"Tunggu! Biar aku obati lukamu dulu. Apa di mobilmu ada peralatan P3K?" Aku mencari kotak P3K itu di dalam mobil.
"Tidak perlu, Aku baik-baik saja. Ini hanya luka kecil," tolaknya saat akan kuobati.
Aku meneteskan cairan alkohol pada sebuah kapas dan mulai menempelkannya perlahan pada luka disekitar pipi dan sudut bibirnya.
"Aw," ringisnya menahan perih.
"Maaf, tahan sebentar. Aku beri plester terlebih dahulu."
Saat hendak memasangkan plester, tiba-tiba tangan Revan memegang tanganku. Tatapan kami akhirnya bertemu. "Kamu mengingatkanku dengan Liana."
Aku yang tadinya salah tingkah langsung melepaskan tangan Revan. Berusaha mengendalikan diri dan mencoba setenang mungkin.
"Ya, jelas saja. Karena wajah kami mirip, bukan?" Aku lekas merapikan peralatan P3K dan menyimpannya ke tempatnya semula.
Zila, Zila. Tidak sepantasnya aku memikirkan hal konyol itu. Mana mungkin dia akan menyukaiku. Kita hanya partner, jangan coba-coba mencintaiku. Pernyataannya masih ku ingat dengan jelas. Jadi, jangan ke-pe-de-an Zila.
Revan melajukan mobilnya perlahan meninggalkan apartemen. Tidak ada percakapan di antara kami setelah kejadian tadi. Kami saling membisu, tenggelam dalam pikiran kami masing-masing.
"Sebenarnya, kita akan pergi ke mana?" Aku memberanikan diri bertanya, karena sudah hampir setengah jam berkendara, tidak ada tanda dia akan menghentikan laju roda empat miliknya.
"Sebentar lagi kita akan sampai," jawabnya singkat.
"Oh, iya. Tadi kamu dengar, Andra bilang ada seseorang yang bernama Darmendra? Apa jangan-jangan mereka adalah sebuah jaringan besar yang menjual para gadis muda sepertiku? tanyaku pada Revan.
Revan tiba-tiba membanting setirnya ke arah kiri dan menghentikan mobilnya.
"Ada apa?" Aku sangat terkejut dan hampir terpental ke depan. Untungnya seat belt ini berfungsi dengan baik.
"Ada kucing lewat, maaf aku kurang fokus. Kamu tidak apa-apa?" tanyanya cemas.
'Kucing? Di jalan raya seperti ini?' Entah karena apa, Revan seperti terkejut saat aku mengatakan nama Darmendra tadi.
"I-iya, aku baik-baik saja." Jantungku masih berdebar karena shok dengan kejadian yang baru saja terjadi.
Revan kembali melajukan mobilnya. "Maaf, aku akan lebih berhati-hati lagi!"
Tiba di persimpangan jalan, Revan menepikan mobilnya di sebuah bangunan cukup megah berlantai tiga. Di bangunan tersebut terpangpang sebuah logo yang bertuliskan: SALON KECANTIKAN NONAMUDA.
Apa? Jadi dia membawaku ke sebuah salon kecantikan? Untuk apa?
"Kita sudah sampai. Kamu bisa turun!" serunya padaku."Jadi tempat ini yang kamu maksud akan membuat tubuhku rileks?" jawabku sambil mengangkat satu alisku naik.
"Ya, nanti kamu akan terbiasa ke sini. Tempat ini milik adikku, Liana," jawabnya.
"Oh," ucapku seraya mengedarkan pandangan melihat sekitar tempat ini.
Banyak mobil mewah yang terparkir di depan salon. Nyaris tidak ada roda dua yang terparkir di sini.
Ternyata mereka berasal dari keluarga Sultan. Tinggal di apartemen mewah, punya usaha yang 'wah', kendaraan yang bukan kaleng-kaleng. Bahkan tadi Revan berkata, cek seharga dua milyar tidak akan mengurangi hartanya sedikitpun.
"Selamat sore, selamat datang di salon Kecantikan Nonamuda! Ada yang bisa saya bantu?" sapa salah satu resepsionis yang berjaga dengan ramah.
"Siapkan ruang spa VVIP dan suruh Alexa datang menemuiku!" ucap Revan dingin.
"Apa Anda sudah membuat janji dulu sebelumnya, Pak?"
"Bilang saja, Revan ingin bertemu!" serunya.
"Baik, kami akan segera menghubungi beliau. Kami akan persiapan tempat yang Anda pesan. Silakan tunggu sebentar!" jawab resepsionis tadi dengan mengatupkan kedua tangan di depan dada.
Sangat mewah untuk ukuran salon kecantikan, desain ekteriornya yang minimalis tapi memberikan kesan elegan. Setelah masuk ke dalam kita dimanjakan dengan desain interiornya yang sangat cantik, mewah dan tentunya girly styles. Sesuai dengan namanya Nonamuda yang menggambarkan para nonamuda yang memanjakan dirinya dalam perawatan. Wangi aroma terapi menguar ke seluruh ruangan, memberikan rasa nyaman dan ketenangan.
Tidak sampai lima menit menunggu, kami langsung diantarkan menuju tempat yang telah Revan pesan.
"Jadi seperti ini, sebuah salon kecantikan mahal. Apalah dayaku yang hanya bisa sekedar potong rambut di belakang rumah, itu juga oleh ayah sendiri. Tapi untuk hasil, beuh! Jangan diragukan! Banyak anak tetangga yang akhirnya minta ayah potongin rambutnya juga, hahaha ...," ujarku memecah kebisuan diantara kami. Entah mengapa semenjak perjalanan menuju kemari sikap Revan jadi berubah dingin kembali. Seperti ada satu hal yang mengganggu pikirannya.
"Oh, ya? Jadi ini pertama kalinya kamu meninjakkan kaki di tempat seperti ini?" Dia langsung duduk dan merebahkan badannya di sebuah sofa empuk yang tersedia di sini.
"Iya, aku hanya anak kampung yang tidak pernah melakukan perawatan diri. Lagipula, aku tidak terlalu suka dengan hal semacam ini. Membuang-buang waktu dan uang saja, pikirku."
"Kamu salah, seorang wanita itu harus selalu merawat dirinya, terutama gadis sepertimu. Perawatan diri bukan hanya untuk kecantikan semata tapi semua lebih ke menjaga kesehatan dan tentunya menjaga sesuatu yang telah Tuhan berikan untukmu. Bukankah itu termasuk cara kita bersyukur pada Tuhan?" pandangan lurus ke atas langit-langit ruangan.
"Iya, kamu benar. Tapi mungkin semua hanya berlaku bagi mereka yang hanya memiliki uang, bukan? Bagi orang kecil seperti kami, lebih memilih membeli beras dan sayur untuk makan akan lebih berharga dibandingkan harus melakukan perawatan ke tempat seperti ini," pungkasku.
"Well, Itulah salah satu alasan Liana membangun tempat ini. Dia ingin melihat para wanita bisa bangga dengan dirinya dan menjaga dirinya. Asal kamu tahu, biaya perawatan di sini sangat terjangkau oleh semua kalangan. Dan pelayanannya tidak pernah dibedakan. Justru ia lebih mementingkan kalangan biasa dengan memberikan kenyamanan yang sering kalangan atas rasakan."
"Oh, ya? Sepertinya Liana sangat baik dan penyayang?"
"Hmm. Kamu benar, itu hanya sedikit gambaran tentang Liana. Dia hanya ingin memberikan kebahagiaan kepada orang lain." Mata Revan terlihat sembab menahan buliran kristal yang tertahan.
"Maaf, aku tidak bermaksud--" ucapanku tiba-tiba terhenti, suara pintu diketuk mengalihkan perhatian kami berdua.
Tok! Tok! Tok!
Pintu seketika terbuka.
"Ya ampun, Cin? Ke mana aja? Kenapa baru datang lagi?" Seorang pria berpenampilan kemayu tiba-tiba datang memasuki ruangan.
Sejenak dia melihat ke arahku, "hhhhhhaaaaantuu!" pekiknya keras dan langsung berhambur memeluk Revan.
"Hush! Sana!" usir Revan sambil mendorong badan pria kemayu itu menjauh darinya.
"Ma-maaf, bos! Di-dia siapa? Kenapa wajahnya mirip banget sama Nona Liana?" tanyanya heran.
"Nanti aku jelaskan siapa gadis ini," jawab Revan singkat.
Ia terus memindaiku dari atas sampai bawah, memutar tubuhku depan lalu ke belakang.
"Azila," ucapku memperkenalkan diri.
"Alexa," ucapnya manja. Oh ternyata laki-laki kemayu ini yang Revan cari tadi.
'Aku kira seorang wanita yang berpenampilan ala-ala sosialita muda, bukan setengah pria kayak gini, hihihi,' kekehku dalam hati.
"Ya ammmpuuun, ini tangan gadis cantik kok bisa kasar kayak gini, sih?" Dia memegang dan membolak-balikan telapak tanganku.
"Sembarangan!" Aku menarik tanganku darinya. Tapi, Alexa memang benar. Tanganku terasa kasar. Aku baru menyadari hal tersebut.
"Itulah kenapa aku membawanya ke tempat ini. Aku serahkan tugas ini padamu, Lex! Lakukan perawatan terbaik untuknya." Sesaat kemudian Revan beranjak dan berpamitan.
"Lho, kamu mau pergi? Terus aku di sini ...?"
"Perawatan spanya akan memakan waktu lama. Aku keluar sebentar ada suatu hal yang harus aku urus," jawabnya sambil berlalu keluar.
"Yu, kenal di mana sama Bosque? Yu tau, Bos Revan itu paling susah deket sama kaum wanita. Ini untuk pertama kalinya dia membawa wanita selain ibu dan adiknya kemari." Alexa bercerita tanpa kupinta. Sementara itu, tangannya mengambil sesuatu dari dalam lemari.
"Ok, sekarang eyke mau melaksanakan tugas yang Bos Revan kasih. Kamu bisa buka baju kamu dan ganti sama handuk ini?" Alexa menyerahkan sebuah handuk kimono padaku.
"Apa? Aku harus buka baju dan ... ganti pakai handuk ini? Gila! Aku nggak mau!" tolakku menepis handuk yang Alexa beri.
"Duh, Cin. Santai aja. Bukan eyke yang bakal melakukan perawatan spa ini. Ada petugasnya nanti. Kamyu jangan parno duluan dong! Tenang, ya!" ucapnya manja tapi berusaha mencoba menenangkanku.
"Aku bilang tidak mau, apalagi sampai harus membuka baju segala! Aku mau pulang saja!" jawabku ketus.
"Duh, Say! Plis, ya! Jangan bikin hidup eyke syulit. Ya udah, sekarang yu tenang dulu, okey?" ucapnya kemudian.
"Kenapa sih, Revan harus membawaku ke tempat seperti ini?" Aku mengenggak segelas air sampai tidak tersisa. Aku tidak habis pikir bisa-bisanya Revan mengajakku kemari dan sekarang aku malah ditinggal pergi.
"So, nama kamyu Azila? Kenapa muka yu bisa plek-ketiplek banget sih sama Non Liana?" tanya Alexa padaku, dia hampir tak berkedip menatapku.
"Entah, mungkin kami sebenarnya adalah ...
Sore ini, Kediaman Raihanah nampak sedikit ramai. Orang-orang masih terlihat sibuk menata ornamen untuk menyambut kedatangan Revan di rumah ini."Apa nggak berlebihan, Ma? Aku takut Kak Revan malah nggak nyaman dengan penyambutan ini," ungkap Azila saat melihat para pekerja yang tengah sibuk."Mama cuman ingin membuat dia yakin kalau dia masih sangat berharga untuk keluarga kita. Mama sangat senang saat kamu bilang dia mau menginjakkan kakinya lagi di rumah ini. Selama ini, sulit banget buat bujuk diapulang." Tidak ada yang berani membantah perintah Nyonya Besar--kecuali Revan.Namun,tiba-tiba sorot mata itu berubah sendu, seolah mengisyaratkan ada sebuah penyesalan masa lalu yang masih terbayang.Azila yang menyadari hal tesebut, lantas langsung mengganti topik pembicaraan. Ia tidak mau rasa sedih kembali menaungi ibunya. Malam pun tiba, Azila masih berada di kamarnya. Masih berkutat dengan make up yang akan menghi
Semenjak keluar dari rumah sakit, Azila lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar. Membaca novel kesukaannya atau sekedar melukis untuk menghilangkan kejenuhan. Azila yang terus mendesak sang ibu untuk bercerita tentang bagaimana Revan bisa datang ke rumah sakit menemuinya, malah membuatnya kecewa. Sebuah kenyataan, bahwa selama ini mereka telah mengetahui keberadaan Revan. "Kenapa meraka harus menyembunyikan semua ini dariku? Apa cerita mama dan Liana benar adanya? Arggghh!" Rasa frustasi semakin menguasainya. Azila melemparkan tubuhnya sembarang di atas kasur. Pandangannya kosong, ia hanya menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih bersih. Rasa sakit mulai kembali menjalar di kepalanya. Ia mencoba kembali tenang. Perlahan menarik napas panjang, ia tidak mau asam lambungnya kembali membuat dirinya terkapar di rumah sakit."Aku nggak bisa kayak gini terus, aku harus temuin kak Revan dan mendengarnya lan
Liana berusaha bangkit dan mengambil obat yang selalu ia bawa di dalam tas kecilnya. "Aku harus bisa!" Dengan napas yang mulai tersenggal-senggal. Hampir saja ia kembali terjatuh sebelum akhirnya ada seseorang yang berhasil menopang tubuhnya yang kurus."Ya ampuuuun, Non?" ucapnya saat berhasil menahan tubuh Liana agar tidak terjatuh. Ternyata itu Alexa dan perawat pribadi Liana yang datang.Dengan sigap sang perawat segera memberikan obat yang harus Liana minum. "Makasih," katanya dengan lemah."Untungnya kita datang tepat waktu, kalau nggak ya ampiun, Non, Non! Nanti kalau udah tenang Yey harus cerita sama Ekye pokoknya! Sekarang Yey istirahat, kita stand by di sini. Kita bakal jagain Yey dua puluh lima jam kalau perlu!" ucapan Alexa berhasil membuat Liana tersenyum."Sekali lagi terima kasih, kalian seperti malaikat yang Allah kirim untuk aku," ujar Liana lemas. Tidak lama kemudian dia terlihat terlelap
Rasa penasaran pada sosok anak kecil yang berada di samping Revan, sepertinya harus Azila tahan dulu. Dia tidak mau merusak suasana hati yang kini sedang berbunga-bunga. Penantiannya pada pria bertubuh tinggi itu tak lekang oleh waktu. Dan kini, saat sang pujaan berada tepat di hadapannya, rasanya tidak rela harus merusak segalanya. "Sebaiknya nanti saja aku tanyakan tentang anak ini. Tapi tunggu, kenapa wajahnya sangat tidak asing, ya?" gumamnya dalam hati. Menyadari tingkah Azila, Raihanah dan Liana mencoba kembali mencairkan suasana yang mulai sedikit kaku dan ada kecanggungan. Mereka juga tidak tahu kalau Revan akan mengajak serta putri dari adiknya-mendiang Shopia-untuk hadir di acara dadakan hari ini. Awalnya mereka akan memberi kejutan di sebuah hotel berbintang. Tetapi karena Azila tiba-tiba masuk rumah sakit, semua rencana dipindahkan secara mendadak. "Hmmm, kita potong kuenya dulu, ya! Kasian tuh yang lain pada nungguin," pinta Liana pada Azila. "Iya, nih, Teh,
Tak terasa cairan itu kembali lolos membasahi pipinya. Cepat-cepat ia menyusutnya. Ia tidak ingin kembali larut dalam kesedihan. Perlahan Azila menutup kembali matanya, menikmati derasnya hujan yang membasahi tubuhnya. Seolah-olah ia bisa merasakan kehadiran Revan ada di dekatnya. Wangi aroma parfum yang ia kenal tiba-tiba menguar masuk ke dalam setiap hela napasnya."Bahkan wangi aroma tubuhmu masih bisa kuingat dengan baik." Azila menarik napas panjang, merasakan aroma parfum yang semakin dekat dengan dirinya."Tunggu! Wangi ini ...?" Azila mengendus wangi parfum itu tanpa membuka matanya."Nggak mungkin itu dia, sepertinya aku terlalu berharap kalau sekarang dia ada di depanku," ucapnya pelan.Tiba-tiba kepalanya terasa sakit dan berputar, perutnya juga mulai terasa mual, mungkin karena Azila seharian ini belum makan. Rencananya ia ingin makan bersama dengan Bi Nani dan Danur. "Neng, Bibi udah nemuin payung--, Yaa Allah, Neng? Kamu kenapa, Neng?" teriak Bi Nani terkejut. Ia berlar
"Sebuah jurang seperti sengaja dibuat untuk memisahkan kita. Seharusnya aku tahu diri, sejak awal, rasa ini tidak sepatutnya ada. Tapi, kenapa ...? Kenapa kamu tidak berterus terang di awal kalau rasa ini berbalas? Kenapa kamu harus pergi dengan menyisakan rasa bersalah yang besar di hidupku? Dan kini, kenapa kamu harus kembali saat aku berusaha keras untuk melupakan semua tentangmu?" Azila tertunduk lesu menatap sebuah foto yang berada di sebuah ruang kerja yang dulu adalah milik 'sang kakak'.Gadis itu akhirnya menangis sejadi-jadinya sesaat setelah mengirimkan sebuah pesan kepada sang ibu, kalau dirinya memutuskan untuk membatalkan perjodohan ini.Langit kini berubah gelap, bintang-bintang sudah menampakan dirinya untuk menemani sang bulan menyinari malam yang syahdu. Suara daun-daun yang bergesekan karena tertiup angin malam, seolah berbisik lirih menyampaikan pesan rindu yang telah lama ditunggu. "Ya Rabb, hamba sungguh ikhlas dengan segala ketentuan yang telah Engkau gariskan un