Pagi ini, setelah mengurusi keperluan Baginda, dan orang nomor satu itu telah duduk di singgasananya, Marta bisa duduk bersantai di halaman belakang. Di dekat kolam ikan koi yang kiri kanannya terdapat tanaman hias indah sekali. Hanyut dalam keindahan suasana itu, ia mencelupkan jemari tangannya. Merasakan geli ketika puluhan ikan itu kesana-kemari melewati sela-sela jarinya. Marta mengikik seorang diri di tempat sunyi ini. Hingga romantismenya bersama ikan-ikan kecil terpecah oleh suara seseorang baru datang. Sosok itu tanpa menunggu jawaban Marta, langsung menjatuhkan badan di sebelah tak jauh. Sementara Marta, tak hanya merasakan gangguan, ia lebih merasa canggung dengan sosok yang ternyata seorang pangeran. "Sendirian saja. Kau sedang apa?" Tanya pria yang mengaku dirinya sebagai bagas, namun Panglima menyebutnya dengan pangeran. Tak langsung menjawab, Marta hanya melirik pria itu sekilas, lalu kembali menunduk ke arah kolam. "Saya sedang bersantai, pangeran."Bagas tersenyum
Namun, di tempat lain terdengar suara pria sedang memaki seseorang. Dan ia kenal suara itu, Baginda. Saat menoleh, memang benar. Di sana ada Baginda sedang berbicara dengan bagas. Marta yang penasaran menajamkan pendengaran. "Jangan berharap lebih, Mahendra. Semua yang ada di sini adalah milik pangeran Mahesa!" Marta mengernyit mendengar pernyataan tegas dari Baginda. Ia yang tak mengerti, mendorong rasa penasarannya lebih tinggi. "Atau kau memang berniat ingin merebut tahta itu dari putra mahkota?" Terlihat jelas, bagaimana Baginda menatap tajam putra bungsunya. Sementara Bagas, yang katanya seorang pangeran itu hanya diam tanpa kata. "Aku peringatkan padamu sekali lagi, Mahendra!" Telunjuk Baginda teracung tegas ke arah bagas, persis di depan mata elang pria muda itu. "Jangan pernah lagi mengungkit tentang anakku!" Setelah itu, sang Raja meninggalkan jejak di dada Mahendra. Memukulkan telunjuk itu di sana, kemudian beranjak pergi. Membiarkan sang pangeran bergelut dengan pikira
Pria nomor satu itu, biasanya akan membutuhkan sesuatu sebelum makan siang tiba. Benar saja, ia diminta menyiapkan pakaian ganti dan aksesoris seorang raja. "Marta, apa kau tidak ingin segera menikah?" Pertanyaan Baginda membuat Marta mengerjap tak mengerti. "Menikah?" Gumamnya. "Iya. Seperti sudah cukup umur, apa kau tidak ingin segera menikah? Atau, memang belum ada calon?" Entah kenapa Baginda menanyakan demikian, tetapi yang jelas Marta terhenyak mendengar pertanyaan itu. Beberapa pertanyaan melintas bebas dalam benak. Teringat Baginda yang pernah memiliki anak dengan seorang pelayan, ia khawatir pria itu masih memiliki niat. "Saya, saya belum siap untuk menikah, Baginda," Jawab Marta apa adanya. "Kenapa?""Saya ingin mencari pengalaman dulu, Baginda.""Pengalaman bisa dicari sembari berjalan, Marta. Kau ini memiliki wajah yang sangat cantik, aku yakin, kau pasti akan menjadi incaran beberapa pria."Termasuk dirinya? Mungkin saja. Karena pria itu selain berambisi untuk menjad
"Tunggu, Marta!" Gadis yang akan memegang gagang pintu itu berhenti, menoleh ke belakang. "Apa lagi?" Tanyanya tanpa embel-embel Baginda lagi. "Jika Baginda. Tetap memaksa, saya akan keluar dari pekerjaan ini." Marta menegaskan, kemudian membuka pintu tanpa peduli dengan tatapan tajam dari Baginda lagi. Tak ada rasa takut meski dirinya berhadapan dengan orang nomor satu di negeri ini. Gadis itu menggerakkan langkah panjang, cepat dan tergesa-gesa. Seperti khawatir jika pria tua tadi tiba-tiba berada di belakangnya. Langkahnya kini tertuju ke halaman belakang, menepati ajakan bagas tadi. Bahkan, ia terlambat beberapa saat. Pria muda bernama bagas telah menunggu di sana, di pinggir kolam bersama ikan-ikan kecil warna-warni. Menyadari Marta datang, pria itu bangkit, menyambut gadis itu dengan menggenggam kedua tangannya. "Kenapa lama sekali, apa baginda berbuat sesuatu padamu?" Cecar Bagas, nampak sekali kekhawatiran dalam wajahnya. Bagaimana tidak, saat ini ia harus bersaing ketat d
"Saya tidak butuh itu?" Setiap jawaban Marta terdengar tegas, tanpa ketakutan sama sekali. " Lalu, apa yang kau butuhkan?" Baginda masih bertanya jengkel. Yang saya butuhkan adalah, kematian Anda! Ingin sekali Marta mengatakan langsung, tetapi harus ditahan kuat-kuat. Ia tak boleh gegabah jika belum ada persiapan lagi. Maka, yang bisa dilakukan saat ini adalah menggeleng tegas. "Pertama, saya memang belum siap menikah. Yang kedua adalah, saya telah berjanji pada kakek saya untuk kembali dan menemaninya menghabiskan sisa hidup. Jadi, saya tidak bisa selamanya berada di tempat ini. Saya mohon baginda mengerti."Tak segera menjawab, baginda hanya melepas nafas berat, kembali duduk seperti kehilangan semangat. "Jadi begitu?" Gumamnya kemudian. "Lagipula, Anda ini sudah berumur, Baginda. Kenapa masih berambisi untuk menikah lagi? Bukannya Anda sudah waktunya untuk menggendong cucu." Tak peduli pada siapapun yang ia ajak bicara saat ini, Marta menegaskan layaknya pada seseorang di bawa
Mereka kembali berlarian di sana. Suara gelak tawanya memang teredam oleh riuh prajurit berlatih, namun ada yang mengamatinya dengan wajah tak suka. "Ehmmm!!" Sebuah deheman berat, menghentikan aksi mereka. Baik Bagas maupun Marta, sama-sama menoleh ke arah yang sama. Keduanya melihat ada panglima berdiri angkuh sambil bersedekap tangan, membuang wajah sinis dari arah mereka. "Oh, rupanya kau, Panglima? Sudah lama anda berada di sini?" Tanya bagas, membimbing lengan Marta untuk mendekat. Tak lantas menjawab, sosok angkuh itu hanya melirik sekilas. Berdecih. Terlihat sekali sikap itu tak menunjukkan rasa hormat sedikitpun pada pangeran Mahendra. Sama seperti Baginda, sikap panglima itu pun sama. Sama-sama senang merendahkan sesama, juga ambisius. Wajar jika panglima itu bertahan lama di istana ini, sebab banyak kecocokan antara dirinya dan Baginda. "Pangeran Mahendra yang terhormat, anda tidak pantas bersikap layaknya anak kecil bersama pelayan di istana ini!" Desis Panglima bernad
"Apa baginda meminta saya untuk mencari kakak?" Bagas bangkit dari duduknya, mendekati sang Ayah yang terlihat benar-benar sedang dirundung nestapa. "Apa kau bersedia?" Tanya Baginda, melirik sekilas anaknya yang belum lama dianggap itu. "Kalau memang dibutuhkan, saya akan sangat bersedia, Baginda." Hingga saat ini bagas memang masih canggung untuk memanggil Baginda dengan, Ayah. Itulah mengapa ia lebih senang berada di luar istana, juga lebih senang disebut dirinya sebagai Bagas. Bukan pangeran Mahendra. "Biar saya saja, Baginda." Dua orang anak dan bapak itu serentak menoleh, terdengar suara panglima muncul entah darimana. "Kau?" Baginda bergumam. "Benar, Baginda. Apa tidak lebih baik saya saja daripada Pangeran Mahendra?""Ah, iya. Kau benar juga." Baginda menyahut, membenarkan usulan Panglima yang baru datang itu. "Baginda. Pangeran Mahesa tetap akan menjadi seorang Raja, bukan?" Tiba-tiba Panglima bertanya entah kenapa. "Kenapa tidak? Aku bahkan sudah menetapkan untuknya s
"Kau akan kaget saat bertemu dengannya nanti.""Pangeran! Pangeran!"Marta bingung, sebab semua orang bubar dari tempat duduknya. Termasuk perempuan yang sejak tadi mengajaknya berdebat. Saat menyadari, rupanya mereka semua berlari ke satu arah yang sama. Menuju ke arah sosok baru datang.Marta pun ikut terhenyak saat melihat seseorang yang datang, yang ia saja bahkan belum pernah melihat sebelumnya. Sosok berdiri di sana, yang terlihat tinggi, gagah, dan seperti pusat magnet pada semua pelayan yang ada di tempat ini. Termasuk Bibi Ratih. Hanya Marta saja yang tertinggal, sebab gadis itu masih sibuk mengamati apa yang sedang terjadi.Beberapa saat setelah melihat kerumunan itu, ia baru sadar. Orang yang tadi sedang dibicarakan kini telah datang. Marta tercengang dengan jemari menutup mulutnya."Benarkah itu pangeran Mahesa?" Gumamnya sangat lirih, dan meskipun ia suarakan agak keras, pasti teredam oleh riuh yang lain.Di sana, terlihat seperti pria rupawan sedang mengamati wajah para