Share

Part of the Scenario

Felicio tersenyum curang, meletakkan kotak musik kaca itu di ujung meja. Sempurna. Setelah meletakkan kotak musik itu di pinggir meja, ia akan memancing Jack agar memasuki ruang kerja Ammy. Kemudian pria ceroboh itu akan menjatuhkannya. Mereka akan bertengkar, dan setelah drama itu berlangsung, maka gadis itu akan menjauh dan membuat Jack yang labil itu semakin kelabakan. Skenario yang menarik. Mudah sekali menebak apa isi kepala si Hans junior itu.

Ia berjingkat, membuka pintu dan keluar ruangan. Membiarkan pintu sedikit terbuka. Meneliti arloji yang bertengger di tangannya sekilas, biasanya sebentar lagi anak ingusan itu berangkat. Dan ia hanya perlu memantau dari sisi yang tak terlihat. Semua CCTV telah dimatikan. Menjadi orang dalam memudahkan segala ruang geraknya.

Benar saja, beberapa menit kemudian pria itu melintas. Mengernyit ketika tahu pintu tak tertutup sempurna. Itu menarik perhatiannya. Ia berhenti sejenak di depan pintu, ragu akan membukanya atau tidak.

Mengintip sedikit. Tampaknya Ammy belum berangkat. Peduli setan! Dia tak ingin mati penasaran. Bukankah itu kantornya?

Memasuki ruang kerja Ammy, matanya mencermati setiap sudut ruang, tak terlihat siapa-siapa di sana. Ia menempati kursi yang biasa ditempati Ammy. Memandang sebuah foto yang terpajang di meja, seorang gadis kecil dengan gigi depan yang ompong. Ia mendekatkan foto itu padanya. Tersenyum.

"Kau tetap cantik tanpa gigi depanmu, Ammy."

Jack meletakkan kembali foto itu, kemudian mengedarkan pandangan dan menemukan kotak musik Crystal di pojok kiri meja. Mengamatinya, ia kemudian memutar tuasnya. Merdunya lagu fur elise, Bethoven mengalun lembut.

Dia baru menyadari sekarang, bahwa Ammy yang mungkin terkesan galak memiliki sisi yang lembut. Kenapa tidak pernah terpikir olehnya selama ini? Sejenak hanyut menikmati merdunya nyanyian kotak musik, ia kemudian meletakkan kembali benda itu pada tempatnya. Beranjak pergi dari ruangan itu, tanpa sengaja tangannya menyenggol kotak musik itu dan jatuh.

"Pyarrrr..."

Ia terperanyak. Bersamaan dengan keterkejutannya pintu terbuka. Itu pasti Ammy.

Ammy menatap Jack sekilas, beralih pada kotak musik yang berserakan di lantai. Dengan Gusar Ammy membentak. "Apa yang sedang Anda lakukan di ruangan saya, Mr. CEO?"

Ammy menatap kotak musik itu sampai mulutnya ternganga, kaget. menutup mulut dengan sebelah tangannya lalu mengais serpihan kotak musik kaca itu. Ia bangkit dan mendorong tubuh atasannya itu, kasar.

"Apa kau tidak bisa membiarkanku sehari saja tanpa masalah, huh?"

"Sorry, Ammy. Aku ... " belum sempat menyelesaikan kata-katanya, tetapi dengan lantang Ammy menyelanya. "Kau berengsek, Jack."

 Ammy menyambar tasnya, berusaha lari keluar. Matanya berkaca-kaca. Ia tidak menyangka akan kehilangan kotak musik satu-satunya peninggalan Ibunya.

Awalnya ia pikir, ketika kotak musik itu ada di meja kerjanya maka akan menjadi satu penyemangat untuknya karena merasa berada dekat dengan Ibunya. Namun Jack dengan mudah menghancurkan benda itu.

Jack berlari, mencoba mengejar Ammy. Meraih tangannya lalu berkata, "aku tidak sengaja, Ammy."

Ammy mengentakkan tangan Jack, melangkah tanpa peduli. Ia sangat marah. Sementara Jack kembali berlari kecil, berdiri di hadapan Ammy untuk menghadang langkahnya.

"Minggir!" Ammy tetap fokus menjauh, menyingkirkan tubuh pria itu dengan kedua tangannya.

"Ammy, biar aku jelaskan!"

Ammy tak memedulikan panggilan Jack.

"Ammy..."

"Please! dengarkan aku!"

Gadis itu tetap berlalu tanpa menoleh dan menjauh dari Jack. Ia tidak ingin melihat wajah itu untuk saat ini saja.

"Shit!" Jack mengepalkan tangan, mengarahkannya pada dinding lobi depan. Menyisakan rasa nyeri di buku jarinya. Tak menyerah sampai di situ, Ia tetap mencoba mengejar Ammy. Berharap sekretaris cantik itu mau mendengar penjelasannya.

"Please! Ammy, itu hanya kotak musik. Aku sanggup membelikan yang lebih bagus dari itu. Ikutlah denganku! Kubelikan kau yang baru. Kau mau berapa? Sepuluh? Atau kau mau yang berhias Rubby atau Zamrud?"

Plaaakkkkk.....

Jack memegangi pipinya, kembali rasa panas dan kebas tertinggal di sana.

Ini kali kedua kau menamparku, Kucing Liar!

"Kau hanya memikirkan uang, uang dan uang! apakah kau pikir semua hal  bisa kau hargai dengan uangmu? Aku membencimu, Jack. Sangat ... sangat ... sangat ... membencimu!" tekannya dengan suara tegas. Ia mengatur napasnya yang terasa berat.

Bergerak menjauh. Ingin segera mengakhiri kekesalan yang selalu saja tumbuh ketika Jack berada di dekatnya. Sementara Jack masih terus mengekor di belakangnya.

"Kau menamparku hanya karena kotak musik itu? Apakah dari kekasihmu?"

"Berhenti mengikutiku, Jack!"

Kali ini Jack mengalah, merasa bersalah. Seharusnya ia tak perlu lancang memasuki ruangan Ammy. Rasa tak tenang mulai menyelinap menjamah hatinya. Mungkinkah benda itu dari kekasih Ammy?

Ia bergeming, menyaksikan Ammy yang mulai hilang ditelan jarak. Bukankah seharusnya ia tetap harus bekerja hari ini? Tidak profesional sekali.

Di pojok dinding, sosok berjas hitam itu mengawasi mereka. Tersenyum culas, dengan headset nirkabel terselip di telinganya.

"Rencana berjalan sempurna, Tuan besar."

-----

Gadis itu benar-benar resign dari kantor. Jack merasa sangat kehilangan. Setiap hari yang dia kerjakan di kantor hanya uring-uringan. Ia berharap dapat memutar waktu dan bisa menebus kesalahannya.

Ia bukan laki-laki yang pintar meminta maaf. Harga diri adalah kedudukan paling tinggi bagi Jack. Namun, jika kata maaf mampu membuat Ammy kembali, maka ia akan mencobanya.

"Berikan aku nomor ponsel Ammy, Davee!" pinta Jack saat tiba di depan meja kerja Davee.

"Aku tidak punya," jawab Davee berdalih.

"Dia sekretarismu dan kau tidak tahu nomor ponselnya? Lelucon macam apa ini?" ujarnya dengan sarkas diikuti seringai penuh intimidasi. Ia melipat tangan di depan dada sambil duduk di meja sang COO.

"Dia melarangku memberikannya pa----"

Brakkk ...

Suara meja dipukul itu mengantung kalimat Davee yang belum sempurna. Ia menatap Jack, menggaruk batang hidungnya yang tak gatal.

"Sejak kapan kau berani padaku, Davee? Berikan padaku!" Jack menatapnya sinis. Davee mendengkus.

"Tak bisakah kau menghargai privasi orang. Ayolah! ini jam kerja. Toh ada sekretaris pengganti yang menghandle pekerjaan Ammy. Dia resign, karena ulahmu!" timpalnya.

"Sekarang kau juga mengajariku? Hebat sekali!"

"Itu benar, semua salahmu, Jack, kenapa kau pecahkan kotak musik itu. Kau tidak tahu bagaimana gadis itu memperlakukan benda kesayangannya itu."

Jack menatap Davee penuh selidik, Ia tahu tentang kotak musik itu? Jangan-jangan itu darinya.

"Aku mencium aroma tak mengenakkan dari tatapanmu, Jack. Kenapa? Kau cemburu? Kau pikir aku yang memberikan kotak musik itu?"

Ia mengerjap, tak menyangka sepupunya pintar membaca hatinya.

"Apa tebakanku benar? Kau tahu aku selalu penasaran."

"Sebenarnya aku tidak ingin cerita. Tapi, aku tidak ingin kau mati penasaran. Orang gila!" Davee mencebik.

"Itu kotak musik milik Ibunya. Benda satu- satunya peninggalan Ibunya. Dan kau merusaknya."

"Lalu apa yang spesial dari itu? Dia sangat menyayangi ibunya, begitu? Ah, ibu itu hanya dongeng, Davee." Ia duduk di kursi yang menganggur di hadapannya. 

"Ibunya sudah meninggal sepuluh menit setelah kelahirannya. Itu yang membuat benda itu spesial." Davee menerangkan.

Jack menelan ludah. Semakin diganggu perasaan bersalah.

"Maksudmu, mendiang ibunya?”

"Begitulah, aku sudah mengenalnya lumayan lama. Kau tahu, dia wanita yang teliti dan cerdas, dia juga mengagumkan. Sayang sekali dia sudah bukan lagi sekretaris di kantor ini, padahal aku merasa memiliki peluang mendekatinya sebelumnya."

"Jadi kau mau bersaing denganku rupanya! Awas saja kau!" Jack bangun dari tempat duduknya, menatap Davee dengan sorot mata tajam dan membunuh.

"Aku akan mendapatkannya kembali, dan jangan pernah mendekatinya atau aku akan membunuhmu!" kata Jack mantap.

"Kau pikir itu mudah, coba saja, Jack. Atau mungkin rasa penasaranmu yang akan membuatmu terbunuh lebih dulu."

"Kita bertaruh, Davee. Jack Williams Graham selalu mendapatkan apa yang dia mau. Jangan ragukan itu!"

***

Ammy menikmati suasana di suatu sore, hiruk pikuk Mexico City tampak menenangkan dari atas jembatan gantung yang memisahkan sungai kecil di dekat San pablo de las Salinas. Suasana tidak sepi, pun tidak ramai. Angin membelai uraian rambut Ammy dan membuatnya melayang seperti air mengalir dan bergelombang. Nikmat menyesap kesejukan membuatnya tersentak saat seorang gadis kecil datang membawa seikat bunga Lilac untuknya.

"Bunga untukmu, Nona."

Ammy mengarahkan telunjuk pada dirinya sendiri dan menaikkan salah satu alisnya.

"Dari siapa?"

"Aku tidak tahu namanya, tapi dia keren sekali, kurasa dia seorang Angel Man."

"Angel Man?"

Gadis itu mengangguk sebelum akhirnya minta diri dan pergi.

Ammy menghirup aroma Lilac yang lembut itu. Menemukan sebuah kartu ucapan.

"I'm sorry, Ammy. I miss you---Jack."

Mata Ammy menyisir sekeliling, menemukan Jack sedang berdiri di samping pohon poinsenttia berjajar di tepi sungai melambaikan tangan dan tersenyum padanya. Ia menikmati sejenak perasaannya, entah perasaan macam apa. Tak peduli jauh atau pun dekat, Jack tetap sama menawannya. Tak tahu apa arti laki-laki itu di matanya. Apakah Angel Man, atau hanya seorang Devil Man. Ataukah mungkin dia adalah sosok Devil yang sedang dalam kamuflase untuk terlihat bagai seorang Angel Man.

Ammy menatap laki- laki itu tajam, tak bermaksud sama sekali membalas senyumnya atau pun lambaiannya. Ammy kemudian menghirup aroma Lilac di tangannya sekali lagi dan melemparnya ke sungai, menyisir rambut depannya yang berantakan tertiup angin menggunakan jemarinya lalu pergi tanpa menoleh lagi.

Kena, kau ... Jack! Kau pikir kau saja yang bisa mengerjaiku! Makan rasa bersalahmu! Kau hanya tak tahu bahwa kotak musik itu hanya duplikasi. Dasar idiot!

Jack melihat Lilac yang mengapung di antara tarian air yang meliuk. Mematahkan kembali harapannya untuk mendapatkan maaf dari Ammy. Namun Jack tak akan berhenti sampai Ammy akan bertekuk lutut di hadapannya.

***

Jack mendengkus, berpikir apa yang mungkin bisa membuat Ammy tertarik untuk memperhatikannya. Ia tahu Ammy tidak benar-benar membencinya, atau mungkin terlalu percaya diri untuk merasa begitu? Dia harus mencari tahu, bagaimana perasaan gadis itu sebenarnya padanya. Tak tertarik padanya? Jack merasa tak percaya ada gadis yang berani menolaknya mentah-mentah.

"Jose, lacak keberadaan gadis ini. Alamat email perangkatnya kukirim padamu setelah ini, lalu beri tahu aku lokasinya," ucapnya  pada sambungan telepon. Menunggu beberapa saat, ia mendapatkan pesan singkat. Lokasi Ammy dari kaki tangan suruhannya.

Jack beralih, entah kapan ide gila itu muncul, segera bergegas memasuki Aston Martin mewahnya, ia kembali menelepon tapi kali ini bukan menelepon anak buahnya.

"Esperanza, aku akan menjemputmu. bersiaplah dalam sepuluh menit!" ujarnya kemudian langsung memutuskan sambungan telepon sebelum sempat dijawab olehnya.

Esperanza adalah salah satu teman kencan bayaran Jack. Setelah semuanya siap, ia segera menjemput wanita itu lalu menuju sebuah caffe di mana ada Ammy di sana.

Mendapati keberadaan Ammy yang sedang makan malam, Jack sengaja membiarkan Esperanza menempel padanya.

Ia ingin tahu seperti apa reaksi Ammy nanti. Sikapnya akan mencerminkan seperti apa perasaannya yang sesungguhnya. Apakah dia akan bersikap biasa-biasa saja? Atau akan marah? Atau malah pura-pura tak kenal? jika Ammy marah padanya atau ikut campur, itu artinya ada kecemburuan serta kepedulian di hatinya. Dan tentu saja Jack tak perlu repot-repot bekerja terlalu keras untuk mendapatkannya.

 Jack tak yakin wanita muda itu benar- benar tidak bersimpati padanya. Bukankah selama ini makhluk yang namanya wanita selalu jatuh bangun mengejarnya? Ia hanya ingin memastikan benarkah gadis itu tidak peduli padanya. Benarkah gadis itu sama sekali tak tertarik padanya? Padahal Jack tahu, ada debaran keras yang tak bisa gadis itu sembunyikan saat ia memeluk tubuhnya.

Ammy menatap Jack yang duduk tak jauh darinya. Tampak mesra dengan wanita berpakaian serba ketat dan belahan dada rendah, gadis itu sudah bisa menebak bahwa pasti yang sedang bersama Jack adalah wanita murahan barunya. Ia tersenyum remeh. Muak dengan pemandangan di depannya. Entah kenapa terasa tidak nyaman. Ada kemarahan yang tak bisa ia mengerti alasannya.

Ammy menyambar tas jinjing miliknya, membukanya dan melakukan pembayaran. Ia menyempatkan diri menghampiri Jack, melihat betapa wanita menjijikkan itu menempel erat di pundaknya.

"Hai, Jack! Tak enak melihatmu tanpa menyapa. Oh, ini pasti mainan barumu, apa kau tidak bisa tunjukkan barang lain yang lebih berkualitas yang bisa kau beli selain sampah murahan yang kau bawa ini? Ya Tuhan, kalian mengotori pemandanganku saja," seloroh Ammy mencebik dan menyilangkan tangan di dada.

Esperanza melotot pada Ammy.

"Kenapa? Apa kau juga salah satu pelac*rnya?” Wanita itu menatap Ammy sinis.

Ammy menautkan alis.

"Lebih baik aku mati kelaparan daripada harus menjual diri pada laki-laki seperti dia." Ia mengarahkan telunjuknya ke arah Jack.

"Hm … satu poin positif yang bisa kuambil saat ini adalah, untunglah aku sudah keluar dari lingkaran seorang CEO minim attitude dan maniak s*ks sepertimu," oloknya.

Jack tersenyum enteng sambil memasukkan sepotong Churos ke mulutnya.

"Itu bukan urusanmu, Ammy. Kenapa? kau tertarik jadi pelac*rku seperti yang Esperanza bilang? Kau akan dapat harga VVIP. Jadi, kau butuh berapa juta peso, huh?"

Ammy melebarkan matanya, manik birunya terekspose begitu menawan walaupun dia sedang marah.

"Berbicara dengan alien sepertimu dibutuhkan bahasa planet. Menyebalkan!" Ia mengetatkan rahang karena jengkel.

"Kau tampak begitu marah? Beginilah hidupku, dan kau sudah tahu itu, ‘kan? kenapa kau harus peduli? Atau kau cemburu?"

"Omong kosong apa ini? Aku tidak peduli sama sekali, Jack." Ammy membuang wajah. Terlihat gugup dan salah tingkah. Sialan, dia ketahuan sok jual mahal selama ini. Kenapa laki-laki itu pandai sekali mencari tahu isi hatinya. Itu membuat Ammy semakin kesal saja.

"Yah, aku pikir aku membuang waktuku bicara denganmu. Aku akan pergi sekarang, Mr. CEO."

"Silakan, pintu exit di sebelah kanan. Kau tentu sudah tahu." Jack tersenyum miring.

Ammy mendengkus. Pergi dengan perasaan campur aduk. Berjalan dengan kaki sedikit dientak saking jengkel. Tak jelas apa yang membuatnya kesal.

Esperanza masih manja menyandarkan diri di bahu Jack. Ammy sudah pergi sekarang. Jack berusaha melepaskan jalang itu darinya. Meninggalkan amplop cokelat di atas meja.

"Pulanglah dengan taksi. Aku tidak bisa mengantarmu, terima kasih sudah membantu," katanya sambil berlalu pergi.

"Bukankah kau ingin bersenang-senang denganku?"

"Sayangnya tidak, Esperanza. Bersenang- senanglah dengan pelangganmu yang lain. Aku sudah membayarmu penuh meskipun aku tak memakaimu. Jadi jangan memprotes!"

Jack meninggalkan Esperanza begitu saja di Cafe. Menyisakan sayup-sayup suara panggilan wanita itu tanpa menggubris.

Merasa di atas angin, mendapatkan kemenangan kecil ketikamketika betapa marahnya sekretaris cantik itu saat ia dekat dengan pelacur yang dibawanya. Kini Jack telah yakin, Ammy tidak benar-benar membencinya. Itu membuatnya berpikir bahwa dia memiliki peluang besar. Gadis itu menyukainya, tentu saja itu bukan hanya karena Jack terlalu percaya diri. Ia menarik garis lengkung di bibirnya sambil menggumam lirih, "aku mau hati dan tubuhmu, jiwa dan ragamu, Mi Amor."

To be continue.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status