Ika Bab 5 edit
"Ikaaaa?" Yuni tergopoh-gopoh untuk masuk ke dalam rumah Ika. Ika yang sedang merapikan perabotan sisa membuat kue-kue dagangan sangat kaget. Tadi Ika meninggalkan Yuni di lapak dagangan. Ia pulang sebentar untuk menjemput anak-anaknya dari sekolah dan merapikan dapurnya yang kayak kapal pecah. Akhir-akhir ini dagangan Ika selalu habis, jadi ia percayakan saja kepada temannya itu sisa dagangannya . "Yun, ada apa kamu teriak-teriak?" tanya Ika. "Ikaaa, kamu dicariin Bu Kesih." Yuni masih berteriak kencang. "Hah? Aduuuhhhhh. Lusa Bu Lidya ke sini, sekarang tinggal Bu Kesih? Gawat ini, Bu Lidya pasti sudah cerita sama Bu Kesih nih. Dasar nenek lampir mulut ember. Katanya sudah janji nggak mau bilang yang lain. Mampus lah aku, Yun. Ika menoyor kepalanya sendiri. "Ini pasti uang arisan, kan?" tanya Yuni. "Kamu sih Ka. Udah dibilangin duit arisan tuh bahaya. Kamu main ambil aja. Mereka pasti nyariin tuh duit. Sekarang Bu Lidya pasti sudah menyebarkan beritanya kalau uang arisan ada sama kamu, Ka. Buktinya Bu Kesih datang mencak-mencak. Katanya dagangan kamu mau digulingin kalau kamu nggak ngasih dia uang. Aduuh, aku jadi ikut pusing, Kaa." Tanpa disadari Yuni pun memegang kepalanya. Ini bukan masalahnya, tapi ia jadi ikut dikejar-kejar ibu-ibu arisan. "Ka, belum lagi ibu-ibu yang lain. Sudah dua yang datang, masih ada 7 lagi. Kalau semua ibu-ibu itu geruduk dagangan kita bisa habis, Ka. Untung aja aku nggak ikut nagih. Uang 100rb kan memang berharga untuk ibu-ibu, Ka. Bisa buat beli beras 2 mingguan." Yuni nyerocos mengomentari masalah Ika. "Bisa diem nggak, Yun? aku juga lagi pusing. Belum lagi cicilan bank harianku. Duuuuh aku kepingin nyemplung aja di laut." "Jangan, Ka. Kamu terlalu berharga. Nanti kamu jadi gak bayar hutangku, Ka." "Ya Allah, Yun. Udah kere begini masih aja dikasih cobaan temen yang kaya kamu." Ika mendorong tubuh temannya dengan kencang. Yuni terjerembab ke tanah. "Heh, kurang ajar kamu, Ka. Sakit tau! Tangan Yuni terjulur, "Angkat aku cepetan" Ika membalik badan, "Ogah" . Yuni bangkit sendiri. "Eh, enak aja ya kamu, Ka. Gini-gini juga aku yang selalu belain kamu kalau ada yang nagihin utang. Coba deh orang lain, udah ogah pasti temenan sama kamu." Terdiam, Ika tidak bisa menjawab. Perkataan temannya itu memang benar, selama ini cuma Yuni yang mau jadi temannya. Bahkan suaminya sudah meninggalkannya. Kalaupun suaminya di sini, ia tidak akan bisa membantu. Kini ia sudah tidak punya pegangan apapun. Satu-satunya orang yang akan menolongnya adalah bapak mertuanya. Tapi konsekwensinya adalah ia harus menyerahkan tubuhnya. Ika menarik nafas panjang. Tangannya gamang untuk menelpon bapak mertuanya. Berbagai pikiran berkecamuk dalam dirinya. 'Apalah bedanya aku dengan pelacur, aku menjual tubuhku untuk mendapatkan uang.' Tapi dia sudah tidak punya pilihan lain. "Ka, bengong mulu sih!" ternyata Yuni memperhatikan Ika sejak tadi. "Bu Lydya kemaren kamu sumpel mulutnya pakai apa?" "Hush, sembarangan kamu, Yun." Ika jadi gelagapan ditanyain sahabatnya. "Hmm, aku pinjem ke temen, Yun." "Bohong kamu! aku kan kenal temenmu siapa saja. Jujur aja lah. Kamu mana bisa sih bohong sama aku." Yuni membusungkan dadanya. "Sok tahu kamu, Yun." Ika membalas. Ia ragu kalau harus bercerita tentang hal ini. "Aku itu nggak ember, Ka." "Iya, aku tahu, Yun" Ika lirih menjawab. "Bapak mertuaku yang membantu, Yun." "Bapak mertua? Yuni kaget. "Tumbenan amat bapak kamu baik, Yun. Ibu mertua kamu aja pelit bukan main. Anaknya Nur aja ceritain ke orang-orang, sedangkan kamu, digoreng sampai gosong sama tuh orang." "Iya nih, Yun." Ika menunduk. Ia tak mungkin menceritakan lebih jauh hubungan mereka. "Yasudah minta tolong lagi aja sama mertuamu itu, Ka. Dia kan mandor proyek, duitnya masih banyak lah. Itung-itung dia gantiin anaknya untuk nafkahin kamu." Ceplosan Yuni malah bikin Ika kaget. Tetapi ia memilih untuk tidak meneruskan obrolan dengan Yuni. Ia hanya berjanji akan membayar hutang Bu Kesih segera. **** Akhirnya, nama Pak Tio terpampang di layar teleponnya. Tidak berjarak lama, suara yang ia kenal menyapanya. Mendengar suara bapak mertuanya, bulu kuduk Ika meremang. Ia tahu kemungkinan apa yang akan ia hadapi. "Halo, Ika? Kamu butuh uang?" Tanpa basa-basi pertanyaan itu terhujam dalam dirinya. "Halo, Pak. I..iya pak Ika butuh uang." Ika berkata ragu. "Berapa, Ka?" "Satu juta, Pak." Semakin lirih suara Ika terdengar. "Nanti malam bapak ke rumah kamu " Telepon di tutup. Nanti malam? Ika sudah menebak apa jalan pikiran mertuanya itu. *** Anak-anak Ika biasanya tertidur jam 9 malam setelah menonton televisi. Setelah menemani anak-anaknya, Ika ingin merebahkan badannya di kasur. Namun ia teringat kalau mertuanya akan ke sini. Ia beranjak dari kasur dan berdiri di depan cermin. Ia memperhatikan penampilannya. Benarkan ia masih menarik seperti kata bapak mertuanya? Tapi kenapa suaminya tidak pernah mau menyentuhnya? Ataukah suaminya hanya beralasan sakit selama ini. Ia juga tahu kalau di bedeng tempat pemancingan ikan banyak cewek-cewek yang bisa dipesan. Tapi kan suaminya tidak punya uang. Atau sebenarnya punya? Ketika pikirannya melayang jauh tiba-tiba tubuhnya terlonjak, ia kaget pintu diketuk oleh seseorang. Dadanya berdebar sangat kencang. Ia mematut penampilannya di cermin sekali lagi. Ia memakai baju pendek dengan kancing yang agak terbuka bagian atasnya. Rambutnya terikat ke atas. Rok pendek di bawah lutut membuat penampilannya terlihat feminim. Sekian detik ia menatap dirinya di cermin, ia baru sadar kenapa ia malah menyambut lelaki itu? Ia jadi seperti remaja yang akan pergi berkencan. Detak jantungnya semakin kencang. Ika keluar dari kamar dan membukakan pintu depan. "Masuk, Pak." Pak Tio masuk ke dalam rumah Ika. Ia memandang Ika dari atas ke bawah. Sesekali ia hentikan pandangannya ke arah belahan dada Ika. Ika yang sadar kalau sedang diperhatikan, tubuhnya jadi merasa panas Ada rasa malu yang menelusup. Ia sudah tak tahu seperti apa lagi jantungnya bertalu-talu. "Anak-anak sudah tidur, Ka?" tanya Pak Tio sambil meletakkan tubuhnya di kursi. "Sudah, Pak." Ika duduk di kursi di depan Pak Tio. "Ini yang kamu butuhkan. Bapak tambah jadi 1 juta 500." Pak Tio meletakkan setumpuk uang di depan Ika. Dengan gamang dan menunduk Ika mengambilnya. Ia merasa malu dan heran kepada dirinya sendiri. Kenapa ia malah merasa seperti sedang diapelin pacarnya, seperti mas Karyo dulu. Ia jadi merasa berhianat kepada suaminya. "Kamu sudah siap, Ka?" Ika masih menunduk. Pak Tio menggeser tubuhnya ke dekat menantunya itu.Persis seperti dugaannya, malam itu Ayu tak disambut baik oleh keluarga Firman, tak seperti biasanya. Padahal, biasanya ibu Firman selalu bersikap baik padanya. Ia pernah bilang kalau ia beruntung mempunyai calon menantu yang baik dan cantik, tapi sepertinya semua itu hancur gara-gara masa lalu Ayu yang buruk. Tak hanya ibunya Firman, ayahnya Firman bahkan tak mau menemuinya. Ia hanya tersenyum tipis kemudian masuk ke dalam rumah. Tak ada salaman, atau basa-basi seperti yang biasa dilakukan. Bahkan Firman langsung berubah 180 derajat. Lelaki yang perhatian, yang menunjukkan kasih sayangnya di manapun, tiba-tiba langsung menjadi orang asing yang bahkan tak peduli keadaanya. Ia duduk di samping ibunya, membentuk kubu yang melawan Ayu. Merasa sendirian, Ayu tak berani banyak bicara. Air matanya menggenang di pelupuk mata. Kepalanya menunduk, tangannya meremas jari-jemarinya. "Maaf ya, Yu. Bukannya kami pilih-pilih menantu,
Amarah Karta membuat Lasirah mencicit ketakutan. Ia keluar dari kamar dan duduk dengan memeluk kakinya sendiri di pojok rumah. Perkataan Karta menyeretnya jauh ke hari di mana Tio bisa begitu menyakitinya tanpa menyentuhnya. Ia berteriak kencang, sekencang mungkin agar sakit dalam dadanya cepat pergi. Suaranya bersahut-sahutan dengan suara tangis bayinya yang belum berhenti sejak tadi. Namun, malam itu ternyata menjadi titik balik di mana dirinya mulai kembali pada Lasirah yang mulai sadar. Teriakan Karta benar-benar ia serapi dengan hati-hati. Meski berat, ia mulai mau memegang bayinya sendiri. ..."Saat itulah Ibumu mulai bisa menerima keadaan kami. Dia mulai menyayangimu meski bayang-bayang orang itu masih menghantuinya di mimpi. Bapak tahu soal itu karena Ibumu sering merintih kesakitan saat tidur, kadang masih merapalkan namanya." Pak Karta mengakhiri ceritanya yang getir. Matanya mengembun, giginya mengatup, sekuat tenaga ia tah
Bayi kecil itu diberikan pada Lasirah setelah Bu bidan yang lain membersihkan plasenta dan sisa-sisa darah.Akan tetapi wanita itu menolaknya. Ia tak ingin melihat anaknya sendiri. "Nggak mau, Bu. Bawa pergi jauh-jauh bayi itu! Aku nggak mau lihat," teriak Lasirah lantang. Orang-orang di ruangan itu saling berpandangan. Ada apa ini? Bu Minah, ibunya Lasirah segera membujuknya. "Ayo, Rah. Anaknya digendong dulu. Dipangku, terus coba ditempel di dadamu, biar belajar nyusu anaknya." "Nggak mau, Bu. Bawa pergi jauh-jauh bayi itu dari sini. Cepat, Bu!" bentak Lasirah. Dua bidan itu tak memaksa karena Lasirah semakin histeris. Melihat anaknya sendiri seperti melihat kotoran. Pak Karta memandang iba pada istrinya. Ia menghampiri bidan yang tadi membawa anaknya. "Gimana ini ya Bu? istri saya nggak mau nyusuin," tanya Pak karta pada Bu Fenti sambil melihat wajah tak berdosa, bayi mungil di gendongannya.
"Bapak itu bukan Bapak kandung aku?" tanya Ayu takut-takut. Ia khawatir jawabannya akan terasa getir. Pak Karta dan Bu Fatun lagi-lagi saling berpandangan. "Sudah ceritakan saja semuanya, Bu. Anakmu juga berhak tahu yang sebenarnya," ucap Pak Karta. Ayu menelan air liurnya. Ada apa sebenernya? Kata "anakmu" terasa sangat menyakitkan. Meskipun Ayu juga pernah berpikiran kalau Pak Karta memang bukan bapaknya, tapi mendengar pengakuan keduanya ternyata memang menyakitkan. Selama ini Pak Karta memang tak terlalu dekat dengan Ayu, seperti ada satu dua hal yang menghalangi lelaki itu mempunyai hubungan dekat dengan Ayu. Lantas, mengalir sebuah cerita pilu tentang masa lalu ibunya. Karta, yang sudah lama menyukai Lasirah diam-diam, entah harus senang atau sedih, harus menikahi Lasirah, yang sudah dihamili Tio. Saat itu Karta marah, darahnya menggelegak. Ia hendak mencari kemana Tio kabur lantas membuat lelaki itu menyesali p
"Maksud kamu apa, Yo? Ika selingkuh sama Bapak?" tanya Yono tercengang. "Iya, Mas. Rumah tangga kami sudah hancur!" jawab Karyo kecewa. "Jadi Pak Tio juga godain Ika?" tanya Jannah dengan wajah tak percaya. "Emang kamu juga digodain?"Dulu Yono memberitahunya kalau istrinya juga digoda oleh Bapak, tapi ia belum percaya karena belum mendapatkan cerita yang utuh. "Eh, mm ...," Jannah memandang suaminya, ia ragu-ragu mau menjawab. "Iya, Yo. Jannah pernah digoda juga sama Bapak. Aku sudah muak banget sama kelakuan Bapak yang doyan banget sama perempuan! Aku pikir, masalah masa lalu yang kamu alami saat ini, pasti ada hubungannya sama Bapak. Orang itu pasti bermasalah dulunya dan masalahnya jatuh ke kita. Jadi ibaratnya kita tuh kena karma," papar Mas Yono sambil menyeruput kopi yang sudah hampir dingin. "Jadi menurut Mas Yono, masalahku ini karena kelakuan Bapak? Yang dimaksud oleh Kyai Hasyim itu masa lalu Bapak?" tanya Karyo m
Kala itu pagi sangat berkabut. Musim kemarau membawa hawa dingin yang sangat menusuk. Lasirah enggan untuk bangkit dari kasurnya. Ia memilih bergelung kembali di bawah selimut. Namun suara kasak kusuk orang yang sedang mengobrol terdengar sedikit menggangunya. Itu suara Ibu dan Bapak Lasirah, dan seseorang yang belum diketahui siapa. "Eh, ada tamu pagi-pagi. Siapa, yah? Jangan-jangan berita lelayu," gumam Lasirah seraya beranjak dari kasurnya. Di desa waktu itu berita lelayu tentang orang yang meninggal biasanya memang disebarkan pagi hari. Tiba-tiba ia berdebar-debar. Ia menempelkan telinganya di daun pintu kamarnya. Tak terdengar! Lalu ia mengendap-endap pergi ke dekat dapur dan mengintip. Ia membekap mulutnya karena ia melihat ibunya sedang menangis. Di samping Ibunya, bapaknya mengelus punggung Ibu tapi wajahnya tak bisa ditebak, entah marah, entah pilu. Sedangkan seseorang di sampingnya adalah Paman Karim yang juga tertunduk. "Paman Karim?" La
Pak Tio akhirnya bangkit dari duduknya karena beberapa pekerja mulai mendatanginya dan bertanya tentang keadaanya. "Pak Tio kenapa?" tanya Jajang seraya memegang pundak bosnya itu. Ia kebingungan karena tadi Pak Tio sedikit menjauh darinya untuk menerima telpon tapi setelah bercakap-cakap, lelaki itu tiba-tiba jatuh terduduk. Wajahnya berubah menjadi pucat dan pandangan matanya kosong. Ia berpikir, mungkin bosnya mendapatkan kabar yang kurang baik di telpon tadi. "Sudah-sudah kalian teruskan pekerjaan. Saya cuma sedikit pusing tadi," kata Pak Tio melambaikan tangannya, mengusir para bawahannya. Namun Jajang tak mengikuti perintah bosnya, ia tetap berdiri di sana. Ia masih khawatir dengan keadaan bosnya karena ia melihat kejadian itu dengan mata kepalanya sendiri. "Mari saya antar ke warung, Pak. Bisa minum teh hangat dulu," ajak Jajang. "Nggak, Jang. Ayo temenin saya ke bedeng saja. Tolong kamu pesankan teh hangat dan kamu bawa ke bedeng. Haru
Pak Kyai Hasyim terdiam cukup lama. Ketiga orang itu menunggu dengan hati yang berdebar-debar. Nur bahkan sempat berpikir kalau mungkin Pak Kyai Hasyim tertidur. Tapi saat ia melihat ke arah muridnya, lelaki itu hanya mengangguk dan tersenyum seperti sebelumnya. Ibu dan kakaknya juga terlihat sabar menunggu, jadi ia kembali fokus pada Pak Kyai Hasyim yang masih terpejam. "Semua yang terjadi di dunia ini ada sebab akibatnya," kata Pak Kyai Hasyim mulai membuka matanya. "Semua baik, semua buruk, semua sehat, semau sakit, pasti ada sebabnya. Masalah Mas Karyo ini masalah dari masa lalu yang belum selesai," ungkap Kyai Hasyim menatap ketiga orang di depannya. Mereka bertiga berpandangan satu sama lain mempertanyakan maksud dari perkataan Pak Kyai. Namun Karyo mulai tersulut emosinya karena setiap kali berobat, para Kyai selalu mengatakan tentang masalah masa lalu. "Pak Kyai, mohon maaf, tapi saya dan istri tidak punya masa lalu yang gelap. Saya justru bertemu istri saya waktu k
Kedua orang tua Karyo selalu bungkam jika ditanya perihal masa lalu ke keduanya. "Masa lalu apa?" jawab Bu Hasna ketus. "Nggak bener itu Kyai. Harusnya kan didoain aja biar sembuh bukan malah mengungkit masa lalu. Besok kita ganti saja Kyainya," lanjutnya. Karyo berdecak heran pada Ibunya. Dia sendiri yang mengajaknya berobat ke Kyai, tapi Ibu juga yang tidak percaya. Semenjak itu, Karyo dan Ibunya sudah tidak pernah berobat ke Kyai lagi. Beberapa hari di rumah, keadaan tubuh Karyo sudah mulai pulih. Tak banyak pekerjaan yang bisa ia lakukan di desa. Rutinitasnya hanya sekedar mengantar anak-anak ke sekolah dan di rumah. Istrinya juga sudah tak pernah menelponnya lagi, walaupun sekadar bertanya kabar anak-anak. Akhir-akhir ini Ika lebih memilih menelpon ibunya dari pada menelpon Karyo. Karyo pikir Ibunya hanya bercanda soal membawanya ke Kyai Hasyim, ternyata pagi itu Bu Hasna benar-benar datang bersama Nur ke rumah Karyo untuk menga