Suara teriakan Selina menggema di dalam penthouse mewah yang sunyi. Langit cerah sekali seolah mengejek dunia Selina yang kelam kelabu, sementara di dalam ruangan, lampu gantung kristal memancarkan cahaya keemasan yang dingin dan tidak ramah. Tirai panjang berwarna putih beterbangan diterpa angin dari jendela yang ia biarkan terbuka. Tempat tidur super king yang biasanya rapi kini porak-poranda, sprei tersingkap, bantal berhamburan, dan vas bunga jatuh pecah berantakan di lantai.“Dasar keparat! Padahal dia yang membuatku jadi seperti ini!” Selina meraung, wajahnya memerah karena amarah yang menyesakkan dada. Ia meraih bantal dan melemparkannya ke arah cermin tinggi di sudut kamar. Benturan keras membuat pantulan wajahnya berguncang, seakan-akan bayangan itu menertawakannya, menyindir kegilaannya sendiri.Mata Selina membelalak, urat lehernya menegang. “Apa maksudnya aku ini wanita murahan, hah?! Tidak seperti Nayara, yang lahir sudah kaya
Wajah Raka langsung berubah garang. Urat di pelipisnya menegang, sorot matanya dingin. Hubungan mereka yang belum lama ini retak membuat kehadiran Brima tak lebih dari bara yang siap menyulut emosi.“Ngapain kamu datang ke sini?” suara Raka rendah, tapi tajam.Brima tidak langsung menjawab. Ia hanya menarik nafas, lalu menaruh sebuah paper bag di atas paha Raka yang duduk bersandar. Gerakannya pelan tapi penuh perhitungan.“Titipan dari Ibu Nayara.” Nada suaranya dingin, nyaris tanpa ekspresi.Raka tidak segera membuka paperbag itu. Alih-alih, matanya menatap tajam ke arah Brima. “Di mana Nayara?” tanyanya, penuh desakan.Brima mendengus, senyum sinis sekilas muncul di sudut bibirnya. “Gara-gara seseorang, Ibu Nayara kini harus bersembunyi di rumahnya sendiri,” ujarnya, sinis dan menusuk.Kening Raka berkerut. Ia merasakan tuduhan itu jelas diarahkan padanya. Namun ia menahan diri, memilih fokus pada satu hal. “Aku harus bertemu Nayara. Ada banyak yang harus kutanyakan.”Brima menatap
Raka perlahan membuka mata. Pandangannya buram, cahaya putih keemasan sore menembus tirai tipis yang menutup jendela besar di sebelah kanan. Hidungnya menangkap bau khas antiseptik bercampur lembut dengan aroma bunga mawar yang diletakkan di meja kecil dekat ranjang. Ia mengerjap, mencoba memahami dimana dirinya berada. Bukan kamarnya di rumah. Bukan ruang kerja. Tempat ini terlalu sunyi, tapi juga terlalu rapi.Jantungnya berdetak lebih cepat. Dengan sisa tenaga, ia menggerakkan tangan. Dingin. Jemarinya menyentuh seprai putih kaku yang terlipat rapi. Matanya beralih, mendapati selang infus menusuk lengannya, meneteskan cairan bening perlahan. Di dinding, sebuah monitor menunjukkan garis-garis ritme jantung.“Kamar... rumah sakit?” gumamnya parau. Tenggorokannya kering seakan habis menelan pasir.Ia mencoba duduk, tapi kepalanya berdenyut tajam. Ingatannya melayang ke momen terakhir—Selina, pertengkaran hebat, lalu... gelap. Seingatnya, ia masih di kamar rumah, bukan di sini. Bagaima
Raka duduk sendirian di ruang tengah rumah besarnya. Kaca jendela tinggi memantulkan bayangan dirinya yang tengah diliputi kegelisahan. Tatapan matanya kosong, namun pikirannya riuh oleh suara-suara yang tak henti menekan: suara Nayara yang dingin, suara dirinya sendiri yang memohon, dan gema penolakannya yang membuat dadanya sesak.Entah sudah berapa kali ia mencoba menghubungi Nayara dalam beberapa hari terakhir, namun hasilnya sama: penolakan. Nayara seolah membangun tembok tebal di hadapannya, menolak segala bentuk kedekatan yang ia tawarkan.“Dia pasti cuma marah sebentar. Nayara hanya sedang merajuk,” gumam Raka pelan, seakan mencoba menenangkan dirinya sendiri. “Aku tahu dia. Dia akan kembali. Dia pasti kembali…”Namun kata-kata itu terasa hambar di telinganya sendiri. Tidak ada keyakinan di sana, hanya doa yang terpaksa ia ucapkan agar dirinya tak jatuh semakin dalam ke jurang putus asa.Ia menghela napas panjang, lalu menenggak segelas air putih di meja. Tubuhnya terasa berat
Ponsel yang masih tergenggam erat di tangan Nayara tiba-tiba kembali bergetar. Layar menampilkan nama yang baru saja pergi, membuat nafasnya tercekat sesaat—Rei.Dengan jantung yang masih berdegup tak karuan, Nayara menggeser layar. “Halo?”“Menontonlah televisi sekarang,” suara Rei terdengar rendah, namun tegas.Alis Nayara berkerut. “Apa maksudmu? Ada apa lagi, Rei?”“Akan ada kejutan. Sesuatu yang sebaiknya kamu lihat sendiri.” Ucapannya singkat, hampir seperti perintah.“Ke—kejutan?” Nayara semakin bingung. “Rei, jangan main-main di saat seperti ini. Aku baru saja—”Namun Rei tidak memberi kesempatan. “Nayara, percayalah. Nyalakan televisi. Kamu akan mengerti.”Sebelum Nayara sempat menuntut penjelasan lebih jauh, sambungan sudah terputus.Ia menatap layar ponselnya yang kembali gelap, lalu mendengus frustasi. “Dasar pria menyebalkan…” gumamnya pelan.Dengan langkah gontai, ia mengambil remote dari atas meja. Tangannya sedikit gemetar ketika menyalakan televisi besar yang menempel
“Sepertinya waktu kita sudah habis, Tuan Putri. Aku akan kembali sebelum para reporter yang menyebalkan itu tahu aku ada disini.”Rei bangkit dari sofa setelah perbincangan panjang yang melelahkan. Sorot matanya teduh namun tegas, seolah tak ada ruang bagi keraguan. Ia meraih jaket hitamnya yang tadi sempat dilepaskan, lalu melangkah mendekati Nayara.Suksesor Adinata masih duduk kaku di sofa tunggal, jemarinya sibuk memainkan cangkir teh yang sudah dingin. Pandangannya menunduk, tidak berani menatap langsung. Rei tersenyum, lalu dengan lembut menggenggam tangannya.Tanpa aba-aba, ia menunduk. Bibirnya menyentuh punggung tangan Nayara dengan sangat pelan, seperti menyimpan sebuah janji. Kehangatan itu singkat, namun cukup untuk membuat jantung Nayara berdetak lebih kencang.“Jangan nakal lagi seperti kemarin,” ucap Rei lirih, nadanya lembut sekaligus mengikat. “Dan jangan bertindak sendirian… atau aku akan sedih.”Kata sedih itu terucap ringan, tapi membawa beban tersendiri. Ada rasa