh sebab itu Dante, Mami, dan Papi menginap di rumah mereka sejak kemarin.“Tuh kan, Pi. Kayaknya emang mustahil,” celetuk Mami tiba-tiba sambil masih menatap Dante dengan dahi berkerut.
Irene membuka matanya yang terasa sangat berat hari ini. Sudah tiga hari sejak pertemuannya dengan pria bernama Dante itu, tapi rumor itu masih belum mereda. Maudy dan agensinya sudah menangani bagian yang harus mereka tangani, dan pihak Rumah Sakit Dashar pun membuat pernyataan sikap untuk orang-orang penyebar rumor tak berdasar. Walaupun begitu, netizen seolah tidak punya telinga atau mata untuk semuanya.Itulah kenapa kadar stres Irene agak menumpuk belakangan ini. Terlebih, dua hari ini, ia harus melakukan adegan cukup ekstrem untuk film terbarunya yang memang bergenre aksi. Irene harus menahan segala kram perut dan rasa lelahnya agar tidak dicurigai siapa pun—termasuk Maudy. Hasilnya, tubuh Irene seperti habis ditindih sepuluh gajah dan hampir tak bisa digerakan.“Sialan....,” Irene mengumpat saat mencoba bangun dari kasur. Bagian terparah dari rasa nyeri itu ada di perut bagian bawahnya. Ini seperti sakit saat hari
Dante menghela napas, tahu persis apa yang dimaksud Irene. “Ayo, kita ngobrol di ruangan saya saja.”Irene datang ke tempat ini sama saja seperti sedang mempertaruhkan nyawanya. Ia memanfaatkan waktu jeda syuting beberapa jam untuk kembali ke Jakarta dan menemui seorang Dante Januar di gedung Dashar Group. Padahal, dirinya sendiri tidak yakin apakah Dante benar-benar karyawan di sini atau tidak, tapi nekat menemuinya bahkan sampai memakai nama asli dan alasan “urusan pribadi” ketika resepsionis bertanya.Irene mengikuti langkah pria itu menuju sebuah ruangan yang ada di ujung lorong. Tulisan “Legal Director” terpatri di depan pintunya. Ruangan itu tidak begitu luas, tapi tidak bisa juga dibilang sempit. Hanya saja, tumpukkan dokumen di meja kerja membuat suasananya agak sumpek. Terlebih, sepertinya pria itu memang sengaja tidak merapikan kertas-kertas itu.“Silakan duduk di sofa. Maaf b