"Dindaaa … lepasin anakku,"
Mungkin karena terkejut dengan teriakan Mas Thoriq, Dinda tampak kehilangan keseimbangan dan ….
Buuuggghhh
Aaawww ...."
ALIISSHAAA …."
Aku dan Mas Thoriq berlari menuju balkon, untuk memastikan keadaan Alissha yang terjatuh bersama Dinda. Tangisan kencangnya terdengar hingga ke atas.
"Alhamdulillah," Aku mengucap syukur, karena Alissha dalam keadaan baik-baik saja. Kini tengah berada dalam gendonga
Aku beringsut mundur dan terduduk lemas di ranjang yang sudah sangat acak-acakan. Berkali-kali meneguk ludah hingga tenggorokan terasa mengering. "Sekarang cepat bersihkan dirimu lalu pergi dari sini!" usirku tanpa sudi menatap. "Oke!" Mas Thoriq melangkah masuk ke kamar mandi. Tinggallah aku menangis sendiri. Selimut yang diam tak tahu apa-apa, kulemparkan ke lantai. Begitu juga dengan bantal dan guling. Tubuhku jatuh luruh ke lantai. Menangis tersedu dengan memeluk lutut yang menekuk dan membenamkan wajahku. Sebegitu cerobohnya aku bisa sampai terjadi hal seperti ini. Tapi apakah aku yang salah? Sama sekali aku tak menyangka Mas Thoriq tega berbuat demikian. Pintu kamar mandi membuka. Lelaki
Jangan lupa Subscribe dan follow akun yaa PART 28 Aku menahan napas dan tenggorokanku bergerak turun meneguk ludah. Degup jantung seakan berlomba dengan nafas yang juga memburu. Kuraba kantong blazer seragamku untuk mencari ponsel. Aduh, pasti di tas tadi, gumamku sambil menepuk dahi. "Nina! Nina, keluar kamu!" teriaknya. Mas Thoriq berdiri tepat di depan lemari. _______ Aku mendengar Mas Thoriq menggeser pintu kamar mandi yang bergaya jepang itu dan masih terus berteriak memanggil-manggil namaku.
PART 29 Hei, kok diam aja?" desisnya dengan mendekatkan wajahku padaku. Kepala kutarik mundur, menghindari wajah tampan tapi sebenarnya busuk itu. "Aku bisa bekerja di Berkah Air ini lagi karena jasa papi kamu." Aku tersentak dan menoleh pada wajah yang menyeringai sombong itu. "Papi?" _______ "Ya, Papi kamu sudah bicara dan berusaha meyakinkan Om Rahmat untuk merekrut aku kembali di sini, walaupun harus turun menjadi Co-Pilot. Se
PILOT TEWAS BERSAMA GUNDIKNYA PART 30 "Kurang ajaaar ...!" "Lepasin dia!" Mas Barry turun dan langsung memukul pergelangan tangan yang menarik hijabku tadi. Mas Thoriq mengerang sakit hingga cengkeraman di hijabku terlepas. ________ "Si-siapa kamu--" Ucapannya menggantung sambil mengusap pergelangan tangannya yang sakit akibat pukulan Mas Barry tadi. Begitu cengkeramannya lepas, aku langsung berlari untuk berlindung di belakang tubuh tinggi Mas Barry.
PART 31 Refleks tanganku meraih pot keramik kecil yang terletak di atas meja, kemudian melemparkannya ke tiang rumah. Ketiga debt collector itu terkejut mendengar suara denting pecahan pot tersebut. “Saya bilang pergi dari rumah saya … atau pot ini yang mengenai kepala kalian?” geramku kesal, sambil memegang salah satu pot yang terbuat dari tanah liat. *** “Tenang, Bu. Ki-kita bisa bicarakan semuanya dengan baik-baik kan?” Salah satu pria berbadan bersikeras untuk mencoba menenangkanku. Tanpa banyak kata, pot tanah liat itu kembali aku lemparkan. Tapi kali ini ke arah kaki mereka. Beruntung mereka segera menghindar. Jika tidak, mereka harus siap beling-beling dari pot
PART 32 Jantungku berdegup kencang ketika Mami menyebut nama Mas Thoriq. Apa ada hubungan dengan peristiwa tadi? “Ke-kenapa dengan Mas Thoriq, Mi?” “Thoriq kayaknya menjadi korban perampokan. Sekarang kondisinya kritis dan tak sadarkan diri di ICCU.” ________ “Oke, oke, Mi. Aku segera ke sana.” Aku menutup telepon dan memandang ke arah Mas Barry yang sedang focus mengemudi. “Ada apa, Nina?” “Mas Thoriq koma di ICCU, Mas.” “Apa … koma?” Aku mengangguk. Mas Barry menggosok dagunya, tanda ia pun saat ini pasti sedang gundah. “Dasar bod*h! Sudah dibilang cukup kasih peringatan aja. Ini kok malah sampai koma.” “Terus, kita harus gimana ini, Mas
PART: 33 Mataku membulat untuk memastikan mataku tidak salah membaca. Dan sontak aku langsung menutup mulutku. “Itulah sebab kenapa saya bertanya apakah pasien memiliki istri atau tidak. Karena kemungkinan ia juga menularkan penyakit ini kepada istrinya.” *** Aku tersandar pada punggung kursi. Ujung jariku terasa gemetar karena mendengar penuturan Dokter Derry barusan. Mas Thoriq mengidap HIV. Penyakit yang sangat menakutkan dan belum ada obatnya. Lalu, bagaimana denganku? Bukankah kemarin ia sempat meniduriku dalam keadaan tidak sadar? Mendadak perutku terasa mual dan rasanya ingin muntah. Sindrom yang selalu kualami ketika stres dan panik. Sebelum aku memuntahkan is
PART : 34 “Tidak!” Aku terkesiap melihat Mami. Tidak pernah ia membentakku sebelumnya. Bahkan sejak aku masih kecil. Bahkan dengan Mas Thoriq yang bukan anak kandungnya sekali pun. Wanita berhijab lebar itu menarik tanganku hingga aku tertatih mengikuti langkahnya. “Kita mau ke mana, Mi?” “Sudah diam! Ikuti kata-kataku sekali ini saja!” sahutnya tanpa menoleh. _________ Mami membawaku menemui salah seorang perawat. Entah apa yang mereka bicarakan, kemudian aku diajak untuk ikut ke sebuah ruangan. Sesampai di sebuah ruangan yang bertuliskan LABORATORIUM, perawat wanita itu mengambi sample darah dan urine-ku