Share

Someone Before You
Someone Before You
Author: Olivia Yoyet

Bodyguard

01

"Koko pamit, ya, Sayang," bisik Nick Sanjaya sambil memeluk erat kekasihnya.

Inerie Melyndra yang biasa dipanggil dengan Erie itu tidak menjawab, melainkan hanya memejamkan mata sambil menahan rasa panas yang menandakan netranya telah membentuk bulir bening. Nick menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Mengusap rambut Erie beberapa kali, sebelum mendaratkan kecupan di puncak kepala perempuan tersebut.

Perlahan Erie mengurai pelukan dan menolak tubuh. Dia hendak mengelak ketika jemari telunjuk Nick memegangi dagu dan mengarahkannya ke atas, hingga mereka saling berhadapan.

"Jangan nangis dong. Beberapa bulan nanti koko pulang. Kalau orang tuamu masih belum menyetujui lamaran koko, kamu langsung ikut saja koko kembali ke Singapura, dan kita menikah di sana," tukas Nick.

Erie membuka mata dan bulir bening meluncur tanpa sempat ditahan. Perempuan itu terkesiap kala Nick menggeser jemari dan menyeka air mata dengan gerakan lembut.

"Senyum dong, karena itu yang ingin koko ingat tentang kita."

Erie menggeleng pelan, tetapi kemudian terpaku saat Nick membentuk senyuman dengan jari telunjuk dan jempol seperti angka tujuh dengan posisi miring. Erie pun tak urung ikut tersenyum dan membuat hati Nick meleleh.

Pria berperawakan sedang itu mengusap lengan Erie beberapa kali sebelum menjauhkan diri dan menarik koper besar hitam. Melangkah mundur sambil melambaikan tangan. Memaksakan senyuman untuk menenangkan sang kekasih. Lalu berbalik dan mengayunkan tungkai memasuki pintu check in terminal F keberangkatan Bandara Soekarno-Hatta.

Erie masih terpaku di tempatnya selama beberapa detik, sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi dari tempat itu menuju tempat menunggu bus DAMRI. Perempuan itu mendudukkan diri di bangku panjang. Menatap lalu lalang kendaraan dengan sorot mata hampa.

Perempuan berambut sebahu itu menarik oksigen sebanyak-banyaknya, menahannya selama beberapa saat dalam dada sebelum mengembuskannya dengan perlahan. Berharap hal itu bisa menjadikan dirinya lebih tenang, tetapi ternyata gagal.

Ketika seorang pria berseragam khas karyawan bus DAMRI meneriakkan tujuan bus yang baru tiba, Erie bergegas berdiri dan jalan menuju pintu bus. Menunggu gilirannya naik dan mencari kursi kosong di bagian belakang.

Beberapa menit setelah bus melaju, Erie menutupi wajah dengan saputangan beraroma parfum khas yang biasa dipakai Nick. Air matanya mengalir deras membentuk anak sungai. Susah payah dia menahan, tetapi akhirnya tak terbendung lagi.

Sementara itu di tempat berbeda, Nick meraih ponsel dari saku ransel merahnya. Mengusap layar benda itu sebelum menekan kontak nama yang hendak ditelepon. Mendekatkan ponsel ke telinga kanan dan menunggu panggilannya tersambung.

"Ya, Bro?" sapa orang di seberang sana.

"Aku titip Erie, ya," sahut Nick.

"Sip, jangan lupa transfer biaya bodyguardnya."

"Gampanglah itu, masih terima daun yang digunting?"

"Kagak laku!"

Nick terkekeh, demikian pula dengan Harry Abimana, yang merupakan salah satu sahabat terdekat Nick sejak tahun pertama kuliah di Kota Bandung.

"Kalau udah sampai, kabarin aku, Nick," pinta Harry.

"Siap."

"Salam buat papi, mami dan seluruh keluarga di sana."

"Oke."

"Dan jangan lupa, tiket bolak balik kutunggu akhir tahun nanti."

Kembali tawa Nick menguar. Sifat humoris Harry selalu bisa membuatnya tenang sekaligus bahagia. Nick sangat mempercayai Harry, begitu pula sebaliknya. Hubungan persahabatan antara mereka dan dua orang pria lainnya, sudah seperti persaudaraan tanpa ikatan darah.

***

Hari pun berganti. Detik terjalin menjadi menit. Putaran jam tak bisa dibendung dan meluncur cepat merotasi waktu. Tanpa terasa, sudah beberapa minggu berlalu, tetapi Erie masih merindukan sosok pujaan hati.

Kendatipun Nick hampir setiap malam menelepon, tetapi tetap saja, rasa rindu itu tidak tercurahkan sepenuhnya. Erie menyibukkan diri dengan pekerjaannya sebagai sekretaris di perusahaan milik ayahnya Samudra Harjasa, salah satu sahabat Nick dan Harry.

Pria berambut gondrong itu merupakan atasan langsung Erie, sementara Harry dan Melvin Irawan, dua sahabat Nick lainnya masing-masing menduduki jabatan sebagai direktur operasional dan direktur marketing. Sedangkan Salman Harjasa, ayahnya Samudra hanya sesekali berkunjung ke kantor dan menyerahkan sepenuhnya urusan perusahaan pada ketiga anak muda tersebut.

Pagi itu, Erie tiba di gedung kantor yang berada di kawasan Gatot Subroto dengan mengenakan kacamata hitam. Seorang perempuan yang merupakan sekretaris Melvin dan Harry, memandangi Erie yang melintas di depan meja kerjanya.

Dwita Septina, nama perempuan tersebut. Dia segera berdiri dan mengekori langkah perempuan berkulit kuning langsat itu hingga tiba di meja Erie, yang berada di antara ruang kerja Samudra dan Salman.

"Jangan bilang matamu digigit binatang sampai harus ditutupi begitu," ucap Dwita sembari mendudukkan diri di kursi seberang meja kerja.

"Jangan ngeledek terus, Dwi. Nanti kalau kamu ditinggal kekasih, pasti bakal begini juga," sahut Erie sembari merapikan ikatan rambutnya.

"Habisnya kamu nangis mulu. Aku jadi ikut sedih."

"Ikut sedih dari mana? Perasaan dari kemaren kamu ngajak aku cuci mata di mal."

"Itu 'kan dalam rangka menghiburmu, Cantik."

"Dan hiburanmu gagal."

"Aduh, aku udah kehabisan ide buat menghibur. Apa perlu aku sewa badut?"

Sudut bibir Erie berkedut. Dia berusaha menahan tawa, tetapi akhirnya suara khasnya menguar di ruangan itu dan memancing rasa keingintahuan Harry yang tengah melintas untuk menuju ruangan kerjanya sendiri yang berada di sudut kiri koridor.

Pria bertubuh tinggi itu berhenti di depan meja dan memandangi kedua perempuan yang tengah terkekeh itu dengan tatapan penuh tanya. "Kayaknya seru, aku ikutan ngobrol dong," tukasnya.

"Ehm, Bapak nih, laki-laki dilarang ikut ngerumpi," sahut Dwita seusai tertawa.

"Oh ya? Apakah hanya perempuan yang boleh bergosip?" Harry menaikkan alis.

"Enggak sih, Pak. Cuma biasanya laki-laki topik bahasannya pasti beda," sela Erie sambil menekan-nekan sudut matanya yang berair. Dia sama sekali tidak menyadari bila Harry tengah mengamati tingkahnya dengan saksama.

"Matamu, kenapa, Er? Kebentur tiang listrik?" seloroh Harry.

"Bapak ihh! Ngingetin mulu ama kejadian memalukan itu!" Erie mengerucutkan bibir, tetapi sedetik kemudian dia tersenyum.

"Karena itu kali pertama kita ketemu. Dan sejak itu ... Nick nggak bisa mengalihkan pandangan pada perempuan lain." Harry terdiam sejenak untuk menenangkan diri. Nyaris saja dia menyebut kata aku, tetapi di saat-saat terakhir segera diganti dengan nama Nick.

Tidak ada seorang pun di antara ketiga sahabatnya yang tahu bila sebenarnya Harry juga menyayangi Edelweiss lebih dari sekadar pasangan sahabatnya sendiri. Harry sendiri baru menyadari hal itu, ketika dirinya bertugas sebagai penjemput dan pengantar Erie bila hendak bertemu dengan Nick.

Kebersamaan mereka yang nyaris setiap jam itu menimbulkan getaran di hatinya. Kian lama kian membesar seiring dengan keakraban antara dirinya dan Erie. Akan tetapi, Harry tetap menyembunyikan rasa itu dalam-dalam, terutama karena tidak mau merusak persahabatannya dengan Nick.

"Pak, ada ide nggak, buat menghibur Nona cantik ini?" tanya Dwita sembari menatap wajah pria di hadapan dengan penuh kekaguman.

Sudah menjadi rahasia umum bila banyak orang terpesona oleh karisma Harry, karena dia adalah yang paling tampan di antara The Four Don Juan, julukan dari teman-teman dan karyawan perusahaan. Julukan itu muncul karena Nick, Harry, Samudra dan Melvin, teramat lihai menarik perhatian para perempuan di manapun mereka berada.

"Ehm, shopping?" usul Harry.

"Bosan," jawab Erie.

"Makan-makan?"

"Lagi diet, Pak," celetuk Dwita.

"Nonton film di bioskop?"

Kedua perempuan tersebut saling menatap satu sama lain, kemudian serentak mengangguk menyetujui usul sang bos. Harry mengulaskan senyuman, tetapi sedetik kemudian lengkungan di bibir itu menghilang kala pandangan kedua perempuan itu mengarah padanya dengan diiringi senyuman.

"Bapak yang bayar, ya?" pinta Erie dengan nada suara sedikit manja.

Harry mendengkus dan berpura-pura mengusap dada. "Nyesel udah ngasih usul kalau ujung-ujungnya aku yang kudu keluar duit."

Ketiga orang tersebut saling beradu pandang selama beberapa saat, sebelum tawa mereka pecah bersamaan dan memancing pandangan banyak karyawan yang berada di kubikel mereka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status