Share

Takdir Yang Mengerikan

Dua garis merah.

Renata tidak perlu mencobanya berulang-ulang kali untuk meyakinkan diri karena sejujurnya, jauh sebelum dia memutuskan membeli tespek di tangannya itu, dia sudah merasa ada yang salah dalam dirinya. Perubahan hormon, rasa mual dan juga siklus haidnya yang berhenti sejak dua bulan ini.

Hamil.

Renata tahu kalau dirinya sedang mengandung, hanya saja, dia butuh meyakinkan dirinya lagi. Karena itu dia membeli tespek untuk memastikannya. Dan ya, hasilnya tidak ada yang berubah.

Kini, Renata terduduk lemas di atas closet. Tespek di tangannya sudah terjatuh ke lantai. Rasa-rasanya, Renata tidak ingin memercayai semua ini. Kehidupannya sudah teralalu berantakan sejak semua orang mengetahui hubungannya dan Revan, sepupunya yang menjadikannya sebagai selingkuhan selama ini. Belum lagi rasa patah hatinya yang entah kapan bisa sembuh dan membebaskan dia untuk benar-benar bisa hidup dengan damai.

Seluruh keluarga memusihinya, orangtuanya menanggung beban akibat ulahnya. Tadinya, Renata pikir dia hanya cukup menjauh dari semua orang agar perlahan-lahan, dia bisa membuat keadaan menjadi lebih baik. Tapi ternyata lagi-lagi takdir mempermainkannya.

Tepat di malam ketika Renata tidak bisa membendung rasa rindu dan patah hatinya pada Revan pasca mereka memutuskan berpisah, untuk pertama kalinya Renata menginjakkan kaki di sebuah kelab malam seorang diri. Renata ingin mencoba minum malam itu. Kata orang-orang, ketika mabuk, seluruh masalah yang memenuhi kepala akan menghilang begitu saja. Dan Renata merasa membutuhkan itu.

Renata sangat tertutup mengenai kehidupannya. Dia tidak punya sahabat atau pun teman dekat, dia juga tidak pernah mau berbagi banyak hal dalam hidupnya pada siapa pun kecuali Revan. Sejak kecil, dia hanya memiliki Revan, dia hanya terbuka pada Revan hingga bergantung padanya.

Ketika Renata menemukan masalah dalam hidupnya, dia hanya akan mengadu pada Revan, mencari solisi bersamanya hingga keadaannya membaik. Tapi sekarang hal itu tidak lagi bisa terjadi. Membuat Renata merasa gamang, hampa dan tidak tahu ingin melakukan apa.

Terakhir kali, ketika menemui jalan buntu, Renata memilih mengakhiri hidupnya. sayangnya, Tuhan belum ingin bertemu dengannya. Hingga Renata harus kembali melanjutkan hidup tanpa tahu arah dan tujuannya. Dan malam itu, dia ingin istirahat sejenak dari rasa lelah yang terus menerus menghantuinya.

Di sana, Renata duduk seorang diri, meneguk minumannya. Setiap kali gelasnya habis, dia kembali meminta sang Bartander mengisi gelasnya lagi. Kemudian, ketika Renata mulai kehilangan kesadarannya, dia hanya mengingat ada seorang lelaki yang menghampirinya, menanyakan sesuatu yang tidak Renata mengerti karena kepalanya yang terasa berat.

Dan entah apa yang terjadi pada malam itu. Renata hanya bisa diam terpaku ketika pagi harinya, dia sudah berada di sebuah kamar hotel, telanjang dengan rasa kebas yang kentara di bawah perutnya, bersama seorang lelaki yang tidak dia kenali.

Renata pikir itu akan menjadi mimpi buruk terakhir dalam hidupnya. Sayangnya tidak, karena pagi ini, Renata lagi-lagi mengalami mimpi buruk itu.

Dia sedang mengandung. Hasil dari percintaannya malam itu, percintaannya bersama lelaki yang tidak dia kenali.

Kini Renata meremas rambutnya putus asa, dia menggigit bibirnya penuh sesal. Bagaimana ini? Apa yang harus dia lakukan? Takdir hidupnya kacau balau, kini, hal mengerikan lainnya kembali hadir dalam hidupnya.

Dengan sisa tenaga yang Renata miliki, dia bergegas kembali ke kamarnya, membuka lemari koleksi tasnya, mencari tas yang dia gunakan ketika malam kehancuran itu terjadi.

Renata mengeluarkan seluruh isi tas itu hingga berserakan ke atas lantai, kemudian dia bersimpuh dan mencari-cari sesuatu yang seingatnya masih dia simpan di sana dengan kedua mata nanarnya yang menyedihkan. Gerakan tangannya yang gemetar terhenti ketika dia menemukan sebuah kartu nama.

Saka Adhiyaksa.

Lama Renata menatap kartu nama di tangannya, hingga tiba-tiba dia beranjak cepat dan menyambar ponselnya, menuliskan sederet angka yang tertera di sana. Renata menggigiti kukunya dengan gelagat gelisah karena panggilannya masih belum terjawab. Air matanya memupuk jelas di kedua matanya.

[Halo?]

Suara bariton itu terdengar. Masih terdengar sama seperti pagi hari di kamar hotel itu. Namun anehnya, setelah mendengar suara itu, tangis yang sejak tadi Renata tahan berakhir luruh begitu saja. Renata menutup mulutnya dengan telapak tangan, menekannya kuat saat isaknya semakin menjadi. Suara itu kembali terdengar, kali ini terdengar jengkel hingga Renata memutuskan panggilan tersebut dan besertaan dengan itu, telapak tangannya terjatuh lunglai begitu saja ke atas pangkuan.

Renata membiarkan tangisnya menggema di kamarnya, orangtuanya sedang tidak ada di rumah, tidak akan ada yang tahu jika dia sedang menangis.

Apa lagi yang takdir inginkan darinya? Apakah belum cukup dengan menyiksanya untuk terus hidup sedangkan yang dia butuhkan hanyalah kematian?

Renata lelah, benar-benar lelah hingga rasanya, da dia merasa tidak lagi sanggup menghadapi semua ini.

***

Saka duduk di kursi kerjanya dengan gaya yang menawan, mata tajamnya tampak menerawang, kedua tangannya yang berada di atas meja saling mengepal satu sama lain. Dua bulan hampir berlalu, namun sesuatu yang dia tunggu tidak juga datang menghampirinya, membuatnya merasa murka.

Saka bukan jenis orang yang memiliki banyak kesabaran. Dia terbiasa selalu mendapatkan apa pun keinginannya dengan mudah. Dan kali ini, sesuatu yang begitu dia damba sejak lama belum juga bisa dia miliki.

"Aku nggak akan melepaskan kamu dengan mudah," gumamnya dengan suara rendah yang berbahaya. Ada tekat yang terlihat jelas dari kilat matanya, dan itu jelas bukan sesuatu yang baik. Lalu fokusnya teralihkan ketika ponselnya berdering. Saat mengamatinya, Saka menemukan nomer yang tidak di kenal sedang menelefonnya. "Halo?"

Tidak ada sahutan. Hanya ada keheningan. Hingga beberapa saat, Saka mendengar sesuatu yang membuat dahinya mengernyit, seperti sebuah isakan yang tertahan. Ada detak yang tidak asing muncul begitu saja, membuat Saka menegakkan punggungnya. "halo?" ulang Saka lagi dengan penuh ketidak sabaran.

Tapi sayangnya, panggilan itu terputus dan membuat Saka mendesis geram serta membanting ponselnya di atas meja.

Saka Adhiyaksa, Presiden Direktur di sebuah Bank ternama, menggantikan posisi Papanya yang sudah meninggal dunia sejak dua tahun lalu. Orang nomer satu di perusahaan yang perintahnya tak terbantahkan.

Semua orang yang mengenalnya jelas tahu bagaimana sifat Saka yang keras dan juga angkuh. Tidak ada yang pernah berani memandangnya ketika sedang berhadapan, tatapannya selalu saja mengintimidasi. Saka berwajah luar biasa tampan, berkarisma dan juga kejam.

Dan saat ini, lelaki kejam itu sedang berusaha merencanakan sesuatu di kepalanya.

"Halo," ujarnya pada seseorang yang dia hubungi. "berikan saya informasi apa pun mengenai seseorang," bibirnya menipis tajam ketika menyebutkan satu nama "Renata Noura."

Ketika sambungan terputus, sudut bibir Saka menyeringai keji. "Nata..." gumamnya pelan.

Suara ketukan pintu membuat ekor mata Saka melirik ke sana, kemudian dia menyimpan ponselnya di dalam saku jas, merapikan pakaiannya sebentar lalu melangkah ringan ke luar dari ruang kerjanya di mana ada Haikal, sekretaris pribadinya yang membungkuk hormat padanya.

"Semua orang sudha menunggu Pak Saka di ruang rapat." Ujar Haikal.

"Hm." Hanya gumaman itu yang Saka berikan, tanpa mau menatap bahkan melirik Haikal sekalipun.

Haikal berjalan sigap di belakangnya, telinganya selalu siaga kalau-kalau Saka mengatakan sesuatu karena Saka tidak pernah suka mengatakan sesuatu lebih dari sekali atau dia akan marah.

Ketika Saka berhenti di depan ruang rapat, Haikal membukakan pintu untuknya, kepalanya masih terus tertunduk hormat, hingga ketika Saka masuk ke ruangan itu dan Haikal menutup pintu itu kembali, baru lah Haikal bisa berjalan dengan kepala tegak.

Semua orang yang bekerja pada Saka harus mengetahui satu hal.

Jangan membuat sang lelaki menawan itu marah.

***

Semenjak mengandung, Renata merasa tubuhnya cepat sekali lelah. Seperti sekarang, setelah selesai dengan seluruh pasien-pasiennya, Renata merebahkan kepalanya di atas meja dengan mata terpejam. Satu tangannya di bawah sana bergerak mengusap perutnya.

Tubuhnya memang cenderung kurus membuatnya mudah menutupi kehamilannya. Belum ada perubahan yang terlihat jelas di tubuhnya karena kehamilannya. Hanya kondisi tubuhnya saja yang tidak sebaik biasanya.

Selain mudah lelah, Renata juga kehilangan nafsu makannya. Kalau saja dia tidak memikirkan bayi di perutnya, dia pasti bisa lebih memilih tidur dari pada mengisi perutnya.

Ya, pada akhirnya, Renata memilih merawat bayinya. Ditengah kekalutannya dan segala perasaan berkecamuk yang bersarang di benaknya, Renata tidak mau menyalahkan bayinya. Lagi-lagi Renata menyalahkan dirinya untuk semua masalah yang ada dalam hidupnya. Bayi ini ada, karena dia yang memilih menginjakkan kaki ke tempat terkutuk itu.

Bayi ini ada, karena dia yang dengan bodohnya menyentuh minuman yang selama ini selalu dia hindari hingga malapetaka itu hadir.

Karena semua itu adalah kesalahannya, maka sudah seharusnya Renata menanggung semuanya, sendirian, seperti biasanya.

Berusaha menggerakkan tubuhnya, Renata duduk tegak dengan punggung menyandar pada bangku. Dia menunduk, tangannya masih setia membelai perutnya. Lalu perlahan, senyumannya muncul meski tampak samar.

"Apa kabar, anak baik?" bisik Renata lirih. Tatapannya menyendu karena membayangkan masa depan apa yang bisa dia berikan pada bayinya nanti, sedangkan untuk memberitahu keberadaannya saja pada keluarganya, Renata belum sanggup. "sabar ya, Mama akan cari jalan keluarnya. Kamu harus tetap sehat sampai nanti ketemu Mama, bantu Mama melewati semua ini ya, sayang."

Pada kalimat terakhirnya, Renata memberikan remasan lembut di perutnya, seolah-olah ingin menggenggam jemari bayinya untuk berpegangan karena sejujurnya, Renata memang tidak lagi memiliki pegangan hidupnya saat ini.

Mendengar ponselnya berdering, Renata melirik pada benda itu, ada nama Mamanya di sana.

"Ya, Ma?"

[Pulang kamu sekarang.]

Hanya kalimat sesingkat itu yang di katakan oleh Ayu pada putrinya sebelum sambungan itu terputus dan menyisakan raut bingung di wajah Renata.

Merasa ada yang tidak beres, Renata bergegas pulang. Seperti biasa, dia mengendarai mobilnya sendiri. Tadinya dia berencana mampir ke sebuah warung makan dan membeli beberapa makanan yang tiba-tiba saja terlintas di benaknya. Tapi, karena merasa cemas pada Mamanya, Renata memutuskan untuk segera pulang. Dia bisa memesan makanan itu dari rumah nanti.

Sejak Renata melakukan percobaan bunuh diri beberapa waktu lalu, dia memang kembali tinggal bersama Papa dan Mamanya karena mereka masih mencemaskan Renata.

Ketika Renata sampai di rumahnya, begitu masuk ke rumah, dia sudah menemukan Papa dan Mamanya duduk di ruang tengah dengan wajah gusar. Ada Bi Eza juga di sana, duduk dengan kepala tertunduk dalam.

"Mama... kenapa?" tanya Renata ragu.

Kini semua orang menatapnya, Ayu terlihat seperti menahan amarah, sedangkan Herman terlihat begitu sedih, membuat Renata semakin tidak mengerti.

Apa lagi saat ini tiba-tiba saja Ayu berdiri dan menghampirinya, menyerahkan sebuah benda yang membuat mata Renata terbelalak ngeri. "Ini punya kamu?" tanya Ayu, suaranya terdengar tajam dan tegas. "Bi Eza bilang, dia nemuin ini di kamar kamu satu minggu yang lalu."

Kepala Renata bergerak lambat menoleh pada Bi Eza yang menatapnya takut. "Maaf Mba Renata, tadinya Bibi nggak percaya, mau Bibi buang, tapi..."

"Jawab Mama, Renata!" bentak Ayu. "ini punya kamu?!"

Tuhan...

Renata belum siap untuk semua ini, dia bahkan belum mempersiapkan apa pun untuk mengakui kehamilannya. Tapi, lagi-lagi takdir tidak mau berpihak padanya bahkan untuk sekedar mengulur waktu. Hingga pada akhirnya, yang bisa Renata lakukan hanyalah mengangguk pasrah.

Lalu seperkian detik setelahnya, sebuah tamparan mendarat di wajahnya.

"Bukan begini, Renata!" teriak Ayu murka. "bukan begini caranya kalau kamu berniat membunuh Mama!"

"Mama, maaf..." isak Renata, saat dia ingin menyentuh lengan Ayu, kedua kaki Ayu melangkah mundur.

"Apa salah Mama sampai kamu begini?! Sejak kacil Mama didik kamu dengan benar, Mama berikan kamu pendidikan yang bagus tapi ini... ini balasan yang kamu berikan sama Mama?!"

Wajah Ayu memerah sempurna, dia bahkan tidak peduli jika ada yang mendengar teriakannya di luar sana.

"Kemarin kamu menjadi selingkuhan suami orang dan sekarang..." Ayu menggelengkan kepalanya berat, wajahnya terlihat sangat terpukul, "kamu hamil, Renata? Kamu hamil..." saat mengatakan kalimat itu tangisnya meledak tak terkendali hingga membuat Renata merasa jantungnya di remas kuat.

Lagi, dia menorehkan luka di hati Mamanya.

"Masih belum cukup kamu mempermalukan Mama kemarin? Di depan keluarga Mama, di depan Kakak dan Adik Mama, Mama menanggung semua rasa malu yang kamu limpahkan pada keluarga kita. Mama yang menanggung semua sikap kamu, Renata, Mama!" telunjuk Ayu terangkat ke depan dadanya, menunjuk-nunjuk kuat seolah ingin meluapkan rasa kecewa dan amarahnya.

"Revan, kan?" tanya Herman, suaranya terdengar lirih dan berat. "dia Ayahnya?"

Mendengar nama Revan di sebut, kepala Renata menggeleng kuat. "Bukan, Pa... bukan, Revan."

"Jangan karena cinta buta kamu itu, kamu terus membela, Revan!" bentak Ayu.

"Bukan Revan, Va... demi Tuhan bukan Revan..." isak Renata.

"Kalau bukan Revan, lalu... siapa?" tanya Herman lagi.

Dan kali ini, Renata bungkam. Apa yang harus dia katakan sekarang?

Herman menyentuh jemari Renata, menggenggamnya lembut, seolah itu adalah kekuatan terakhir yang dia miliki karena semua masalah yang terus bertubi-tubi menghantam keluarganya. "Bilang sama Papa, Renata, bilang sama Papa. Papa nggak akan marahi kamu, sayang..."

Renata semakin menangis kuat, tatapan mata sang Papa membuat hatinya kian hancur.

"Renata..."

"Nggak tahu," kepala Renata menggeleng kuat. Sekuat tangisnya yang semakin menjadi. "Renata nggak tahu, Pa... maafin Renata..."

Maka, tidak ada lagi yang bisa Herman katakan selain bahunya yang terkulai dan genggamannya yang terlepas begitu saja. Hancur sudah semua keutuhan keluarganya, habis tak tersisa. Dia merasa gagal sebagai orangtua. Putrinya yang sejak dulu selalu dibanggakan, bisa memutar keadaan dalam sekejab.

Ayu menangis kencang, dia meracau penuh kesedihan, meratapi masalah baru yang ditimbulkan oleh putrinya sendiri.

Bagaikan anak kecil, Renata berjalan ke sana kemari, menghampiri kedua orangtuanya bergantian, menghiba maaf dengan tangisannya yang pilu, namun tidak ada satu pun dari mereka yang mau memedulikannya.

"Pergi kamu dari sini! Mama nggak mau mengenal kamu lagi. Mulai sekarang, jangan pernah kamu memerlihatkan wajah kamu di hadapan Mama. Kamu... sudah bukan lagi bagian dari keluarga ini."

"Ma..."

"Pergi Renata, pergi! Lakukan apa pun yang kamu di luar sana dan jangan pernah kembali."

Kini, Renata mendapati satu kenyataan baru.

Sekali lagi, satu persatu, orang-orang yang dia cintai memilih untuk pergi dan membuangnya begitu saja.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status