Bandar Udara Militer, New York
Pukul 05.30 PM
Suasana bandar udara khusus militer sudah sangat ramai begitu Raven dan Daxon tiba. Semuanya sudah memakai seragam lapangannya masing-masing dan berbaris rapi sesuai instruksi komandan. Termasuk seorang Dereck yang sudah hadir lebih dulu di sana. Tampak sedang memberikan perintah serta arahannya dengan wajah tegas dan suaranya yang lugas.
Begitu sampai di barisan, kedua bersaudara itu langsung memberi hormat dan melapor atas kedatangan mereka, yang kemudian diterima dan setelahnya mereka ikut dalam barisan apel sore itu. Walau cuaca dalam kondisi dingin dengan turun salju yang lebat, tak ada satupun yang bisa mengeluh karena hal itu. Apalagi waktu liburan mereka terpotong karena harus kembali ke pangkalan, tanpa terkecuali.
Setelah selesai dan barisan dibub
"Da- Dalmore?"Lexy segera melepas tangan Raven yang berada pada pinggangnya dengan cepat. Sayangnya mata Daxon sudah lebih dulu melihatnya. Hal tersebut membuat Lexy was-was— takut bila Daxon kembali salah paham, sedangkan Raven yang berada di belakang sedikit terkejut dengan gerakan spontan yang dilakukan oleh Lexy barusan, tetapi ia mengerti saat melihat ada Daxon di depannya. Mungkin Lexy malu, pikirnya.Namun, bukan mengeluarkan ekspresi marah atau cemburu seperti biasanya, Daxon dengan ramah tersenyum pada keduanya. Ia juga menyapa kakak dan si putri laksamana itu untuk kemudian disuruh masuk."Lexy mencari ayahnya. Ada sesuatu yang ingin ia berikan. Apa kau melihat paman Dereck?" Raven memberi tahu Daxon sambil mencari - cari keberadaan ayah Lexy."Pam
Pangkalan Angkatan Laut - US Navy Seal team 1Pearl Harbour || Hawaii, Honolulu • 23.30 PMSetibanya seluruh Marinir ke pangkalan. Para pemimpin pasukan segera menyusun strategi penyusupan untuk menyelamatkan seorang ilmuan dari CIA. Sementara itu para bawahan melakukan tugas masing - masing mempersiapkan segala kebutuhan untuk menjalankan misi penting tersebut.Semuanya berharap bisa menyelamatkan agen CIA tersebut tanpa harus melakukan gencatan senjata dari kapal yang siap tempur. Berharap situasi bisa dikendalikan sebisa mungkin tanpa harus melakukan peperangan di atas lautan."Kita memiliki empat pulau yang harus kalian singgahi. Memastikan di salah satunya adalah tempat penelitian ilegal terselubung, yang menyekap agen CIA." Dereck menunjukkan ke empat gambar pulau kecil yang mengelilingi kepulauan Hawai
Daxon meratapi punggung Raven yang melangkah menuju kapalnya. Ia mengembuskan napas gusar setelah mendengar ucapan Raven atas apa yang telah diduga sang kakak antara dirinya dan Lexy."Ini sungguh bencana. Raven sama sekali tak berubah!" rutuknya kesal.Lantas Daxon berdiam sejenak, memikirkan apa yang harus dilakukannya untuk mengembalikan fokus Raven. Kelemahan Raven satu - satunya yang sangat membahayakan, dan harus terjadi disaat genting seperti ini. Hell ya!Daxon kembali mendengkus kesal. Tak dapat menahan diri untuk menyembunyikan gerak geriknya dengan Lexy saat di depan Raven. Ia yakin sang kakak curiga dengan tatapan Lexy yang tertuju padanya sebelum berangkat tadi."Oh, C
Raven baru saja menginjakkan kakinya di bibir pantai, ketika keadaan di sekitarnya sudah banyak kepingan kapal yang berserakan, juga beberapa orang berseragam seperti miliknya ikut terseret arus hingga mendamparkan mereka ke pasir dalam keadaan yang terbilang tragis dan mengenaskan.Begitu juga dengan tim-nya yang sudah menerima mandat untuk melakukan penyisiran ke seluruh tepi pantai dan juga kondisi dalam hutan. Sekaligus mencari tahu mengenai kondisi pulau tersebut dan menjalankan misi mereka soal pencarian ilmuwan penting itu.Dalam keadaan yang campur aduk, Raven berlari ke sana - ke sini untuk mencari sang adik yang belum juga dapat ia temukan. Sebagiannya adalah kru Daxon yang naas tak dapat tertolong. Tak ada satupun yang selamat ia temui. Namun, tak menghentikan niat Raven untuk terus mencari. Walau fajar telah menyingsing dan keadaan langit mulai bend
Raven perlahan membuka kedua matanya yang terasa begitu berat. Mencoba menjemput kesadarannya yang dirasa sangat sulit didapat. Begitu juga dengan anggota tubuhnya yang lain, sangat susah baginya untuk bergerak sekarang. Bahkan mengangkat tangan pun ia susah.Masih di tempatnya, Raven tampak dalam kondisi yang bisa dikatakan kritis. Kepalanya terbungkus perban tebal, lehernya disokong alat, begitu juga masker oksigen yang menutupi hidungnya, dan selang infus yang tertancap di kedua tangannya, serta tubuh dengan luka bakar pada bagian punggung dan dada hingga mencapai wajahnya— walau tak begitu fatal, akan tetapi sanggup membuat seorang Raven tak bisa berkutik sama sekali.Bahkan saat ia mencoba bersuara, tenggorokannya seperti tercekat hingga yang keluar hanyalah suara seperti orang tercekik.Mencoba menggerak
Dereck mengusap kasar wajahnya. Ini adalah hari kelima pencarian yang dilakukan untuk menemukan ketiga marinirnya masih belum memiliki titik terang. Pulau tersebut cukup luas dan dalam serta memiliki banyak sela goa juga pepohonan tinggi nan lebat yang menutupi hampir sebagian pulau. Menyulitkan helikopter dan tim pencarian untuk menemukan titik keberadaan mereka."Lapor, Sir. Hampir di keseluruhan pulau ini telah kami lakukan penyisiran penuh. Dan hasilnya sangat disayangkan. Tak ada tanda kehidupan di dalam. Begitu juga dengan tim pencari, sudah banyak yang kelelahan. Banyak dari kami yang mengalami hipotermia."Dan beberapa yang mencapai ke bagian terdalamnya sejak hari pertama pencarian, hari ini baru bisa kembali itupun karena ditemukan tim kedua yang masuk. Mereka menga
Berada di New York selama tiga hari ini bukan membuat seorang Raven bisa dengan mudah melupakan semua kenangan tentang saudara laki-lakinya. Kembali ke rumah dalam keadaan berkabung justru semakin menempatkannya dalam duka yang mendalam.Tak hanya dia, juga ibu dan Angeline saudarinya. Seketika suasana rumah tak lagi sama. Persis saat mereka kehilangan kepala keluarga beberapa tahun silam. Dingin dan sepi. Bahkan acap kali Raven mendengar suara tangisan dari kamar adik perempuannya maupun sang ibu.Lantas di sinilah Raven sekarang. Melarikan diri dari kehampaan yang ia rasa. Berada di tengah kota metropolitan yang ramai pada malam hari sambil melihat jalanan yang padat. Tak lupa sekaleng bir yang baru saja ia beli dari mesin minuman untuk menemani kegundahannya malam ini.Hanya orang gila yang duduk di luar saat cuaca mendadak ekstrim, dan Raven adalah satu di antaranya— merenung di kursi taman yang terletak di bahu jalan dengan tatapan datar m
Alexia masih memandang bayangan dirinya di cermin. Tatapannya lusuh dengan wajah pucat serta mata yang hitam mencekung. Walau tak ada lagi isakan, tetap saja cairan asin itu mengalir di sela-sela pipinya. Mengalir di antara buliran air keran yang membasahi wajah.Sekali lagi. Lexy membasahi wajahnya dari air yang tertampung di wastafel kamar mandinya untuk menghilangkan jejak kesedihan itu. Sebelum akhirnya kembali melihat pantulan dirinya di kaca.Tidak, Daxon. Tidak. Tak semudah itu kau dapat meninggalkanku. Ini terlalu cepat untuk kisah cinta kita. Bukan ini akhir yang kuinginkan bila suatu saat nanti kau juga akan meninggalkanku. Tanpa salam perpisahan …. kau tega pergi begitu saja?Tak dapat membendung lagi segala gejolak di dada, Lexy mencelupkan wajahnya ke wastafel berisi air tadi lalu menjerit sekuat tenaga hingga tubuhnya mengejang. Satu-satunya hal yang dapat ia lakukan untuk melampiaskan segala emosinya. Tak mungkin ia meraung d