Kamis sore, Mas Reza mengundangku dan anggota lainnya di kelompok praktikum untuk bertemu di sebuah cafe. Jujur saja, Mas Reza sekarang lebih terbuka dibanding saat kami pertama mulai praktikum. Memang, dia agak kasar, tetapi dia sangat baik.
“Jadi, kemarin aku meminta informasi ke Mas Sadim, tetapi dia hanya memberikan petunjuk yang tidak jelas. Petunjuknya 5, Nikah, dan Pesawat.”
Aku merenungkan kalimat dari Mas Reza. Apa yang terjadi?
“5 ya? Apakah itu angkatan?” celetuk Ryan. Phaelus menggeleng.
“Tahun ke-5 sepertinya,” komentar Phaelus. Aybe menatapnya heran.
“Tapi dia belum sampai tahun ke-5,” balas Aybe. Aku terpikir sesuatu.
“Semester 5?” ucapku pelan dengan nada bertanya. Mas Reza menaikkan sebelah alisnya, seperti meragukan jawabanku.
“Aku sependapat dengan Dik Nuriya. Sepertinya itu semester 5,” komentar Mba Lesmana. Mba Putri mengangguk setuju, begitu pula Mas Ilham.
“Aku tidak ingat ada pernikahan di semester 5. Kalau soal pesawat...” Mas Reza tampak berpikir.
“Tunggu, bukankah semester 5 itu saat kita semester 3?” tanya Mba Lesmana. Mas Reza mengangguk, lalu melontarkan pertanyaan.
“Emang terjadi apa saat semester 3?” tanya Mas Reza, masih berpikir.
“Kita diakui penuh di jurusan, dan...,” Mba Lesmana tampak tertahan dari berbicara. Ada sesuatu yang membuat lidah senior kami itu kelu.
“Kecelakaan pesawat. Aku ingat saat himpunan meminta donasi,” ucap Mba Putri. Kami menoleh ke arah Mba Putri dengan tatapan terkejut.
“Ah iya. Orang tuanya Mas Hamid,” ucap Mas Reza pelan. Aku termenung. Kalau begitu, apa yang dimaksud dengan ‘nikah’? Apakah tidak ada anggota keluarga besarnya yang mengurusnya?
“Kalimat ‘nikah’ belum terjawab,” komentar Alisa. Mas Reza mengangguk setuju.
“Tidak ada yang nikah semester itu di jurusan kita,” komentar Mba Lesmana. Mas Reza mengangguk setuju.
“Kecuali menghitung alumni, tetapi aku meragukan ada hubungannya,” komentar Mas Reza. Ryan membalas komentar Mas Reza.
“Mungkin saja kan perempuan yang nikah adalah gebetannya Mas Hamid kan?” tanya Ryan. Aybe menyetujui. Aku berpikir itu masuk akal, namun sepertinya bukan itu.
“Kita kekurangan informasi jelas. Intinya kita tahu salah satu faktornya adalah kecelakaan pesawat setahun silam,” komentar Alisa, membantah pertanyaan atau mungkin dapat dikatakan pernyataan Ryan.
“Seingatku, Dik Rahima dan Dik Affa diterima di lab sekitar seminggu setelah kecelakaan itu. Beberapa anak angkatanku yang waktu itu magang lab pemrograman cerita,” komentar Mba Lesmana. Kami kembali berpikir.
“Selama Mas Hamid menjadi asisten, apa saja yang dia lakukan, Mas Mba?” tanyaku setelah pertanyaan itu terbentuk. Mas Reza dan Mba Lesmana tampak berpikir keras.
“Dia awalnya tidak banyak melakukan apa-apa sebelum kecelakaan itu. Hanya saja, dia aktif lomba di awal kuliah. Kecelakaan itu terjadi minggu ke-3 kuliah,” jawab Mba Lesmana. Dia aktif lomba di awal kuliah?
“Apakah Mas Hamid aktif lomba semester sebelumnya?” tanya Alisa. Mas Reza dan Mba Lesmana menggeleng.
“Dia sibuk mengurus akademik saja. IP dia sempat anjlok. Aku baru saja memeriksa profil akademik dia,” komentar Mas Reza. Kalau begitu, ada apa ya...
“Apa yang terjadi selama liburan ya?” gumamku pelan, namun sepertinya Mba Putri mendengarnya.
“Saat liburan, Mas Hamid dan Mas Affa Ayyub diutus keluar negeri,” komentar Mba Putri. Mas Ilham menatap bingung ke arah Mba Putri.
“Aku masih ingat waktu kita orientasi. Mas Affa menjelaskan tentang internasionalisasi,” komentar Mba Putri lagi. Mas Affa... oh iya, mas yang menjelaskan internasionalisasi pula saat angkatanku masih ospek. Masnya lumayan bersahabat sih...
“Saya mohon maaf karena hanya datang sendiri. Perkenalkan nama saya Affa, namun sering dipanggil Arrow. Seharusnya saya bersama Hamid, namun dia sedang memiliki banyak urusan sehingga hanya menitipkan salam untuk kalian, semoga kalian tertarik untuk melakukan internasionalisasi dan memperluas wawasan dan cakrawala kalian dengan materi yang akan saya sendiri sampaikan.”
Kalimat itu terngiang di kepalaku. Kalimat saat Mas Affa, atau dia sendiri lebih menyebut dirinya Arrow, menjelaskan tentang internasionalisasi. Oh, jadi Mas Hamid yang dimaksud masnya waktu itu adalah asisten yang dicap paling killer di antara semua asisten di jurusanku.
“Bicara soal takdir yang menguji kita,” keluh Mas Reza. Kami membubarkan diri, namun aku sempat menyadari ada yang mengawasi kami saat kami kembali ke parkiran untuk mengambil motor.
“Apakah hanya perasaanku?” gumamku pelan seraya mulai menyalakan motorku.
“Bagaimana menurutmu, Affa?” tanya seorang laki-laki dari balik kegelapan lantai tiga gedung X itu. Dari postur tubuhnya bisa ditebak dia lumayan tinggi, sekitar 165 cm-an. Postur tubuh disebelahnya, yang sedikit lebih tinggi, sekitar 170 cm-an melangkah maju sebanyak satu langkah saat motor Nuriya keluar dari parkiran.
“Saat semua orang lebih suka memanggilku Arrow semenjak adiknya datang, kamu justru memanggilku Affa dan dia Legendaria,” komentar Affa seraya menatap tajam ke arah Nuriya yang berjalan ke parkiran. Dia lalu membalikkan arah pandangnya ke tangga lantai itu.
“Aku tidak tahu persis bagaimana ini akan berakhir, tetapi entah mengapa aku punya ekspektasi tertentu,” jawab Affa terhadap pertanyaan temannya. Dia lalu berjalan turun, diikuti temannya.
“Bagaimana dengan X-206?” tanya Affa kepada temannya itu. Temannya menjawab dengan santai.
“Seperti biasa. Anak-anak tahun kedua sekarang jauh lebih menyebalkan dari tahun lalu. Kamu sudah tahu kan?” komentar temannya itu. Affa tersenyum.
“Aku sangat tahu,” jawabnya dan mereka meninggalkan lantai tiga itu.
“Bagaimana kabar Soul?” tanya temannya lagi, “aku belum bisa bertemu empat mata dengannya. Sibuknya menyaingi kepala negara,” komentarnya dengan nada tertawa kecil.
“Ah, dia masih seperti biasa. Cold and stoic,” jawab Affa santai. Di depan X-206, mereka berpisah.
“Sampai jumpa besok. Siapa menginap di X-106?” tanya temannya saat mereka akan berpisah.
“Aku, si beruang, dan tentu saja Legendaria bersama Smile.Princess,” jawab Affa santai. Dia lalu menoleh ke arah temannya sebelum turun tangga.
“Siapa saja yang ada di X-206?” tanya Affa. Temannya menjawab datar, “aku dan Iman.”
“Oke, good night. Mungkin nanti malam aku akan berkunjung.”
“Mas Affa ya?” gumamku saat aku menggosok gigiku. Setelah mempersiapkan diri untuk kuliah hari ini, aku bergegas ke kampus.Jam menunjukkan 10:25 saat aku tiba di kampus. Aku bergegas menuju ruangan kuliah Fisika 1. Untungnya aku kelas jam 10:30, sehingga punya waktu untuk mempersiapkan diri untuk kuliah perdana. Aku membuka diskusi grup yang aku tinggalkan setelah aku tertidur tadi malam saat aku tiba di rumah. Aku tidak sekelas dengan Alisa di Fisika 1. Dia kelas pagi.Reza : “Hei semuanya! Berita bagus! Si Soul bakal sibuk minggu depan!”Lesmana : “En
“Telah terjadi ...”Laki-laki itu mematikan suara dari berita televisi. Dia kembali menatap ke sekumpulan catatan miliknya yang berserakan di mejanya. Gambar sebuah pesawat, sekumpulan daftar nama dan beberapa coretan dengan berbagai gambar serta grafik di dalamnya.“Sepertinya kali ini tidak akan lama dengan lokasi demikian, apalagi dunia masih mengamati kita,” komentar laki-laki itu seraya membenarkan posisinya duduk di salah satu kursi di ruangan itu. Dia lalu menerima sebuah telepon dari seseorang.“Selamat sore?” tanya laki-laki itu seraya men
Aku menyimpan sekumpulan kertas yang berisi laporan tentang maintenance dari motorku. Katakan aku aneh, namun aku memiliki kebiasaan untuk mencatat setiap bagian rusak dan perbaikan dari motorku. Kebiasaan yang aku dapatkan dari terlalu banyak menonton kanal informasi tentang perawatan benda raksasa yang terbang di langit, pesawat terbang.“Mas Arrow, Sudah selesai dengan tugas kuliah Artificial Intelligence?” pertanyaan itu dilontark
“Terima kasih banyak Mas... Arrow,” ucapku sedikit ngelu. Aneh, meskipun aku sudah mengulangnya berkali-kali, nama itu tetap terdengar aneh bagi diriku. Mas Arrow tersenyum.“Kalau ada masalah lain, silahkan hubungi saya. Berlaku untuk semua praktikan. Saya lebih sering bebas daripada kuliah saat ini,” ucap Mas Arrow santai. Entahlah, rasanya aku menyusahkan Mas Arrow, karena dilihat dari pakaian lab yang dia pakai seadanya, ditambah dengan rambut kepalanya yang masih berantakan, dia sepertinya sangat sibuk. Jangan lupakan kantong mata yang jelas sekali terlihat. Namun, dia masih bisa tersenyum.“Baik mas,” ucapku seformal mungkin. Aku selanjutnya memin
“Bagaimana asistensinya?” pertanyaan basa-basi itu dilemparkan oleh Arrow yang sedang sibuk dengan game buatannya. Aku juga melihat beberapa aplikasi berjalan di latar laptop miliknya itu.“Biasa saja, cuma tanpa perlu ceramah karena lebih pintar,” komentarku sekenanya. Arrow tersenyum. Dia lalu mengambil smartphone miliknya dan mengetikkan sesuatu. Biar aku tebak, salah satu dari hobinya, menulis.
Pernahkah kamu merasa takut pada seseorang? Mungkin iya. Aku juga sering merasakannya. Namun, Mas Soul adalah orang pertama yang membuat nyaliku sangat ciut hingga berbicara saja seperti sebuah pisau akan lewat lehermu jika salah berkata. Hari itu, aku belajar ketakutan yang lebih menakutkan daripada saat dulu aku pernah di-bully.“Nuriya, sudah malam, ayo tidur,” ucap ibuku saat memasuki kamarku. Aku tersenyum sebelum menolehkan kepalaku kepada ibuku.“Nuriya masih mengerjakan tugas kuliah bu. Se
Praktikum ketiga dimulai hari ini. Tinggal sedikit lagi kami terbebas dari bencana Mas Soul. Semoga kami dikuatkan. Aku sudah selesai membuat laporan untuk praktikum ini, dan sekarang sedang duduk di kantin kampus bersama Alisa.“Kantin jauh lebih ramai,” komentar Alisa.“Sepertinya jurusan lain?” tanyaku setengah bergumam.“Sepertinya begitu, Nur,” jawab Alisa. Kami melihat
Putri : “Mas Soul akan asistensi besok. Jam 6:30 malam katanya. Gak ada penugasan.”Reza : “ TUMBEN!”Lesmana : “Alhamdulillah.”Ryanho : “Mantap! [OK]”Lesmana : “Yakin nggak ada tugas tambahannya, Dik Putri?”Putri : “Iya mba.”