Share

Ambition

Jack duduk di kursi ruangannya, menekan sebuah nomor di ponselnya lalu menghubungi nomor tersebut.

"Hallo, Chloe. Ini aku, Jack! Aku butuh bantuanmu."

"Ya, Jack. Ada yang bisa kubantu?"

"Kau perancang sekaligus pembuat perhiasan. Bisakah kau membuatkan kotak musik kristal untukku?"

"Kotak musik? Akan kuusahakan."

"Kau tahu, kotak musik buatan Prancis The wings?"

"Tentu saja, benda itu sangat esklusif, Jack."

"Ya, aku tahu itu. Masalahnya benda itu sudah sangat lama diproduksi dan tidak lagi tersedia di pasaran, aku juga tahu benda itu limited edition. Kau Amazing Di bidang perhiasan, kristal atau sejenisnya. Bisakah kau membuatkan aku duplikasinya? Aku akan membayar berapa pun."

"Itu terlalu riskan untuk reputasiku, lagi pula, benda itu memiliki hak paten.  Aku tak berani ambil resiko dan berurusan dengan pihak berwenang."

"Ah, aku tidak akan memperjualbelikannya, jadi jangan khawatir mengenai pelanggaran hak patennya."

"Kau yakin tidak akan menimbulkan masalah?"

"Ya, aku yang akan menjamin keselamatanmu. Kau kenal aku, 'kan, Chloe? Kau tahu, hampir tidak mungkin aku mendapatkan yang asli, oleh karena itu aku menghubungimu. Aku sangat menunggu kabar baiknya. Jangan biarkan aku mendengar kabar buruk, Chloe. Buatlah semirip mungkin. Kuharap aku bisa mengandalkanmu kali ini."

"Oh, satu lagi, jangan terlalu lama, aku hanya mampu menunggu satu minggu. Kuharap kau tidak mengecewakanku." Jack menutup sambungan teleponnya. Kemudian mencecap secangkir kopi yang telah tersedia di meja.

"Kau akan terkesan pada usahaku, Ammy. Semudah itu kan," Jack tersenyum menang, ia sadar betul bahwa Ammy telah menjadi salah satu rencana besarnya.

***

Pria berkacamata hitam itu berbicara setengah berbisik dengan headset nirkabel tersemat di telinga. Ia berdiri di balik dinding sambil mengawasi Jack dan Davee.

"Jangan biarkan seorang pun menduduki kursi sekretaris. Gadis itu harus kembali apa pun caranya. Kau mengerti!"

"Baik, Tuan Besar!"

****

"Jack, kau sudah mencari sekretaris baru?" Davee bertanya seolah menuntut. Ia memasuki ruangannya, diikuti oleh Jack dan mereka berjalan beriringan. Mereka tampak begitu akur.

"Minggu depan kupastikan Ammy akan kembali."

"Kau bisa jamin?" Davee mencebik,

"Bucinmu tak lucu, apa kau tak tahu bahwa sekretaris pengganti itu kurang kompeten di bidangnya? Tak ada yang secerdas Ammy. Lagi pula, kurasa Mrs. Howard sudah terlalu tua untuk menjadi seorang sekretaris. Tak menarik," protesnya.

"Aku bosnya di sini. Jadi biar saja aku memutuskan apa pun tanpa penasehat sepertimu. Lagi pula kau mau mencari yang muda supaya bisa membuat juniormu berdiri, kan? Lalu kau jadikan fantasi saat kau di kamar tidur," selorohnya sambil nyengir kuda.

"Kalau saja aku tak pandai-pandai menjaga perusahaan ini, kurasa kau pasti sudah menghancurkannya!" Davee berbicara sambil membuka dokumen berupa map berwarna merah, ia jadi teringat beberapa hari yang lalu ada pertemuan dengan klien dari Philippines mengenai pembelian property produk perusahaan.

Jika proyek itu deal, perusahaan akan mendapat keuntungan yang besar tentunya. Ini kali pertama perusahaan mendapat tawaran lagi di negara Asia setelah beberapa tahun lalu memenangkan tender dengan salah satu perusahaan asal Indonesia, negara asal kakek buyut keluarga Graham.

Davee tidak mungkin melewatkan kesempatan itu. Jika Ia menyerahkan semua tanggung jawab pekerjaan pada Jack, entah apakah proyek itu akan dimenangkan oleh perusahaannya atau tidak. Pria serampangan itu hanya pewaris yang suka semena-mena dan seenak udelnya. Gelar CEO di perusahaan hanya semacam formalitas semata. Dia diktator, sama seperti ayahnya.

"Akulah yang berkuasa, jadi kenapa aku harus patuh aturanmu?" tuntut Jack.

Davee mengembuskan napas berat, sedikit kesal.

"Karena selain mesum kau juga kurang waras." Ia menutup berkas yang diamatinya. Menatap Jack dengan tatapan datar tanpa ekspresi.

"Waktunya makan siang, Jack. Apa kau akan tetap berada di ruangan ini sampai aku kembali?" Davee berdiri, memasukkan telapak tangan pada kantong celananya seraya tersenyum.

"Sialan! Coba saja kalau kau berani pergi dan tak sopan meninggalkanku begitu saja!"

"Kalau begitu, ayo makan bersamaku!"

"Aku tidak tertarik, kecuali jika ada Ammy."

Davee mengambil ponselnya, menggeser-geser kontak di sana, menemukan nomor Ammy lalu menekan tombol dial.

"Hallo, Ammy. Kau ada waktu? Makan sianglah denganku, cafe dekat National Company. Ada yang ingin kusampaikan padamu," ucapnya pada sambungan telepon.

Jack berjengit, menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. Padahal sebenarnya dia hanya bercanda.

"Aku sedang di rumah sakit, Davee. Aku harus opname karena alergi. Huh ... di sini membosankan, apa kau bisa datang? Aku sendirian di sini, temani aku," jawab Ammy di ujung sambungan telepon.

"Rumah sakit? Di mana? Biar aku ke sana."

"Meghan Medica Hospital, kalau kau sibuk selesaikan saja pekerjaanmu lebih dulu! Kau tahu, rumah sakit ini sangat keren, fasilitasnya hebat dan lebih speechless lagi, rumah sakit ini milik perorangan. Pemiliknya kupikir pasti lebih kaya dari pemilik National Company."

Davee mendengarkan perkataan Ammy sambil senyum-senyum geli, tampaknya gadis itu sangat excited. Dan lebih menggelikan karena gadis itu tak tahu bahwa National Company maupun Meghan Medica Hospital adalah milik orang yang sama.

"Siapa yang di rumah sakit?" Jack mengerjap. Davee yang sibuk dengan percakapannya bersama Ammy tidak sempat menjawab pertanyaannya. Tentu saja hal itu membuatnya kesal. Ia lalu mencengkeram kerah kemeja Davee hingga menjadikan simpul dasinya terlihat berantakan.

"Siapa yang di rumah sakit? Apa kau tuli?" ucapnya tidak sabaran.

"Ammy. Alergi," jawab Davee setelah mematikan teleponnya.

"Di mana?"

"Rumah sakitmu." Davee menggeleng samar. Kapan cecurut ini bisa bersikap layaknya pria dewasa.

Jack menghambur pergi, tidak mempedulikan Davee yang tertinggal. Tidak ada yang ia pikirkan selain rasa cemas.

"Apa kau tidak berpikir untuk menjenguk Ammy bersama?" Davee setengah berteriak tetapi Jack sudah semakin jauh. Tak yakin apa sepupunya itu mendengar teriakannya.

Jack berjalan mondar-mandir di rumah sakit. Meghan Medica Hospital yang memiliki 21 lantai sedikit menyulitkannya menemukan Ammy.

Sialan, aku lupa bertanya pada Davee di ruang nomor berapa Ammy dirawat.

Jack mengerutkan kening. Kesal. Berulang kali ia bertanya kepada receptionist tentang pasien bernama Ammy Lawrence tetapi aneh sekali kenapa ia tak menemukan nama itu. Ia kemudian memutuskan untuk menghubungi Davee. Menanyakan di ruang mana Ammy dirawat.

"Ruang Marigold Tagetes nomor 1125. Aku sudah di sini bersama Ammy. Kau tidak perlu cemas! dia baik-baik saja."

Ia menutup sambungan telepon dengan hati dongkol, sialan! cecunguk itu sudah sampai lebih dulu rupanya.

Jack memasuki elevator yang sudah terbuka, menekan tombol lantai lima belas. Tak lama setelahnya ia sampai di ruangan Marigold Tagetes 1125. Ammy menempati kamar dengan fasilitas VIP, dan ia mengingat parfum Charon poivre tempo hari dan mulai menyadari, bahwa Ammy bukan wanita sembarangan.

Memasuki ruang rawat Ammy, ada Davee di sana dan mereka sedang asyik mengobrol. Entah apa yang mereka bicarakan, mereka terlihat sangat akrab. Melihat hal itu hatinya mendapatkan sensasi yang lain, seperti terpanggang dalam api. Ammy hanya melirik ke arahnya sekilas, tidak mengucapkan sepatah kata pun bahkan menyapanya saja tidak. Berani sekali wanita itu tak acuh padanya. Sialan, semakin kesal pada gadis itu, rasanya semakin membuatnya tak sabar ingin cepat-cepat menerkamnya.

"Kau tidak senang aku menjenguk?"

Jack membuka percakapan yang terasa kaku dan begitu canggung.

"Terima kasih sudah datang," jawab Ammy datar.

"Davee, kau bisa tinggalkan kami sebentar? Aku ingin membicarakan sesuatu dengan Ammy." Jack menatap Davee dengan pandangan berharap. Pria itu mengiyakan, hendak beranjak dari tempat duduknya, tetapi tangan Ammy mencegahnya.

"Aku mau kau di sini, Davee. Aku yang minta kau menemaniku, bukan pengganggu ini!" sindir Ammy.

"Aku bilang keluar, Davee. INI PERINTAH!" suara bariton pria itu meninggi beberapa oktaf. Rasanya tak terima mendapatkan perlakuan semacam itu.

"Tidak, tetaplah di sini! " Ammy kukuh dengan permintaannya, tangannya menahan Davee agar tetap bersamanya. Dia malas jika harus berdua saja dengan trouble maker seperti Jack. Dia juga harus belajar rasanya mendapatkan sebuah penolakan. Sesekali ia harus tahu apa rasanya tak dianggap supaya dia bisa berpikir.

"Apa ini? Kalian berdua sangat childish sekali. Kenapa selalu menempatkanku di posisi sulit? ayolah! Kalian sudah dewasa." Davee bergantian memandang Jack dan Ammy sekilas. sedikit kesal dan terpancing.

"Kupikir, aku khawatir padamu. Tapi mungkin aku hanya merasa kasihan. Bagaimana keadaanmu?" Menutupi semua perasaan cemburu yang sedang mengusiknya. Kemarahan tanpa pelampiasan berkecamuk di hatinya. Ammy, mudah sekali wanita itu membuatnya sakit hati. Dan mudah sekali gadis itu membangkitkan rasa penasaran.

"Baiklah, sudah ada yang menemanimu. Aku pergi sekarang," katanya dengan raut wajah masam tetapi tetap bertingkah angkuh.

"Kita bisa pulang bersama nanti, kau bisa naik mobilku sementara mobilmu biar sopirmu yang ambil." Davee tetap  berusaha kalem dan menengahi.

"Aku tidak tertarik." Ia menatap Davee dengan tatapan menantang. Menyebalkan, baru kali ini ada wanita yang menolaknya hanya untuk seorang Davee. Bukankah dia seratus kali lebih baik dari penggila kerja itu?

"Kau bilang kau ingin pergi Jack? Silakan! pintu exit sebelah kanan, kupikir kau sudah tahu." Tersenyum melecehkan gadis itu mengguratkan ekspresi seolah berkata dalam hati,

"Aku membalasmu, Pecundang!"

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status