“Jadi, apa yang membuat Tuan Aldebaran yang terhormat ini mengajak wanita seperti saya berbincang berdua secara intens seperti ini? Tak mungkin tujuannya hanya untuk… bersenang-senang, bukan?” Selina mengulur lengannya, melingkarkan di leher Rei dengan gerakan penuh kemesraan, suaranya mendayu licik.Rei hanya tersenyum tipis, jemarinya terangkat menahan dagu Selina. “Tentu saja tidak. Aku tidak pernah melakukan hal yang sia-sia.”Selina menatapnya dalam, lalu tersenyum penuh percaya diri. Ia melepaskan lengannya, turun dari pangkuan Rei dengan gerakan ringan, dan duduk anggun di sofa seberang. Seolah sikap genitnya barusan hanyalah fatamorgana yang bisa ia hilangkan kapan saja. Kini, ia menjelma sosok elegan, penuh kewibawaan palsu.“Nayara…” bibirnya melengkung, menyebut nama itu dengan nada manis sekaligus beracun. “Apa Tuan Aldebaran yang terhormat ini benar-benar tidak mau mengakui hubungan asmaranya dengan penerus Adinata Grup itu?”Ia mencondongkan tubuh sedikit, menatap Rei ta
Cahaya redup lampu kamar rumah sakit menyambut ketika kelopak mata Nayara perlahan terbuka. Aroma antiseptik yang khas menusuk inderanya, begitu familiar, begitu dekat—ia tahu persis di mana ia berada. Ruangan ini… kamar yang akhir-akhir ini terlalu sering ia singgahi.Infus terpasang di lengannya, selang oksigen menempel di hidungnya, menegaskan betapa rapuh tubuhnya kini. Dengan pandangan kabur, ia menangkap sosok seseorang berdiri tak jauh dari ranjang, membelakanginya, sibuk dengan sesuatu.“Rei…?” suara Nayara nyaris tak terdengar, serak dan lemah, tapi cukup untuk membuat sosok itu menoleh.“Ah, Anda sudah bangun, Bu,” jawabnya datar. Bukan Rei. Itu Brima.Seketika ada sesuatu yang menyesak di dada Nayara—kekecewaan yang tak ia tunjukkan. Wajah pucatnya tetap tenang, hanya matanya yang berkedip lambat.“Ah… maaf, merepotkanmu, Brima.” Ia berusaha bangun, namun Brima memberi isyarat tegas agar ia tidak bergerak. Dengan gerakan terlatih, pria itu menekan tombol di sisi ranjang, me
Rei mengangkat dagunya sedikit, memberi isyarat agar Raka duduk di kursi yang telah disiapkan di hadapannya.“Apa tujuan Anda memanggil saya? Tolong selesaikan dengan cepat, karena saya harus mencari istri saya,” ujar Raka dingin. Tubuhnya tampak rileks, namun tatapan matanya menusuk, penuh ketidaksenangan yang tak berusaha ia sembunyikan.“Pfft—” Rei hampir saja tertawa terbahak, namun ia menahan diri. Sebaris senyum tipis terbentuk di sudut bibirnya, sinis sekaligus berbahaya.Dengan tenang, ia meraih gelas wine yang tadi berada di meja kaca. Jemari panjangnya menggenggam erat tangkai gelas itu. Lalu, dengan gaya yang seakan sengaja diperlambat, ia menyesap minuman merah darah tersebut.Cahaya lampu kristal berkilau di permukaan gelas, memantulkan bayangan wajah Rei yang tampak semakin angkuh.Dalam hatinya, keinginan untuk menghabisi lelaki di depannya sudah menggelegak. Lelaki bodoh ini—yang lebih memilih mengejar bayangan selingkuhannya ketimbang menjaga istrinya. Lelaki pengecut
“Hah… hah… hah…” Dada Nayara naik turun cepat. Sesak itu datang tiba-tiba, seolah dadanya dicekik dari dalam. Gemerlap pesta, kerumunan, musik yang hingar-bingar—semuanya berbaur jadi pusaran yang membuat kepalanya berputar hebat. Pandangannya mulai buram, tubuhnya goyah, hampir limbung.Seketika, sebuah tangan kekar menopang pundaknya. Hangat, kokoh, sekaligus asing.“Ibu Nayara, akan saya antar pulang.”Suara itu dingin, tenang, begitu dikenalnya. Dan saat menoleh, Nayara hampir tak percaya. Penampilannya kini menyaingi Rei—rapi, berwibawa, namun dengan aura lebih dewasa. Wajah dinginnya masih sama, tetap kokoh menempel, seperti pahatan batu yang tak pernah berubah.“Brima…” bibir Nayara bergetar, lalu ia menunduk, menahan sakit di dadanya. Dengan suara lirih, ia berbisik, “Bantu aku… cari taksi. Suamiku… sibuk dengan selingkuhannya.”Brima tidak banyak bicara. Ia hanya mengangguk, lalu menuntun Nayara keluar ballroom. Gerakannya tegas, tapi menjaga jarak—cukup dekat agar Nayara tak
"Bagaimana bisa Selina datang bersama Bagas?" gumam Nayara. Suaranya nyaris tak terdengar, tapi penuh kejutan.Raka yang berdiri di sisinya langsung mengepalkan tangan, meski tangan itu masih menggenggam milik Nayara. Rahangnya mengeras, sorot matanya tajam menancap ke arah pasangan yang baru saja masuk.Nayara menoleh, pandangannya jatuh pada tangan suaminya yang mengepal kuat. Senyum getir tersungging di bibirnya. Ia tahu betul, kemarahan Raka tidak lagi bisa disembunyikan."Temui selingkuhanmu," ucap Nayara pelan tapi penuh penekanan. "Tapi sebelum itu, antar aku pulang dulu. Ingat, nama baik Mahendra yang dipertaruhkan di sini."Kalimat itu terdengar seperti restu, padahal sejatinya adalah peringatan keras—garis tegas yang diguratkan Nayara agar Raka tak sampai menyeret urusan pribadi murahan ke dalam ranah bisnis yang jauh lebih besar.Raka menoleh singkat, mata elangnya dingin membeku. “Baiklah, aku paham,” jawabnya datar. Genggamannya pada tangan Nayara mulai mengendur, tapi so
Raka dan Nayara larut dalam suasana pesta. Ballroom megah itu dipenuhi orang-orang penting, dari pengusaha kelas dunia, investor internasional, hingga para pejabat tinggi. Bahasa asing bersahut-sahutan, denting gelas kristal terdengar di setiap sudut, dan lampu kristal mewah memantulkan cahaya ke gaun dan jas para tamu.Keramaian itu perlahan mereda ketika sosok Rei Aldebaran naik ke podium. Dengan jas hitamnya yang terpotong rapi, dasi satin emerald yang mencolok, serta sorot mata dingin yang menusuk, ia tampak seperti raja muda di tengah kerajaannya sendiri. Hanya dengan berdiri tegak, suasana ballroom seolah terhisap dalam keheningan.Rei mengangkat gelas sampanye dengan tangan kanannya.“Selamat malam,” suaranya dalam, tegas, tak terbantahkan.“Lima belas tahun. Bukan perjalanan mudah, tapi kita buktikan, Aldebaran berdiri tak tergoyahkan. Dan malam ini, saya hanya ingin berkata satu hal—” Rei menyapu pandangan ke seluruh ruangan, tatapannya membuat beberapa tamu menegakkan bahu m