“Pembohong!” desis Laura, suaranya bagai angin dingin yang menyusup ke dalam tulang. Matanya yang tajam seperti panah berapi menghujam wajah Smith tanpa ampun.Dia merasa ditipu—dibohongi mentah-mentah oleh pria yang seharusnya menjadi pelindungnya. Smith bilang, makan malam ini hanya untuk mereka berdua.Namun kini, Stella duduk di sana dengan anggun, di sisi Smith, seolah tempat itu memang selalu miliknya.“Stella? Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Smith dengan ekspresi yang bergeser antara bingung dan terkejut, meskipun di mata Laura, itu tampak seperti sandiwara yang buruk.“What? Kau yang mengundangku kemari, Smith. Lagi pula, ini adalah hari Valentine. Sudah menjadi rutinitas kita merayakan dan makan malam bersama.”Stella menjawab dengan santai, suaranya seperti madu yang dibubuhkan pada luka terbuka—manis tetapi menyakitkan.Wanita itu melirik Laura, seolah sengaja menambahkan garam pada luka yang sudah perih. “Meskipun kali ini berbeda. Ada seseorang yang harus kau ikuti d
“Kenapa kau pergi begitu saja, Laura?” tanya Smith dengan suara yang berat, penuh tekanan, ketika ia menghampiri Laura.Wanita itu duduk di meja makan, tampak tenang di luar tetapi menyimpan badai di dalam hatinya. Ia tengah menyendokkan pudding ke mulutnya, sebuah kenyamanan kecil yang ia cicipi di tengah kekacauan.Pudding buatan pelayan rumah itu terasa manis, tetapi tidak cukup untuk melunakkan kepahitan di hatinya.Smith baru tiba satu jam setelah Laura meninggalkan restoran. Selama perjalanan, ia mencoba menyusun alasan, kata-kata, tetapi semuanya terasa kosong ketika berhadapan langsung dengan istrinya.Laura, dengan sikap dinginnya, memilih pulang setelah melihat Stella dengan begitu santainya duduk di sisi Smith.“Kau pikir saja sendiri kenapa aku pergi begitu saja. Apa aku harus menjelaskan lagi?” ucap Laura, suaranya datar, nyaris tak beremosi, tetapi menyimpan ketegasan yang memukul.Ia bahkan tidak mengalihkan pandangannya dari pudding yang kini hampir habis.Smith mengge
Smith mengangkat cangkir kopinya dan melirik jam dinding. Waktu menunjukkan pukul sembilan lebih sepuluh menit. Ia menghela napas, lalu meletakkan cangkir itu di meja."Aku harus bertemu dengan klienku pukul sepuluh nanti," ucapnya sembari berdiri dari kursinya.Laura mengangkat wajahnya dari piring sarapannya. “Hati-hati di jalan,” balasnya singkat.Smith hanya mengangguk sebelum meraih tasnya dan pergi meninggalkan Laura sendirian di meja makan.Laura memandang piring di depannya, tapi perutnya tiba-tiba terasa tidak nyaman. Ia memegangi perutnya yang mulai terasa bergejolak.“Ada apa denganku? Kenapa rasanya tidak enak seperti ini,” gumamnya pelan.Ia menutup mulutnya dengan tangan, mencoba menahan rasa mual yang semakin menjadi-jadi. Tak kuasa, ia bangkit dari kursinya dan berlari menuju wastafel di dapur.Tubuhnya terguncang saat ia memuntahkan isi perutnya. Rasa pahit di tenggorokannya membuatnya semakin tak karuan.“Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba aku mual?” tanyanya pada dirinya
Laura mengetuk pintu ruang kerja Vincent dengan pelan. Suara ketukan itu memecah keheningan yang dipenuhi oleh suara jam dinding yang berdetak pelan.Di balik pintu, Vincent sedang duduk di balik meja kerjanya, memeriksa sejumlah dokumen dengan kaca mata bacanya.“Masuk,” katanya tanpa mengalihkan pandangan dari berkas-berkas di tangannya.Laura membuka pintu perlahan dan melangkah masuk, menutupnya kembali dengan hati-hati.Ia berdiri beberapa saat di depan meja kerja Vincent, menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, “Daddy, ada yang ingin aku bicarakan denganmu.”Vincent mengangkat kepalanya, memandang menantunya itu dengan tatapan tajam, penuh perhatian.Ia melepas kacamatanya dan meletakkannya di atas meja dengan rapi. “Ada apa, Laura?” tanyanya, suaranya terdengar tenang, tetapi ada nada yang menyiratkan ia tahu pembicaraan ini tidak akan mudah.Laura menggigit bibir bawahnya, merasa gugup. Ia memainkan jari-jarinya dengan gelisah, matanya melirik Vincent yang tetap me
“Di mana Laura?” tanya Smith langsung, nadanya tajam, meskipun ia mencoba untuk tetap terlihat tenang.Smith menghampiri Diana, wajahnya tampak gelisah.Pikirannya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan ketika ia teringat bahwa Laura datang lebih dulu ke kantor pagi ini, dengan alasan ada sesuatu yang harus ia selesaikan. Namun, hingga kini, Laura belum juga menampakkan dirinya.Diana menghentikan pekerjaannya sejenak, berdiri tegak dan menatap Smith.“Laura memang datang lebih awal, setengah jam yang lalu. Tapi, sampai saat ini dia belum juga kembali, Tuan,” jawabnya singkat.Smith mengerutkan kening, merasa ada yang tidak beres. Ia tidak menjawab, hanya mengangguk tipis sebelum berbalik dan melangkah dengan tergesa menuju ruang kerjanya. Sepanjang perjalanan, pikirannya terus bertanya-tanya, mencoba mencari alasan di balik ketidakhadiran Laura.Sementara itu, Diana menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya pelan. “Tidak pernah kusangka dan tidak pernah kuduga. Rupanya Laura d
“Tuan, ada surat untuk Tuan,” ujar pelayan itu dengan nada hormat sambil menyerahkan amplop tersebut.Smith baru saja melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, wajahnya tampak lelah dan penuh emosi yang belum reda.Namun, langkahnya terhenti ketika salah seorang pelayan menghampirinya dengan cepat, membawa sebuah amplop cokelat di tangan.Smith mengambil amplop itu tanpa banyak bicara, tetapi matanya menyipit penuh curiga. “Di mana Laura? Apa dia sudah kembali?” tanyanya sembari menatap pelayan itu dengan tajam.Pelayan tersebut menundukkan kepalanya sedikit, terlihat ragu sebelum menjawab. “Tidak ada, Tuan. Sejak pagi tadi, Nona Laura tidak kembali.”Smith memijat batang hidungnya, menghela napas berat. Ada perasaan gelisah yang mulai menjalar dalam hatinya.“Bagaimana dengan barang-barang miliknya? Apakah dia membawa semuanya?” tanyanya lagi, suaranya lebih pelan namun tetap terdengar tegas.Pelayan itu menggeleng. “Masih ada, Tuan. Sepertinya Nona Laura tidak membawa barang-barang
Smith menghentikan mobilnya dengan kasar di area parkir basement apartemen yang diberikan Miranda.Ia keluar dengan cepat, langkahnya penuh kemarahan dan kegelisahan. Napasnya berat, tapi matanya penuh determinasi. Ia tak akan berhenti sampai menemukan Laura.Setelah memasuki lift, Smith berdiri dengan tangan mengepal. Matanya menatap angka-angka di panel lift yang perlahan naik. Ia bergumam pelan, suaranya rendah namun penuh emosi."Aku yakin kau belum jauh, Laura. Aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja dariku. Kau belum mendengar penjelasanku, tapi sudah pergi begitu saja. Hanya karena kau gagal mengandung anakku!"Kata-kata itu terasa seperti sebuah pelampiasan. Jiwanya terasa terguncang sejak Laura pergi.Baru sehari tanpa istrinya, pikirannya sudah kacau balau. Hatinya seperti tertahan di jurang yang gelap.Sesampainya di lantai apartemen, Smith melangkah cepat menuju pintu dengan alamat yang diberikan Miranda.Ia mengeluarkan kertas kecil dari sakunya dan mengetikkan kata
Smith membuka pintu ruang kerja Louis dengan keras hingga suara deritnya memecah keheningan.Buku-buku di rak bergetar tipis, dan Louis yang tengah sibuk di balik meja kerjanya hanya melirik sekilas, seakan kedatangan Smith sudah ia duga."Sebenarnya kau tahu di mana Laura berada, kan?" suara Smith penuh emosi, nyaris seperti tuduhan yang sulit terbantahkan. Wajahnya tampak lelah, garis-garis ketegangan jelas terukir di dahi dan di sekitar matanya.Louis mendongak perlahan. Ia tak langsung menjawab, melainkan menarik napas panjang dan menyungginkan senyum tipis di bibirnya. Ekspresinya datar, nyaris santai, namun ada sesuatu di matanya yang sulit ditebak."Untuk apa aku menyembunyikan Laura, huh?" ujar Louis sambil menyandarkan punggungnya di sofa empuk di ruangan itu."Toh, kau akan mengetahuinya jika aku benar-benar menyembunyikan dia darimu," lanjutnya, suaranya terdengar ringan tetapi sarkastik.Smith mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Ia masih berdiri di tengah ruangan se
Diana tidak akan memungkiri perasaannya kepada Louis meskipun dia belum bisa mengatakan bahwa itu adalah perasaan cinta.Namun, rasa nyaman dan lepas yang dirasakannya bagi Diana sudah cukup membuatnya yakin kalau Louis adalah orangnya. Tapi lagi-lagi bayangan ketika dirinya menangis tersedu-sedu setelah mengetahui bahwa lelaki yang dia cintai, lelaki yang juga sering mengatakan cinta padanya malah berkhianat terlintas di pikiran.Diana sangat benci perasaan itu tapi dia juga sulit sekali menghilangkannya karena sudah membentuk trauma. Dan itu semua adalah tugas Louis, Louis harus menyembuhkan Diana dan membuat gadis itu dapat berdamai dengan traumanya."Diana, kamu tahu aku, kita sudah lama kenal. Ke mana pun aku pergi kamu selalu ikut. Kamu juga tahu perempuan mana saja yang ingin dekat denganku tapi aku menolak mereka, kan? "Kamu harus tahu, Di, penolakan demi penolakan yang kulakukan semata karena aku ingin kamu bisa lihat kalau selama kita bersama, aku bukan lelaki yang mudah t
Diana memejamkan matanya mendengar ucapan Louis yang sungguh di luar dugaan. Gadis itu membeku di tempatnya sekarang tanpa bereaksi apa-apa.Sementara itu, Smith langsung menghampiri Louis dan mempertanyakan keseriusan sang adik atas ucapannya barusan. "Aku serius, Smith. Aku mencintai Diana bahkan sebelum dia jadi asisten pribadiku, aku sudah memiliki rasa suka padanya meskipun, ya ... cinta itu baru benar-benar tumbuh setelah kami sering bersama," ungkap Louis lagi.Diana dapat mendengarnya dengan jelas, tapi dia tidak percaya. Apa yang Louis lakukan terhadapnya selama masa kerja sungguh berbanding terbalik dengan apa yang Louis ungkapkan barusan."Diana, maafkan aku," ucap Louis.Diana tak menjawab dan malah geleng-geleng kepala. Setelah itu, Diana pergi karena merasa sudah tak sanggup lagi berada di situasi itu."Om, Laura, Smith, aku pulang dulu, ya," pamitnya.Vincent ingin menahan tapi dia paham akan perasaan Diana yang sudah pasti merasa bingung atas sikap Louis yang sangat m
Diana baru selesai menyiapkan jadwal Louis untuk besok ketika dia hendak pulang. Waktu menunjukkan pukul 7 malam dan rasanya badan Diana sangat remuk saking sibuknya hari ini."Ini sudah terlalu malam, kamu pulang ke rumahku saja supaya besok bisa langsung berangkat denganku. Kamu, kan, suka lelet," ujar Louis.Mendengar ejekan Louis padanya, Diana langsung menyipitkan matanya. "Apa maksud kamu bilang begitu? Aku lelet? Hey, sudah hampir satu bulan aku bekerja denganmu dan setiap hari aku pulang jam 6 atau jam 7 malam. "Setiap hari juga, aku sampai jam 8 malam dan baru bisa istirahat setelah jam 10 malam karena kamu selalu menyuruhku banyak hal. Aku capek dan kamu malah bilang aku suka lelet?" Diana memelototi Louis saking kesal."Lah, memang kenyataannya kamu lelet, kamu sering terlambat setengah jam bahkan sampai satu jam. Itu dinamakan lelet, kan?" balas Louis."Iya, tapi seharusnya kamu memahami alasanku sampai lelet begitu, aku kurang istirahat dan seharusnya kamu juga jangan me
Tiga hari kemudian, Laura pulang ke rumah dan disambut dengan suka cita oleh para asisten rumah tangga serta kerabat dekat yang masih berada di sana. Rencananya, mereka akan pulang hari ini karena Laura sudah sehat dan pulang.Suasana rumah Smith sangat ramai di sana mereka melakukan syukuran kecil-kecilan dengan makan bersama di taman belakang yang sudah dihias sedemikian rupa oleh para pekerja.Smith menggendong Daniel sementara Laura menggendong Davide, mereka mengumumkan nama bayi mereka secara resmi bahkan Diana juga ada di sana."Diana, kesibukan kamu sekarang apa?" tanya Vincent pada gadis yang sudah Laura anggap seperti saudaranya sendiri."Aku baru resign dari pekerjaanku sebelumnya, Om. Aku mau cari kerjaan lagi tapi belum sempat persiapan, mungkin bulan depan aku mulai cari lagi," jawab Diana.Vincent mengusap dagunya, menatap Diana lekat lalu beralih menatap Louis yang dia lihat tak hentinya curi-curi pandang pada Diana.Terlintas ide dalam pikiran Vincent, bagaimana kalau
"Smith ... aku berhasil pulang."Suara itu terdengar sangat lirih di telinga Smith, bahkan hampir tak terdengar. Namun, lelaki itu yakin kalau Laura memang berbicara dan itu membuatnya merasa amat sangat lega.Vincent yang sejak tadi menunggu dengan harap cemas juga langsung mengucap syukur, dia menatap Laura yang masih dalam keadaan setengah sadar karena masih berada dalam efek anestesi."Manantuku, menantu kesayanganku ...." isak Vincent."Ayah, aku bertemu sahabatmu," ucap Laura. "Kami hampir pergi bersama.""Oh, Laura, jangan sampai hal itu terjadi. Anak-anakmu membutuhkanmu," sahut Vincent yang paham bahwa sahabat yang dimaksud Laura sudah pasti Ferdy, ayahnya."Ya, dia bilang takdirku yang sesungguhnya memang di sini," kata Laura pelan."Kamu gak nanya sama aku, Sayang? Aku sejak tadi di sini menunggu kamu sadar tapi saat bangun kamu malah ngobrol sama Ayah," ucap Smith membuat Laura tersenyum."Aku selalu bersamamu bahkan ketika kamu meminta do'a pada anak-anak kita," jawab Lau
Operasi telah selesai dilaksanakan tapi kondisi Laura ternyata malah menurun, tekanan darah yang tinggi membuat detak jantungnya justru semakin melemah.Laura dibawa keluar dari ruang operasi menuju ruang pemulihan dengan berbagai alat yang terpasang di tubunya. Smith sama sekali belum melihat anak kembarnya kecuali hanya di ruang operasi tadi. Dia memilih mendampingi Laura dan meminta perawat menjaganya dengan baik di ruang yang terpisah dari ruang bayi lain."Smith, mana Laura dan cucu-cucu ayah?" tanya Vincent.Lelaki itu datang tergopoh-gopoh setelah mendengar kabar bahwa Laura melahirkan cucunya. Vincent bahkan sampai meninggalkan pekerjaan dan rapatnya dengan klien-klien penting."Cucu-cucu Ayah ada di ruang perawatan khusus, sedangkan Laura masih di ruang pemulihan. Dia belum sadarkan diri dan kondisinya menurun," jawab Smith seraya menutup wajahnya dengan kedua tangan.Vincent tercengang mendengar kabar tersebut sebab saat berangkat tadi dia masih berbincang dengan menantunya.
"Lakukan apa pun yang terbaik bagi istri dan anak-anak saya, Dok. Lagi pula, istri saya sudah sangat kesakitan, saya tidak tega melihatnya."Smith berbicara seraya menatap dokter kandungan tersebut dengan seksama. Dokter pun mengangguk, siap melaksanakan prosedur operasi caesar.Namun, sebelum nya Smith mesti menandatangani dulu surat persetujuan karena prosedur ini bisa dibilang sakral, tidak boleh dilakukan sembarangan.Setelah selesai semua persyaratan, Smith langsung menemui Laura yang sedang kesakitan di ruang bersalin. Smith mengabarkan kalau Laura akan dioperasi demi keselamatan buah hati mereka."Gak papa, kan, kalau operasi? Kondisi kamu tidak memungkinkan, Sayang. Plasentanya menghalangi jalan lahir dan itu akan membahayakan anak-anak kita. Begitu kata dokter," tanya Smith seraya menjelaskan.Laura sudah pasrah, apa pun tindakan yang akan diambil terhadapnya, Laura tidak akan mencegah apalagi melawan. Melahirkan secara normal maupun caesar baginya sama saja, sama-sama memerl
Setelah mendengar kabar bahwa Laura kemungkinan akan melahirkan dalam waktu dua minggu ke depan, Smith mempersiapkan segalanya salah satunya yakni dengan mengambil cuti dari kantornya.Meskipun dia adalah seorang CEO, pemilik perusahaan yang tentu memiliki kuasa, Smith tetap bersikap profesional dengan mengajukan cuti secara resmi. Untuk sementara, posisi dan pekerjaannya akan ditangani oleh Louis, adiknya."Smith, sebenarnya tanpa ada yang menggantikanmu pun sepertinya bukan masalah besar, pekerjaan CEO, kan, tinggal ongkang-ongkang kaki saja," ujar Louis membuat sang kakak sontak mendelikkan matanya."Jadi, begitu yang kamu pikirkan selama ini, aku hanya ongkang-ongkang kaki saja?" Smith menatap Louis dengan seksama."Hehehe, aku hanya bercanda, Smith. Jangan melotot begitu lah, serius amat!" sahut Louis menggaruk kepalanya yang tak gatal."Lihat saja, kamu nanti akan merasakan apa yang aku rasakan. Kamu akan sangat sibuk bahkan melebihi kesibukanku dulu. Kamu akan kewalahan dan men
Smith sangat sigap menuntun Laura yang merasakan sakit seperti kram di perutnya. Dengan tertatih, Laura berjalan menuju mobil yang sudah siap di depan."Jangan-jangan kamu kecapean, Sayang," tebak Smith. "Kalau melahirkan, kan, waktunya belum genap."Smith terus berbicara dengan perasaa resah dan gelisah. Sementara itu, Laura hanya bisa menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Aktifitas itu cukup mengurangi rasa sakitnya.Saat ini, Laura dan Smith sudah berada di perjalanan ke rumah sakit demi memeriksa keadaan Laura yang sempat merasakan sakit di perutnya.Namun, baru juga setengah perjalanan, sakit yang dirasakan Laura sudah reda bahkan menghilang. Laura yang belum memiliki pengalaman sebelumnya merasa heran, dia ingin mengatakan hal itu pada suaminya tapi merasa enggan."Sayang, apa kamu baik-baik saja? Sakitnya masih terasa?" tanya Smith mengelus perut istrinya. Laura sedikit meringis. "Sepertinya perutku sudah lebih baik, Sayang. Aku juga gak paham kenapa. Apa kita pu