Motor matic Diandra terparkir di halaman depan. Dia berjalan memasuki rumah dan tidak berselang lama, suara azan pun berkumandang.
"Andra, udah pulang kamu, Nak?" sapa Amira terlihat senang saat melihat anaknya sudah kembali meskipun masih terlihat raut kesal di wajahnya, tetapi tidak dipungkiri kalau hatinya merasa plong karena melihat putrinya baik-baik saja.
Diandra tidak menanggapi ucapan sang ibu, dia memilih masuk ke kamar dan mengurung diri di sana. Satu, dua jam, Amira membiarkan. Namun, setelah lima jam berlalu dia mulai merasa khawatir.
"Mau ke mana, Bu?" tanya Teo ketika istrinya beranjak dari pembaringan.
"Mau ke kamar Andra, Pak. Ibu khawatir, mana dia belum makan sedari siang," ucap Amira.
"Jangan, Bu, tidak usah. Percaya sama Ayah, Andra pasti udah tidur dan tidak mau diganggu."
"Tau dari mana?"
"Karena kalau Ibu marah sama Ayah, kan, seperti itu." Teo tersenyum.
"Ish! Ayah ...." ucap Amira terlihat malu, pipinya pun memerah saat mendengar ucapan suaminya yang memang nyata adanya.
***
Sudah satu Minggu Amira dan Diandra tidak bertegur sapa. Diandra sering menghabiskan waktunya di kamar dan keluar rumah hanya untuk menemui kekasihnya saja.
Akhirnya Amira menyerah, dia meridhoi putrinya kalau memang ingin menikah dengan Dewa. Sikap kerasnya memang mirip sekali dengan dirinya, apalagi dia merupakan anak tunggal yang pastinya akan jauh lebih keras kepala karena sedari kecil dia selalu mendapatkan apa yang diinginkan.
Cepat-cepat Diandra menelepon kekasihnya untuk segera melamar.
[Pokoknya malam ini juga Mas Dewa harus datang ke rumah, aku ingin liat keseriusan Mas Dewa padaku!] Isi pesan Diandra yang dikirim untuk Dewa.
[Iya, Sayang. Dandan yang cantik, Mas akan kasih kejutan buatmu.]
Pesan dari Dewa tentu saja membuat hati Diandra melayang ketika membacanya. Dia begitu senang dan yakin kalau pilihannya adalah orang yang tepat.
Mentari kini telah tergelincir. Langit tampak gelap hanya diterangi oleh kerlip bintang beberapa saja di atas sana.
Diandra mendengar pintu rumah yang diketuk. Dia tersenyum sambil beranjak dari sofa ruang tamu, di mana dia dan kedua orang tuanya menunggu kedatangan Dewa.
Benar saja, wajah tampan Dewa kini terlihat dari balik pintu saat Diandra membukanya.
"Mas Dewa?" Diandra tersenyum manis saat menyaksikan Dewa yang terlihat semakin tampan dengan setelan kemeja lengan panjang yang dia lipat dan bawahan celana kain dengan warna senada atasannya membuat dia semakin terlihat rupawan.
"Mas enggak disuruh masuk, nih?" Dewa tersenyum ketika melihat kekasihnya yang seolah mematung memandanginya malam ini.
"Eh, iya, lupa. Mari, silakan masuk, Mas." Diandra mempersilahkan dengan begitu sopan dan lembut.
Diandra dan Dewa berjalan berdampingan ke ruang tamu. Di sana sudah ada orang tua Diandra yang telah menunggunya. Sesungguhnya, Amira masih terlihat belum yakin meskipun Dewa sudah berani datang malam ini untuk membuktikan keseriusannya melamar Diandra.
"Malam, Pak, Bu?" Dewa begitu sopan menyapa calon mertuanya.
"Malam, Nak Dewa." Teo menjawab dengan seulas senyuman. Dia masih menghargai niat baik dari seorang Dewa. Sedangkan Amira terlihat biasa-biasa saja menyambut kedatangan Dewa.
Perbincangan pun terjadi antara Dewa dan Teo. Cukup lama berbincang sehingga keduanya terlihat semakin akrab dan hal itu membuat Diandra senang meskipun ibunya masih terlihat biasa-biasa saja. Paling tidak, dia telah mendapatkan lampu hijau dari ayahnya.
"Saya tidak ingin mengulur niat baik, Pak. Saya datang ke sini bermaksud untuk melamar Andra, putri ibu dan bapak untuk saya," ucap Dewa yang terlihat bersungguh-sungguh.
"Gimana, Bu?" tanya Teo pada Amira.
"Kalau Ibu, terserah anaknya, Yah. Kan, dia yang mau membina rumah tangga."
"Gimana, Nduk?" Teo bertanya pada putrinya.
Meskipun terlihat malu-malu, Diandra akhirnya mengangguk. Apalagi, ini memang hal yang dia inginkan hingga berani mendiamkan ibunya selama satu Minggu tidak bertegur sapa. Tentu saja dia tidak akan membiarkan kesempatan itu berlalu begitu saja.
"Iya, Andra mau, Yah, Bu."
Dewa terlihat senang ketika mendengar jawaban dari kekasihnya, pun, dengan Andra yang semenjak awal membukakan pintu sudah sangat bahagia melihat keseriusan Dewa yang datang ke rumahnya.
Teo mengajak Dewa makan malam bersama untuk merayakan pertunangan sederhana yang sudah terjadi malam ini. Laki-laki yang sudah tidak lagi muda itu menghargai keberanian Dewa untuk melamar putrinya. Meskipun Dewa sebatang kara, tetapi dia terlihat cukup baik di mata Teo.
"Mari, Nak Dewa, kita makan dulu." Teo mengajak Dewa ke ruang makan.
Diandra, Dewa, Teo dan Amira berjalan ke ruang makan. Di sana sudah tersedia cukup banyak makanan dan minuman yang memang sengaja dihidangkan untuk menyambut kedatangannya. Apalagi pertunangan mereka berjalan lancar.
Kini mereka menikmati hidangan makan malam. Dewa tidak membawa apa-apa selain dari tubuh dan keberanian dia mendatangi rumah Diandra. Namun, kedua orang tuanya menghargai niat tulus dari laki-laki yang sudah berusia matang, terutama Teo yang menganggap Dewa memang laki-laki yang baik.
"Nak Dewa, Ayah titip Andra sama kamu, ya? Jangan pernah sakiti dia. Ayah percaya sama Nak Dewa," ucap Teo bersungguh-sungguh.
"Tentu, Pak. Saya pasti jaga Andra dengan sebaik-baiknya. Mungkin saya tidak bisa sempurna, tetapi saya mencoba menyayangi dia sama seperti Bapak menyayangi Andra."
Ucapan Dewa begitu membuat Diandra menjadi tenang. Dia semakin yakin dengan laki-laki yang dia pilih itu memang benar. Dewa merupakan sosok laki-laki yang baik dan bertanggung jawab.
Hingga akhirnya makan malam pun telah usai. Dewa hendak pulang karena besok pagi dia harus ke luar kota untuk mengantar sawit ke perusahaan di kota tetangga.
"Oh, jadi besok Mas Dewa harus ke luar kota? Apa aku enggak boleh ikut?" Diandra terlihat sedih saat mendengar hal itu. Apalagi mereka baru saja meresmikan pertunangannya.
Dewa tersenyum. Dia terlihat begitu pandai memberikan pengertian pada calon istrinya. Mungkin karena usianya yang telah matang. Di usia tiga puluh tahun dia ingin mempersunting Diandra dalam jangka waktu yang tidak lama dari pertunangan ini.
"Mas, kan, cari uang untuk biaya kita nikah nanti. Enggak lama, kok. Cuma dua hari."
"Gitu, ya?"
Dewa mengangguk.
"Ya udah, hati-hati, ya, Mas."
Dewa kembali mengangguk.
"Pak, maaf, saya ke sini enggak bawa apa-apa. Saya ke sini hanya membawa niat dan diri saya untuk melamar putri Bapak dan Ibu. Alhamdulillah semua berjalan lancar, serta mendapatkan restu dari kalian. Ijinkan saya melingkarkan benda kecil ini di jari manis putri Bapak dan Ibu, ya?" Dewa merogoh sesuatu dari celananya.
Kini terlihat satu tempat berbentuk hati yang dilapisi oleh kain bludru warna merah yang halus. Dibukanya perlahan dan terlihat benda berbentuk ring yang mengilat.
"Cincin?" Diandra berucap pelan, lalu menatap sepasang mata hitam tajam milik Dewa. "Buat aku, Mas?"
Dewa mengangguk, lalu meminta Diandra mengulurkan tangannya. Sejenak, gadis cantik itu melihat pada ayah dan ibunya bergantian. Hingga akhirnya melihat anggukkan dari Teo dan Andra akhirnya menyerahkan jemarinya pada Dewa.
Dewa mengambil cincin tersebut dan perlahan memasukkan pada jari manis Diandra. Kini, cincin tersebut terlihat begitu cantik menghiasi jari manis Diandra.
"Terima kasih, Mas," ucap Diandra disertai dengan mata berkaca-kaca merasakan kebahagiaan yang begitu besar malam ini.
Kebahagiaan itu seolah terusik ketika nada dering ponsel Dewa berbunyi. Dia merogoh ponsel dari saku celana, lalu mengangkatnya.
"Halo?"
Dewa terlihat serius ketika menjawab panggilan seluler yang entah dari siapa.
"Apa? Saya dipecat?" Sepasang mata hitam Dewa membulat saat mendengar berita kabar pemecatan yang berarti esok hari dia menjadi pengangguran. Lalu, dari mana dia mendapatkan uang untuk menikahi Diandra?
Quote:Mengutamakan hal baik itu penting. Terlebih ketika sudah merasa mampu dan ingin melangsungkan pernikahan. Laksanakan dengan segera, karena hal baik itu memang untuk dijalankan, bukan untuk ditunda-tunda! _KwanSaga_Kejadian malam itu membuat Diandra kembali syok karena lagi-lagi sang ibu yang seolah menghalanginya untuk bersatu dengan Dewa. Apalagi Dewa sudah tiga kali gagal membina rumah tangga dan hal itu yang membuat Amira banyak-banyak mempertimbangkan untuk melepaskan putrinya dengan laki-laki yang mempunyai background seperti itu."Andra, makan dulu, Nduk," ucap Teo terdengar begitu hati-hati membujuk putrinya. "Enggak! Andra enggak mau makan, Ayah." "Sedikit saja, Nak. Tolong lakukan ini demi siapa pun. Kami tidak ingin kamu jatuh sakit." "Andra pokoknya enggak mau makan sebelum Ibu restuin hubungan Andra!" Teo menyerah meluluhkan watak keras putri tunggalnya. Dia memutuskan pergi. "Ayah mau ke mana?" tanya Amira ketika melihat suaminya hendak mengeluarkan sepeda motor dari garasi rumah. "Mau cari Dewa, Bu. Hanya dia yang bisa bujuk Andra supaya bisa makan." "Biarin aja, Yah! Entar juga kalau lapar dia makan sendiri," ketus Amira terlihat kesal saat mendengar nama Dewa. "Tapi, Bu–
Tiba saatnya hari pernikahan Diandra dan Dewa akan dilaksankan setelah satu Minggu berada di rumah sepulang dari rumah sakit waktu itu. Bukan hanya keluarga mempelai wanita saja, saksi bahkan penghulu pun sudah bersiap di sana. Namun, malah Dewa yang belum datang ke acara pernikahan tersebut membuat Diandra gusar menanti kedatangan calon suaminya. "Ibu, Ayah, Mas Dewa ke mana, ya?" Diandra begitu panik ketika menunggu kedatangan Dewa. "Ayah coba menelponnya, ya?" Teo mengusap pundak putrinya dan mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Namun, belum juga membuka kunci layar ponsel, laki-laki bertubuh gagah dengan paras tampan berkulit sawo matang itu pun akhirnya datang. "Maaf, Andra, Bu, Pak, saya terlambat. Tadi ada keperluan yang mendesak." Dewa menjelaskan perihal yang terjadi padanya. "Iya, enggak apa-apa, Mas." Diandra tersenyum dengan hati yang tenang dan tentu saja bahagia. Awas kamu kalau sampai tega mempermalukan anakku! Ucap Amira kesal dalam hatinya karena Dewa hampir
Untuk pertama kali saat mata Diandra terbuka dalam dekap hangat tubuh laki-laki yang dia cintai. Mata tajam yang tertutup sempurna serta tangan yang masih melingkar pada tubuhnya menjadikan wanita yang berstatus seorang istri itu merasakan kenyamanan yang luar biasa. Diandra menatap wajah suaminya yang masih terlelap. Tampangnya memang tidak membosankan dan dengan jahilnya Diandra malah mengusap bagian wajah Dewa. Mulai dari pipinya, hidungnya, dagunya dan bibirnya tidak luput dari usapan halus Diandra. Diandra melepaskan jarinya yang masih mengusap bibir Dewa bermaksud untuk menyiapkan sarapan untuk suaminya. Namun, Dewa meraih tangan istrinya dan tubuh Diandra seketika kembali terjatuh dalam pelukan hangatnya. "Mas Dewa udah bangun?" Malu-malu Diandra menyapa suaminya. "Aku ingin sekali lagi, boleh?" tanya Dewa dengan suara serak. "Sekali lagi apanya?" Terlihat wajah heran dari Diandra. "Menikmati tubuhmu, Sayang." "Iiihhhh ... Malam tadi Mas udah dua kali, masa mau minta lagi
Sepasang mata Diandra terasa perih bahkan sampai menitikkan air mata. Namun, Dewa tersenyum sarkas setelah beberapa saat sempat terdiam. "Kamu tidak usah membodohiku, Tari." Dewa saat ini terlihat santai menanggapinya. "Aku tidak membodohimu, Abang. Aku mencintaimu dan janin yang ada di perutku itu darah daging kamu." Tari terlihat berusaha meyakinkan Dewa, tetapi laki-laki itu tidaklah bodoh. "Statusmu itu istri orang, bagaimana bisa kamu hamil karena aku? Sudahlah, Tari." "Aba––" Kata-kata tari terputus."Stop! Berhenti memanggilku dengan sebutan Abang. Itu hanya masa lalu. Jalani saja hidupmu dengan suamimu dan biarkan aku hidup dengan istriku!" "TARIII!!!" Suara menggelegar telah menyentak wanita yang ada di hadapan Dewa."Abang Andi?" gumam Tari saat melihat laki-laki di seberang jalan sedang berjalan ke arahnya."Kenapa kau ada di sini? Apa belum cukup aku memberikan bukti padamu kalau aku tidak mandul? Aku tau selama ini kau melakukan KB tanpa sepengetahuanku, bukan? Untuk
Dewa menggendong tubuh istrinya untuk dipindahkan ke kamar. Di atas ranjang yang cukup besar, kini tubuh istinya terbaring tidak sadarkan diri. Laki-laki berkumis dan berjambang tipis itu berlari ke dapur untuk mematikan api yang mungkin saja bisa menghanguskan seluruh isi dapur, bahkan bisa menghabiskan segalanya, termasuk penghuni rumah. Bukan Dewa mengabaikan istrinya, tetapi dia berusaha menyelamatkan apa yang harus diutamakan terlebih dahulu. Dewa mengambil lap basah dan menutup pada kompor setelah dia berhasil membuka jendela dapur dan perlahan asap tebal itu memudar. Api pun telah padam dengan lap basah tersebut. Dapur tampak berantakan, Dewa tidak peduli akan hal itu yang jelas api sudah padam dan dia kembali ke kamar. "Sayang? Andra? Bangun ...." Dewa menepuk-nepuk pelan pipi istrinya. Diandra masih menutup mata. "Ya Tuhan, maafin Mas, Sayang. Mas enggak bermaksud bikin kamu seperti ini." Dewa menggenggam tangan Diandra. Sepasang mata Diandra masih tertutup rapat. Dewa m
Sudah satu Minggu Dewa bekerja pada Magdalena. Wanita cantik, kaya dan trendy merupakan kesan utama apabila melihatnya. Hanya saja sikapnya yang kurang begitu baik. Dia pemarah, cerewet, arogan dan super manja. "Dewa!" Magdalena memanggil. "Iya, Nona Shu!" jawab Dewa yang ada di luar ruang ganti. Ya, Magdalena mengajaknya ke mall sepulang dari kampus. "Ke sini cepat! Bawakan baju yang ada di dalam paper bag itu!" pinta Magdalena. Dewa melirik paper bag dan mengambilnya. Tangan Dewa terulur ke dalam agar Magdalena meraihnya. Namun, wanita berperawakan tinggi itu malah menarik lengan Dewa. Sontak, laki-laki yang pernah menikah empat kali ini kaget karena selama satu Minggu dia kerja pada Magdalena, wanita itu begitu galak dan juga cerewet. "Anda mau apa, Nona?" tanya Dewa. "Ini baju buat kamu, cepat ganti, aku mau lihat," ucap Magdalena bernada manja. "Tapi, masa iya Nona di sini?" Dewa menyipitkan mata. "Tinggal ganti aja." Magdalena membuka kancing kemeja Dewa. "Kamu pakai baju
Canda dan tawa telah terlontar dari bibir-bibir wanita yang bergaya sosialita. Sedangkan dewa memilih untuk menepi dari hingar-bingar orang-orang seperti itu. Dia lebih memilih untuk mengambil minum yang tersedia di meja panjang yang berselimutkan kain putih menutupi meja. Semakin malam udara semakin dingin terasa menyentuh kulit. Laki-laki berkumis dan berjambang tipis itu terlihat heran karena orang-orang yang ada di pesta tampaknya sama sekali tidak merasakan dingin meskipun memakai pakaian yang bisa dikatakan minim atau pendek. Diam-diam Dewa memperhatikan Magdalena ketika berbicara dan juga tertawa bersama teman-temannya. "Dia terlihat cantik," gumam Dewa sembari menggoyang-goyangkan gelas yang berisi air minum berwarna biru. Dia meneguknya lagi dan lagi hingga air itu tandas dan berpindah ke perutnya. "Lena, kamu datang juga?" Sayup-sayup terdengar suara laki-laki yang mendekati Magdalena. "Datanglah, masa enggak? Ini pesta ultah sahabat aku, masa iya enggak datang?" Laki-
Ekspresi melongo kini terlihat dari keduanya. Bagaimana tidak? Mereka tidak pacaran dan hubungan mereka sebatas pacaran pura-pura karena Dewa merupakan sopir pribadi Magdalena. "Hahaha ...." Suara tawa renyah terdengar dari bibir Hardian. "Lena, Lena ... aku tau kalau kamu hanya bersandiwara pacaran dengan laki-laki itu. Kamu hanya ingin menunjukkan kalau kamu itu bisa move on dengan cepat dari aku, bukan? Tetapi nyatanya tidak. Kamu masih gagal move on dariku, sehingga menyewa kekasih bayaran, kasihan!" cerca mulut comel Hardian. Magdalena hanya bisa diam, karena apa yang dikatakan oleh Hardian memang benar adanya. Dia masih mencintainya dan belum bisa move on dari kenangan indahnya bersama Hardian. Sayup-sayup Dewa mendengar bisikan-bisikan dari teman-teman Magdalena yang mulai mencibir. Dewa yang berdiri di samping Magdalena akhirnya melangkah dan saat ini keduanya sudah berhadapan. Seketika itu Magdalena mendongak dan menatap pada sopirnya. "Apa yang mau kau lakukan?" tanya Mag