Share

Pasangan Belok

SBY 02

Sebuah mobil HRV putih berhenti di tempat parkir pusat perbelanjaan yang berada di kawasan Jakarta Selatan. Pengemudi dan kedua penumpangnya turun bersamaan dengan berhentinya sebuah kendaraan sedan hitam, di sebelah kanan mobil pertama dan kedua penumpangnya menjejakkan kaki ke lantai.

Harry menggeleng perlahan ketika menyaksikan tingkah Samudra yang biasa dipanggil dengan sebutan Sam. Pria berambut gondrong itu mengenakan kacamata hitam lebar yang menutupi separuh wajahnya. Jaket kulit cokelat membalut kaus ketat hitam. Celana jin hitam dan sepatu pantofel cokelat menyempurnakan penampilan.

Sam memang lebih sering tampil kasual dan hanya mengenakan setelan formal bila hendak mengadakan pertemuan dengan rekan bisnis. Bila berada di kantor, Sam lebih sering tampil santai, bahkan terkadang hanya mengenakan celana pendek. Sebab itulah tidak sembarang orang bebas masuk ke ruangannya. Harus mengadakan janji temu jauh-jauh hari.

"Ayo, Baby. Kita buruan masuk, aku lapar," tukas Sam sambil menggandeng tangan Erie di kanan dan Dwita di sebelah kiri.

"Bapak nih, kebiasaan main gandeng aja," keluh Dwita.

"Gitu deh, gimana coba pacar-pacarnya nggak cemburu? Tiap ketemu cewek langsung gandeng atau rangkul," timpal Erie.

"Kalian itu, ya, bisanya ngomel aja." Sam menoleh ke belakang, lalu berkata, "Aku tuh sengaja begini biar Harry dan Malvin iri."

"Mana ada aku iri," timpal Malvin yang langsung menyelipkan tangan kanan ke lengan kiri Harry. "Kami bisa lebih bebas mesra gini, ya, 'kan, Sayang?" tanyanya pada Harry yang menanggapi dengan menaikkan alis.

"Jangan bikin aku merinding! Kalian kayak pasangan belok." Erie bergidik. Sedetik kemudian dia menjerit ketika pundaknya dirangkul oleh Malvin dari arah kanan.

"Jangan gitu, Darling. Aku masih normal kok. Nggak percaya? Yuk, kita misahin diri dan lanjut ke hotel aja," seloroh Malvin yang langsung dipelototi Erie.

"Berani ganggu Erie bisa-bisa nanti kamu.dihajar Nick," celetuk Harry.

"Kalian harus tutup mulut kalau Erie khilaf selingkuh sama aku." Malvin seketika meringis ketika kuku Erie menancap di pinggangnya.

Kelima orang tersebut terus jalan sambil saling meledek. Menaiki eskalator, Harry melepaskan pegangan Malvin dan berpindah ke belakang. Mengulurkan tangan untuk menahan punggung Erie yang sempat tidak seimbang. Kebiasaan yang sudah sering dilakukan Harry karena tahu bila Erie agak takut menaiki benda itu.

Erie sempat menoleh ke belakang dan beradu pandang dengan sepasang mata beriris hitam milik Harry yang menatapnya dengan sorot mata teduh. Hal itulah yang selalu membuatnya merasa terlindungi bila berada di dekat pria bertubuh tinggi tersebut.

Dibandingkan dengan Sam dan Malvin, Erie memang lebih dekat dengan Harry. Pria itulah yang selalu menjadi penjemput dan pengantar dirinya bila ingin berkencan dengan Nick, karena hubungan mereka ditentang keluarga Erie.

Mengingat sosok kekasihnya itu membuat Erie menghela napas berat. Rasa rindu yang membuncah membuat dadanya sesak. Perempuan itu berusaha menekan dalam-dalam keinginan untuk berjumpa dengan Nick dan ingin menikmati waktu di penghujung minggu ini bersama sahabat-sahabatnya.

"Minggu depan aku mau ke Singapura. Ada yang mau dititipkan buat Nick?" tanya Sam, sesaat setelah mereka menduduki kursi di sebuah restoran keluarga.

"Ehm, ada, Pak. Tapi bentuknya kue, nggak apa-apa?" Erie balik bertanya.

"Boleh. Dan satu lagi, kan sudah kubilang jangan panggil bapak kalau di luar. Mas aja, biar lebih mesra."

"Nggak cocok Mas. Pantasnya itu Bang Sam."

"Terserah, pokoknya jangan bapak."

Erie enggan untuk mendebat bos-nya dan memutuskan untuk menurut meskipun lidahnya masih canggung menyebut panggilan baru tersebut. Perempuan berambut panjang itu mengambil ikat rambut biru dari tas dan menggelung rambutnya dengan santai. Tak menyadari bila tindakannya itu makin memperjelas leher jenjang dan mulus yang akan memancing pandangan kaum Adam.

Harry yang duduk di sebelah kanan Erie seketika mengeluh dalam hati. Dia hendak menegur, tetapi takut menyinggung perasaan perempuan itu. Harry akhirnya merentangkan tangan kiri dan menyentuhkan jemari ke belakang leher Erie yang sontak menoleh.

"Jangan begini, turunin dikit," lirih Harry.

Erie sempat tertegun sepersekian detik, sebelum kemudian mengikuti saran pria itu. Sikap Harry yang sangat perhatian itu terkadang membuat Erie malu, karena Nick yang merupakan kekasihnya justru tidak pernah melarang.

Sepanjang acara makan malam lebih awal itu Erie berulang kali mendapati Harry meliriknya. Entah kenapa, belakangan ini sikap pria itu sangat berbeda. Lebih lembut dan sekaligus lebih perhatian.

Seusai makan, mereka langsung bergegas menuju bioskop yang berada di lantai teratas pusat perbelanjaan tersebut. Harry menarik tangan Erie yang hendak duduk berdampingan dengan Dwita dan mengarahkan perempuan itu untuk duduk bersebelahan dengannya, diapit oleh Sam.

Film horor yang mereka tonton membuat Erie beberapa kali mencengkeram tangan Harry yang hanya melirik sambil sekali-sekali menggeleng. Pria itu malah tersenyum lebar kala Erie menjerit sambil berlindung ke pundaknya ketika adegan menyeramkan.

"Lain kali jangan nonton horor. Habis tanganku dicubit Dwita," keluh Malvin saat mereka berlima jalan di koridor panjang bioskop yang tidak terlalu ramai pengunjung.

"Aku nggak nyubit, cuma nancapin kuku doang," sahut Dwita.

"Tetap aja sakit, Neng mata bulat."

"Siapa suruh duduk dekat aku. Harusnya jauh-jauh."

Kedua orang tersebut masih berdebat, tidak menyadari bila Sam telah merangkul pundak Erie dan Harry serta mengajak keduanya menjauh. Ketika tiba di tempat parkir, Sam langsung memasuki kursi bagian penumpang dan membiarkan Malvin yang menyetir.

Dwita berpamitan pada Erie dan Harry. Arah rumahnya yang berlawanan dengan kedua orang tersebut membuatnya memutuskan untuk menumpang pada kendaraan milik Sam. Dwita melambaikan tangan kala mobil bergerak menjauh. Kemudian menghela napas dan menggeleng perlahan.

"Kalian lihat?" tanya Dwita.

"Apaan?" balas Sam dan Malvin nyaris bersamaan.

"Pak Harry, kentara banget dia sangat menyayangi Erie."

Sam menggeleng, kemudian berkata, "Harry nganggap Erie itu adiknya. Bukan seperti dugaanmu."

"Tapi, Pak, beneran loh, beda banget. Apa Bapak nggak lihat pancaran matanya kalau lihat Erie?"

"Jangan terlalu halu, Ta. Mata Harry kan memang sendu," timpal Malvin.

Dwita hendak mendebat kedua bosnya, tetapi kata-kata yang sudah siap meluncur dari bibirnya itu langsung ditelan kembali karena menyadari bila kedua pria itu tidak peka dengan gestur tubuh sahabat mereka.

Sementara itu di mobil HRV putih, Harry mengemudi dengan santai. Sekali-sekali pria itu melirik pada Erie yang tampak terkantuk-kantuk di kursi penumpang. Harry sangat ingin menggenggam jemari Erie, tetapi takut bila perempuan itu akan menolak.

Saat mereka tiba di depan rumah Erie, Harry mendapati bila perempuan itu telah tertidur. Beberapa kali pria tersebut berusaha untuk membangunkan, tetapi Erie telanjur pulas.

Harry mendengkus sebelum melepaskan sabuk pengaman dan membuka pintu. Menutup benda itu sebelum jalan memutari mobil dan membuka pintu bagian penumpang. Dia melepaskan sabuk yang melintang di badan Erie, sebelum melingkarkan tangan perempuan tersebut ke leher dan berusaha menggendongnya.

"Aduh, kok digendong segala, Mas?" tanya Lisa, adiknya Erie yang membukakan pintu rumah.

"Dibanguninnya susah, terpaksa digendong," jawab Harry.

"Ya udah, langsung masukin aja ke kamar."

"Enggak apa-apa nih kalau aku masuk?"

"Hu um, ayah sama ibu udah tidur dari tadi. Kalaupun mereka tahu, pasti nggak bakal marah."

Harry segera melanjutkan langkah memasuki rumah sederhana itu dan mengikuti Lisa yang menaiki lantai dua. Harry memasuki kamar Erie dan membaringkan perempuan itu ke atas ranjang. Niatnya untuk segera pergi akhirnya ditunda karena Erie menarik tangannya sambil bergumam tidak jelas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status