Share

Bab 7. Salon Kecantikan?

"Tunggu! Biar aku obati lukamu dulu. Apa di mobilmu ada peralatan P3K?" Aku mencari kotak P3K itu di dalam mobil. 

"Tidak perlu, Aku baik-baik saja. Ini hanya luka kecil," tolaknya saat akan kuobati. 

Aku meneteskan cairan alkohol pada sebuah kapas dan mulai menempelkannya perlahan pada luka disekitar pipi dan sudut bibirnya. 

"Aw," ringisnya menahan perih. 

"Maaf, tahan sebentar. Aku beri plester terlebih dahulu."

Saat hendak memasangkan plester, tiba-tiba tangan Revan memegang tanganku. Tatapan kami akhirnya bertemu. "Kamu mengingatkanku dengan Liana."

Aku yang tadinya salah tingkah langsung melepaskan tangan Revan. Berusaha mengendalikan diri dan mencoba setenang mungkin. 

"Ya, jelas saja. Karena wajah kami mirip, bukan?" Aku lekas merapikan peralatan P3K dan menyimpannya ke tempatnya semula. 

Zila, Zila. Tidak sepantasnya aku memikirkan hal konyol itu. Mana mungkin dia akan menyukaiku. Kita hanya partner, jangan coba-coba mencintaiku. Pernyataannya masih ku ingat dengan jelas. Jadi, jangan ke-pe-de-an Zila. 

Revan melajukan mobilnya perlahan meninggalkan apartemen. Tidak ada percakapan di antara kami setelah kejadian tadi. Kami saling membisu, tenggelam dalam pikiran kami masing-masing.

"Sebenarnya, kita akan pergi ke mana?" Aku memberanikan diri bertanya, karena sudah hampir setengah jam berkendara, tidak ada tanda dia akan menghentikan laju roda empat miliknya.

"Sebentar lagi kita akan sampai," jawabnya singkat.

"Oh, iya. Tadi kamu dengar, Andra bilang ada seseorang yang bernama Darmendra? Apa jangan-jangan mereka adalah sebuah jaringan besar yang menjual para gadis muda sepertiku? tanyaku pada Revan. 

Revan tiba-tiba membanting setirnya ke arah kiri dan menghentikan mobilnya.

"Ada apa?" Aku sangat terkejut dan hampir terpental ke depan. Untungnya seat belt ini berfungsi dengan baik.

"Ada kucing lewat, maaf aku kurang fokus. Kamu tidak apa-apa?" tanyanya cemas.

'Kucing? Di jalan raya seperti ini?' Entah karena apa, Revan seperti terkejut saat aku mengatakan nama Darmendra tadi.

"I-iya, aku baik-baik saja." Jantungku masih berdebar karena shok dengan kejadian yang baru saja terjadi.

Revan kembali melajukan mobilnya. "Maaf, aku akan lebih berhati-hati lagi!"

Tiba di persimpangan jalan, Revan menepikan mobilnya di sebuah bangunan cukup megah berlantai tiga. Di bangunan tersebut terpangpang sebuah logo yang bertuliskan: SALON KECANTIKAN NONAMUDA.

Apa? Jadi dia membawaku ke sebuah salon kecantikan? Untuk apa?

"Kita sudah sampai. Kamu bisa turun!" serunya padaku.

"Jadi tempat ini yang kamu maksud akan membuat tubuhku rileks?" jawabku sambil mengangkat satu alisku naik.

"Ya, nanti kamu akan terbiasa ke sini. Tempat ini milik adikku, Liana," jawabnya.

"Oh," ucapku seraya mengedarkan pandangan melihat sekitar tempat ini.

Banyak mobil mewah yang terparkir di depan salon. Nyaris tidak ada roda dua yang terparkir di sini. 

Ternyata mereka berasal dari keluarga Sultan. Tinggal di apartemen mewah, punya usaha yang 'wah', kendaraan yang bukan kaleng-kaleng. Bahkan tadi Revan berkata, cek seharga dua milyar tidak akan mengurangi hartanya sedikitpun.

"Selamat sore, selamat datang di salon Kecantikan Nonamuda! Ada yang bisa saya bantu?" sapa salah satu resepsionis yang berjaga dengan ramah.

"Siapkan ruang spa VVIP dan suruh Alexa datang menemuiku!" ucap Revan dingin. 

"Apa Anda sudah membuat janji dulu sebelumnya, Pak?"

"Bilang saja, Revan ingin bertemu!" serunya. 

"Baik, kami akan segera menghubungi beliau. Kami akan persiapan tempat yang Anda pesan. Silakan tunggu sebentar!" jawab resepsionis tadi dengan mengatupkan kedua tangan di depan dada.

Sangat mewah untuk ukuran salon kecantikan, desain ekteriornya yang minimalis tapi memberikan kesan elegan. Setelah masuk ke dalam kita dimanjakan dengan desain interiornya yang sangat cantik, mewah dan tentunya girly styles. Sesuai dengan namanya Nonamuda yang menggambarkan para nonamuda yang memanjakan dirinya dalam perawatan. Wangi aroma terapi menguar ke seluruh ruangan, memberikan rasa nyaman dan ketenangan.

Tidak sampai lima menit menunggu, kami langsung diantarkan menuju tempat yang telah Revan pesan.

"Jadi seperti ini, sebuah salon kecantikan mahal. Apalah dayaku yang hanya bisa sekedar potong rambut di belakang rumah, itu juga oleh ayah sendiri. Tapi untuk hasil, beuh! Jangan diragukan! Banyak anak tetangga yang akhirnya minta ayah potongin rambutnya juga, hahaha ...," ujarku memecah kebisuan diantara kami. Entah mengapa semenjak perjalanan menuju kemari sikap Revan jadi berubah dingin kembali. Seperti ada satu hal yang mengganggu pikirannya.

"Oh, ya? Jadi ini pertama kalinya kamu meninjakkan kaki di tempat seperti ini?" Dia langsung duduk dan merebahkan badannya di sebuah sofa empuk yang tersedia di sini.

"Iya, aku hanya anak kampung yang tidak pernah melakukan perawatan diri. Lagipula, aku tidak terlalu suka dengan hal semacam ini. Membuang-buang waktu dan uang saja, pikirku."

"Kamu salah, seorang wanita itu harus selalu merawat dirinya, terutama gadis sepertimu. Perawatan diri bukan hanya untuk kecantikan semata tapi semua lebih ke menjaga kesehatan dan tentunya menjaga sesuatu yang telah Tuhan berikan untukmu. Bukankah itu termasuk cara kita bersyukur pada Tuhan?" pandangan lurus ke atas langit-langit ruangan. 

"Iya, kamu benar. Tapi mungkin semua hanya berlaku bagi mereka yang hanya memiliki uang, bukan? Bagi orang kecil seperti kami, lebih memilih membeli beras dan sayur untuk makan akan lebih berharga dibandingkan harus melakukan perawatan ke tempat seperti ini," pungkasku. 

"Well, Itulah salah satu alasan Liana membangun tempat ini. Dia ingin melihat para wanita bisa bangga dengan dirinya dan menjaga dirinya. Asal kamu tahu, biaya perawatan di sini sangat terjangkau oleh semua kalangan. Dan pelayanannya tidak pernah dibedakan. Justru ia lebih mementingkan kalangan biasa dengan memberikan kenyamanan yang sering kalangan atas rasakan."

"Oh, ya? Sepertinya Liana sangat baik dan penyayang?"

"Hmm. Kamu benar, itu hanya sedikit gambaran tentang Liana. Dia hanya ingin memberikan kebahagiaan kepada orang lain." Mata Revan terlihat sembab menahan buliran kristal yang tertahan.

"Maaf, aku tidak bermaksud--" ucapanku tiba-tiba terhenti, suara pintu diketuk mengalihkan perhatian kami berdua.

Tok! Tok! Tok!

Pintu seketika terbuka.

"Ya ampun, Cin? Ke mana aja? Kenapa baru datang lagi?" Seorang pria berpenampilan kemayu tiba-tiba datang memasuki ruangan.

Sejenak dia melihat ke arahku, "hhhhhhaaaaantuu!" pekiknya keras dan langsung berhambur memeluk Revan.

"Hush! Sana!" usir Revan sambil mendorong badan pria kemayu itu menjauh darinya.

"Ma-maaf, bos! Di-dia siapa? Kenapa wajahnya mirip banget sama Nona Liana?" tanyanya heran.

"Nanti aku jelaskan siapa gadis ini," jawab Revan singkat.

Ia terus memindaiku dari atas sampai bawah, memutar tubuhku depan lalu ke belakang.

"Azila," ucapku memperkenalkan diri.

"Alexa," ucapnya manja. Oh ternyata laki-laki kemayu ini yang Revan cari tadi.

'Aku kira seorang wanita yang berpenampilan ala-ala sosialita muda, bukan setengah pria kayak gini, hihihi,' kekehku dalam hati.

"Ya ammmpuuun, ini tangan gadis cantik kok bisa kasar kayak gini, sih?" Dia memegang dan membolak-balikan telapak tanganku.

"Sembarangan!" Aku menarik tanganku darinya. Tapi, Alexa memang benar. Tanganku terasa kasar. Aku baru menyadari hal tersebut.

"Itulah kenapa aku membawanya ke tempat ini. Aku serahkan tugas ini padamu, Lex! Lakukan perawatan terbaik untuknya." Sesaat kemudian Revan beranjak dan berpamitan.

"Lho, kamu mau pergi? Terus aku di sini ...?"

"Perawatan spanya akan memakan waktu lama. Aku keluar sebentar ada suatu hal yang harus aku urus," jawabnya sambil berlalu keluar.

"Yu, kenal di mana sama Bosque? Yu tau, Bos Revan itu paling susah deket sama kaum wanita. Ini untuk pertama kalinya dia membawa wanita selain ibu dan adiknya kemari." Alexa bercerita tanpa kupinta. Sementara itu, tangannya mengambil sesuatu dari dalam lemari. 

"Ok, sekarang eyke mau melaksanakan tugas yang Bos Revan kasih. Kamu bisa buka baju kamu dan ganti sama handuk ini?" Alexa menyerahkan sebuah handuk kimono padaku.

"Apa? Aku harus buka baju dan ... ganti pakai handuk ini? Gila! Aku nggak mau!" tolakku menepis handuk yang Alexa beri.

"Duh, Cin. Santai aja. Bukan eyke yang bakal melakukan perawatan spa ini. Ada petugasnya nanti. Kamyu jangan parno duluan dong! Tenang, ya!" ucapnya manja tapi berusaha mencoba menenangkanku.

"Aku bilang tidak mau, apalagi sampai harus membuka baju segala! Aku mau pulang saja!" jawabku ketus.

"Duh, Say! Plis, ya! Jangan bikin hidup eyke syulit. Ya udah, sekarang yu tenang dulu, okey?" ucapnya kemudian.

"Kenapa sih, Revan harus membawaku ke tempat seperti ini?" Aku mengenggak segelas air sampai tidak tersisa. Aku tidak habis pikir bisa-bisanya Revan mengajakku kemari dan sekarang aku malah ditinggal pergi.

"So, nama kamyu Azila? Kenapa muka yu bisa plek-ketiplek banget sih sama Non Liana?" tanya Alexa padaku, dia hampir tak berkedip menatapku.

"Entah, mungkin kami sebenarnya adalah ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status