Kejadian malam itu membuat Diandra kembali syok karena lagi-lagi sang ibu yang seolah menghalanginya untuk bersatu dengan Dewa. Apalagi Dewa sudah tiga kali gagal membina rumah tangga dan hal itu yang membuat Amira banyak-banyak mempertimbangkan untuk melepaskan putrinya dengan laki-laki yang mempunyai background seperti itu.
"Andra, makan dulu, Nduk," ucap Teo terdengar begitu hati-hati membujuk putrinya.
"Enggak! Andra enggak mau makan, Ayah."
"Sedikit saja, Nak. Tolong lakukan ini demi siapa pun. Kami tidak ingin kamu jatuh sakit."
"Andra pokoknya enggak mau makan sebelum Ibu restuin hubungan Andra!"
Teo menyerah meluluhkan watak keras putri tunggalnya. Dia memutuskan pergi.
"Ayah mau ke mana?" tanya Amira ketika melihat suaminya hendak mengeluarkan sepeda motor dari garasi rumah.
"Mau cari Dewa, Bu. Hanya dia yang bisa bujuk Andra supaya bisa makan."
"Biarin aja, Yah! Entar juga kalau lapar dia makan sendiri," ketus Amira terlihat kesal saat mendengar nama Dewa.
"Tapi, Bu––" Belum juga meneruskan pembicaraan, Amira langsung menyela.
"Sudah Ibu bilang, enggak usah, Ayah! Ibu juga dari awal tidak mengijinkan hubungan mereka. Bener, kan? Si Dewa itu tidak pantas bersanding dengan putri kita. Aku ingin dia kuliah dulu, bukan malah langsung menikah. Dikata rumah tangga itu mudah, apa?"
Sudah seperti petasan, Amira berucap panjang lebar pada suaminya. Kalau sudah seperti itu, Teo hanya bisa diam. Disatu sisi, dia kasihan pada anaknya dan di sisi lain, dia tidak ingin ribut dengan istrinya.
***
Malam pun tiba, Teo dan Amira sedang menikmati makan malam. Bukan cuma satu kali, mereka sudah tiga kali makan nasi. Sedangkan Diandra? Dia tidak ada makan dan minum hingga malam ini."Bu, apa Andra udah makan?" Teo bertanya di sela makannya.
Amira menggeleng. Ada raut cemas dari wajah wanita cantik yang telah menemani hidupnya sekitar dua puluh tahun lalu.
"Coba cek, Bu. Ayah khawatir."
Tanpa menjawab, wanita yang bergelar menjadi ibu itu pun menyimpan peralatan makannya demi memastikan kalau putri kesayangannya itu baik-baik saja.
"Andra, makan, yuk?" Amira hati-hati memanggil putrinya sambil mengetuk pintu kamar. Namun, tidak ada jawaban dari dalam sana. "Andra? Kamu baik-baik, kan?" Lagi, Amira bertanya. Namun Diandra tidak menjawab juga membuat Amira semakin panik.
"Gimana, Bu?" tanya Teo ketika dia sudah berada di depan kamar Diandra.
Amira menggeleng.
"Andra enggak jawab, Yah." Sepasang mata Amira berkaca-kaca saat menjawab pertanyaan suaminya.
"Andra, kamu lagi apa, Nduk? Dra? Andra?" Teo mengetuk pintu sangat kencang, tetapi tetap saja tidak ada jawaban dari dalam sana.
"Gimana ini, Yah? Andra tidak jawab juga." Amira terlihat semakin cemas, sedangkan Teo masih tetap mencoba memanggil nama putrinya. "Dobrak aja, Yah. Ibu khawatir," pinta Amira.
Akhirnya Teo memutuskan mendobrak pintu kamar putrinya. Satu dua kali, pintu itu masih tertutup rapat. Teo terus mencoba mendobrak dan akhirnya pintu kamar pun terbuka dan terlihat di atas ranjang, Diandra terbaring.
"Andraaaaa!!!" jerit Amira ketika melihat putrinya terbaring tidak sadarkan diri.
Teo segera berlari dan mencoba menyadarkan putrinya. Namun, sepertinya butuh penanganan medis karena usaha kedua orangtuanya menyadarkan pun Diandra masih belum sadar.
"Pesan taksi, Bu!" pinta Teo ketika putrinya masih belum juga sadar.
"Ba––baik, Yah. Sebentar." Amira berlari meraih ponsel yang dia letakkan di nakas kamarnya. Lalu, segera memesan taksi online melalui aplikasi.
Amira kembali ke kamar putrinya setelah memesan taksi. Tidak berselang lama, taksi itu mengabarkan sudah ada di depan rumah mereka. Teo segera menggendong putrinya, sedangkan Amira terlihat membawa ponsel dan dompet suaminya mengikuti dari samping.
Amira membukakan pintu taksi dan mereka melesat ke rumah sakit menggunakan taksi online. Perjalanan cukup lancar, hingga akhirnya Diandra dibawa ke ruang UGD untuk mendapatkan penanganan dari medis.
Cukup lama pintu ruang UGD tertutup. Amira semakin khawatir dengan putri semata wayangnya itu.
Ya Allah, apakah aku keterlaluan pada putriku? Batin Amira saat menunggu pintu ruang UGD terbuka. Air mata pun terus menerus jatuh dari sudut mata membasahi pipi.
"Andra akan baik-baik aja, Bu." Teo mencoba menenangkan istrinya dengan mengusap pelan pundak Amira.
Akhirnya pintu ruang UGD yang ditunggu itu pun terbuka. Seorang dokter terlihat keluar dari dalam sana.
"Gimana keadaan anak saya, Dok?" tanya Teo.
Dokter itu tersenyum.
"Tidak ada yang harus dikhawatirkan, Pak, Bu. Pasien hanya kekurangan asupan makan dan minum ke dalam tubuhnya yang menjadikannya lemas, lalu kehilangan kesadaran."
"Ah, sukur, lah. Saya kira ada hal serius. Boleh, kah, kami menjenguknya, Dok?"
"Boleh, silahkan. Tinggal menunggu infus habis, pasien sudah boleh dibawa pulang," ucap dokter itu sebelum pergi.
Teo dan Amira masuk ke ruang UGD untuk menjenguk putrinya. Diandra memang sudah sadar, tetapi dia seolah tidak mau melihat kedua orang tuanya, terlebih Amira. Satu orang perawat pun keluar dari kamar tersebut setelah memastikan pasien telah terkontrol sesuai prosedur rumah sakit.
"Andra, kenapa kamu menyiksa dirimu seperti ini, Nak?" Suara lembut terdengar di telinga Diandra, akan tetapi dia tidak menghiraukannya.
"Nduk, kamu mau makan sama apa? Nanti Ayah belikan." Teo mencoba merayu putrinya, tetapi tampaknya sia-sia karena Diandra tidak memedulikannya.
Teo dan Amira mati-matian membujuk Diandra. Namun, gadis itu tetap membisu dengan pandangan yang selalu berpaling. Tentu saja hal tersebut membuat hati orang tuanya cemas. Terutama Amira, dia merasa bersalah atas kejadian yang menimpa putri kesayangannya.
Amira bangkit dari tempat duduknya, dia keluar kamar UGD karena merasa bersalah dan tentu saja hatinya sakit karena merasa tidak dipedulikan oleh Diandra. Akhirnya Teo pun berjalan menyusul istrinya yang ternyata sudah duduk di kursi stainless sebelah kamar UGD.
"Ibu kenapa?" Teo bertanya saat dia duduk di samping Amira.
"Ibu sedih, Ayah."
"Sekarang Ibu maunya gimana? Karena sudah jelas, Andra pasti hanya meminta menikah dengan Dewa."
Amira membisu sejenak. Lidahnya terasa kelu dengan angan yang melayang-layang memikirkan nasib putrinya kelak.
"Ibu enggak tau, Ayah, tapi kalau memang menikah dengan Dewa itu merupakan hal terbaik buat dia, Ibu bisa apa?"
"Ibu merestuinya?"
Meskipun berat hati, Amira mengangguk pelan. Walau mungkin harus memalsukan data usia Diandra karena masih belum cukup untuk standarisasi minimal pernikahan.
Dewa pun berjalan mendekat ke ruang UGD. Dahi Amira mengernyit saat melihat Dewa di hadapan mereka.
"Pak, Bu, bagaimana keadaan Andra?" tanya Dewa saat dirinya sudah berdiri di hadapan Teo dan Amira.
"Dewa? Dari mana kamu tau Andra ada di sini?" tanya Amira merasa heran.
"Ayah yang menghubungi Dewa ketika tadi mengurus administrasi Andra, Bu." Teo menjelaskan pada istrinya.
Amira tidak ingin melakukan kesalahannya terlalu jauh, akhirnya dia bersedia meminta maaf pada Dewa atas kelakuan yang mungkin saja melukai perasaannya dan dia memberikan restu pada Dewa meskipun hatinya belum begitu tulus. Entah, nalurinya pada Dewa masih belum sepenuhnya menitipkan Diandra padanya.
"Alhamdulillah, aku sudah kembali bekerja, Bu. Tapi, aku ingin menikahi Andra secepatnya karena nanti aku harus tinggal di luar kota," ucap Dewa yang entah itu kabar bahagia atau menyedihkan untuk kedua orang tua Diandra.
"Apa?" Amira membulatkan mata.
"Iya, Bu. Aku sudah mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang cukup besar di luar kota."
Tubuh Amira terasa lemas. Ini memang kabar baik, tetapi bagi dirinya sulit melepaskan putri kesayangannya kalau harus ikut Dewa ke luar kota.
Aku harus gimana, ya Allah? Batin Amira merasa bingung untuk mengambil satu keputusan besar untuk putri semata wayangnya, karena hati Amira belum juga luluh untuk menerima Dewa sebagai menantunya.
Quote:Ketika ibumu marah, percayalah, dia begitu menyayangimu! Dia tidak ingin melihatmu terpuruk. Ucapan atau sikapnya ketika marah menjadikan lecutan untukmu agar bisa berubah menjadi lebih baik. _KwanSaga_Waktu bergulir begitu cepat. Tidak terasa usia pernikahan Calvin dan Diandra sudah menginjak dua tahun. Tepat di hari pernikahan mereka yang kedua, perut Diandra terasa mulas saat siang hari. Betapa syoknya dia ketika melihat celana dalamnya ada bercak darah dan ia pun berteriak."Bi! Bibi! Tolong aku!" teriakan itu menggelegar ketika rasa mulas sedikit mereda. Rasa mulas bercampur sakit yang datang lalu menghilang, datang dan menghilang, terus saja terulang hingga ritmenya semakin cepat. "Iya, Non." Pembantunya datang menghampiri. "Aku udah mules-mules, Bi. Di celanaku juga udah ada bercak darah. Apa aku mau melahirkan, ya?" tanya Diandra sambil memejamkan mata menahan rasa sakit dan mules. "Iya, Non, sepertinya cepat itu. Mari Bibi tolong, Non Diandra duduk dulu di tempat tidur dan Bibi akan panggil dulu Pak Winoto," ujar asisten rumah tangga itu yang akan memanggil laki-laki yang menjadi sopir. Diandra mengangguk dan berjalan ke tepi ranjang dibantu oleh asisten rumah tanggany
Rumah dua lantai yang terlihat elegan di atas lahan yang luas di depan, belakang serta samping kiri dan kanannya kini sudah selesai dengan rentan waktu sekitar enam bulan pengerjaan. Calvin dan Diandra kini sudah tinggal di rumah tersebut. Diandra mengatur segala perabotan di rumah itu. Ia merasa bahagia hidup bersama Calvin. Rasa syukur atas limpahan rahmat dan kebahagiaan yang menurutnya sempurna dari Tuhan. Mulai dari memiliki suami yang baik, sabar, tampan dan begitu perhatian padanya. Keadaan mereka yang tentu saja tidak merasa kekurangan bahkan dapat dikatakan bergelimang harta tetapi tidak sama sekali membuat mereka merasa tinggi hati. Seperti saat ini, Diandra dan Calvin berencana ke panti asuhan sekadar ingin memberikan santunan wajib untuk anak-anak yang mungkin kurang beruntung. "Sudah siap, Sayang?" Calvin berbisik pada istrinya yang sedang duduk di kursi riasnya. "Dikit lagi, kamu tunggu di mobil aja, Ko. Enggak lama, tinggal dikit lagi," jawab Diandra sambil menepuk-
Calvin terbangun. Antara merasa sadar dan bermimpi saat ia merasa ada seseorang yang terisak. Perlahan matanya terbuka dan ia sempat terkejut saat istrinya terlihat duduk memunggunginya dengan suara tangis pelan. "Sayang? Kamu kenapa?" tanya Calvin setelah ia duduk di samping Diandra. Diandra tidak menjawab, ia masih terisak dan tidak mau menatap suaminya. Lagi-lagi Calvin cukup kesulitan mengorek tentang apa yang sedang dirasakan oleh Diandra. Padahal seharusnya Diandra sudah lebih bisa terbuka pada Calvin. Namun, nyatanya traumatik itu cukup sulit dihilangkan. Trauma tentang kepercayaan yang ternodai oleh perselingkuhan masih terbawa hingga dipernikahannya yang kedua. "Coba jelaskan, please, Ket. Kalau seperti ini terus, gimana aku tau salah aku di mana?" "Maafin aku." Diandra berucap bersama suara tangis serta air mata yang tertumpah di pipi, bahkan pangkal hidungnya pun sudah memerah karena terus-menerus menangis. "Sini." Calvin memeluk erat Diandra. Calvin memberikan waktu b
Pernikahan Calvin dan Diandra sudah berjalan tiga bulan. Mereka tampak bahagia meski di awal-awal pernikahan cukup banyak penyesuaian. Ya, pasti akan ada banyak hal yang harus diterima, dimaklumi dan diubah. Mereka saat ini dua kepala yang harus menjadi satu hati. Dua pemikiran yang harus bisa sejalan tentu saja sulit. Namun dengan saling menerima dan saling melengkapi akan dapat dijalani dengan baik, meski di awal-awal pasti akan terasa sulit. "Sarapan dulu, Ko!" Diandra berteriak di meja makan memanggil Calvin. Saat ini Diandra memilih menjadi istri yang full time di rumah, tentu saja mengurus rumah dan suaminya. Memanjakan diri dengan aktivitas yang ia sukai dan meninggalkan kantor di mana ia bekerja. Hal ini atas kesepakatan mereka berdua tentunya. "Iya, Sayang!" jawab Calvin yang keluar dari kamar bersama dasi yang ia pegang. Diandra bangkit dari kursi, lalu meraih dasi itu untuk dipakaikan di kerah kemeja suaminya. Calvin menatap wajah yang terlihat khusuk memasangkan dasi,
Calvin dan Diandra saling menatap, wajah mereka berdua terlihat bingung dan juga panik. "Mas? Mas Dewa?" Diandra mencoba menepuk-nepuk tangan Dewa, tetapi tidak ada pergerakan. Calvin meletakkan telunjuk di bawah hidung Dewa bermaksud mengecek napas laki-laki yang tiba-tiba tidak sadarkan diri. Lalu melanjutkan pada pergelangan tangan untuk mengecek detak nadinya. Hilang. "Kamu tunggu di sini, aku akan kembali secepatnya." Calvin gegas persegi dari ruang inap Dewa. Diandra bingung dengan sikap Calvin, hatinya berkata kalau ada hal buruk menimpa Dewa. Ia ingin mengecek tubuh Dewa, tetapi rasa takutnya membuat nyalinya menciut. Lima, sepuluh, lima belas menit berlalu Calvin belum juga kembali hingga akhirnya Diandra nekat untuk mengecek keadaan mantan suaminya. Mulai napas dari hidung, detak di nadi dan perlahan meski terasa sesak, ia memberanikan menempelkan telinganya pada dada Dewa yang masih terpejam tak berdaya. Mata Diandra membulat ketika tanda-tanda kehidupan tidak ditunjuk
Dewa telah dipindah ruangan. Saat ini Magdalena masih setia menjaganya. Kekhawatiran menyelimuti wajah cantik Magdalena setelah enam jam berlalu, Dewa belum juga siuman. Padahal, kata dokter kondisinya sudah stabil. Sekitar jam delapan malam akhirnya ada pergerakan dari tubuh Dewa. Bibirnya mengatup-atup, tetapi belum ada suara. Sontak, Magdalena pun terlihat bahagia dan takjub bahwasannya seseorang yang ia cintai telah sadar dari komanya. "Dewa?" Magdalena menggenggam tangan Dewa dengan hangat. "Andraaaa ...." lirih Dewa dengan tatapan kosong melihat langit-langit kamar inap. Ada yang sakit, tetapi tidak berdarah ketika Dewa malah menyebutkan nama wanita lain padahal yang menjaga dan membawanya ke rumah sakit itu Magdalena. Namun, ia tidak bisa marah ketika menyadari begitu mengkhawatirkannya keadaan Dewa saat ini. Rasa ibanya mengalahkan rasa kecewa yang dirasakan Magdalena. **Pernikahan Diandra semakin dekat. Semuanya sudah dipersiapkan dengan matang. Perbincangan hangat pun