Share

Ambition

Author: Sky
last update Last Updated: 2021-10-14 07:59:57

Jack duduk di kursi ruangannya, menekan sebuah nomor di ponselnya lalu menghubungi nomor tersebut.

"Hallo, Chloe. Ini aku, Jack! Aku butuh bantuanmu."

"Ya, Jack. Ada yang bisa kubantu?"

"Kau perancang sekaligus pembuat perhiasan. Bisakah kau membuatkan kotak musik kristal untukku?"

"Kotak musik? Akan kuusahakan."

"Kau tahu, kotak musik buatan Prancis The wings?"

"Tentu saja, benda itu sangat esklusif, Jack."

"Ya, aku tahu itu. Masalahnya benda itu sudah sangat lama diproduksi dan tidak lagi tersedia di pasaran, aku juga tahu benda itu limited edition. Kau Amazing Di bidang perhiasan, kristal atau sejenisnya. Bisakah kau membuatkan aku duplikasinya? Aku akan membayar berapa pun."

"Itu terlalu riskan untuk reputasiku, lagi pula, benda itu memiliki hak paten.  Aku tak berani ambil resiko dan berurusan dengan pihak berwenang."

"Ah, aku tidak akan memperjualbelikannya, jadi jangan khawatir mengenai pelanggaran hak patennya."

"Kau yakin tidak akan menimbulkan masalah?"

"Ya, aku yang akan menjamin keselamatanmu. Kau kenal aku, 'kan, Chloe? Kau tahu, hampir tidak mungkin aku mendapatkan yang asli, oleh karena itu aku menghubungimu. Aku sangat menunggu kabar baiknya. Jangan biarkan aku mendengar kabar buruk, Chloe. Buatlah semirip mungkin. Kuharap aku bisa mengandalkanmu kali ini."

"Oh, satu lagi, jangan terlalu lama, aku hanya mampu menunggu satu minggu. Kuharap kau tidak mengecewakanku." Jack menutup sambungan teleponnya. Kemudian mencecap secangkir kopi yang telah tersedia di meja.

"Kau akan terkesan pada usahaku, Ammy. Semudah itu kan," Jack tersenyum menang, ia sadar betul bahwa Ammy telah menjadi salah satu rencana besarnya.

***

Pria berkacamata hitam itu berbicara setengah berbisik dengan headset nirkabel tersemat di telinga. Ia berdiri di balik dinding sambil mengawasi Jack dan Davee.

"Jangan biarkan seorang pun menduduki kursi sekretaris. Gadis itu harus kembali apa pun caranya. Kau mengerti!"

"Baik, Tuan Besar!"

****

"Jack, kau sudah mencari sekretaris baru?" Davee bertanya seolah menuntut. Ia memasuki ruangannya, diikuti oleh Jack dan mereka berjalan beriringan. Mereka tampak begitu akur.

"Minggu depan kupastikan Ammy akan kembali."

"Kau bisa jamin?" Davee mencebik,

"Bucinmu tak lucu, apa kau tak tahu bahwa sekretaris pengganti itu kurang kompeten di bidangnya? Tak ada yang secerdas Ammy. Lagi pula, kurasa Mrs. Howard sudah terlalu tua untuk menjadi seorang sekretaris. Tak menarik," protesnya.

"Aku bosnya di sini. Jadi biar saja aku memutuskan apa pun tanpa penasehat sepertimu. Lagi pula kau mau mencari yang muda supaya bisa membuat juniormu berdiri, kan? Lalu kau jadikan fantasi saat kau di kamar tidur," selorohnya sambil nyengir kuda.

"Kalau saja aku tak pandai-pandai menjaga perusahaan ini, kurasa kau pasti sudah menghancurkannya!" Davee berbicara sambil membuka dokumen berupa map berwarna merah, ia jadi teringat beberapa hari yang lalu ada pertemuan dengan klien dari Philippines mengenai pembelian property produk perusahaan.

Jika proyek itu deal, perusahaan akan mendapat keuntungan yang besar tentunya. Ini kali pertama perusahaan mendapat tawaran lagi di negara Asia setelah beberapa tahun lalu memenangkan tender dengan salah satu perusahaan asal Indonesia, negara asal kakek buyut keluarga Graham.

Davee tidak mungkin melewatkan kesempatan itu. Jika Ia menyerahkan semua tanggung jawab pekerjaan pada Jack, entah apakah proyek itu akan dimenangkan oleh perusahaannya atau tidak. Pria serampangan itu hanya pewaris yang suka semena-mena dan seenak udelnya. Gelar CEO di perusahaan hanya semacam formalitas semata. Dia diktator, sama seperti ayahnya.

"Akulah yang berkuasa, jadi kenapa aku harus patuh aturanmu?" tuntut Jack.

Davee mengembuskan napas berat, sedikit kesal.

"Karena selain mesum kau juga kurang waras." Ia menutup berkas yang diamatinya. Menatap Jack dengan tatapan datar tanpa ekspresi.

"Waktunya makan siang, Jack. Apa kau akan tetap berada di ruangan ini sampai aku kembali?" Davee berdiri, memasukkan telapak tangan pada kantong celananya seraya tersenyum.

"Sialan! Coba saja kalau kau berani pergi dan tak sopan meninggalkanku begitu saja!"

"Kalau begitu, ayo makan bersamaku!"

"Aku tidak tertarik, kecuali jika ada Ammy."

Davee mengambil ponselnya, menggeser-geser kontak di sana, menemukan nomor Ammy lalu menekan tombol dial.

"Hallo, Ammy. Kau ada waktu? Makan sianglah denganku, cafe dekat National Company. Ada yang ingin kusampaikan padamu," ucapnya pada sambungan telepon.

Jack berjengit, menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. Padahal sebenarnya dia hanya bercanda.

"Aku sedang di rumah sakit, Davee. Aku harus opname karena alergi. Huh ... di sini membosankan, apa kau bisa datang? Aku sendirian di sini, temani aku," jawab Ammy di ujung sambungan telepon.

"Rumah sakit? Di mana? Biar aku ke sana."

"Meghan Medica Hospital, kalau kau sibuk selesaikan saja pekerjaanmu lebih dulu! Kau tahu, rumah sakit ini sangat keren, fasilitasnya hebat dan lebih speechless lagi, rumah sakit ini milik perorangan. Pemiliknya kupikir pasti lebih kaya dari pemilik National Company."

Davee mendengarkan perkataan Ammy sambil senyum-senyum geli, tampaknya gadis itu sangat excited. Dan lebih menggelikan karena gadis itu tak tahu bahwa National Company maupun Meghan Medica Hospital adalah milik orang yang sama.

"Siapa yang di rumah sakit?" Jack mengerjap. Davee yang sibuk dengan percakapannya bersama Ammy tidak sempat menjawab pertanyaannya. Tentu saja hal itu membuatnya kesal. Ia lalu mencengkeram kerah kemeja Davee hingga menjadikan simpul dasinya terlihat berantakan.

"Siapa yang di rumah sakit? Apa kau tuli?" ucapnya tidak sabaran.

"Ammy. Alergi," jawab Davee setelah mematikan teleponnya.

"Di mana?"

"Rumah sakitmu." Davee menggeleng samar. Kapan cecurut ini bisa bersikap layaknya pria dewasa.

Jack menghambur pergi, tidak mempedulikan Davee yang tertinggal. Tidak ada yang ia pikirkan selain rasa cemas.

"Apa kau tidak berpikir untuk menjenguk Ammy bersama?" Davee setengah berteriak tetapi Jack sudah semakin jauh. Tak yakin apa sepupunya itu mendengar teriakannya.

Jack berjalan mondar-mandir di rumah sakit. Meghan Medica Hospital yang memiliki 21 lantai sedikit menyulitkannya menemukan Ammy.

Sialan, aku lupa bertanya pada Davee di ruang nomor berapa Ammy dirawat.

Jack mengerutkan kening. Kesal. Berulang kali ia bertanya kepada receptionist tentang pasien bernama Ammy Lawrence tetapi aneh sekali kenapa ia tak menemukan nama itu. Ia kemudian memutuskan untuk menghubungi Davee. Menanyakan di ruang mana Ammy dirawat.

"Ruang Marigold Tagetes nomor 1125. Aku sudah di sini bersama Ammy. Kau tidak perlu cemas! dia baik-baik saja."

Ia menutup sambungan telepon dengan hati dongkol, sialan! cecunguk itu sudah sampai lebih dulu rupanya.

Jack memasuki elevator yang sudah terbuka, menekan tombol lantai lima belas. Tak lama setelahnya ia sampai di ruangan Marigold Tagetes 1125. Ammy menempati kamar dengan fasilitas VIP, dan ia mengingat parfum Charon poivre tempo hari dan mulai menyadari, bahwa Ammy bukan wanita sembarangan.

Memasuki ruang rawat Ammy, ada Davee di sana dan mereka sedang asyik mengobrol. Entah apa yang mereka bicarakan, mereka terlihat sangat akrab. Melihat hal itu hatinya mendapatkan sensasi yang lain, seperti terpanggang dalam api. Ammy hanya melirik ke arahnya sekilas, tidak mengucapkan sepatah kata pun bahkan menyapanya saja tidak. Berani sekali wanita itu tak acuh padanya. Sialan, semakin kesal pada gadis itu, rasanya semakin membuatnya tak sabar ingin cepat-cepat menerkamnya.

"Kau tidak senang aku menjenguk?"

Jack membuka percakapan yang terasa kaku dan begitu canggung.

"Terima kasih sudah datang," jawab Ammy datar.

"Davee, kau bisa tinggalkan kami sebentar? Aku ingin membicarakan sesuatu dengan Ammy." Jack menatap Davee dengan pandangan berharap. Pria itu mengiyakan, hendak beranjak dari tempat duduknya, tetapi tangan Ammy mencegahnya.

"Aku mau kau di sini, Davee. Aku yang minta kau menemaniku, bukan pengganggu ini!" sindir Ammy.

"Aku bilang keluar, Davee. INI PERINTAH!" suara bariton pria itu meninggi beberapa oktaf. Rasanya tak terima mendapatkan perlakuan semacam itu.

"Tidak, tetaplah di sini! " Ammy kukuh dengan permintaannya, tangannya menahan Davee agar tetap bersamanya. Dia malas jika harus berdua saja dengan trouble maker seperti Jack. Dia juga harus belajar rasanya mendapatkan sebuah penolakan. Sesekali ia harus tahu apa rasanya tak dianggap supaya dia bisa berpikir.

"Apa ini? Kalian berdua sangat childish sekali. Kenapa selalu menempatkanku di posisi sulit? ayolah! Kalian sudah dewasa." Davee bergantian memandang Jack dan Ammy sekilas. sedikit kesal dan terpancing.

"Kupikir, aku khawatir padamu. Tapi mungkin aku hanya merasa kasihan. Bagaimana keadaanmu?" Menutupi semua perasaan cemburu yang sedang mengusiknya. Kemarahan tanpa pelampiasan berkecamuk di hatinya. Ammy, mudah sekali wanita itu membuatnya sakit hati. Dan mudah sekali gadis itu membangkitkan rasa penasaran.

"Baiklah, sudah ada yang menemanimu. Aku pergi sekarang," katanya dengan raut wajah masam tetapi tetap bertingkah angkuh.

"Kita bisa pulang bersama nanti, kau bisa naik mobilku sementara mobilmu biar sopirmu yang ambil." Davee tetap  berusaha kalem dan menengahi.

"Aku tidak tertarik." Ia menatap Davee dengan tatapan menantang. Menyebalkan, baru kali ini ada wanita yang menolaknya hanya untuk seorang Davee. Bukankah dia seratus kali lebih baik dari penggila kerja itu?

"Kau bilang kau ingin pergi Jack? Silakan! pintu exit sebelah kanan, kupikir kau sudah tahu." Tersenyum melecehkan gadis itu mengguratkan ekspresi seolah berkata dalam hati,

"Aku membalasmu, Pecundang!"

****

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sorry, cause I Love You   Love and Eternity

    ****Gadis itu menatap lurus ke depan dengan wajah datar tak berekspresi. Memilih untuk tidak membuka suara untuk bercakap-cakap dengan pria asing di sampingnya, sampai tibalah pada sebuah apotek di tepi jalan."Sebenarnya kau mau ke mana, Nona?" Pertanyaan itu yang mengiringi Lenka keluar dari taxi disusul pria itu dengan membawa koper si gadis."Berikan koperku, kau bukan sopirku!" Kata Lenka dingin."Bahkan kakimu sedang sakit. Aku hanya membantunya." Pria itu meletakkan koper itu di pinggir tempat duduk yang berjajar di tepi jalan."Tunggulah sebentar, aku akan membeli obat." Lenka mengangguk, sesaat kemudian pria itu menjauh menuju apotek.Kecamuk di hati Lenka tak juga surut. Ammy kritis, bukankah seharusnya sebagai seorang teman dia juga memiliki rasa peduli? jika hari ini hal buruk terjadi, tidakkah ia menyesal telah mem

  • Sorry, cause I Love You   Give and Gone

    Perasaan Jack campur aduk, ruang ICU? Ammy kritis? Semua ini terjadi pada hari ulang tahun Ammy? Demi apa?!Ia turut melangkahkan kaki saat brankar dorong itu membawa tubuh Ammy menuju ruangan lain. Ia tidak diperbolehkan masuk hingga beberapa saat, masuk pun dibatasi. Ia hanya boleh melihat Ammy di ruang tunggu yang tersekat kaca tebal di sana. Memandangi istrinya yang sedang tergeletak tidak berdaya. Hatinya terasa sangat sakit.Ammy, kenapa bukan aku saja yang di sana? Bolehkah aku mengantikanmu?Masih sibuk dengan kecamuk dalam hatinya, dering telepon membuyarkan pikirannya yang begitu jauh berkelana."Apa? Jatuh dari tangga? Kritis? Fuck! Apalagi ini!""Kemarilah, selamatkan Peter ... persediaan darah di sini sedang kosong sementara dia kehabisan banyak darah. Golongan darah Peter sama denganmu. Kumohon, Jack. Sekali ini saja, selamatkan putramu dan setelah ini aku j

  • Sorry, cause I Love You   Dangerous

    Kebersamaan dengan suaminya membuat wanita itu begitu bahagia, begitu bersemangat untuk melanjutkan hidup meskipun matanya sering kali tak lagi mampu mengabur. Dokter bilang itu hanya karena Setidaknya tanpa mata ia masih bisa melihat orang yang ia cintai tersenyum dalam khayal.Menikmati sore hari di Dandelion park, meniup bulir seringan kapas bunga dandelion yang mekar dalam pangkuan Jack, membuatnya seperti tak lagi berpijak pada bumi. Dunianya terasa lebih indah dari yang ia bayangkan. Membuatnya semakin ingin tinggal lebih lama di samping belahan hatinya.Sesekali Jack mencium pundak wanitanya, memejamkan mata untuk menyimpannya dalam memory agar terus ia miliki sampai kapanpun."Ceritakan bagaimana indahnya sunset, Jack. Aku tidak bisa melihatnya, maka jadilah mataku."Jack menghela napas panjang. Mencoba menetralkan perasaan yang berkecamuk di hatinya."Indah sekali, sep

  • Sorry, cause I Love You   Dont Leave me 2

    Jack melangkah menuju toilet, menyeka air matanya, ia cuci wajahnya sejenak di wastafel. Matanya masih meninggalkan warna merah. Menuju ruang rawat Ammy kaki jenjang itu nampak skeptis mengeja langkah.Derap sepatu kets nya terdengar samar - samar. Ia menatap dalam - dalam wajah istrinya saat tangannya membuka daun pintu. Merebahkan tubuhnya pada sisi Ammy. Bed pasien yang sempit itu membuat jarak nyaris tak ada di antara keduanya. Ia peluk tubuh istrinya, ia nikmati aroma tubuh yang terhidu jelas menyentuh inderanya. Setitik air mata kembali lolos menjatuhkan diri.Tetaplah seperti ini, Ammy. Kumohon! Hiduplah lebih lama di sisiku."Jack." Suara lirih Ammy terdengar lemah, ia meraba - raba wajah suaminya."Aku takut, Jack. Ini gelap sekali. Aku tidak bisa melihatmu, bagaimana kalau aku lupa wajahmu? Bagaimana aku bisa mati dengan tenang saat aku tidak bisa melihatmu lebih lama untuk bekalku pergi

  • Sorry, cause I Love You   Dont Leave me, Ammy

    Mengembuskan napas putus asa, hanya rasa nyeri yang bisa ia rasakan di sekujur raganya, saat ia tahu Ammy kesulitan berjalan dan menabrak meja makan malam itu."Apa yang terjadi?""Tidak tahu, tiba-tiba gelap." Jawabnya."Kita ke rumah sakit." Tanpa banyak basa-basi, pria itu membopong istrinya menuju mobil, mendudukkannya di jok depan dan dia mengambil tempat di kursi kemudi. Wanita itu mengusap-usap matanya sejenak. Mengerjapkan mata lalu pandangannya kembali untuk sekejap kemudian memburam lagi."Apa yang terjadi, Noah?" Tanyanya setelah dr. Noah memeriksa keadaan Ammy. Jack sengaja berbicara empat mata dengan Noah agar Ammy tidak mendengar tentang apa yang ia alami. Apalagi jika mungkin yang akan disampaikan Noah adalah hal yang kurang mengenakkan."Pengobatan harus segera dilakukan. Bayi Ammy harus segera dilahirkan. Usianya sudah genap tujuh bulan artinya bayi itu akan bisa bertahan

  • Sorry, cause I Love You   Lovely Day

    Membaringkan tubuh Lenka, melepaskan pakaiannya satu per satu. Ia menyadari betapa gadis itu tampak semakin kurus saja.Menggantikan pakaiannya, ia seka tubuh polos itu dengan hati - hati seolah tubuh itu hiasan kaca yang mudah pecah. Ia menelpon dokter, setelah dokter memeriksanya memberikan obat, selesai. Dokter hanya bilang bahwa Lenka sedang stres berat dan butuh istirahat. Ia menungguinya dengan sabar. Berharap wanita itu akan bangun setelahnya. Lalu biarlah gadis itu memakinya, menamparnya atau meludahinya asal dia tidak pergi. Asal kata maaf tak lagi menjadi hal mustahil baginya.Stres berat? Seharusnya dia mengabaikan gadis itu, kenapa ia tidak pernah berpikir tentang seberapa rapuh gadis itu, ke mana saja dia selama ini?Yang ia tahu Lenka gadis kuat, yang tidak dengan mudah tumbang hanya dengan cinta seperti ini. Ia baru sadar seberapa berarti hadirnya untuk wanita itu.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status