Share

Bab 6. Bertemu Andra.

"Kenapa? Apa uangnya kurang?" tanya Revan kemudian. 

"Tidak, ini terlalu banyak, aku tidak bisa menerimanya," jawabku seraya menyerahkan cek itu kembali. 

"Bukankah kamu ingin terbebas dari para rentenir itu? Terus kenapa kamu tidak mau menerima cek dariku? Tenang saja, uangku tidak akan berkurang hanya karena cek yang kuberikan padamu!" ucapnya enteng. Ia sedikit menyombongkan harta yang dimilikinya. 

Tentu saja, baginya uang mungkin tidak bernilai. Ketika kita memiliki privilege dan orang dalam kekuasaan sudah pasti dalam genggaman. 

"Tetap saja, bagiku ini terlalu banyak! Aku bukan orang yang suka memanfaatkan keadaan!" tolakku lagi. 

"Sudahlah, lebih baik kamu terima! Anggap saja itu bayaran untuk kontrak kerja yang nanti akan kamu lakukan," ujarnya santai sambil sesekali menyantap hidangan yang tersaji di hadapannya. 

"Terima kasih atas bantuanmu," ucapnya kemudian. 

"Harusnya aku yang berterima kasih. Karena sudah mau membantuku keluar dari masalah yang saat ini hampir membuatku gila."

"Anggap saja kita ini sebuah simbiosis mutualisme, kita sama-sama diuntungkan, bukan?" Lesung pipinya kembali terlihat. 

"Omong-omong, apa rencanamu setelah ini?" 

"Aku--" 

Drtttt! Drtttt! Seketika pandangannya langsung tertuju pada layar ponselnya yang ia simpan di atas meja. 

"Maaf, tahan dulu jawabannya! Aku harus mengangkat dulu telepon penting ini!" Revan beranjak dan sedikit menjauh untuk menjawab telepon yang baru saja masuk. 

Aku memainkan ponselku untuk melepas jenuh, karena lama menunggu Revan. Sesekali aku menyeruput minuman yang Revan pesan untukku, hingga tidak terasa minuman itu telah habis tak tersisa. 

Sepuluh menit berlalu, Revan masih asyik menjawab panggilan tersebut. Aku mencoba mengedarkan pandangan melihat sekeliling cafe. Saat pandangan ini mengarah ke pintu masuk, tidak sengaja mata ini menangkap sesosok pria muda dan seorang wanita yang sedang menggelayut mesra di tangan sang pria. 

"Bukankah itu ... Andra? Siapa wanita yang bersamanya!" gumamku lirih. Aku langsung tertunduk dan kembali memakai masker. Aku tidak mau dia sampai melihatku. 

Andra adalah temanku yang seminggu lalu memberiku tawaran donor ginjal untuk saudaranya yang sedang sakit dengan bayaran yang menggiurkan tentunya. Karena bertemu dengan ibunya Revan, aku tidak jadi mendonorkan ginjal ini. Dia sangat marah karena aku tidak datang ke kantornya. Aku sudah menjelaskan semuanya tapi dia tetap tidak percaya. 

Aku melirik ke arah mereka. Gawat! Dia datang menghampiriku. Apa tadi dia sempat melihatku? Bagaimana ini? Dia semakin mendekat. 

Huft, ternyata Andra dan wanita itu menuju kursi yang berada di depanku. Tunggu! Apa yang kulakukan? Kenapa aku harus ketakutan seperti ini saat melihatnya? Bayarannya saja belum aku ambil, bukan? 

Revan sepertinya telah selesai dengan urusannya. Dia kembali duduk bersamaku. 

"Kamu kenapa?" tanyanya heran saat melihatku kembali memakai masker dan terus tertunduk. 

"Tidak apa-apa. Apa ada lagi hal yang mau kamu sampaikan? Jika tidak ada aku --," ucapanku tiba-tiba terpotong saat tidak sengaja aku mendengar percakapan Andra dan teman wanitanya menyebut namaku. 

"Sial, kemarin hampir saja aku berhasil mendapatkan bayaran dari pekerjaanku menjual si Azila. Aku sudah mengeluarkan uang untuk tes ginjal palsu itu. Kalau saja aku tahu dia tidak akan datang ke kantor itu, aku pasti akan langsung menjemputnya. Aku mengalami kerugian yang besar karena Tuan Darmendra kecewa gadis yang aku janjikan tidak datang." 

"Suttt, pelankan suaramu! Di sini banyak orang."

"Apa, jadi kemarin dia mau menjualku? Dasar bedebah!" Tanganku mengepal kuat menahan amarah. 

"Hai, ada apa denganmu? Mengapa kamu bersikap aneh seperti ini?" tanyanya lagi. Aku memberi Revan isyarat untuk diam tak bersuara. Aku menunjuk ke arah Andra dan sepertinya Revan mengerti maksudku. Aku diam-diam merekam apa yang mereka bicarakan. 

"Memangnya apa istimewa sih , teman kamu yang bernama Azila itu?" 

"Dia cantik dan memiliki tubuh yang indah. Kalau saja aku berhasil menjadikannya bagian dari bisnis ini. Aku bisa kaya raya, karena tentunya pasti bakal banyak pria-pria tua kaya yang mau dengan dirinya. Dia itu aset untukku!"

'Kurang ajar kau, Andra!'

"Emang aku kalah cantik sama dia?"

"Tentu saja, kamu yang paling cantik, Sayang. Aku tidak akan rela menjadikanmu santapan para pria hidung belang itu. Kamu hanya untukku!"

Cih, jijik sekali aku mendengar bualannya. Amarahku sudah tidak tertahan. 

"Oh, jadi gitu ya!" ucapku saat menghampiri Andra. 

"Zila? Ngapain kamu ada di tempat ini?" tanyanya dengan wajah yang terkejut saat melihatku. 

"Selama ini aku kira kamu orang baik mau menolongku keluar dari masalah ini. Ternyata kamu bedebah, pria berhati serigala!"

Byur! 

Tanpa pikir panjang, aku menumpahkan minuman yang ada di meja ke arah wajahnya. 

"Apa-apaan ini?" Dia bangkit berdiri. Tangannya langsung melayang, hampir saja mengenai wajahku. Tapi, Revan datang dan berhasil menepis tangan Andra. Wanitanya hanya bisa berteriak histeris menyaksikan Revan tiba-tiba memukul Andra. Andra langsung tersungkur ke lantai. 

"Siapa kamu? Jangan ikut campur urusanku!" Andra bangkit berdiri dan bersiap kembali memukul Revan. 

Hiah! 

Perkelahian Andra dan Revan tidak terelakkan. Kekacauan yang terjadi langsung mengundang perhatian semua orang. 

Tidak berselang lama, seorang petugas keamanan datang menghampiri kami. Akhirnya kami semua dibawa ke kantor keamanan apartemen. 

"Maaf, Tuan Revan. Sebenarnya ada apa ini? tanya security itu kepada Revan. 

"Pria ini adalah seorang penjahat, Pak!" ucapku geram melihat Andra. 

"Apa buktinya kalau aku seorang penjahat, hah!?" sungut Andra, ia melihatku dengan penuh amarah.

"Tenang Zil, tahan emosimu! Sekarang, berikan ponselmu pada Bapak ini!" Revan memintaku untuk tenang. Aku lantas menyerahkan bukti rekaman percakapan tadi kepada kepala keamanan. 

Di dalam video terlihat jelas apa yang tadi Andra ucapkan. 

"Coba jelaskan kronologinya dari awal!" pinta kepala keamanan itu kepadaku. 

"Jadi gini, Pak. Hampir saja saya tertipu oleh laki-laki biadab ini. Seminggu yang lalu saya mendapat tawaran donor ginjal dari teman kurang ajar saya ini. Saya yang sedang kesulitan keuangan akhirnya tergiur dengan tawaran yang yang dia janjikan. Ternyata baru saya tau, kemarin saya akan dijual kepada pria hidung belang kalau saja saya datang ke tempat yang telah mereka janjikan. Untungnya karena suatu sebab saya tidak datang ke tempat mereka. Kalau tidak, saya tidak tahu nasib saya sekarang bagaimana," jelasku panjang lebar. 

"Benar yang dikatakan gadis ini?" 

"Fitnah, semua itu hanya fitnah, Pak! Saya bukan penjahat seperti yang dia bilang."

"Sudah, Pak. Bawa saja laki-laki ini ke kantor polisi. Buktinya sudah jelas. Lagi pula lelaki payah seperti dia harus diberi pelajaran, biar jera!" seru Revan tegas. 

"Baik, Tuan Revan. Kami akan proses laki-laki ini dan akan kami serahkan kepada pihak kepolisian. Terima kasih atas laporannya!" ujar kepala keamanan itu sambil berjabat tangan. 

"Tidak, jangan Pak! Jangan bawa saya ke kantor polisi. Saya tidak ada sangkut pautnya dengan masalah ini," ucap si wanita sambil menangis memohon agar tidak dibawa ke kantor polisi. 

"Heuh, kalian tunggu saja pembalasan dariku karena telah mempermalukan aku seperti ini!" ancam Andra kepadaku dan Revan. 

"Sudah-sudah! Kalian berdua ikut kami ke kantor polisi," seru kepala keamanan dengan tegas. Mereka memberontak saat para petugas itu membawa mereka paksa. 

"Aku tidak habis pikir, tega sekali dia mau menipuku dan berniat akan menjualku," ujarku geram pada Revan. Aku menarik penuh udara sekitar dan menghembuskannya secara kasar. 

"Well, aku suka melihatmu ketika kamu marah seperti tadi. Kamu terlihat semakin ... cantik!" ucapnya sambil mengusap lembut pucuk kepalaku. Jantungku dibuat tak karuan dengan sikapnya yang seperti ini. Oh, Tuhan. 

"Mari kita pergi dari sini! Aku akan ajak kau ke suatu tempat yang akan membuat tubuhmu lebih rileks," ajaknya sambil mengapit kedua tanganku. 

'Suatu tempat yang akan membuat tubuhmu rileks? Tempat seperti apa yang dia maksud?' 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status