Damien, pemilik Diamond Rose Hotel, hotel mewah dengan cabang internasional, terbangun dengan kaget. Jantungnya berdegup kencang saat dia menyadari keberadaan seorang wanita di sampingnya. Lily, seorang resepsionis dari cabang Amerika hotel tersebut, tengah tertidur pulas. Damien mengingatkan dirinya pada malam sebelumnya yang membingungkan, ketika nafsu mengambil alih saat wanita cantik itu mengatur hidangan di meja.
Dengan hati-hati, Damien berdiri, berusaha tidak membangunkan Lily, dan bergerak menuju handuk kimononya di seberang ruangan. Dia merasa bersalah karena mencampuradukkan urusan bisnis dengan kesenangan pribadinya, terutama dengan seorang karyawan. Damien memeriksa ponselnya, mengetahui bahwa sudah pukul 8 malam. Dia harus bertemu dengan Tyler, tetapi pertama, dia merasa perlu meminta maaf kepada Lily.
Damien menarik napas panjang, siap untuk menghadapi kemarahan dari karwayannya itu. Dengan hati-hati, dia membangunkan Lily. Wanita itu membuka mata dengan bingung, menyambut Damien dengan senyum lembut. "Selamat malam, Pak Damien" gumamnya dengan suara serak khas bangun tidur.
Damien tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Rasa bersalah, malu, dan kebingungan memenuhi dirinya. Lily duduk di tempat tidur, bertanya-tanya apa yang terjadi. "Ada apa, Pak Damien?" tanya Lily, kekhawatiran terdengar di suaranya.
Damien ingin meminta maaf, menjelaskan bahwa tindakan mereka salah, tetapi sebelum dia bicara, Lily tertawa. "Pak Damien, tidak perlu minta maaf. Seharusnya aku yang minta maaf. Aku tak seharusnya..." wanita itu terhenti, memalingkan wajahnya.
Reaksi Lily membuat Damien terkejut. Dia mengharapkan rasa malu atau kemarahan, bukan tawa. "Lily," ucap Damie pelan, "aku tidak percaya kita melakukannya."
Lily tersenyum, berdiri, dan mendekati Damien. "Pak Damien, aku sangat menikmati malam kita. Itu sesuatu yang membuat aku bahagia," katanya dengan suara mendayu-dayu. Dia menahan kata-katanya sejenak, mencari ekspresi yang tepat. "Aku tidak pernah bayangkan bahwa Pak Damien bisa begitu manis dan polos." Tambahnya dengan wajah merona.
Damien merasa hangat mendengar kata-katanya. "Lily," kata Damien dengan susah payah, "aku tidak bisa memperlakukanmu seperti ini."tambahnya dengan masih perasaan bersalah.
Lily tersenyum, matanya berkilau. "Oh, tapi kamu bisa," godanya lalu mengedipkan satu matanya dengan centil. "Dan mungkin Pak Damien harus terbiasa." Dia mendekat, mencium Damien dengan lembut. "Tahu tidak, Pak Damien, kamu tidak seburuk yang kamu kira."
Meskipun terkejut, Damien tidak bisa membantah kebenaran di balik kata-katanya. Dia selalu menganggap dirinya sebagai pria yang selalu fokus pada bisnis, tanpa waktu untuk hubungan pribadi. Tapi malam ini, dengan Lily, dia merasakan sesuatu yang tidak pernah dia alami sejak lama yaitu menumpahkan kepuasan gairah bagi seorang pria.
Lily menarik lembut tangan Damien, menuntun sang Presdir menuju meja yang telah di penuhi berbagai hidangan.
Damien hanya mengenakan bathrobe, sedangkan Lily masih tidak mengenakan apapun, terlihat sangat santai, dan tidak malu dengan kondisinya yang seperti itu.
Mereka duduk di kursi, tanpa perasaan canggung. Damien terpukau oleh kecantikan wanita di hadapannya. Kulit Lily bersinar di bawah terpaan cahaya lampu kristal, dan rambutnya mengalir di atas bahunya seperti air terjun. Dengan mahir, Lily menyajikan sepiring makanan untuk Damien, gerakannya anggun dan lembut. Meskipun tanpa busana, tindakan mereka tidak cabul atau provokatif, semuanya terasa alami, seakan mereka sudah terbiasa dalam situasi saat ini.
Damien mengambil piring dari tangan Lily, ujung jari mereka saling menyentuh, Damien terdiam memikirkan bagaimana dia bisa kelepasan seperti ini. Dia selalu menjadi pria yang menjaga kehidupan pribadi dan profesionalnya terpisah, tetapi tadi, dengan Lily di tempat tidurnya, dia merasakan sesuatu yang sudah lama dia lupakan, hasrat liar dan gairah yang meluap-luap.
Setelah selesai makan, keduanya membersihkan diri dan kembali mengenakan pakaian mereka. Lily memberikan ciuman hangat sebagai perpisahan, lalu meninggalkan kamar Damien sambil mendorong troli makanan yang tadi dia bawa. Damien mengantar Lily sampai di depan pintu kamarnya.
Damien menatap punggung Lily yang semakin menjauh, perasaannya campur aduk. Sebagian dari dirinya ingin Lily tetap tinggal, sementara bagian lainnya tahu bahwa ini seharusnya hanya terjadi satu kali saja.
Tyler yang baru kembali dari mengantar Miranda pulang terlihat muncul dari lift, memberikan senyuman ramah pada Lily saat mereka bertemu. Tangannya melambai ke arah Damien di depan pintu kamar. Senyum nakal terukir di wajah Tyler, menandakan bahwa dia bisa menebak apa yang telah terjadi antara Damien dan Lily di dalam kamar yang tadi terkunci.
Damien terlihat agak malu-malu dan sedikit terganggu ketika Tyler mendekatinya. Mereka bertukar sapaan, lalu Damien berbalik, memandang ke arah kamarnya. Rona merah samar melintas di pipinya.
“Jadi, Damien," kata Tyler dengan nada menggoda, mendekati sahabatnya. "Aku lihat pintumu terkunci tadi. Dan Lily keluar dari kamarmu. Jadi tolong jelaskan kedua hal itu?"
Damien bergeser tak nyaman di bawah tatapan tajam Tyler. "Um, dia cuma bawa makanan. Aku lapar," kilah Damien, menghindari kontak mata dengan Tyler.
Mata Tyler menyipit, dan ia tertawa. "Oh, come on, Bro. Aku kamu pikir aku bodoh dan percaya dengan alasanmu itu?" Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan senyum nakal, "Satu jam setengah kamarmu terkunci, dan kamu mengatakan jika dia hanya mengantar makanan?"
Damien tersipu malu, dia semakin sulit mencari alasan. "Yah... Maksudku... kami memang berciuman dan sebagainya," akunya dengan suara yang hampir tak terdengar. "Tapi kami tidak..."
Tyler tertawa lepas, “Aku nggak akan menghakimi,” ucapnya. Dia Ialu menepuk punggung Damien. "Jadi, bagaimana rasa resepsionis cantik itu?" tanya Tyler dengan tatapan nakalnya.
Damien ragu sejenak sebelum akhirnya menceritakan semuanya pada Tyler. "Itu... luar biasa," gumamnya, pipinya kembali merona.
"Dia sangat lihai, bentuk tubuhnya sangat Indah, dan…." Damien tidak melanjutkan ucapannya, dia melirik Tyler yang wajahnya kini bagai serigala kelaparan.
“Ah… sudahlah, ayo kita minum di kamarmu,” sambung Damien yang sontak membuat Tyler memohon agar Damien melanjutkan penjelasan.
“Bro, ceritakan lebih banyak! Ceritakan lebih banyak!” pinta Tyler.
“Sudah berengsek! Baru dua hari kita bertemu, aku sudah mulai gila sepertimu,” tukas Damien tajam kepada sahabatnya itu yang di sambut gelak tawa oleh Tyler.
Mereka berdua masuk ke kamar Tyler, menikmati beberapa botol wine mahal yang tadi Miranda bawa.
Pembicaraan tak lagi seputar aktivitas seks, di balkon teras kamar itu, mereka lebih banyak mengenang masa lalu, sambil menikmati wine di temani indahnya pemandangan pantai malam itu.
***
Esok harinya...
Pagi tiba, Damien perlahan membuka matanya, ingatannya dipenuhi oleh kenangan bersama Lily semalam. Ingatan itu membuatnya merasa bersalah dan kembali bergairah. Dia cepat-cepat melempar selimut dan bergegas ke kamar mandi, berusaha membersihkan pikirannya. Setelah mandi, dia mengenakan setelan jas mewahnya, hari ini dia sudah membuat janji bertemu dengan beberapa investor.
Saat berjalan menuju kantornya, dia tak bisa menghindari tatapan penuh antusias dari karyawan wanitanya. Dia memberi senyuman sopan, namun tatapan mereka membuatnya sedikit salah tingkah. Meskipun selalu sadar akan pesona dan ketampanannya, hari ini terasa lebih intens. Cara mereka menatap terasa sangat berbeda.
Pertemuan pertamanya hari itu dengan seorang calon investor paruh baya yang cerdas. Mereka berdiskusi tentang strategi bisnis dan proyeksi keuangan, dan Damien senang dengan kelancaran pertemuan tersebut. Saat hampir berakhir, sang investor menatap Damien dengan penuh perhatian.
"Anda kelihatan agak terganggu hari ini, Pak Damien," ucapnya dengan senyuman penuh pengertian. "Apa ada yang mengganggu pikiran anda?”
Damien tersentak kaget, pipinya sedikit memerah. Dia tidak mengira investor itu akan memperhatikan dirinya, "Um... tidak, Aku hanya fokus untuk memastikan kesepakatan ini berjalan lancar," ucapnya tergagap, berharap bisa meyakinkan pria tersebut.
Investor itu tertawa kecil. "Yah, bisa dimaklumi kalau ada beberapa hal yang bisa membuat kita terganggu." Dia berdiri, mengulurkan tangannya. "Aku akan segera menghubungi Anda dengan keputusan yang aku buat."
Damien mengantar pria itu ke pintu lobi, Damien menghela napas lega saat pria itu pergi.
Saat dia berjalan kembali ke hotel, matanya tertuju pada dua resepsionis cantik yang sedang bertugas. Tidak ada Lily di antara mereka, “Sepertinya Lily masuk shift sore hari ini,” gumam Damien dalam hati. Entah mengapa dia merasa sedikit kecewa karena bukan Lily yang berdiri di meja resepsionis.
Dan tiba-tiba jantung Damien berdegup kencang, dia seolah melihat dua resepsionis cantik di depannya berdiri tanpa busana. Dia mengerjap beberapa kali, mencoba menjernihkan penglihatannya, begitu membuka mata, kedua resepsionis itu kembali berpakaian lengkap mengenakan seragam kerja mereka. Ilusi itu hanya berlangsung singkat, namun membuatnya merasa kebingungan.
“Ah… sial… apa yang terjadi kepadaku,” gumam Damien pelan.
Salah satu resepsionis hotel berjalan menghampirinya, “Pak Damien, apa anda baik-baik saja?” tanya resepsionis bermata biru itu, yang khawatir melihat gelagat aneh Damien tadi.
“Ah… aku baik-baik saja, mungkin aku hanya sedikit lelah,” balas Damien tersenyum lembut sambil memijat keningnya sendiri.
Pzztt!
Bayangan serupa kembali muncul, resepsionis yang sedang berbicara dengannya sekilas terlihat tanpa busana, Damien menutup matanya, mengusap kedua kelopak matanya.
Resepsionis cantik itu memegang lengan Damien, menatap Damien dengan penuh perhatian, “Pak Damien, biar aku antar ke ruangan anda,” ucap resepsionis itu yang semakin mengkhawatirkan kondisi Damien.
Resepsionis cantik yang satunya datang menghampiri, ikut memegang lengan Damien.
“Terima kasih, mungkin aku sedikit lelah… umm… bisakah kita menggunakan lift yang berada di bagian belakang?” ucap Damien. Meminta agar menggunakan lift yang jarang di gunakan karyawan apalagi tamu hotel.
Kedua resepsionis cantik itu mengangguk pelan, mereka mengantar Damien menuju lift yang berada di bagian belakang hotel itu.
Damien mengucap terima kasih ke salah satu resepsionis yang harus kembali berjaga, dia lalu melangkahkan kakinya masuk ke dalam lift bersama resepsionis yang pertama menghampiri dirinya.
Pintu lift perlahan tertutup, ketika sang resepsionis hendak menekan tombol lantai area presidential suite dimana merupakan lantai kamar Damien, Damien tiba-tiba menahan tangannya.
“Tolong ke rooftop saja dulu,” pinta Damien.
Resepsionis itu tentu sedikit terkejut dengan permintaan Damien, namun dia tetap melaksanakan perintah Damien, berpikir jika sang Presdir mungkin ingin mencari udara segar.
Lift mereka perlahan bergerak naik, melewati lantai dua… tiga… dan tiba-tiba…
“Pa… Pak Damien?” sang resepsionis tersentak begitu Damien tiba-tiba memeluk tubuhnya dari belakang.
Sore itu, langit Pulau Capri dihiasi semburat jingga keemasan dari matahari senja yang perlahan tenggelam di ufuk barat. Damien, Chiara, Tyler, Nathalie, Dawson, Dona, Tessa, dan Shawn melangkah santai di sepanjang Pantai Marina Piccola.Pasir lembut menyentuh telapak kaki mereka, sementara ombak kecil bergulung perlahan, menciptakan irama alami yang menenangkan. Chiara melingkarkan jemarinya pada tangan Damien, begitu pula Nathalie yang menggenggam erat tangan Tyler.Dona sesekali tersenyum kecil sambil merapatkan tubuhnya pada Dawson. Bahkan Shawn, yang tadinya terlihat canggung, kini tampak percaya diri menggenggam tangan Tessa, membuat pasangan barunya itu tersenyum manis.Mereka berhenti di sebuah tempat nyaman di tepi pantai yang dikenal sebagai Giardini di Augusto. Dengan pemandangan spektakuler Laut Tyrrhenian yang membentang lua
Dawson, Tyler, dan Damien berjalan mendekati Shawn yang sedang berdiri termenung. Wajah Shawn tampak penuh dengan pikiran, seolah terjebak dalam labirin ucapan Tessa sebelumnya.Dawson, dengan senyum lebar khasnya, tiba-tiba melingkarkan lengannya di pundak Shawn. "Shawn! Kapan kamu jadian sama Tessa?" tanyanya dengan nada menggoda.Shawn menoleh perlahan, alisnya sedikit terangkat saat menatap wajah Dawson yang penuh semangat."Hah? Maksudmu?" tanyanya bingung, seolah baru saja terbangun dari mimpi panjang.Dawson tersenyum bangga, ia menepuk-nepuk bahu Shawn. "Berarti instingku tepat karena ngajak kamu ikut, kan?" ujarnya dengan nada puas, membuat Shawn semakin mengerutkan dahi."Tunggu? Apa maksudmu?" Shawn bertanya lagi, kali ini suaranya terdengar lebih bingung.Sebelum Dawson sempat menjawab, Tyler
Shawn masih tercengang, duduk terdiam seperti patung yang kehabisan kata-kata. Di sampingnya, Tessa, menutup mulutnya menahan tawa karena reaksi Shawn."Mereka pasti akan lama, bagaimana kalau kita jalan berdua dulu?" tanya Tessa, tangannya meraih tangan Shawn.Shawn menoleh, masih terlihat bingung, pikirannya masih terpaku pada kata "bercinta" tadi."Hei, kamu mendengarku kan?" tanya Tessa lagi.Shawn tersentak kaget, dan tanpa sadar, ia merespons dengan kalimat yang tidak terduga, "Iya, bercinta, iya... ayo bercinta."“Pfftt!! Hahaha, apa-apaan kamu ini? Tiba-tiba mengajak melakukan itu." Tessa tidak bisa menahan tawanya lagi, suaranya pecah menjadi gelak tawa yang lepas.Wajah Shawn semakin merah, ia menunduk malu. “Fuck! Aku kenapa bilang itu!” erangnya dalam hati.Tessa, yang masih tertawa, bangkit dari duduknya, menarik tangan Shawn. "Ayo, kita jalan dulu,” ucapnya, yang kini tersenyum lembut menatap Shawn.Shawn ikut bangkit berdiri, berjalan mengikuti Tessa tanpa mengangkat wa
Kamar yang Tyler dan Nathalie tempati di villa itu, menyimpan suasana tidak kalah panasnya dibandingkan dengan kamar pasangan lainnya. Tanpa sehelai benang pun di tubuh keduanya, mereka terbebas dari segala penghalang, hanya meninggalkan keintiman yang mengharuskan mereka untuk saling terbuka.Di tempat tidur, tubuh Nathalie bergoyang liar di atas tubuh Tyler, dalam posisi yang memberinya kekuasaan penuh. Setiap gerakan pinggulnya, membuat Tyler terengah-engah, tidak bisa menahan erangannya yang meminta lebih."Lebih cepat, Nathalie... lebih cepat," desahnya, suaranya tercampur dengan napas yang memburu, mencari oksigen di tengah-tengah ekstasi.Keringat membasahi tubuh keduanya, menjadi saksi bisu dari keintiman yang mereka bagikan. Pinggul Nathalie terus bergerak liar, mengikuti irama yang hanya mereka berdua yang paham.Tangan Tyler, dengan refleks yang tepat, memegang pinggul Nathalie, sembari mengimbangi pergerakan tubuhnya, membawa mereka berdua ke puncak kenikmatan yang sama.T
Tessa, di sisi lain, terlihat sedikit ragu, namun ia tidak mengungkapkan perasaannya secara terbuka.Begitu tiba di depan pintu, Shawn segera meraih gagang pintu dan membukanya. Namun, sebelum ia bisa melangkah masuk, Tessa sudah menarik tangannya yang digenggam oleh Shawn. Gerakan tersebut terjadi begitu cepat, sehingga Shawn terlihat sedikit terkejut.Shawn menatap Tessa, bertanya dengan nada penasaran, "Kenapa?" Ia tidak bisa memahami alasan di balik tindakan Tessa."Kamu pria yang aneh,” jawab Tessa disertai helaan nafas pelan. Setelah itu, ia meraih kopernya dan berbalik, menuju kamar kosong yang lainnya.Shawn, terkejut, "Tessa! Tunggu!" Panggilnya, Ia bergegas menyusul Tessa, meraih lengan Tessa dalam upaya untuk menghentikannya.Wanita cantik itu menoleh, wajahnya datar tanpa ekspresi, seolah tidak terpengaruh oleh reaksi Shawn."Kalau begitu aku yang ikut ke kamarmu," kata Shawn, penuh percaya diri, mengira Tessa mungkin tidak suka kamar yang dia pilih. Namun, jawaban Tessa t
Kapal pesiar pribadi itu perlahan meninggalkan pelabuhan Marina Grande, membelah ombak menuju Pulau Capri. Angin laut yang segar menerpa wajah mereka, membawa serta aroma asin khas laut Mediterania. Di sepanjang perjalanan, pemandangan tebing-tebing karst yang menjulang tinggi dengan gua-gua tersembunyi di bawahnya, menjadi pemandangan yang memanjakan mata.Kapal mereka tidak langsung menuju dermaga utama di Capri. Sesuai rencana, mereka singgah di beberapa spot menarik yang terkenal di pulau tersebut. Setelah puas berpetualang di laut, kapal mereka akhirnya merapat di dermaga utama Capri.Dari sana, mereka bergegas menuju tempat yang telah disewa oleh ayah Damien, sebuah vila mewah bernama Villa Aurora. Vila ini terletak di atas bukit, menawarkan pemandangan laut yang spektakuler.Begitu tiba di depan gerbang Villa Aurora, mereka disambut oleh seorang pria paruh baya yang ramah, yang memperkenalkan diri sebagai penjaga vila. Pria itu membuka gerbang, mempersilakan mereka masuk ke hal