Aku beringsut mundur dan terduduk lemas di ranjang yang sudah sangat acak-acakan. Berkali-kali meneguk ludah hingga tenggorokan terasa mengering.
"Sekarang cepat bersihkan dirimu lalu pergi dari sini!" usirku tanpa sudi menatap.
"Oke!" Mas Thoriq melangkah masuk ke kamar mandi. Tinggallah aku menangis sendiri. Selimut yang diam tak tahu apa-apa, kulemparkan ke lantai. Begitu juga dengan bantal dan guling.
Tubuhku jatuh luruh ke lantai. Menangis tersedu dengan memeluk lutut yang menekuk dan membenamkan wajahku.
Sebegitu cerobohnya aku bisa sampai terjadi hal seperti ini. Tapi apakah aku yang salah? Sama sekali aku tak menyangka Mas Thoriq tega berbuat demikian.
Pintu kamar mandi membuka. Lelaki yang bersarung handuk itu menatap remeh padaku. Kemudian berjongkok menghadapku dengan seulas senyum mengejek.
"Udah deh. Gak usah drama!"
"Pasti kamu masukin sesuatu ke teh itu kan? Hayo ngaku!" paksaku sambil memukul-mukul dada bidangnya.
Dengan sigap ia mencengkeram kedua tanganku. "Diam! Diam kamu!"
Tenagaku sudah habis dan sudah tak mampu lagi untuk melawan tenaga Mas Thoriq yang cukup kuat.
Aku hanya tinggal meronta untuk melepaskan diri.
"Lepasin aku! Lepasin, Mas!"
Lelaki itu melepaskan cengkeramannya sehingga aku terdorong ke belakang.
"Makanya, kalau aja Papi kamu itu gak menarik semua aset atas nama aku, pastinya aku gak akan jadi gembel kayak gini. Semua ini aku lakukan, bukan karena aku mencintaimu. Karena ini …." Mas Thoriq menggesekkan ibu jari dan telunjuknya.
"Aku capek hidup miskin, Nina. Makan susah, hutang aku banyak. Sementara kamu …? Kamu hidup dengan bergelimang harta di atas penderitaanku. Jad aku gak terima."
Mas Thoriq bangkit dan mengambil pakaiannya yang masih tersusun rapi di lemari.
"Jadi, sekarang apa maumu?"
"Kau masih bertanya tentang mauku?" Pria berkulit putih itu tertawa sinis, sembari mengancingkan kemeja putihnya. "Ya tentu aja uang."
Dasar pria mata duitan!
"Tinggal bilang, berapa maumu? Lalu hapus video itu. Setelah itu pergi jauh dari kehidupanku dan jangan ganggu aku lagi!"
Mas Thoriq kembali berjongkok di hadapanku yang sudah terlihat sangat acak-acakan. Kemudian ia mencengkeram kuat daguku, sehingga membuat kepalaku mendongak ke atas.
"Udah, gak usah banyak bacot deh! Kirim aja uang lima puluh juta sekarang!"
Aku ternganga. Apa … lima puluh juta? Dia kira uang itu sedikit apa ya.
"Kamu udah gila ya, Mas? Kamu kira itu uang yang sedikit?"
"Berisik lo ya, Nina! Turuti aja atau video ini segera tersebar di grup maskapai Berkah Air?" Mas Thoriq mengambil ponselnya dari kantong celana jeans-nya.
"Mau apa kamu, Mas?" tanyaku mulai panik.
"Mau kirim video kita."
Aku mulai meneguk ludah. Video yang sangat memalukan itu akan disebarkan? Bagaimana reputasi bisnis Papi kemudian Mami di pengajiannya.
'Aaarrrgggh,' aku mengacau kasar rambutku sehingga semakin terlihat awut-awutan.
"Gimana, Nina? Aku gak punya waktu banyak," desaknya dengan ponsel yang diputar-putar.
"Oke, aku akan segera kirim ke rekeningmu. Sekarang kamu keluar dari rumahku. KELUAAAR ...!" teriakku kencang.
Mendengar teriakanku, Alissha terbangun dan menangis. Astaghfirullah, kenapa bisa sampai tak teringat dengan putri semata wayangku itu ya?
"Oke aku pergi sekarang. Tapi jangan pikir urusan kita udah selesai sampai di sini."
"Tuh urusin anak itu. Semalaman susah banget tidurnya," gerutu Mas Thoriq, lalu keluar dari kamarku.
Segera kuhampiri Alissha di baby box-nya. Kepeluk erat tubuh mungil namun gempal itu. Bayi lima bulan itu seakan paham akan kesedihan ibunya.
"Kenapa begini nasib kita ya, Nak? Kamu harus memiliki papa yang jahat dan kejam semacam dia," gumamku dan Alissha menatapku penuh arti. Mungkin ikatan batin yang membuat putri kecilku ini, ikut merasakan kepedihan yang dirasakan ibunya.
..
Alissha kutitipkan pada Bu Asih dan menyuruh Pak Parmin mengantarkan ke rumah Mami. Sedangkan aku segera meluncur ke kantor polisi untuk memberikan kesaksian untuk kasus peneroran yang dilakukan Dinda.
Setelah itu aku memutuskan untuk menemui pengacara keluarga untuk membahas masalah pemerasan yang dilakukan Mas Thoriq.
Memang benar yang dikatakan dalam Al Qu'ran:
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ ۖ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ ۚ أُولَٰئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ ۖ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga) (QS. An Nur:26)
Pria licik semacam Mas Thoriq, memang pantas bersanding dengan wanita jahat seperti Dinda.
Dengan menggunakan mobil BMW hitam, aku segera meluncur ke kantor polisi.
Sesampai di sana, ternyata Om Khalik sudah berada di sana dan menungguku tepat di sisi pintu masuk.
"Selamat siang, Nina." Pengacara yang sudah cukup lama menjadi penasihat hukum keluarga kami itu, langsung menemuiku begitu melihatku berjalan menaiki anak tangga kecil di depan kantor polsek tersebut.
"Selamat siang, Om."
"Gimana kabar kamu hari ini?"
Aku menhela napas. "Kurang baik, Om. Karena masalah beruntun menimpa saya."
Om Khalik memiringkan kepalanya dan mata memicing.
"Masalah beruntun? Ada masalah lagi?"
"Gitu deh, Om. Sebenarnya tadi sepulang dari sini, aku mau ke kantor Om untuk konsultasi masalahku. Eh, Alhamdulillah-nya ketemu di sini."
"Tadi Papi kamu yang nyuruh om ke sini."
"Ya udah, kita masuk dulu yuk, Om."
Dengan berjalan beriringan, kami masuk ke dalam kantor polisi dan langsung masuk ke ruang penyidik.
Tanpa sengaja aku berpapasan dengan Dinda yang menunggu di kursi dekat ruangan penyidik.
Keadaannya sungguh memprihatinkan. Pramugari yang selalu berpenampilan seksi dan glamour, tertunduk lesu dengan pergelangan tangan terborgol.
Kepalanya terangkat dan pandangan kami pun bertemu. Mata yang biasa terpasang eyelash dan maskara itu, terlihat cekung. Dan kelopak mata bawahnya terdapat lingkaran hitam.
Ya ampun, baru sehari. Gimana kalau seandainya sepuluh tahun ya?
"Hai, Dinda … Gimana kabar lo?" sapaku lembut.
Wanita berdecak sinis. "Huh, gak usah sok baik deh lo! Lo seneng kan liat gue kayak gini? Ya kan?"
"Su'udzon deh lo. Gue sebenarnya cukup prihatin liat lo. Punya suami ganteng, mapan, baik, lo tinggalin demi merebut suami gue yang sama sekali gak peduli sama lo. Yang cuma nganggep lo mainan doang. Sekarang … apa? Lo dicampakkan gitu aja kan?"
"Lo gak usah sotoy deh. Bilang aja lo itu jealous sama gue kan? Karena Mas Thoriq lebih milih gue."
"Ya Allah, kapan ya lo sadarnya, Din? Udah jelas-jelas dia gak peduli sama lo. Emangnya selama lo di sini, dia ada nyamperin lo?"
Dinda diam tertegun dan hanya memainkan ibu jarinya di atas pangkuan. Pasti di dalam hati ia membenarkan perkataanku.
Selang tak berapa lama, seorang polisi memanggil namaku dan Dinda untuk segera masuk ke dalam ruang penyidik.
Entah berapa pertanyaan yang diajukan kepala penyidik itu padaku. Hanya yang kuingat sekitar tiga puluh menit lamanya aku di dalam.
Dinda tidak seperti biasanya. Taring yang biasa dia tunjukkan, seakan hilang. Ia lebih banyak tertunduk diam dan hanya menjawab seadanya pertanyaan yang diajukan.
..
Sebenarnya aku masih ingin mencari solusi untuk masalah dengan Mas Thoriq. Hanya saja, Om Khalik harus buru-buru berangkat ke Medan, untuk mengatasi permasalahan kliennya di sana.
Apa yang harus aku lakukan untuk menghadapi benalu yang satu itu? Lelah rasanya harus terus berada di bawah tekanan laki-laki itu.
..
Pagi ini, aku bersiap untuk terbang lagi. Setelah nyaris dua tahun hanya di rumah saja untuk mencoba menjadi istri yang baik. Namun sayangnya, keadaan yang terjadi, tidak sesuai dengan dengan pengabdianku.
Huuufff … dada ini terasa begitu sesak jika mengingat itu.
Aku terus menyupport diriku sendiri, untuk bangkit dan menatap masa depanku. Terlebih ada Alissha, yang butuh sosok ibu yang waras.
Bu Asih dan Alissha sudah berangkat ke rumah Papi dan Mami sejak pagi.
Tinggal aku yang masih menatap bayanganku di cermin.
Bismillah! Mulai hari ini aku harus melupakan yang lalu, dan melangkah ke masa depan yang jauh lebih baik.
..
Kutarik koper dorongku menuju meja makan. Lina sudah menyiapkan sarapan pagi di sana.
Baru saja hendak menyeruput teh melati yang masih mengepulkan asapnya itu, kudengar suara ribut-ribut di luar.
Segera aku berlari dan mengintip dari balik korden. Astaga, lagi-lagi Mas Thoriq. Dia tengah berdebat dengan security baruku. Pasti karena ia belum mengetahui siapa Mas Thoriq, makanya ia menghadang lelaki itu supaya jangan masuk.
Mau apa lagi sih dia? desahku lelah. Aku harus sembunyi. Ya … aku harus sembunyi.
Cepat-cepat aku berlari menemui Lina yang tengah mencuci pakaian.
"Lina … Lina," panggilku dengan suara setengah berbisik. Takut terdengar Mas Thoriq.
"Ada apa, Bu?" Gadis itu menghampiriku dengan tatapan heran.
"Tolong sembuyiin koper saya ya. Di depan ada Mas Thoriq. Saya males ketemu dia. Bilang aja saya pergi. Saya mau sembunyi."
Belum sempat Lina menjawab, aku sudah berlari menaiki tangga.
Ya Allah, aku harus sembunyi dimana? batinku panik.
Aku melangkah ke kamar mandi. Tapi kuurungkan niat. Karena pasti Mas Thoriq akan menemukanku di sana.
Tanganku mengepal dan memukul-mukul paha. Ya Allah, tolonglah hamba-Mu ini. Selamatkan hamba dari lelaki jahat itu, doaku dalam hati.
Tap tap tap. Terdengar derap langkah kaki menaiki tangga.
"Nina! Nina! Aku tau kamu ada di kamar kan. Udahlah, keluar aja. Gak usah main petak umpet deh," teriaknya.
Derap langkahnya semakin mendekat. Dan keringat dingin pun semakin mengucur deras.
Mataku tertuju pada lemari dimana tempat menggantung pakaian. Ah ya, sepertinya aku bisa bersembunyi di situ.
Cepat-cepat aku masuk dan menyelinap di antara koleksi gaun yang tergantung.
Suara knop pintu ditekan. Suara derap langkah kaki masuk.
Aku menahan napas dan tenggorokanku bergerak turun meneguk ludah. Degup jantung seakan berlomba dengan nafas yang juga memburu.
Kuraba kantong blazer seragamku untuk mencari ponsel. Aduh, pasti di tas tadi, gumamku sambil menepuk dahi.
"Nina! Nina, keluar kamu!" teriaknya. Mas Thoriq berdiri tepat di depan lemari.
_______
Jangan lupa Subscribe dan follow akun yaa PART 28 Aku menahan napas dan tenggorokanku bergerak turun meneguk ludah. Degup jantung seakan berlomba dengan nafas yang juga memburu. Kuraba kantong blazer seragamku untuk mencari ponsel. Aduh, pasti di tas tadi, gumamku sambil menepuk dahi. "Nina! Nina, keluar kamu!" teriaknya. Mas Thoriq berdiri tepat di depan lemari. _______ Aku mendengar Mas Thoriq menggeser pintu kamar mandi yang bergaya jepang itu dan masih terus berteriak memanggil-manggil namaku.
PART 29 Hei, kok diam aja?" desisnya dengan mendekatkan wajahku padaku. Kepala kutarik mundur, menghindari wajah tampan tapi sebenarnya busuk itu. "Aku bisa bekerja di Berkah Air ini lagi karena jasa papi kamu." Aku tersentak dan menoleh pada wajah yang menyeringai sombong itu. "Papi?" _______ "Ya, Papi kamu sudah bicara dan berusaha meyakinkan Om Rahmat untuk merekrut aku kembali di sini, walaupun harus turun menjadi Co-Pilot. Se
PILOT TEWAS BERSAMA GUNDIKNYA PART 30 "Kurang ajaaar ...!" "Lepasin dia!" Mas Barry turun dan langsung memukul pergelangan tangan yang menarik hijabku tadi. Mas Thoriq mengerang sakit hingga cengkeraman di hijabku terlepas. ________ "Si-siapa kamu--" Ucapannya menggantung sambil mengusap pergelangan tangannya yang sakit akibat pukulan Mas Barry tadi. Begitu cengkeramannya lepas, aku langsung berlari untuk berlindung di belakang tubuh tinggi Mas Barry.
PART 31 Refleks tanganku meraih pot keramik kecil yang terletak di atas meja, kemudian melemparkannya ke tiang rumah. Ketiga debt collector itu terkejut mendengar suara denting pecahan pot tersebut. “Saya bilang pergi dari rumah saya … atau pot ini yang mengenai kepala kalian?” geramku kesal, sambil memegang salah satu pot yang terbuat dari tanah liat. *** “Tenang, Bu. Ki-kita bisa bicarakan semuanya dengan baik-baik kan?” Salah satu pria berbadan bersikeras untuk mencoba menenangkanku. Tanpa banyak kata, pot tanah liat itu kembali aku lemparkan. Tapi kali ini ke arah kaki mereka. Beruntung mereka segera menghindar. Jika tidak, mereka harus siap beling-beling dari pot
PART 32 Jantungku berdegup kencang ketika Mami menyebut nama Mas Thoriq. Apa ada hubungan dengan peristiwa tadi? “Ke-kenapa dengan Mas Thoriq, Mi?” “Thoriq kayaknya menjadi korban perampokan. Sekarang kondisinya kritis dan tak sadarkan diri di ICCU.” ________ “Oke, oke, Mi. Aku segera ke sana.” Aku menutup telepon dan memandang ke arah Mas Barry yang sedang focus mengemudi. “Ada apa, Nina?” “Mas Thoriq koma di ICCU, Mas.” “Apa … koma?” Aku mengangguk. Mas Barry menggosok dagunya, tanda ia pun saat ini pasti sedang gundah. “Dasar bod*h! Sudah dibilang cukup kasih peringatan aja. Ini kok malah sampai koma.” “Terus, kita harus gimana ini, Mas
PART: 33 Mataku membulat untuk memastikan mataku tidak salah membaca. Dan sontak aku langsung menutup mulutku. “Itulah sebab kenapa saya bertanya apakah pasien memiliki istri atau tidak. Karena kemungkinan ia juga menularkan penyakit ini kepada istrinya.” *** Aku tersandar pada punggung kursi. Ujung jariku terasa gemetar karena mendengar penuturan Dokter Derry barusan. Mas Thoriq mengidap HIV. Penyakit yang sangat menakutkan dan belum ada obatnya. Lalu, bagaimana denganku? Bukankah kemarin ia sempat meniduriku dalam keadaan tidak sadar? Mendadak perutku terasa mual dan rasanya ingin muntah. Sindrom yang selalu kualami ketika stres dan panik. Sebelum aku memuntahkan is
PART : 34 “Tidak!” Aku terkesiap melihat Mami. Tidak pernah ia membentakku sebelumnya. Bahkan sejak aku masih kecil. Bahkan dengan Mas Thoriq yang bukan anak kandungnya sekali pun. Wanita berhijab lebar itu menarik tanganku hingga aku tertatih mengikuti langkahnya. “Kita mau ke mana, Mi?” “Sudah diam! Ikuti kata-kataku sekali ini saja!” sahutnya tanpa menoleh. _________ Mami membawaku menemui salah seorang perawat. Entah apa yang mereka bicarakan, kemudian aku diajak untuk ikut ke sebuah ruangan. Sesampai di sebuah ruangan yang bertuliskan LABORATORIUM, perawat wanita itu mengambi sample darah dan urine-ku
“Dinda … Dinda … kabur dari penjara, Nin.” “Dinda kabur, Mi?” _______ “Iya … Dinda kabur. Tadi pihak LP nelpon Mami. Makanya Mami khawatir banget ini.” Aku menggigit ibu jari lalu meraup wajahku kasar. Kok bisa-bisanya Dinda kabur dari penjara. Suasana yang tadinya aman dan tenteram, menjadi seakan mencekam. Karena Dinda itu memiliki jiwa psyho yang bisa membahayakan banyak orang. “Alissha mana, Mi?” “Sama Bu Asih di taman.” Bergegas aku berlari untuk menjemput putri semata wayangku itu. Aku takut jika Dinda menjadikan Alissha sebagai sasaran kemarahannya. Karena Dinda begitu amat membenciku. “Bu Asih, ayo bawa Alissha pulang!”