LOGINNayara Adinata, seorang pengusaha muda sekaligus putri dari keluarga konglomerat, terjebak dalam pernikahan tanpa cinta dengan Raka Mahendra, pewaris perusahaan teknologi raksasa. Pernikahan mereka bukanlah tentang cinta, melainkan sekadar strategi bisnis keluarga. Awalnya, Nayara mencoba menaruh harapan, tetapi segalanya hancur ketika ia mengetahui suaminya berselingkuh dengan mantan tunangannya, Selina Pradipta. Saat Nayara meminta cerai, Raka menolak mentah-mentah. Terperangkap dalam pernikahan penuh kepalsuan, Nayara merasa dirinya semakin terjebak dan kehilangan jati diri. Dalam keputusasaan, ia menerima ajakan sahabatnya untuk menghadiri sebuah pesta topeng eksklusif—acara misterius yang memungkinkan para tamu menjadi "orang lain" untuk satu malam. Di sanalah Nayara mengambil keputusan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya: menghabiskan malam dengan seorang pria asing yang ia pilih secara acak. Namun, Nayara tak menyangka bahwa pria itu bukanlah orang sembarangan. Di balik topengnya tersembunyi identitas sejati—Reinhardt "Rei" Aldebaran, pewaris utama imperium bisnis Aldebaran Corp. Malam yang seharusnya menjadi pelarian justru menyeretnya ke dalam pusaran konflik bisnis, skandal keluarga, dan romansa yang tak terduga. Apakah Nayara mampu melepaskan diri dari Raka dan kehidupannya yang penuh sandiwara? Ataukah pertemuannya dengan Rei akan mengubah hidupnya selamanya?
View More[Bu Nayara, suami Anda sekarang ada di kantor bersama seorang wanita.]
Pesan yang diterima Nayara itu diikuti kiriman foto. Dalam foto itu tampak sosok Raka, suaminya, yang sangat ia kenal, tengah berjalan sambil merangkul pinggang seorang perempuan. Foto itu diambil dari arah belakang, namun wajah Raka terlihat jelas karena pria itu menoleh ke arah perempuan dalam dekapannya, menyunggingkan senyum lebar.
Bibir Nayara bergetar. Ia membaca ulang pesan itu berkali-kali, berharap matanya keliru. Namun tidak. Kata-katanya jelas, tegas, dan menohok batin.
[Mohon maaf karena telah lancang, Bu. Tapi saya rasa Anda perlu tahu. Mereka sudah sering datang berdua larut malam seperti ini.]
Sebuah pesan kembali masuk, seakan memutar pisau yang kini menancap di dada Nayara, menyakitinya lebih jauh.
Ini bukan pertama kalinya, batin perempuan itu. Suaminya selingkuh di belakangnya–berkali-kali.
“Pak, ke Mahendra Group. Sekarang,” ucap Nayara dingin kepada sopirnya kemudian. Ia harus melihatnya sendiri.
Sebagian dari dirinya masih menolak percaya. Suaminya tidak mungkin mengkhianatinya seperti ini. Tidak dengan semua yang telah Nayara berikan pada pria itu.
Sepanjang perjalanan, Nayara hanya diam. Nafasnya pendek-pendek, pikirannya bercampur aduk.
Mobil berhenti tepat di depan lobi gedung Mahendra Group—gedung yang megah dan angkuh, seperti pemiliknya. Nayara turun tanpa sepatah kata. Langkahnya cepat menembus lobi, masuk ke dalam lift, lalu berhenti di lantai teratas—tempat ruang kerja Raka berada.
Lorong itu sunyi. Hanya satu cahaya menyala dari arah ruang Raka. Langkah Nayara melambat, namun terasa semakin berat. Jantungnya berdegup keras seolah akan meledak.
Ia berhenti di depan pintu.
Dan saat itulah suara-suara dari dalam ruangan menyentuh telinganya.
Terdengar tawa kecil, bermanja-manja. Suara yang terlalu familiar untuk tidak dikenali. Suara dua manusia yang sedang memadu kasih. Suara menjijikkan yang membuat tubuh Nayara bergetar hebat.
Tangannya terangkat, menggenggam gagang pintu. Ia maju mundur, tak kuasa menahan gemuruh emosi yang membuncah. Napasnya sesak, matanya panas, tapi ia tak bisa mundur.
Bunyi gesekan meja membuat tubuhnya tersentak. Seketika ia tahu—tidak ada lagi ruang untuk ragu.
Perlahan, ia dorong pintu itu.
Dan kenyataan menampar wajahnya tanpa ampun.
Selena. Duduk santai di atas meja kerja. Roknya naik hingga paha. Raka berdiri di antara kedua kakinya, dengan tangan yang jelas berada di tempat tak pantas.
Selena menoleh terlebih dahulu. Senyumnya sinis, puas, dan menusuk.
“Eh, akhirnya dateng juga,” ucapnya ringan. “Kukira kau bakal terus pura-pura bego.” Selena masih tetap di atas meja, tak ada niat sedikitpun untuk turun. Bahkan baju bagian atasnya yang acak-acakkan pun sengaja dirinya biarkan agar Nayara semakin panas.
Sedang Raka hanya menarik nafas panjang. Ia merapikan pakaiannya tanpa ekspresi, seolah tidak terjadi apa-apa.
Nayara masih berdiri di ambang pintu. Matanya memerah, namun wajahnya tetap tegas. Suaranya keluar pelan namun dingin.
“Jadi ini kerja lemburmu?”
Sang suami menatapnya. “Jangan drama dan merusak malamku, Nay.”
Tamparan sangat cepat mendarat keras di pipi Raka. Suaranya memecah udara, menggema di ruangan yang tiba-tiba senyap.
Namun alih-alih marah atau menyesal, Raka justru tertawa. Tawa rendah, pelan, dan menusuk.
Ia mengangkat tangan, mengusap pipinya yang memerah, lalu menatap Nayara dengan pandangan yang seolah mengejek.
“Itu tamparan paling lucu yang pernah aku terima.”
Nayara membeku. Matanya menajam, nafasnya memburu, dan tanpa pikir panjang, ia berucap, “Aku minta cerai.”
Namun Raka justru tertawa lagi—lebih keras, lebih merendahkan. “Semudah itu?” ejeknya. Pria itu merapikan rambutnya yang berantakan, lalu menatap istrinya dengan sorot mata dingin dan licik.
“Kau lupa, perusahaan ayahmu sekarang menggandeng Mahendra Corp. Semua kerja sama strategis, investasi, ekspansi … semuanya berkat aku dan keluargaku,” lanjut Raka. Ia mendekat perlahan, suaranya lirih namun menusuk. “Kalau kita bercerai, semua itu hilang. Kau pikir keluargamu akan mengizinkannya?”
Nayara terdiam. Matanya membelalak, seolah baru disadarkan pada kenyataan yang jauh lebih busuk dari yang ia duga.
Melihat reaksi sang istri, Raka melangkah mundur, lalu bersandar santai di meja, melirik sekilas ke arah Selena yang masih berdiri dengan senyum mengejek di wajahnya.
“Kau tidak akan bisa pergi, Nay,” ucap Raka. “Suka atau tidak, baik dirimu sendiri maupun seluruhnya yang kau miliki, sudah ada di tanganku. Selamanya, kau terjebak di sini.”
Nayara menatap Raka, nafasnya terengah-engah.
Itu benar, ia tidak bisa melawan pria ini.
Nayara menatap Raka terakhir kali dengan penuh kemarahan, menahan air mata yang hampir jatuh. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan pergi.
“Ingat, Nay! Selamanya, kau terjebak bersamaku!”
Kalimat dari sang suami itu membuatnya mual. Kepalanya pusing dan dadanya sesak. Sebuah sensasi yang membuat Nayara bertekad: ia harus segera melepaskan diri.
***
"Kau pikir hidup cuma soal perasaan!? Kau mau buang semuanya cuma karena suamimu main-main sebentar?”
Nayara menatap sang ayah dengan pandangan tidak percaya. Ia ke rumah keluarganya untuk mencari ketenangan, untuk setidaknya menghibur hatinya yang terluka. Namun, justru ucapan sengit sang ayah yang ia dapatkan.
“Ayah, tapi Raka selingkuh. Aku tidak bisa berpura-pura tidak tahu!”
“Kau harus bisa! Semua yang kau pakai itu dari kerja sama Mahendra Corp dan perusahaan kita! Kau mau hancurkan itu?"
Ibunya menengahi. "Pak… sabar dulu. Nayara masih syok."
Plak! Tamparan keras mendarat di pipi sang ibu.
"Kau diam!" bentak sang ayah, membuat Nayara sontak berteriak.
“Ayah!”
"Kau dan ibumu sama-sama lemah! Wanita-wanita bodoh!” rutuk ayahnya. “Aku tidak mau tahu. Kau, Nayara, kembali ke rumah dan tunggu suamimu dengan patuh seperti biasa! Perusahaan lebih penting dari air mata kalian!"
Nayara terdiam. Hatinya yang sudah sakit, kini terasa makin perih. Ia mengambil langkah mundur, kemudian berpamitan tanpa kata sebelum melangkah pergi.
Suara gemericik air kolam ikan di taman samping rumah itu terdengar menenangkan, memantul lembut di antara dedaunan dan dinding marmer. Nayara duduk di bangku kayu dekat ayunan tua—ayunan yang dulu sering ia dorong dengan kaki mungilnya sambil tertawa memanggil ayahnya. Sekarang, ia duduk diam. Tangannya menggenggam wadah kecil berisi pakan ikan berwarna cerah. Ikan-ikan koi itu berenang berputar di air jernih, seolah menunggu kehadirannya. Sekali-sekali, ia tersenyum kecil melihat warna-warna itu bergerak. Damai. Hanya saja, di hatinya masih tersisa ruang kosong—kosong yang bahkan waktu belum sepenuhnya sembuhkan. Ia menghembuskan nafas pelan, lalu menaburkan pakan ke permukaan air. “Masih ingat caranya, rupanya,” suara dalam dan hangat itu terdengar dari belakang. Nayara tertegun. Tubuhnya kaku seketika. Ia menoleh perlahan. Seseorang berdiri di bawah pohon kamboja yang sedang berbunga. Bram Adinata. Ayahnya. Rambutnya sedikit beruban, tapi sorot matanya tet
Langkahnya berat, tapi tak lagi disertai amarah—hanya penyesalan yang membatu di dada.Dulu ia berjalan dengan keyakinan, merasa bisa mengatur dunia, menaklukkan siapapun dengan kekuasaan dan kata-kata. Sekarang, setiap langkah terasa seperti hukuman.Raka menyalakan mobil tanpa tahu hendak ke mana.Suara mesin memecah keheningan, namun hanya sebentar. Radio di dashboard menyala, memutar lagu lawas yang dulu sering diputar Nayara di rumah mereka. Lagu yang dulu membuatnya tersenyum, kini terdengar seperti ejekan.Tangannya mencengkeram stir erat, urat di punggung tangannya menegang, wajahnya menunduk.“Semua ini... salahku,” gumamnya lirih.Mobil itu terus melaju, melewati lampu jalan yang redup, hingga akhirnya berhenti di depan gedung tinggi yang kini tampak asing—penthouse lama milik Selina.Tempat itu dulu penuh cahaya.Wangi parfum mawar putih selalu menyambutnya di pintu. Suara tawa Selina menggema dari ruang tamu, lembut, hangat, menenangkan. Kini, hanya sunyi yang tinggal.Rak
Raka menekan pedal mobilnya lebih dalam dari yang seharusnya. Mesin meraung, ban menderu di atas aspal basah—seolah ia berusaha mengusir semua amarah itu ke udara. Tangan kanan menggenggam roda kemudi sampai urat-uratnya mengeras; tangan kiri berkali-kali memukul setir, ritme pukulan seirama dengan kalimat-kalimat kasar yang menggelegar di kepalanya.“Kenapa kau melakukan ini, Nayara?!” geramnya dalam hati, suaranya nyaris pecah. “Kenapa kau berikan semuanya pada Reinhardt Aldebaran? Kenapa bukan padaku? Aku—aku bisa membeli saham itu! Aku akan menebusnya! Daripada menyerahkannya pada ular licik itu!”Hujan semalam masih menyisakan udara lembab. Lampu jalan memantul di kaca depan, membentuk garis-garis panjang yang terdistorsi oleh air. Sepanjang jalan, Raka membayangkan skenario demi skenario: bagaimana ia akan merebut kembali Mahendra Group, bagaimana ia akan menghancurkan rencana Reinhardt. Namun setiap rencana yang muncul di kepala selalu berakhir pada satu kata: terlambat.Ia tib
Pintu ruang CEO Mahendra Group terbuka keras.Raka melangkah masuk dengan wajah merah padam, nafasnya berat, dan urat di pelipisnya menonjol.“Sial!” umpatnya seraya melempar jas hitamnya ke kursi tamu.Tangannya mengepal, matanya menyapu ruangan yang dulu jadi simbol kejayaannya—ruangan yang dibangunnya sendiri, dengan setiap detailnya mencerminkan otoritas seorang pemimpin.Namun hari ini, aroma parfum asing bercampur dengan wangi kopi yang bukan racikannya.Dan di sana—duduk dengan santai di kursinya—Reinhardt Aldebaran.Di sisi lain meja, Bagas Mahendra tengah memeriksa beberapa berkas, tersenyum congkak.Sementara di dekat jendela, berdiri Yasmine Mahendra, dengan blus putih mahal dan tatapan dingin yang nyaris sinis.Raka tertegun sesaat. Kemudian suaranya membelah udara.“Apa yang kalian lakukan di sini?!”Bagas hanya menegakkan tubuhnya, memutar kursi, menatap Raka dengan senyum mengejek.“Tenanglah, Kak Raka. Kau tampak... tidak terbiasa dengan perubahan.”“Perubahan apa maks
Ruang rapat utama Mahendra Group di lantai dua puluh tiga dipenuhi cahaya putih dingin dari lampu gantung kristal. Dinding kaca memantulkan bayangan para direktur, wajah-wajah tegang yang menatap meja panjang dari marmer abu-abu. Di tengahnya, duduk Raka Mahendra — jasnya rapi, dasinya sempurna, tapi matanya menahan letih yang tidak bisa disembunyikan.Hari itu adalah rapat besar pemegang saham, rapat yang sudah tertunda tiga kali karena kisruh internal dan penarikan dana investor asing.Namun bagi Raka, rapat ini punya arti lain — kesempatan untuk melihat Nayara lagi.Sejak perceraian mereka disahkan dua bulan lalu, Nayara belum pernah muncul di publik. Tapi karena ia masih memegang saham besar di Mahendra Group, Raka yakin, cepat atau lambat, mereka akan kembali duduk di ruangan yang sama.Dan hari itu, ia datang dengan harapan yang aneh: sebuah pertemuan bisnis yang diam-diam ingin ia ubah menjadi pertemuan pribadi.Pukul sebelas tepat, pintu kayu tebal di ujung ruangan terbuka. Se
Cahaya siang menembus kaca tinggi ruang kerja utama Aldebaran Corp, memantul di permukaan meja kerja berlapis kaca hitam dan menyebar ke seluruh ruangan yang nyaris tanpa suara. Aroma kopi pahit samar tercium di udara, bercampur wangi kayu dari furnitur bergaya minimalis — dingin, tertata, dan tanpa cela.Reinhardt Aldebaran duduk di kursinya, jas abu-abu gelapnya jatuh sempurna di bahu, dan jari-jarinya yang panjang memainkan pena perak dengan ritme lambat. Di hadapannya, Nayara Adinata — perempuan yang selama ini disebut-sebut sebagai satu-satunya orang yang bisa membuat Aldebaran menunggu.Ia datang dengan setelan blazer putih gading, sederhana tapi memancarkan kekuasaan. Tatapannya dingin, namun tenang; wajahnya memantulkan cahaya matahari seperti porselen yang rapuh tapi tak bisa disentuh.Di antara mereka terbentang map tebal berlogo Mahendra Group — berkas peralihan saham terakhir yang menjadi inti dari kesepakatan mereka.“Semua sudah sesuai dengan yang kau minta,” ucap Nayara






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments