Share

Part 01 - The Dalmore

U.S Navy SDV Team 1 • Pearl Harbor

            Beberapa hari setelah para pria berbadan tegap berpesta mengakhiri malam terakhir mereka di New york City.

            Mereka yang terlihat liar sekitar satu minggu yang lalu saat berada di kelab Chill Out— kini semuanya tengah berbaris rapi dan teratur di sebuah pangkalan militer angkatan laut. Tepatnya di Pearl Harbor yang berada di pulau Oahu, Hawaii— bagian barat Honolulu, Amerika Serikat. 

            Namun, nyatanya di mana pun tempatnya, seorang Daxon Seth Rainer tetaplah memiliki ketidak disiplinan dalam bertindak. Padahal dirinya sudah mendapat jabatan sebagai Letnan dan memiliki sebuah tim yang berada di bawah kepemimpinannya langsung.

            Menyandang gelar sebagai keturunan kedua seorang Rainer yang menjadi legenda dalam sejarah angkatan laut di Amerika Serikat itu, seakan menjadi beban bagi Daxon.

            Pria yang memiliki tinggi badan 190 cm dengan pahatan sempurna pada tubuh atletis dan memiliki wajah rupawan layaknya Romeo dalam film romansa Romeo and Juliet itu, pantas dinobatkan sebagai pria tertampan sejagat lautan kepulauan Hawaii.

            Memiliki IQ diatas rata-rata bukan jaminan untuknya memiliki wibawa seperti sang kakak -Raven Seth Rainer- yang selalu menjadi perbandingan dengan dirinya. Raven begitu diagungkan oleh komandannya sebagai calon penerus prestasi sang ayah.

            Well, salahkan dirinya yang selama satu minggu kembali dari New York, tak bisa fokus karena seorang wanita berbibir seksi yang telah mengacaukan pikirannya dan membuat ia tak berhenti membayangkan pesona si primadona yang menggetarkan hatinya dalam semalam.

            Sialnya dia tak mendapatkan informasi pribadi apapun setelah ia ditinggalkan dalam keadaan mabuk dan tidak mengingat apa-apa, pada malam yang hampir saja membuatnya mendapatkan jackpot; menikmati tubuh si bibir seksi itu.

            Fucking hell, Dalmore! Bagaimana bisa aku mabuk karena minuman laknat itu?! Bukankah biasanya aku mampu menghabiskan beberapa botol?! Lalu bagaimana bisa aku mabuk disaat yang tak tepat?! Atau memang si bibir seksi itu begitu memabukan? umpat Daxon dalam hati.

            Sambil mengendap memasuki barisan yang sialnya ia harus berada di depan, sejajar dengan para pemimpin pasukan— walau dirinya masih termasuk pemimpin kelas rendah. Ia tetaplah masuk ke dalam jajaran itu.

            “Kenapa kau terlambat lagi, Dax?” bisik Raven yang berdiri tepat di sampingnya.

            Sambil menghadap lurus tegak ke depan, di mana sang Laksamana -Dereck Halbert D'Ryan- kini tengah berpidato mengenai misi, visi dan motivasi mereka ke depannya.

            “Aku baru terbangun dari mimpi sialan yang membuat ranjangku basah!” balas Daxon tak kalah berbisik dan tak tahu malunya.

            Namun, suara bisikannya itu masih terdengar oleh beberapa orang timnya yang berada tepat di barisan kedua. Sehingga menimbulkan sedikit kekehan, akan tetapi dehaman dari Raven membuat semuanya kembali terdiam.

            Sampai upacara pagi itu selesai dan barisan dibubarkan, semua tim dan kepala pemimpin kembali ke tempatnya masing-masing serta berdiskusi dalam lingkaran mereka. Termasuk Daxon yang berdiri di hadapan anak buahnya.

            “Siapa yang menertawakanku saat di barisan tadi?” tanyanya berdiri di hadapan dua baris pasukannya yang berjajar sebanyak empat orang.

            Semuanya terdiam. Tak ada yang berani menjawab, bahkan tubuh-tubuh tegap itu berdiri begitu kaku. Tak biasanya mereka terlihat serius saat Daxon menanyakan hal sepele semacam itu.

            “Hei, Walter! Kau berada tepat di belakangku tadi. Apa kau yang memulai tawa itu?!” tukas Daxon tertuju pada pria berkulit hitam yang biasanya begitu santai walau Daxon terlihat sedang serius sekalipun.

            “Siap, Sir. Maaf, aku tidak bermaksud demikian!" jawab Walter.

            Daxon semakin mengernyitkan alisnya saat mendengar sapaan dan gerakan tak biasa dari seorang Walter yang terkenal jenaka.

            Lantas ia mendekat dan berbisik pada Walter. “Hei, kenapa kau begitu kaku. Jangan berusaha menjadi si tua Dereck. Kau akan cepat keriput nanti,” bisik Daxon terkekeh pelan.

            Namun, ekspresi wajah Walter tetaplah kaku layaknya mayat hidup yang tenggelam di lautan es. Hanya kedua netra hitam yang bergerak menunjuk ke belakang Daxon.

            Daxon yang mengerti maksud isyarat itu, lantas menoleh dan memalingkan pandangannya ke anak buahnya yang lain. Hingga ia berbalik dan terhenti saat melihat pria paruh baya yang baru dibicarakannya itu, berdiri tegak sambil melipat kedua tangan di depan dadanya.

            “Letnan, Rainer. Jika kau sudah selesai dengan tim-mu. Bisa kau ke tempatku sekarang?!” tegas Dereck.

            Seketika Daxon memberikan hormat sambil berseru, “Siap, komandan. Laksanakan!”

            Dereck hanya mengangguk sebagai jawabannya, dan berlalu melewati Daxon yang masih meletakkan tangan kanannya di ujung pelipisnya.

            Daxon berbalik menatap tajam para pasukannya yang tak memberikan isyarat apapun saat ada Dereck di belakangnya, akan tetapi hal itu hanya berlangsung beberapa detik. Karena ia tak ingin membuat sang pimpinan menunggunya. Lantas ia berlalu tanpa mengucapkan apapun kepada mereka.

            Poor Daxon.   

***     

            Sepasang kaki jenjang nan putih melangkah linglung saat baru saja menapaki aspal yang mengambang di atas air. Dengan tinggi heels yang diperkirakan berkisar sepuluh sentimeter itu, berjalan perlahan saat melihat sesosok pria yang terlihat sedang membersihkan sebuah badan kapal.

            Wanita dengan bentuk tubuh layaknya model Victoria Secret itu melangkah mendekati pria yang membelakanginya, dengan tubuh layaknya seorang model majalah pria dewasa. Ia berdeham demi menarik perhatian si pria pencuci kapal. Setidaknya seperti itulah pemikirannya— masalah ada atau tidaknya pekerjaan tersebut, yang jelas baginya pria itu terlalu sempurna untuk dipekerjakan sebagai tukang pencuci kapal.

            Namun, sang pria pencuci kapal seperti tak mendengarnya, karena sibuk berceloteh sendiri.

            “Dasar tua bangka sialan! Bisa-bisanya dia memberikan hukuman seperti ini padaku?!” Suara keluhan itu terdengar tak asing bagi wanita yang mulai mengulurkan tangannya ke punggung lebar itu.

            “Permisi, apakah kau tahu di mana tempat—”

            Seketika ucapan wanita itu terhenti saat pria yang disapanya menoleh secara perlahan. Kedua tangan mungilnya menutup mulutnya yang menganga tak percaya.

            “Dalmore?” tanyanya dengan kening berkerut.

            Pria yang disebut Dalmore itu tersenyum dan menatap terkejut pada wanita di hadapannya. Seperti pelangi yang muncul saat badai menerjang. Dirinya seakan mendapat penghiburan di tengah hukuman menyebalkan dari komandannya.

            “Sexy lips ...,” gumam pria yang disapa Dalmore itu.

            Lantas membuat lengkungan di alis yang berada di atas kelopak mata lentiknya terbentuk sempurna— seolah tak mengerti dengan apa yang keluar dari mulut sang Dalmore di hadapannya.

            Sontak pria itu tersadar bahwa sebutan ‘nakalnya’ pada sosok wanita yang dikaguminya itu, terlontar begitu saja karena terlalu terpesonanya akan kehadiran sang primadona.

            “Ooops! My bad. Hm, kenalkan, aku Daxon Seth Rainer. Nama Dalmore hanya sebutan untukku saat di atas kapal. Mereka menyebutku pemimpinnya,” ungkap Daxon, “Oh ya, siapa namamu?” tanyanya menimpali. 

            “Aku Alexia Oceana. Well, kau salah satu pemimpin di sini? Tapi, kenapa kau ….” Alexia memerhatikan penampilan Daxon dari atas sampai bawah.

            “Ya, walau aku masih seorang Letnan, aku ... oh shit!” Sontak pria itu menyadari keadaannya yang terlihat bodoh dipertemuan kedua dengan wanita yang dikaguminya itu. Lantas ia melemparkan kain lap yang digunakan untuk mengelap kapalnya itu, ke sembarang arah. 

            “So … Alexia, kenapa kau ke sini?” tanya Daxon.  Demi dewa Poseidon. Ia sungguh tak siap untuk kedatangan seorang putri dari Neptunus.

            Penampilannya saat ini begitu berantakan dan berbeda dari satu minggu lalu saat ia menantang wanita itu untuk minum hingga akhirnya dia kalah taruhan.

            Namun, persetan dengan penampilannya saat ini. Daxon yang memiliki tingkat kepercayaan diri tinggi itu, merasa dirinya selalu tampan bagaimanapun keadaannya.

            “Maksudku, kau seorang  wanita cantik ke sini? Sedang apa? Tak mungkin kau mencariku, bukan?” tanya Daxon mengganti pertanyaannya dengan pertanyaan bodoh lainnya.

            Shut the fuck off, Dax! Dasar bodoh! Kau sungguh mempermalukan dirimu sendiri! Daxon merutuk dalam hati.

            Wanita itu kembali tersenyum bahkan tertawa begitu lepas, ia menyukai pria humoris yang tak memikirkan gambaran tentang harus terlihat sempurna di depannya.

            “Santai saja, Daxon. Aku kesini untuk mengantarkan titipan seseorang kepada pria bernama Dereck Halbert D'Ryan. Apa kau mengenalnya?” tanya wanita berbibir seksi itu sambil mengangkat sebuah paperbag.

            “Huh! Syukurlah jika kau memahami keadaanku saat ini." Daxon berlega hati, tapi tunggu dulu … apa tadi dia mencari pria tua menyebalkan yang membuatku terjebak seperti orang bodoh atas hukuman keterlambatanku pagi tadi? imbuh batin Daxon.

            Ya, sepertinya indera pendengaranku masih berfungsi dengan baik, jawabnya lagi di dalam hati. Lantas hal tersebut membuatnya terkekeh saat menyadari pertanyaan Alexia.

            “Oh, si tua yang membuatku terdampar di sini!” rutuknya mendesis pelan.

            “A- apa?” tanya Alexia.

            “Bu-bukan apa-apa,” balasnya tersenyum begitu tampan, “Jadi kau mencari tua bangka berhidung besar itu?” tanya Daxon menimpali.

            Sambil merapikan sedikit penampilannya. “Aku akan mengantarmu ke tempatnya,” tekadnya.

            Seketika kening Alexia mengerut saat mendengar julukan unik dari Daxon tentang pria yang dicarinya.

            “Apa kau mengatakan pria bernama Dereck itu tua bangka berhidung besar?” tanya Alexia mengulangi ucapan Daxon.

            “Ya, menurutmu siapa lagi? Si tua bangka yang suka memberikan hukuman aneh pada bawahannya itu suka seenaknya!” tukas Daxon kembali mengumpat.

            “Oh, ya?” tanya Alexia. Mengikuti langkah Daxon yang terbilang cepat untuknya mengimbangi. Ditambah heels yang digunakannya semakin memperlambat langkahnya.

           “Ya, ingin rasanya aku mematahkan hidung besar itu agar ia tak seenaknya menyuruhku membersihkan badan kapal sebesar itu!” tukas Daxon begitu kesal, “Aku lebih baik melakukan push up atau mengangkat beban berat sebanyak seratus kali daripada membersihkan kapal yang bisa memandikan dirinya sendiri,” imbuhnya.

            “Oh ya ampun, dia pasti pimpinan yang sangat kejam,” celetuk Alexia menanggapi.

            “Tak hanya kejam, tapi dia begitu menyebalkan. Dan entah kenapa kau ingin menemuinya,” tanggap Daxon berbisik.

             Dia menghentikan langkahnya di depan pintu ruangan laksamana yang sejak tadi menjadi topik pembicaraan buruk dengan wanita di sampingnya itu.

            “Baiklah … terima kasih, Letnan Rainer. By the way, nama lengkapku Alexia Oceana D'Ryan, dan aku ke sini untuk menemui ayahku," ujar Alexia berbisik, lalu mengetuk pintu ruangan sang ayah hingga ia dipersilahkan masuk.

            “Hey Dad!” seru Alexia menyapa.

            Hal itu sukses membuat Daxon tercengang,  “What the— Oh Shit, Dalmore! Kau kembali membuat petaka untuk dirimu sendiri,” gumamnya hendak melarikan diri dari depan ruangan komandannya.

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status