"Bagus kau tidak menahan Lilia. Setelah menikah semua perempuan yang datang padamu memang harus kau benci seperti tadi. Aku puas melihat dia kecewa.""Aku tidak punya perasaan rumit semacam benci. Tindakanku hanya berdasarkan keuntungan dan kerugian. Lebih baik aku membiarkannya pergi ketimbang dia membuat masalah di sini.""Walau kau tidak membencinya. kau juga tidak menahannya. Itu sudah bagus!" Zenon mengacungkan jempol lalu tersenyum pada Amara yang datang menghantarkan pesanan. Amara meletakkan ice mocachino ke atas meja sembari mencari keberadaan Lilia, dia bertanya, "Dia pulang? Lalu pesanan Ini buat siapa?""Biar aku yang bayar," jawab Zean."Aku sudah mengusir pelakor itu." Dada Zenon membusung bangga, ia lalu menadahkan tangannya pada Amara. "Tidak perlu terharu. Cukup beri aku permen!" pintanya."Amara enggak punya permen.""Kalau begitu cepat beri aku keponakan!""Keponakan?""Segeralah melahirkan anak. Dengan begitu aku punya keponakan."Wajah Amara mendadak panas. Sebe
Lonceng Kafe kembali berbunyi sesaat setelah Amara meletakkan pesanan di meja pelanggan. Siluet ramping serta pembawaan jalan yang elegan menandakan perempuan yang baru saja masuk tersebut bukan dari kalangan biasa. Rambut pirangnya dan kulit seputih salju memberi kesan cantik yang tidak tergapai. Semua pasang tidak bisa tidak mengaguminya.Amara tahu perempuan tersebut bernama Lilia, adik kelas suaminya ketika SMA. Seminggu yang lalu Lilia sudah datang ke Kafe Lina untuk bertemu dengan Zean. Sekarang tujuan gadis itu mungkin masih sama. Lylia melenggang ke arah kiri Kafe tempat dua lelaki tampan duduk. Dia memberikan senyum yang menawan pada Zean yang menyoroti singkat kehadirannya.Menyadari pandangan Zean tidak lagi padanya, Zenon yang duduk membelakangi pintu masuk kafe menoleh ke belakang. Dia terkejut mendapati Lilia yang melangkah mendekat dengan seulas senyum. Seharusnya wajah itu tidak mungkin muncul di tempat seperti ini sekarang."Lama tidak bertemu Kak Zenon." Lilia menya
Zenon tidak tahu apakah harus tertawa atau menangis. Mendengar pernyataan itu membuatnya tidak bisa berpikir logis. Walaupun tidak ada konfirmasi, sejak SMA ia tahu kalau Kea menyukai laki-laki itu. Bisa saja dia mengarang atau hanya sekerja khayalannya. "Aku menyukai orang lain. Terserah kalau kamu tidak percaya hal ini. Kamu bisa menanyakannya dengan Zean secara langsung dan mendapatkan faktanya." Kea menyanggah dengan wajah yang biasa saja. Sudah menjadi makanan sehari-harinya menampilkan berbagai macam ekspresi palsu. Zenon diam sejenak untuk menstabilkan pikiran. Entah sejak kapan masalah rumah tangga orang lain jadi masalahnya juga. "Di masa depan Amara mungkin akan menjadi orang yang paling dirugikan. Aku tahu semua orang punya masalahnya sendiri dan bisa mengurusnya sendiri. Tetap saja ini bukan sesuatu yang aku harapkan. Jadi, jangan menjadi tokoh antagonis di pernikahan mereka!" Kea menghembuskan napas pelan dan meman
Keluarga Sabara satu-satunya keluarga yang berhasil bangkit setelah mencoba bekerja sama dengan dua keluarga lain untuk menghancurkan Elkira. Meskipun pemicu di balik konflik tersebut adalah keluarga Diananta, tetap saja perbincangan dia dan Zean akan sangat berat."Jadi ini juga alasan kamu tidak menghadiri pernikahannya?""Iya."Perempuan cantik bernama Kea itu duduk di tempat Zean duduk sebelum pergi."Padahal kamu sudah banyak sekali makan apel. Tapi masih saja menerima pemberiannya." Kea terkekeh dengan wajah mengejek."Jangan coba-coba berniat mencuri apelku! Itu lebih berharga dari emas dan berlian di luar sana!" Zenon menatap Kea dengan waspada yang membuat perempuan tersebut tertawa."Tenang saja, aku tidak akan mengambilnya," jawab Kea sembari menggelengkan kepala dan menambah, "Biar aku membantumu memotongnya."Kea melepas blezer yang dia kenakan lalu mengambil pisau bersiap memotong apel. Hany
Zenon sengaja diam cukup lama untuk memancing emosi sahabatnya. Ada kemungkinan sahabatnya itu akan terkejut dengan jawaban yang dia tahan. Seperti apa ekspresinya ketika terkejut, Zenon sangat ingin melihatnya. "Adikmu ... dia yang memperingatkan aku." Zean mengerutkan dahi saat mendengarnya lalu kembali menstabilkan ekspresi. "Oh." "Oh aja? Gak terkejut atau semacamnya?" tanya Zenon mencari sesuatu di wajah itu. Padahal sebelumnya dia sangat yakin tadi Zean penasaran. Tapi kenapa dia tidak terkejut sama sekali? "Memangnya kamu ingin aku bereaksi apa?" Zean bertanya dengan dahi yang kembali berkerut. "Sepertinya memang mustahil bisa melihat emosi kamu lewat raut wajah," jawab Zenon menghembuskan napas kecewa. Dia merebahkan tubuh yang sebelumnya dalam keadaan duduk. Sambil menatap langit-langit Zenon berkata lagi. "Jadi ... selanjutnya apa yang bisa kamu lakukan? Jangan bilang kamu h
"Ah, langit benar-benar mengerti perasaanku," gumam seorang perempuan. Sambil memeluk Paper Bag berisikan buah apel. Perempuan tersebut menghembuskan napas. Percikan hujan yang terbentur lantai membasahi celana bahan yang ia kenakan. Seharusnya matahari sedang menyinari bumi dari titik tertingginya. Tapi entah kenapa sekarang ia bersembunyi. Seolah sedang menyelaraskan keadaan dengan perempuan yang sedang bertahan di depan toko buah tersebut. Dia rasa dia akan cukup lama menunggu hujan reda. Jadi, seseorang yang sudah perempuan itu janjikan sebuah kedatangan harus mendapatkan kabar keterlambatan. Dia mengambil benda segenggam yang ada di tasnya. Menyelipkan benda tersebut di antara telinga dan rambutnya yang di cat merah anggur. "Zenon! Di luar hujan. Mungkin aku akan sedikit terlambat menjenguk mu!" jelasnya. *** Cuaca menyebabkan kafe dalam keadaan lenggang, hal tersebut membuat Amara lebih