Share

Sang Badai (1)

Author: Ami_Shin
last update Last Updated: 2022-03-07 14:45:39

Tidak sekalipun hal gila ini pernah terlintas di kepalanya. Meski dia masih menyimpan dendam dan luka yang belum mengering sejak bertahun-tahun silam, namun, Saka tidak pernah mengharapkan pertemuan itu. Namun, ketika takdir membawanya kembali bertemu dengan satu-satunya wanita yang pernah membuatnya terpuruk, rasa dendam dan luka itu semakin menguat hingga Saka ingin membalas semuanya.

Malam itu, ketika dia menemukan Renata sedang duduk seorang diri di bar, Saka tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari sosok Renata. Kilas masa lalunya yang menyakitkan membuat Saka pada akhirnya membiarkan teman kencannya pergi dengan perasaan kesal karena Saka hanya terus mengamati Renata.

Lalu ketika ada seorang lelaki datang menghampiri Renata, berusaha menggodanya sedangkan Renata terlihat mabuk, tanpa Saka sadari, kedua kakinya bergerak begitu saja, melangkah cepat menghampiri mereka lalu mendorong kasar tubuh lelaki itu dan mengusirnya.

Renata benar-benar sudah kehilangan kesadarannya, bahkan untuk duduk dengan benarpun dia tidak lagi bisa. Saka tidak mengatakan apa pun padanya, hanya terus mengamatinya.

Renata masih terlihat sama. Cantik, sederhana dan juga... rapuh.

Saka tersenyum dingin kala itu, ketika masa lalunya yang menyakitkan kembali berpendar, satu tangannya yang memegang lengan Renata mencengrkram kuat. Hingga dia dalam waktu sesingkat itu, tanpa bisa berpikir jernih, dia ingin membalasnya. Saka ingin menyakiti Renata seperti dulu Renata menyakitinya. Bahkan, lebih parah dari itu.

Maka di malam itu, Saka membawa Renata ke sebuah hotel, melakukan sesuatu yang selama ini belum pernah dia lakukan terhadap wanita mana pun. Saka sudah meniduri banyak wanita, tapi, tidaka da satu pun dari mereka yang naik ke atas ranjangnya dengan paksaan. Namun kali ini, Saka tidak peduli jika keesokan harinya, Renata akan sangat membencinya.

Ketika melihat tubuh telanjang Renata, gairahnya begitu menggebu dan sebuah perasaan yang telah lama dia lupakan kembali meluap begitu saja, membuat seperti lelaki sakit jiwa yang terlihat bernafsu mencumbu Renata, meskipun Renata hanya bisa menggeliat dengan mata terpejam dan meracau tidak jelas.

Namun, kemarahan Saka kembali memuncak ketika akhirnya dia menyadari sesuatu. Renata... sudah tidak lagi perawan. Hal itu membuat napasnya tersengal hingga tanpa berpikir ulang, dia semakin membenci Renata.

Malam itu, Saka sudah memulai balas dendamnya. Dia tidak lagi peduli apa yang akan terjadi pada Renata setelah ini. Yang pasti, Renata harus merasakan hal yang sama sepertinya.

Sebuah kehancuran.

Dan kini, setelah mendapatkan seluruh informasi mengenai Renata dari salah satu anak buahnya, Saka terlihat santai selagi mengemudi. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, satu tangannya memegang kemudi sedangkan satu tangannya yang lain bertumpu pada jendela yang terbuka.

Ada banyak skenario jahat dalam kepala Saka saat ini, di mana seluruh skenario itu akan berkahir sama. Namun, Saka akan memilih skenario terjahat mana yang dia miliki.

Mobil Saka berhenti di sebuah parkiran rumah sakit. Matanya mengamati bangunan itu lekat. Dokter anak... gumamnya di dalam hati. Lalu kilasan senyuman manis dan teduh Renata di masa lalu berpendar dalam ingatannya. Saka masih mengingat semuanya dengan sangat jelas. Keramahannya, kelembutannya, suara merdunya yang mendayu, semua itu... tidak pernah bisa menghilang dari pikirannya. Membuat kesulitan mengenyahkan seluruh perasaan yang dia miliki hingga semuanya berimbas pada rasa benci yang mendalam.

Satu tangan Saka mengepal kuat, Giginya bergemelatuk tajam. Nata... dia menggumamkan nama itu di dalam hati. Lalu, bertepatan dengan itu, ekor matanya menemukan sosok yang sejak tadi dia pikirkan, sedang berjalan gontai dan terlihat tidak bersemangat,

Saka mengernyit, tatapannya terpaku pada Renata yang kini berdiri diam di samping mobilnya, menunduk dalam. Bahkan ketika dia membuka pintu mobil, dia terlihat tidak bertenaga.

Mobil Renata bergerak meninggalkan rumah sakit, Saka bergegas mengikuti Renata. Saka memposisikan mobilnya tepat di belakang mobil Renata. Sekitar lima belas menit, mobil Renata berbelok ke sebuah rumah sakit yang lain.

Hal itu membuat Saka kembali mengernyit bingung. Apa yang Renata lakukan di sini? Atau mungkin... dia juga bekerja di rumah sakit ini?

Rasa penasaran itu membuat Saka diam-diam mengikuti Renata. Dia menatap punggung kecil Renata selagi melangkah lambat, mengikuti langkah Renata yang seperti tak lagi bertenaga. Ketika Renata menemui seorang respsionis, Saka bersembunyi di balik tembok, namun, tidak melepas tatapannya sama sekali.

Lalu Renata mengikuti seorang suster yang membawanya ke sebuah ruangan. Ketika Renata masuk ke sana dan pintu itu kembali tertutup, Saka melangkah lambat menuju ruangan itu, berdiri di depannya.

Poli Obgyn.

Kedua mata Saka sedikit terbelalak. Dia tidak perlu berpikir lama untuk mengetahui alasan Renata berada di sini.

Tanpa sadar, Saka melangkah mundur. Perasaannya berubah gamang, tatapannya terlihat nanar kali ini.

Untuk sesaat, Saka merasa kepalanya kosong, dia tidak memikirkan apa pun selain... Renata yang mengandung bayinya.

Tidak. Bukan seperti ini.

Saka memang ingin membalas dendamnya, tapi seorang bayi di mana ada darahnya dan juga Renata yang mengalir dalam tubuhnya jelas sekali bukan sesuatu yang dia harapkan.

Tapi... semua ini sudha terjadi.

Lalu apa yang harus Saka lakukan sekarang?

***

Renata mengangguk sopan dan berterima kasih pada Dokter kandungan yang baru saja dia temui. Seorang suster membukakan pintu untuknya, Renata keluar dari sana dan setelah itu, hanya bisa berdiri dan menunduk dalam. Tatapannya lirih dan sayu, wajahnya terlihat muram meski Dokter yang memeriksa kandungannya mengatakan jika kondisi janinnya baik-baik saja, hanya kondisi Renata saja yang terlihat tidak cukup baik. Ini kali pertama Renata memeriksakan kandungannya, dan perasannya... semakin tidak menentu.

Dia sengaja memilih rumah sakit lain untuk memeriksakan kandungannya karena tidak mungkin melakukannya di rumah sakit di mana dia bekerja. Jika orang-orang tahu kalau dia sedang mengandung...

Tidak, Renata menggelengkan kepalanya. Renata menatap sekitarnya, rasanya hampa. Lalu, tatapannya jatuh pada sepasang suami istri yang sedang duduk berdampingan, sang suami mengusap perut istrinya, lalu mereka tersenyum bahagia. Hal itu membuat Renata tersenyum miris. Sungguh beruntung wanita itu, mungkin, selain memiliki suami yang mencintainya, dia juga memiliki keluarga yang selalu ada untuknya, menemaninya disetiap keadaannya.

Renata menggigit bibirnya perih. Dia juga ingin seperti itu, dia ingin sekali merasakannya. Namun, nasibnya selalu saja melangkah ke jalan yang lain. Jalan yang selalu menorehkan luka dan air mata.

Renata menunduk lirih, menatap perutnya, menyentuhnya lembut. Setetes air matanya jatuh ketika dia menyadari jika hanya bayi itu yang dia miliki saat ini. Tidak ada siapa pun lagi, bahkan orangtuanya.

Renata hampir tersedak oleh tangisnya, ketika kembali mengingat kekecewaan dan luka di kedua mata orangtuanya. Renata tidak marah pada keputusan Mamanya yang telah mengusirnya dan memutuskan hubungan mereka.

Tidak, Renata memang pantas mendapatkannya. Jika dia hanya bisa menyakiti orangtuanya ketika mereka bersama, bukankah lebih baik Renata pergi dan membiarkan mereka hidup lebih tenang.

Pembawa masalah, seperti itu lah dirinya saat ini.

Menarik napasnya yang berat, Renata melanjutkan langkahnya dengan lunglai. Berjalan dengan tatapan kosong yang menyedihkan. Sampai ketika dia mendengar sebuah suara, baru lah dia menghentikan langkahnya.

"Kamu hamil?"

Kepala Renata bergerak lambat, menoleh ke samping. Kedua matanya terbelalak terkejut ketika menemukan Saka di sana, berdiri menyandar pada dinding dengan kedua tangan yang terbelenggu dalam saku celananya. Wajahnya tidak menggambarkan ekspresi apa pun. Terlalu dingin, terlalu gelap hingga tanpa sadar Renata melangkah mundurl.

Satu tangannya mencengkram perutnya begitu saja, membuat Saka yang mengamatinya menipiskan bibirnya tajam. Perlahan, Saka beranjak dari tempatnya, langkahnya lambat namun pasti menghampiri Renata. Dia berdiri tegak dengan tatapan angkuhnya yang tajam, menatap tepat pada dua bola mata Renata yang menyimpan rasa takut.

"Bayiku." Gumamnya pelan dengan suara baritonnya yang khas.

Susah payah Renata meneguk ludahnya, dia membuka mulutnya, ingin mengatakan sesuatu, namun pada akhirnya, kembali mengatupnya saat tidak sepatah kata pun yang bisa dia ucapkan.

Saka melirik ke arah ruangan yang Renata masuki sebelumnya, "Kenapa kamu harus jauh-jauh ke rumah sakit ini, padahal... kamu juga bekerja di rumah sakit lain." saat menatap Renata lagi, Saka tersenyum dingin. "kenapa?"

"Saka..." lirih Renata terbata.

Untuk pertama kalinya, setelah sekian lama, Saka mendengar Renata kembali menyebut namanya dan itu membuat kedua tangannya terkepal hebat.

"Na-nama kamu... Saka, iya, kan?"

Saka mengernyit.

"A-aku tahu dari kartu nama yang kamu berikan."

Itu artinya... Renata sama sekali tidak mengenalinya.

Saka tertawa hambar, rahangnya mengetat tajam, rasa bencinya semakin berkuasa hingga kini kedua matanya berkilat tajam menyimpan amarah.

Renata bergerak gelisah, tidak tahu harus melakukan apa. "So-soal bayi ini..." Renata mengusap wajahnya gusar, peluh terlihat di dahinya, belum lagi wajahnya terlihat pucat. Lalu Renata menatap Saka memohon, "bisakah... bisakah kita mencari tempat yang lebih nyaman untuk bicara? Aku–"

Saat melihat Renata hampir kehilangan keseimbangannya, kedua tangan Saka bergerak cepat menahan kedua lengannya. Wajah Renata semakin pucat ketika dia menengadah menatap Saka, membuat rasa iba menelusup dalam relung lelaki itu.

Dan pada akhirnya, Saka memilih mengabulkan permintaan Renata.

***

Selama di perjalanan, Renata menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi, menutup kedua matanya menahan rasa pusing. Dia tidak tahu kemana Saka membawanya, satu-satunya yang Renata butuhkan saat ini hanya berbaring dan istirahat. Sejak tadi malam dia tidak bisa terpejam sedetik pun. Setelah di usir dari rumah, Renata memilih kembali ke rumah sakit, menginap di ruangannya karena untuk kembali ke apartemen pun dia tidak bisa.

Apartemen itu milik keluarganya dan lagi... terlalu banyak kenangan menyakitkan di sana hingga satu-satunya tempat tujuan yang Renata miliki hanyalah ruang kerjanya.

"Kamu bisa jalan sendiri?"

Mendengar suara Saka yang bertanya padanya, Renata mengangguk pelan. Dia berusaha membuka matanya, namun kepalanya terasa semakin berdenyut. Suara pintu mobil yang terbuka membuat Renata berusaha memaksakan dirinya, namun, tiba-tiba saja dia merasa tubuhnya seperti terayun ke depan. Satu tangannya segera mencari pegangan, meremas kuat

Renata merasa seperti melayang, membuat dahinya berkerut jelas. Dia berusaha membuka sedikit matanya, samar, dia menemukan wajah tajam Saka yang menatap ke depan. Baru lah Renata menyadari jika saat ini, lelaki asing yang baru saja dia temui sekaligus Ayah dari bayinya sedang menggendongnya, membawa tubuh lemahnya entah kemana.

Lama Renata menatap wajah itu sekalipun dengan tatapan samar, hingga akhirnya kedua mata Renata kembali terpejam, satu tangannya berpegang erat pada bahu Saka sedang wajahnya menyandar nyaman di dada lelaki itu.

Nyaman.

Renata merasa matanya begitu berat hingga tanpa sadar, dia mulai terlelap.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sleeping With Mr. Arrogant   Tidak Akan Menyakiti Lagi

    “Cinderella dan Pangeran, akhirnya menikah dan hidup bahagia selamanya.” Ujar Renata di akhir dongeng yang sedang dia bacakan pada Aya. Renata menutup buku di tangannya, melirik ke bawah, pada Aya yang berbaring di atas pangkuannya. Aya belum tidur, matanya masih menatap lurus ke langit kamar. Usapan telapak tangan Renata di dahinya membuat Aya melirik pada Renata. “Pangeran itu… orang baik ya, Tante?” tanya Aya dengan suara rendahnya yang menyerupai bisikan. Renata mengangguk padanya. Untuk sejenak, Aya hanya berdiam diri dengan tatapan lekatnya yang mengarah pada Renata. Kemudian, dia kembali bertanya. “Benar-benar orang baik?” “Iya.”

  • Sleeping With Mr. Arrogant   Cemburu

    Saka membuka kedua matanya, mengerjap lambat, lalu menatap langit-langit kamarnya yang kini mulai terlihat jelas di kedua matanya. Lelaki ini tidak membutuhkan siapa-siapa untuk membantunya bangun di pagi hari, karena setiap pukul enam pagi, kedua matanya selalu terbuka dengan sendirinya. Pagi ini pun juga begitu. Hanya saja, ada yang berbeda dengan pagi ini. Jika biasanya Saka akan bergegas mandi setelah bangun, maka kali ini dia membutuhkan waktu yang lebih banyak lagi untuk berbaring di tempat tidurnya, sembari mengingat apa yang telah terjadi antara dirinya dan Renata tadi malam. Sebuah ciuman panas nan panjang itu kembali melintasi pikirannya, membuat Saka seolah bisa kembali merasakan bibir kenyal Renata, yang membalas setiap pagutannya. Lidah Renata yang ikut menari bersama lidahnya, dan deru napas Renata yang begitu hangat dan juga… tersengal. Kini, tanpa bisa dicegah, sudut bibir Saka tertarik ke atas dengan sendirinya. Membentuk sebuah senyuman simpul nam

  • Sleeping With Mr. Arrogant   Merindu

    Setelah melihat-lihat lokasi rumah sakit milik Renata yang sedang dibangun, Saka membawa Renata ke rumah orangtuanya. Begitu Saka dan Renata masuk ke dalam rumah, Aya berlari kencang, berhambur ke arah Saka yang merundukan tubuhnya agar bisa menangkap tubuh Aya dan menggendongnya. “Papa jemput Aya?” tanya Aya pada Saka dengan senyuman tipis. “Hm,” kepala Saka mengangguk. “Aya nggak nakal kan selama dijagain Nenek?” “Nggak. Aya anak baik.” “Good.” Saka dan Aya saling berbalas senyuman, sementara itu Renata yang berada di belakang mereka hanya mengamatinya dalam diam. Aya… Renata sudah mengetahui kisah gadis kecil yang Saka adopsi. Usianya masih emopat tahun ketika Saka mengambilnya dari sebuah panti asuhan. Saka bilang, Aya adalah pelipur laranya sejak Renata dan Ghea meninggalkannya. Gadis kecil yang selalu menemani Saka, menjadi penghibur tersendiri bagi Saka, kala dia sedang membutuhkan teman dan seseorang

  • Sleeping With Mr. Arrogant   Mewujudkan Impian

    Renata baru saja keluar dari kamarnya. Karena dia masih mengingat kebiasaan Bi Ambar yang menyiapkan sarapan pagi untuk mereka, Renata berniat untuk membantunya. “Aku bantu ya, Bi.” “Eh, Non Nata, nggak usah, Non. Biar Bibi aja. Ini sebentar lagi selesai kok.” Tolak Bi Ambar sembari membuatkan segelas kopi. “Itu kopinya buat Saka, ya, Bi?” “Iya, Non.” Renata menatap gerak-gerik Bi Ambar yang sedang membuatkan kopi untuk Saka. Dan hal itu membuat Renata teringat akan kebiasaannya dulu yang selalu menyiapkan kopi untuk Saka di pagi hari. “Non?” tegur Bi Ambar. “Ya?” jawab Renata tersentak dari lamunan. Bi Ambar tersenyum tipis padanya. “Kangen buatin kopi buat Den Saka, ya?” Kangen? Renata hanya tersenyum samar menanggapinya. “Non Nata mau Non aja yang buatin kopinya Den Saka?” “Hm?” “Nggak apa-apa kok, nih, gantiin Bibi. Den Saka pasti seneng kalau yang bu

  • Sleeping With Mr. Arrogant   Siapa Aya?

    Renata sedang bersama keluarganya yang kini ikut pulang menemani Saka. Kepulangan Renata kembali ke Jakarta pun membuat seluruh keluarganya ingin menyapanya. Seperti sekarang, Annisa dan anak-anaknya berada di rumah Saka, sedang berbincang dengan Renata. Namun, tidak sekalipun Renata menikmati perbincangan mereka karena yang ada di kepalanya saat ini hanyalah Saka dan juga… gadis kecil itu. Hingga kemudian Renata pamit pada keluarganya untuk menemui Saka. Ketika beranjak pergi, Renata menoleh sekilas pada Calista dan Revan yang duduk di sofa dan sedang menatapnya. Renata mengulas senyuman tipisnya, yang di balas dengan senyuman lega oleh sepasang suami istri itu. Sepertinya kepulangan Renata membuat rasa bersalah Revan sedikit berkurang padanya. Renata berniat mencari Saka, namun ketika dia menemukan Mamanya di meja makan, sedang menyuapi gadis kecil itu, langkah Renata terhenti. Lama dia mengamati Mamanya dan anak kecil itu yang terlihat sangat akrab

  • Sleeping With Mr. Arrogant   Kabar Duka

    Renata baru saja kembali ke rumah setelah berkeliling sejenak sore ini. sebuah kegiatan yang rutin dia lakukan selama tinggal di Berlin. Setahun sudah berlalu, dan Renata Noura yang berwajah muram mulai menghilang, digantikan dengan Renata Noura yang memiliki senyuman ramah dan lembutnya. Renata sudah kembali seperti renata Noura yang sebenarnya. Sepertinya, keputusannya untuk menenangkan diri di Berlin, sekaligus selalu berkonsultasi dengan psikolog adalah keputusan yang tepat. Karena kini, Renata mulai bisa merelakan kepergian Ghea. Dia mulai bisa mengikhlaskan kepergian putrinya itu. Ghea mungkin tidak lagi bisa berada di sisinya, Renata mungkin tidak lagi bisa memeluknya, namun Ghea akan selalu ada di hatinya, di tempat terbaik yang Renata miliki. Dalam pengasingannya, yang kali ini memang atas kemauannya sendiri, bukan demi siapa pun. Kini, Renata memiliki banyak sekali alasan untuk tetap hidup dan menjalani kehidupan yang dia inginkan. Renata banyak belajar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status