Share

Curious

Jam Kantor hari ini telah usai, Jack memasuki ruangan Ammy tanpa permisi. Menarik lengan wanita muda itu kasar. Peduli setan! Gadis itu membuatnya dihantui rasa penasaran semenjak dia berani mengatai mulutnya recehan. Dan perlakuan ini cukup masuk akal sebagai wujud sebuah hukuman. Ia tak mau kalah cepat dari Davee. Gadis itu harus menjadi miliknya dengan cara apa pun.

"Lepaskan, Mr. Graham! Bukankah Jam kerja sudah habis dan ini sudah waktunya pulang?" kata Ammy berusaha melepaskan tangannya dari si bos yang menyebalkan itu. Jack tidak memedulikan ucapan Ammy, bersikap seolah-olah tidak mendengar apa pun. Membawanya menuju ke mobilnya.

“Bos selalu tahu kapan harus memulangkan karyawannya. Mengerti! Jadi jangan mengajariku!”

Ada yang tak beres, Jack tak pernah merasakan getaran seperti sengatan listrik seakan mengalir di dadanya. Namun gadis kurang ajar ini rasanya setiap detik semakin menarik saja! Jack mendengkus, ingin sekali mengumpat. Perasaan apa yang sebenarnya sedang mengacaukan pikirannya ini?

"Ayahku pasti khawatir, Mr. Graham."

Jack menatap wanita di sebelahnya penuh intimidasi. Memangnya siapa yang peduli mengenai ayahnya?

"Bukankah kau sudah dewasa?" Mata pria itu menatap tajam ke arah Ammy.

"Mana ponselmu?" Ia menengadahkan sebelah tangan, meminta telepon pintar wanita itu dan sejenak kemudian benda pipih itu segera berpindah tangan.

"Untuk apa?"

"Ammy Lawrence Martin, ini perintah!" Nadanya naik beberapa oktaf.

Ammy menurut, memberikan ponselnya pada Jack. Pria itu menekan kemudian menggeser menu kontak dan mencari nomor ayah Ammy.

"Halo, Sir! Selamat malam. Aku atasan Ammy, ingin memberitahukan bahwa Ammy akan pulang terlambat karena ada pekerjaan tambahan." Ia menyeringai, menutup teleponnya seolah tak peduli pada jawaban di ujung saluran telepon.

"Anda mau membawa saya ke mana, Mr. Graham? Kalau niat Anda membawa saya untuk memenuhi nafsu sesat Anda, mohon maaf Anda salah target! Tolong garis bawahi, SAYA TIDAK MENJUAL DIRI!" ucap Ammy tetap bergaya formal namun tegas dan penuh penekanan. Alih-alih melepaskan Ammy, Jack malah semakin mengeratkan cekalan di tangan gadis itu.

Pria jangkung itu terus melangkah, memasukkan Ammy ke mobilnya lalu melajukannya. Tak peduli mulut gadis itu meracau tak karuan, ia memilih menulikan pendengaran.

"Hentikan mobilnya! Kau menculikku, Mr. Graham!" Ammy menatap lelaki itu dengan sengit.

“Buat saja laporan ke polisi, maka aku akan memperkosamu saat ini juga!” Jack mengeram marah. Sementara Ammy semakin panik.

"MR. GRAHAM!" pekiknya lebih keras.

"Kau tidak berhak memerintahku. Aku ini atasanmu, Mi Amor," kata Jack masih dengan pandangan yang tajam dan angkuh.

"Satu lagi, berhenti memanggilku Mr. Graham. Panggil aku Jack saja! Bukankah kau bisa memanggilnya Davee saja? Jika kita ada dalam pertemuan penting dengan client kau baru boleh memanggilku Mr. CEO. Damn, kau pilih kasih!" tekannya sinis.

Ia menghentikan mobilnya pada sebuah Restoran. Mengajak Ammy turun dan makan bersama. Mereka memasuki restoran mewah dengan arsitektur megah di atas dataran tinggi. Bahkan mereka dapat menikmati pemandangan pusat kota Bosque de Chapultepec yang merupakan paru-paru kota Meksiko hanya dari dalam restoran berpintu kaca tersebut.

"Aku tertarik padamu, terus terang saja, sepertinya membuat pemberontak sepertimu terbang bersamaku di kamar tidur selalu jadi fantasi terbaik sepanjang hari ini. Kau ... pasti luar biasa," kata Jack setelah pramusaji menyuguhkan makanan yang ia pesan. Ia kemudian mulai menyuap dan mengunyah makanannya. Sambil tersenyum melemparkan tatapan mupeng ke arah Ammy.

"Ada begitu banyak wanita yang bisa kau bayar. Kenapa harus aku?” Ammy mulai menampakkan kekesalan yang terasa sudah di ubun-ubun. Sepertinya dia harus memikirkan cara resign dari perusahaan itu agar dapat terbebas dari alien spesies baru seperti Jack.

Jack menjeda aktivitas makannya, meletakkan garpu dan pisau steak lalu menatap Ammy dengan senyum sinis. Ammy sama sekali tak menyentuh makanan yang Jack pesan. Meskipun berjajar hidangan telah tersusun rapi, tak tertinggal sepiring Nachos dengan topping daging cincang dan saus keju. Makanan favorit itu tak menarik perhatian Ammy lagi lantaran ia sedang bersama Jack.

"Jadi, berapa aku harus membayarmu?” Jack mengusap bibirnya dengan tisu kemudian kedua tangannya terlipat di depan meja sok innocent.

Ammy membalas tatapannya tak kalah sinis. Namun tanpa mengatakan apa-apa.

"Katakan saja, berapa hargamu?" Nada bicara tuan muda itu mulai sedikit meninggi. Ammy bangkit, meraih segelas air di meja lalu menumpahkannya di wajah pria bermanik cokelat itu.

"Tidak semua yang ada di dunia ini bisa kau beli dengan uangmu, Jack. Berhentilah merendahkanku!" Ammy menyingsingkan lengan blouse berwarna mustard yang ia kenakan, lalu menenteng tas jinjingnya seraya melangkah pergi. Namun tangan kekar itu dengan cekatan kembali menahan langkahnya.

"Kau sombong sekali, Ammy!"

"Kau menjijikkan, Jack!" balasnya.

Ia tersenyum, mengibaskan tangan pria itu dengan kasar kemudian memilih meninggalkan tempat itu dengan tergesa-gesa.

Mengetatkan rahang. Ada pemantik yang seolah semakin membakar gairahnya. Entah mengapa semakin gadis itu memberontak, Jack menjadi semakin penasaran padanya.

"Aku tidak akan melepaskanmu, Ammy. Jack Williams Graham tidak pernah gagal mendapatkan apa pun yang dia inginkan. Kita lihat saja nanti!"

Ia menoleh ke depan pintu  restoran yang transparan. Berlalu begitu saja sebelum membayar dan seorang pria menahannya.

"Anda belum membayar, Tuan."

"Kubeli sekalian restorannya untuk kandang anjingku. Aku bisa mentransfernya dan apa matamu buta sampai tak bisa melihat aku sedang terburu-buru?! Aku sudah meninggalkan kartu nama di meja. Apa matamu tidak berfungsi dengan baik?" tukasnya sarkastik, ia kembali mengambil kartu namanya dari kantong celana, menempelkannya di dahi si pria dan berkata, "kirim saja tagihannya, kau dipecat! Jika kau masih di sini saat aku datang kemari, kupastikan pemilik restoran ini akan bangkrut!"

Jack mendorong kecil tubuh laki-laki itu kemudian melanjutkan langkahnya. Si pria tertegun, mengamati kartu nama yang kini ada di genggamannya. Jack Wiliams Graham? Putra tunggal Hans Ferdinand Graham, pemilik hotel The Graham's Kingdom, National Company dan Meghan Medica Hospital? Ia hampir tak percaya. Maka dia memang harus siap hengkang dari pekerjaannya.

Mengejar Ammy yang belum jauh, sepatu berhak sekitar delapan belas senti sedikit membuatnya kesulitan berjalan cepat di tengah hujan bulan juni yang mengguyur deras Mexico City.

"Masuklah! aku akan mengantarmu," katanya setengah memerintah seraya membukakan pintu mobil.

"Aku tidak butuh mobilmu. Lebih baik aku basah kuyup atau mati disambar petir daripada harus berada di mobil yang sama denganmu. Menghirup udara yang sama dengan yang kau hirup saja membuatku cukup mual," ujarnya dengan kekesalan memuncak.

Tak diduga, kilat menyambar dengan penampakan yang begitu menakutkan diiringi suara dentum menggelegar. Terkejut, Ammy bergerak mundur, berteriak dengan spontan dan menelungkupkan wajahnya di dada Jack. Ia memang mengidap Astraphobia, yaitu ketakutan berlebih pada kilat dan petir. Lelaki itu tersenyum penuh kemenangan.

"Lihatlah, Ammy! Kucing liar ini akan kujinakkan dengan baik. Masih berkilah seolah kau menolakku?"

Ammy terburu-buru menarik tubuhnya dari pelukan Jack saat ia menyadari dirinya telah membuat kesalahan. Berbalik, ia melangkah maju, tanpa memedulikan Jack yang mulai basah kuyup diterpa hujan.

"Aku tidak sengaja," katanya, tampak semakin kesal dan takut.

Ammy menelan paksa ludahnya. Napasnya berat, dadanya bergemuruh menahan rasa takut pada cuaca yang sedang sangat tidak bersahabat. Dan lagi, apa yang ia lakukan barusan? Memeluk Jack? Ia berharap bisa memutar waktu dan menghapus peristiwa itu dari hidupnya. Damn, spontanitas yang memalukan.

Jack berlari kecil, meraih pergelangan tangan Ammy saat langkahnya mulai menjauh.

"Kalau kau kehujanan, maka biarkan aku kehujanan bersamamu, kalau saja kau mati tersambar petir, aku akan hancur bersamamu. Bagaimana? Tak perlu menebusnya dengan ke hotel bersamaku hari ini, mungkin bisa besok atau lusa," ucapnya masih dengan kalimat kurang ajarnya.

"Apa maumu?"

"Aku mau kau," jawabnya penuh percaya diri.

"Kita baru bertemu tadi pagi, Jack."

"Itu salahmu, kau yang membuat aku penasaran!" Tatapnya dengan senyum hangat.

"Berhentilah menggangguku! Besok aku akan mengurus surat pengunduran diri dari kantor. Aku rasa aku tak cocok menjadi anak buahmu," katanya serius.

"Terang saja kau tak cocok jadi bawahanku, kupikir lebih seru jika kau bermain di bawahku, Ammy." Jack tersenyum tengil. Sementara Ammy hanya bisa mendengkus kesal.

"Lepaskan tanganku!" ucapnya dengan suara melengking.

"Apa yang sudah kugenggam tidak mudah aku lepaskan. Kita jalani saja satu malam bersama, setelah itu silakan putuskan jika kau sanggup pergi dariku. Mudah bukan?"

Ammy semakin gusar pada sikap pria muda di hadapannya itu. Ia menampar pipi lelaki mesum itu keras-keras. Menyisakan rasa panas dan kebas di pipi Jack. Pria itu memegangi pipinya dengan sebelah tangan. Mengusapnya pelan.

Ditampar? Baru kali ini dia merasakan ditampar seorang wanita, dan wanita itu hanya seorang sekretaris? Demi apa?

Damn, kenapa wanita pemberontak itu semakin menarik saja di matanya. Ia mengetatkan rahang, kalau saja Ammy pria, ia pasti akan membabat habis batang lehernya.

Ammy masih berusaha melepaskan tangannya dari pria itu. Namun usahanya percuma, tangan itu terlalu kuat.

"Lepaskan!" pekiknya.

Alih-alih melepaskan genggamannya, Ia malah menarik sekretaris cantik itu ke pelukannya.

"Diamlah sebentar! Kau akan nyaman di dekatku. Hadiah untuk sikap kurang ajarmu adalah sebuah pelukan," katanya seraya menampakkan evil smirk.

“Aku tak akan memperkosamu, percayalah, aku masih punya harga diri untuk tidak menjadi binatang seperti itu,” ucapnya melunak.

"Apa kau memperlakukan semua wanita seperti ini, Jack? Katakan aku yang ke berapa?” Ia melirik wajah Jack yang berada begitu dekat dengan wajahnya. Sampai ia mampu merasakan embusan napasnya. Vibrasi detak jantungnya berpacu meninggi. Merasakan gelenyar seperti kupu-kupu beterbangan di dadanya. Jemari Jack merayap di pipi Ammy, bergerak mengeja detail wajahnya dan menyentuh bibir indahnya.

"Hanya kau, Ammy. Aku tak pernah penasaran pada wanita. Mereka hanya kupakai semalam dan kami tak pernah saling menyebut nama. Mereka hanya tempat pembuangan lendirku. Tapi, kau  berbeda. Ada yang bergetar di dadaku saat aku bersamamu, Padahal kita baru bertemu tadi pagi." Manik cokelat itu bersitatap dengan iris biru Ammy, mengundang perasaan campur aduk yang membuncah di hati keduanya.

"Demi Tuhan, Jack. Aku tidak pernah bermimpi akan bertemu dengan makhluk luar angkasa sepertimu."

Ia kembali mengembangkan senyum.

"Kalau begitu, mimpikan aku mulai hari ini, Am."

Sulur-sulur jingga menampakkan diri dari kepulan awan hitam. Gemuruh petir bersahutan mampu membuat Ammy melunak. Ia benar-benar merasa takut pada suasana yang  begitu mencekam. Tidak ada pilihan selain Jack. Ini sudah malam dan pada siapa ia akan minta pertolongan?

 Sialnya lagi baterai ponselnya habis beberapa menit setelah si bos menjengkelkan itu menghubungi ayahnya. Menunggu taksi atau kendaraan umum saat cuaca tak mendukung sepertinya mustahil, bahkan jalanan tampak sunyi dan lengang.

"Masuklah ke mobilku! Kau menggigil. Atau jika kau memilih tetap pulang sendiri, jangan menyesal jika ada berandal yang memperkosamu nanti, itu bukan ide yang lebih baik daripada tidur denganku, bukan?" ucapnya sedikit lembut.

Ammy masih bergeming dan dengan tegas Jack berkata sekali lagi. “Masuk ke dalam mobil, Ammy! INI PERINTAH!”

Ia membimbing Ammy memasuki mobilnya. Ammy menurut, ia tidak mungkin pulang sendiri dalam keadaan seperti ini. Dan setidaknya Jack benar, jika ada berandal yang melakukan hal yang tidak-tidak, tentu itu adalah kesombongan konyol yang mencelakai diri. Pada akhirnya dia memilih memasuki Aston Martin Vanquish mewah milik Jack.

"Aku rasa jantungmu berdetak sangat kencang saat kau berada di pelukanku." Ia menatap Ammy dengan pandangan meledek. Manik kecokelatan itu selalu mampu menghipnotis. Ammy merasa salah tingkah. Pipinya bersemu merah, karena memang apa yang dikatakan oleh pria itu benar. Dia tertarik pada Jack.

"Tidak, aku hanya takut pada petir. Kau tak mungkin paham karena kau bukan penderita Astraphobia," dalihnya.

"Pipimu merona, Ammy. kau masih menyangkal?" Ia terkekeh geli.

"Tutup mulutmu, atau aku akan keluar dari mobilmu!" Ammy meninggikan suaranya dengan ekspresi malu dan gusar.

"Tidak ... tidak! Aku hanya bercanda. Kau tidak serius, 'kan, tentang pengunduran diri dari kantor?" Ia terlihat serius. Tak juga menyalakan mesin mobilnya hingga jemari Ammy meraih kunci dan memutarnya. Jack kembali memutar kunci ke keadaan semula.

“Ayolah, jangan tergesa-gesa, Mi Amante!”

Ammy melotot kesal. Sejak kapan ia berpacaran dengan Jack sampai-sampai pria gila itu memanggilnya dengan sebutan kekasihku?

"Entahlah, mungkin saja, jika kau terus menggangguku. Siapa yang akan tahan dengan bos sepertimu. Pekerjaan baru mungkin lebih menarik."

"Kau akan merasa kehilangan saat aku tak ada nanti. Tentu saja aku tidak akan tega membuatmu merasa kehilangan." Jack mengedipkan mata.

Ammy memicing. Muntah segentong! Dia pikir dia setampan Joshua Honeycut atau seseksi Manu Rios?

"Kau terlalu percaya diri, Jack!” oloknya.

"Aku benar- benar tertarik padamu. Aku akan mendapatkanmu apa pun caranya! Ingat itu."

"Aku bukan barang. Dan, bukan seperti itu cara memperlakukan seseorang jika kau tertarik padanya. Bersikaplah lebih baik, siapa tahu aku akan mengubah pandanganku tentangmu. Atau tidak sama sekali jika kau terus bersikap seperti ini."

"Artinya ada harapan?" Ia menyelipkan rambut Ammy yang basah di sela telinganya. Menyentuh pipi Ammy, menatapnya dengan manik kecokelatan yang begitu misterius. Ammy merasa kesulitan menepis pesona yang dimilikinya. Dadanya bergejolak saat menatap manik Jack yang indah. Namun dia tidak boleh jatuh cinta pada Jack. Lelaki sombong itu, apa yang Ammy pikirkan tentangnya?

Sialan! Ammy tidak bisa mengelak kesempurnaan itu. Kesempurnaan yang membuat logikanya bergerak, membela kepribadian arogan Jack. Seolah semua kesombongannya lumrah adanya.

Ayolah, Ammy. Apa kau sudah gila?

Jack mendekatkan wajahnya pada Ammy, mencium aroma parfum yang terasa tak asing olehnya. Seperti parfum yang terletak di laci ruang tengahnya. Ayahnya bilang itu adalah parfum kesukaan mendiang Ibunya.

Meski ayahnya sering pulang ke kediamannya, pria itu merasa begitu kesepian karena ayahnya selalu mengabaikannya. Dia merasa disayangi hanya dengan semua kemewahan yang ayahnya berikan. Oleh karena itu dia sering menghabiskan waktu untuk mencari kesenangannya sendiri. Entah dunia akan memandangnya benar atau salah. Kepuasan hanyalah obat penenang bagi Jack.

"Kalau aku tak salah terka aroma ini adalah Caron poivre, seleramu tinggi juga. Harga di atas dua puluh ribu peso hanya untuk sebuah parfum, Kau sangat berkelas." Jack menghidu aroma Ammy, wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari wanita itu lalu menariknya sedikit menjauh.

"Dengar, Jack! kalau kau mau main-main denganku kau salah orang. Aku wanita baik-baik. Bahkan aku masih perawan. Sementara kau? Katakan berapa wanita yang pernah kau tiduri sampai kau begitu hafal aroma parfum wanita? Dan katakan apa alasan yang membuatmu bertingkah aneh dan membuatku muak? Apa yang membuatmu pantas kusukai dengan kepribadianmu yang seabsurd ini?" Ammy mendengkus, memaksa meneguk ludah. Jika ia menjabarkan rasa kesalnya, rasanya ia tak ingin berurusan dengan pria ini seumur hidupnya.

“Kau masih perawan? Ini Mexico City. Ada dua alasan wanita di atas delapan belas tahun masih perawan di sini. Yang pertama karena dia tak normal, yang kedua karena dia tidak memiliki ‘lubang kunci’. Jadi, sepertinya aku perlu memeriksa kau ada di alasan yang mana.” Jack tertawa terbahak-bahak. Memancing Ammy untuk melebarkan bola mata dan mengekspose manik jernih seindah blue shappire.

"Jalankan mobilnya, Jack. Aku mau pulang!" pintanya.

Pemuda itu melemparkan sepotong senyum. Menyalakan mesin mobil sambil berkata, "kau sedang memerintahku rupanya." Ia menjeda kalimatnya sepersekian detik lalu menambahkan, "aku tidak bisa membedakan apakah yang kau katakan tadi itu pertanyaan atau pernyataan, Ammy. Berapa wanita yang pernah kutiduri? Entahlah, aku hanya menikmati mereka tanpa sempat menghitung ini yang ke berapa dari sekian banyak. Alasan aku bersikap begini karena aku mau kau dan kau menolakku. Apa yang membuatku pantas kau sukai, aku memiliki segalanya, kau tahu itu dan semua wanita menyukainya. Aku tampan dan kaya."

Hey, ini aku ... Jack, pria paling sempurna di antara seribu pria, mungkinkah kucing liar ini tak tertarik? Mana mungkin!

Tidak lagi mengulur waktu. Mulai melajukan mobilnya di tengah rintik hujan yang kian mereda dengan begitu santai. Sesekali melirik Ammy yang duduk di sampingnya. Pakaian yang basah itu membuat lekuk tubuhnya terjiplak begitu jelas. Dan Jack menyukai itu.

Ammy membuang muka, melihat jalanan basah lewat kaca pintu yang mengembun sisa percikan hujan. Aroma petrikor menyapa penghidu. Pikirannya berkecamuk liar. Sepertinya ia benar-benar tertarik pada Jack. Itu buruk, sangat buruk! Bukankah seharusnya dia sadar siapa Jack dan kenapa harus dia? Apa yang membuat hatinya buta dan menyimpan Jack sebagai kriterianya? Bahkan Dia tidak pantas mendapat simpati darinya secuil pun, terlebih cinta.

To be continue.

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status