Dante menghela napas, tahu persis apa yang dimaksud Irene. “Ayo, kita ngobrol di ruangan saya saja.”
Irene datang ke tempat ini sama saja seperti sedang mempertaruhkan nyawanya. Ia memanfaatkan waktu jeda syuting beberapa jam untuk kembali ke Jakarta dan menemui seorang Dante Januar di gedung Dashar Group. Padahal, dirinya sendiri tidak yakin apakah Dante benar-benar karyawan di sini atau tidak, tapi nekat menemuinya bahkan sampai memakai nama asli dan alasan “urusan pribadi” ketika resepsionis bertanya.
Irene mengikuti langkah pria itu menuju sebuah ruangan yang ada di ujung lorong. Tulisan “Legal Director” terpatri di depan pintunya. Ruangan itu tidak begitu luas, tapi tidak bisa juga dibilang sempit. Hanya saja, tumpukkan dokumen di meja kerja membuat suasananya agak sumpek. Terlebih, sepertinya pria itu memang sengaja tidak merapikan kertas-kertas itu.
“Silakan duduk di sofa. Maaf b
“And, cut! Nice!”Teriakan Koko, sutradara muda yang mengokestra film ‘Target’, mengakhiri tendangan Arunika—tokoh yang diperankan Irene—kepada salah satu pemeran figuran. Suara tepuk tangan dan pujian pun mengiringin, membuat Irene mau tidak mau membalasnya dengan senyuman. Irene juga mengucapkan terima kasih pada beberapa pemeran figuran yang ada di sana.“Seperti biasa, keren banget, Ren! Fix tahun ini bopong piala Citra lagi, dah!” Koko memujinya sambil memberi tepukan di bahu.“Di-aminin aja dulu,” jawab Irene santai. Siapa yang tidak mau mendapat penghargaan besar itu? Hanya saja, ia tidak mau memperlihatkan sisi ambisiusnya yang berlebihan.“Eh, tapi badan lu aman, kan? Katanya kemarin sempat demam sampai kram perut gitu.”“Biasa, Mas, lagi hari pertama,” Irene menjawab dengan agak berbisik di akhir
Irene keluar satu jam kemudian dengan mata yang merah dan sembab. Untung saja dia membawa topi dan kacamata, sehingga dia bisa menghindari tatapan warga yang berlalu lalang ingin ke ladang. Irene masuk ke mobil dengan tenang untuk mengantisipasi kecurigaan.Irene tidak langsung menyalakan mesin mobilnya. Ia menengadahkan kepala sambil memejamkan mata. Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya. Perlahan, tangannya mengusap perut, berharap ia bisa merasakan detak jantung kecil itu lagi.Maaf, ya. Saya belum bisa jadi ibu yang layak buat kamu....***Irene memastikan sekali lagi kalau penampilannya sudah jauh lebih baik sekarang melalui kamera depan ponselnya. Setelah melap wajahnya dengan tisu basah, Irene memakai sedikit consealer untuk menutupi sembab dan kemerahan pada kulitnya. Ia juga sudah mengganti kacamatanya dengan lensa kontak agar tidak menimbulkan kecurigaan lain. Setelah menarik napas
Di dalam ruang periksa yang sederhana itu, mata Irene bergerak gelisah menatap layar di sampingnya. Gambar hitam-putih itu sekilas hanya berbentuk abstrak yang bergerak pelan seraya tarikan napasnya. Ada setitik kecil di antara ruang hitam layar itu, seolah menggambarkan bagaimana perasaan Irene sekarang.“Bu Arini bisa lihat, kan?” Bu Kemala bertanya lembut sembari menggerakkan transduser ke perut Irene yang belum terlihat tonjolan berarti. “Dia sudah sebesar kacang polong sekarang.”Mata Irene berkedip. “Berapa... usianya sekarang?”Masih dengan tangan yang menggerakkan transduser dan mengamati janin Irene gambar dua dimensi itu di layar, Bu Kemala menjawab, “Kalau dari hasil data Bu Arini dan berkembangan janin, kira-kira sudah berusia enam atau tujuh minggu.”Ini adalah kali pertama Irene mengetahui usia janin yang dikandungnya—sama seperti kali pertama Irene
Bola mata hitam pekat itu bergulir ke kiri.Keadaan gak aman.Sekarang, dia bergerak ke sisi yang lain.Ah... di sini juga gak aman.Akhirnya, dia menatap ke depan.Sialan! Makin gak aman!“Aduh... kalian kenapa sih ngelihatin aku kayak gitu?!” Dante melenguh sambil meletakkan cangkir kopinya kembali ke meja. Padahal, dia hanya ingin menikmati pagi harinya yang damai ini tanpa kehadiran adik ipar menyebalkan itu—dibaca, Regan.Pria itu ada seminar di Singapura selama tiga hari, jadi Dante diminta untuk menjaga Poppy. Keadaan adiknya masih sangat payah di trimester awal ini, jadi Regan dengan berat hati tidak bisa mengajaknya. Oleh sebab itu Dante, Mami, dan Papi menginap di rumah mereka sejak kemarin.“Tuh kan, Pi. Kayaknya emang mustahil,” celetuk Mami tiba-tiba sambil masih menatap Dante dengan dahi berkerut.
Irene membuka matanya yang terasa sangat berat hari ini. Sudah tiga hari sejak pertemuannya dengan pria bernama Dante itu, tapi rumor itu masih belum mereda. Maudy dan agensinya sudah menangani bagian yang harus mereka tangani, dan pihak Rumah Sakit Dashar pun membuat pernyataan sikap untuk orang-orang penyebar rumor tak berdasar. Walaupun begitu, netizen seolah tidak punya telinga atau mata untuk semuanya.Itulah kenapa kadar stres Irene agak menumpuk belakangan ini. Terlebih, dua hari ini, ia harus melakukan adegan cukup ekstrem untuk film terbarunya yang memang bergenre aksi. Irene harus menahan segala kram perut dan rasa lelahnya agar tidak dicurigai siapa pun—termasuk Maudy. Hasilnya, tubuh Irene seperti habis ditindih sepuluh gajah dan hampir tak bisa digerakan.“Sialan....,” Irene mengumpat saat mencoba bangun dari kasur. Bagian terparah dari rasa nyeri itu ada di perut bagian bawahnya. Ini seperti sakit saat hari
Dante menghela napas, tahu persis apa yang dimaksud Irene. “Ayo, kita ngobrol di ruangan saya saja.”Irene datang ke tempat ini sama saja seperti sedang mempertaruhkan nyawanya. Ia memanfaatkan waktu jeda syuting beberapa jam untuk kembali ke Jakarta dan menemui seorang Dante Januar di gedung Dashar Group. Padahal, dirinya sendiri tidak yakin apakah Dante benar-benar karyawan di sini atau tidak, tapi nekat menemuinya bahkan sampai memakai nama asli dan alasan “urusan pribadi” ketika resepsionis bertanya.Irene mengikuti langkah pria itu menuju sebuah ruangan yang ada di ujung lorong. Tulisan “Legal Director” terpatri di depan pintunya. Ruangan itu tidak begitu luas, tapi tidak bisa juga dibilang sempit. Hanya saja, tumpukkan dokumen di meja kerja membuat suasananya agak sumpek. Terlebih, sepertinya pria itu memang sengaja tidak merapikan kertas-kertas itu.“Silakan duduk di sofa. Maaf b