Raka duduk di tepi ranjang kamarnya yang luas dan mewah, kepalanya tertunduk, kedua tangannya mengusap wajah dengan kasar. Tubuhnya membungkuk, menatap lantai kosong yang memantulkan redup cahaya lampu tidur.“Salahku apa, sih? Bukannya nggak masalah kalau lelaki punya dua istri? Aku memang nggak dekat sama Tuhan, tapi hal seperti itu kan aku juga tahu… tanpa harus jadi orang suci,” gumamnya lirih, terdengar getir.Ia menghela napas panjang, lalu menghentakkan kaki ke lantai.“Ah! Sialan… harusnya aku tahan mulutku tadi.”Dengan gerakan malas, Raka akhirnya menjatuhkan tubuh ke kasur. Tangannya meraba kaus lusuh yang terlipat di sisi bantal—kaus pemberian Nayara dulu. Jemarinya mengusap lembut kain itu, bibirnya melengkung kecil.Masih ada, pikirnya. Nayara masih menyimpan bajuku di lemarinya.Senyum tipis terbit, seolah itu pertanda kalau hubungan mereka belum sepenuhnya mati.“Sudahlah…” desahnya pasrah, memejamkan mata, berusaha menenggelamkan semua kekacauan di kepalanya dengan ti
Raka terdiam sejenak, menatap Nayara yang duduk di atas ranjang. Air mata membasahi pipinya, tapi sorot matanya tetap menusuk seperti belati.“Nay…” suaranya terdengar ragu, nyaris berbisik, saat ia mencoba melangkah mendekat.Namun Nayara langsung meraih lampu tidur di meja samping.“Melangkah lagi, kepalamu akan pecah!”Nada suaranya bergetar, tapi tatapannya tak gentar sedikit pun. Jemarinya mencengkram kuat kaki lampu, urat di punggung tangannya menegang.Raka mematung. Pandangannya berpindah pada lampu tidur yang kini terangkat di tangan Nayara—siap melayang kapan saja. Tegangan di udara kian pekat. Ia menatap lama, seolah menimbang, sebelum akhirnya bibirnya melengkung tipis.“Baiklah, aku akan pergi,” ucapnya, memaksakan senyum meski wajahnya kaku. “Tidur yang nyenyak, Nay.”Ia mundur perlahan, mengangkat kedua tangan seperti menyerah, lalu berbalik meninggalkan kamar. Tak lama, suara pintu depan tertutup keras, memastikan ia benar-benar pergi.Begitu Raka hilang dari pandangan
Nayara sudah mengganti pakaiannya ketika mendapati Raka tertidur di sofa. Lelaki itu masih mengenakan kemeja kerja dan celana formalnya, bahkan dasinya pun sudah longgar tapi belum dilepas.“Ck,” desis Nayara, melangkah mendekat sambil menatap lelaki berstatus suaminya itu.Ia berjongkok di samping sofa, menggerakkan telapak tangan di depan wajah Raka. Kelopak mata itu terpejam rapat.“Sudah tidur beneran rupanya,” gumamnya.Dengan satu tangan menopang pipi, kepala sedikit miring, Nayara menatap wajah yang dulu pernah ia cintai. Aroma wangi lembut bercampur maskulin menyeruak dari tubuh Raka—anehnya, meski lelaki itu tak mandi seharian dan tidak berganti pakaian.Andai saja Raka tidak berselingkuh, pikir Nayara. Meski pernikahan mereka hanyalah kesepakatan bisnis keluarga, ia mungkin akan menjadi istri yang berbakti. Tapi semua hancur karena pengkhianatan itu—membuatnya menderita.Tanpa sadar, Nayara menampar pipinya.“Ah!” Raka terperanjat, bangun karena kaget.“Nay, kamu kok…” suara
"Tidur sekamar katanya? Ha-ha-ha!" Rei tertawa terbahak di sofa ruang tamu rumahnya. Lelaki itu mengenakan kemeja putih dengan celana formal hitam, sedangkan jasnya disampirkan begitu saja di sandaran sofa."Bajingan Mahendra sialan itu..." gumamnya. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini, tapi jelas tangan Rei menggenggam erat sampai otot-otot di lengannya menegang. Rahangnya terkunci, dan urat di pelipisnya terlihat menonjol.Tatapan matanya jatuh ke ponsel yang tergeletak di meja. Mata itu melotot penuh frustasi."Ah, sial! Percuma aku telepon, yang angkat pasti bajingan sialan itu juga!" Rei mengacak rambutnya kasar dengan jemari.Beberapa saat kemudian, ia bangkit dan melangkah menuju minibar di sudut ruangan. Tangannya mengambil sebuah gelas kristal dan sebotol red wine berusia puluhan tahun—labelnya menunjukkan tahun pembuatan 1990. Minuman itu mahal dan langka, hanya dinikmati oleh mereka yang tahu betapa berharganya setiap tetesnya.Dengan gerakan tenang namun penuh tekana
Nayara memejamkan mata, berusaha mengatur nafasnya yang mulai memanas."Selina... aku nggak ngerti maksud kamu apa," ucapnya datar, mencoba tetap tenang."Jangan pura-pura polos! Semua orang di kantor tahu kamu yang bikin Raka keluar dari Mahendra Grup! Dasar—"Sambungan telepon itu dipenuhi suara teriakan Selina yang menusuk telinga.Nayara spontan menjauhkan ponsel dari telinganya.Dia menghembuskan napas panjang, lalu mengangkat kembali ponsel itu."Kalau kamu cuma mau teriak-teriak, mending matiin aja telponnya," ujarnya dingin.Namun, bukannya mereda, Selina malah semakin menjadi-jadi."Kamu pikir kamu siapa?! Tanpa Raka di sana, semua kacau! Dan itu semua gara-gara—"Tut.Nayara memutuskan sambungan telepon itu tanpa ragu.Ia menatap layar ponsel yang kembali sunyi, lalu melemparkannya ke ujung kasur."Orang gila semua hari ini..." gumamnya sambil memijit pelipis.Nayara yang masih kesal hanya bisa menghembuskan napas panjang."Daripada makin pusing, mending mandi aja," gumamnya
Suara pintu utama terbuka pelan. Raka melangkah masuk dengan bahu sedikit merosot, wajahnya kusut.Hari ini benar-benar menguras tenaga. Seharian di gedung Mahendra Grup, ibunya tak berhenti menjegal setiap kebijakannya, bahkan terang-terangan ingin mengangkat Bagas—si bodoh itu—sebagai CEO. Rasanya seperti dipermalukan di rumah sendiri.Raka melempar jasnya ke sandaran sofa dan menghela napas panjang.Namun ada yang aneh.Rumah ini… terlalu sepi.Jam baru menunjukkan pukul tujuh malam, tapi atmosfernya seperti tengah malam di kuburan.Biasanya, walaupun Nayara tengah menjalankan “perang dingin” dengannya, perempuan itu tetap muncul di ruang tamu atau ruang makan. Sekadar lewat saja, cukup membuat rumah terasa hidup.Langkah kaki seorang pembantu paruh baya yang lewat menarik perhatiannya.“Dimana nyonyamu?” Raka bertanya dingin, nada suaranya kaku seperti baja.“Nyonya belum pulang, Tuan.” Pembantu itu membungkuk sopan.Raka mengerutkan kening.“Nayara belum pulang? Dia baru saja kel