"Kenapa? Apa uangnya kurang?" tanya Revan kemudian.
"Tidak, ini terlalu banyak, aku tidak bisa menerimanya," jawabku seraya menyerahkan cek itu kembali.
"Bukankah kamu ingin terbebas dari para rentenir itu? Terus kenapa kamu tidak mau menerima cek dariku? Tenang saja, uangku tidak akan berkurang hanya karena cek yang kuberikan padamu!" ucapnya enteng. Ia sedikit menyombongkan harta yang dimilikinya.
Tentu saja, baginya uang mungkin tidak bernilai. Ketika kita memiliki privilege dan orang dalam kekuasaan sudah pasti dalam genggaman.
"Tetap saja, bagiku ini terlalu banyak! Aku bukan orang yang suka memanfaatkan keadaan!" tolakku lagi.
"Sudahlah, lebih baik kamu terima! Anggap saja itu bayaran untuk kontrak kerja yang nanti akan kamu lakukan," ujarnya santai sambil sesekali menyantap hidangan yang tersaji di hadapannya.
"Terima kasih atas bantuanmu," ucapnya kemudian.
"Harusnya aku yang berterima kasih. Karena sudah mau membantuku keluar dari masalah yang saat ini hampir membuatku gila."
"Anggap saja kita ini sebuah simbiosis mutualisme, kita sama-sama diuntungkan, bukan?" Lesung pipinya kembali terlihat.
"Omong-omong, apa rencanamu setelah ini?"
"Aku--"
Drtttt! Drtttt! Seketika pandangannya langsung tertuju pada layar ponselnya yang ia simpan di atas meja.
"Maaf, tahan dulu jawabannya! Aku harus mengangkat dulu telepon penting ini!" Revan beranjak dan sedikit menjauh untuk menjawab telepon yang baru saja masuk.
Aku memainkan ponselku untuk melepas jenuh, karena lama menunggu Revan. Sesekali aku menyeruput minuman yang Revan pesan untukku, hingga tidak terasa minuman itu telah habis tak tersisa.
Sepuluh menit berlalu, Revan masih asyik menjawab panggilan tersebut. Aku mencoba mengedarkan pandangan melihat sekeliling cafe. Saat pandangan ini mengarah ke pintu masuk, tidak sengaja mata ini menangkap sesosok pria muda dan seorang wanita yang sedang menggelayut mesra di tangan sang pria.
"Bukankah itu ... Andra? Siapa wanita yang bersamanya!" gumamku lirih. Aku langsung tertunduk dan kembali memakai masker. Aku tidak mau dia sampai melihatku.
Andra adalah temanku yang seminggu lalu memberiku tawaran donor ginjal untuk saudaranya yang sedang sakit dengan bayaran yang menggiurkan tentunya. Karena bertemu dengan ibunya Revan, aku tidak jadi mendonorkan ginjal ini. Dia sangat marah karena aku tidak datang ke kantornya. Aku sudah menjelaskan semuanya tapi dia tetap tidak percaya.
Aku melirik ke arah mereka. Gawat! Dia datang menghampiriku. Apa tadi dia sempat melihatku? Bagaimana ini? Dia semakin mendekat.
Huft, ternyata Andra dan wanita itu menuju kursi yang berada di depanku. Tunggu! Apa yang kulakukan? Kenapa aku harus ketakutan seperti ini saat melihatnya? Bayarannya saja belum aku ambil, bukan?
Revan sepertinya telah selesai dengan urusannya. Dia kembali duduk bersamaku.
"Kamu kenapa?" tanyanya heran saat melihatku kembali memakai masker dan terus tertunduk.
"Tidak apa-apa. Apa ada lagi hal yang mau kamu sampaikan? Jika tidak ada aku --," ucapanku tiba-tiba terpotong saat tidak sengaja aku mendengar percakapan Andra dan teman wanitanya menyebut namaku.
"Sial, kemarin hampir saja aku berhasil mendapatkan bayaran dari pekerjaanku menjual si Azila. Aku sudah mengeluarkan uang untuk tes ginjal palsu itu. Kalau saja aku tahu dia tidak akan datang ke kantor itu, aku pasti akan langsung menjemputnya. Aku mengalami kerugian yang besar karena Tuan Darmendra kecewa gadis yang aku janjikan tidak datang."
"Suttt, pelankan suaramu! Di sini banyak orang."
"Apa, jadi kemarin dia mau menjualku? Dasar bedebah!" Tanganku mengepal kuat menahan amarah.
"Hai, ada apa denganmu? Mengapa kamu bersikap aneh seperti ini?" tanyanya lagi. Aku memberi Revan isyarat untuk diam tak bersuara. Aku menunjuk ke arah Andra dan sepertinya Revan mengerti maksudku. Aku diam-diam merekam apa yang mereka bicarakan.
"Memangnya apa istimewa sih , teman kamu yang bernama Azila itu?"
"Dia cantik dan memiliki tubuh yang indah. Kalau saja aku berhasil menjadikannya bagian dari bisnis ini. Aku bisa kaya raya, karena tentunya pasti bakal banyak pria-pria tua kaya yang mau dengan dirinya. Dia itu aset untukku!"
'Kurang ajar kau, Andra!'
"Emang aku kalah cantik sama dia?"
"Tentu saja, kamu yang paling cantik, Sayang. Aku tidak akan rela menjadikanmu santapan para pria hidung belang itu. Kamu hanya untukku!"
Cih, jijik sekali aku mendengar bualannya. Amarahku sudah tidak tertahan.
"Oh, jadi gitu ya!" ucapku saat menghampiri Andra.
"Zila? Ngapain kamu ada di tempat ini?" tanyanya dengan wajah yang terkejut saat melihatku.
"Selama ini aku kira kamu orang baik mau menolongku keluar dari masalah ini. Ternyata kamu bedebah, pria berhati serigala!"
Byur!
Tanpa pikir panjang, aku menumpahkan minuman yang ada di meja ke arah wajahnya.
"Apa-apaan ini?" Dia bangkit berdiri. Tangannya langsung melayang, hampir saja mengenai wajahku. Tapi, Revan datang dan berhasil menepis tangan Andra. Wanitanya hanya bisa berteriak histeris menyaksikan Revan tiba-tiba memukul Andra. Andra langsung tersungkur ke lantai.
"Siapa kamu? Jangan ikut campur urusanku!" Andra bangkit berdiri dan bersiap kembali memukul Revan.
Hiah!
Perkelahian Andra dan Revan tidak terelakkan. Kekacauan yang terjadi langsung mengundang perhatian semua orang.
Tidak berselang lama, seorang petugas keamanan datang menghampiri kami. Akhirnya kami semua dibawa ke kantor keamanan apartemen.
"Maaf, Tuan Revan. Sebenarnya ada apa ini? tanya security itu kepada Revan.
"Pria ini adalah seorang penjahat, Pak!" ucapku geram melihat Andra.
"Apa buktinya kalau aku seorang penjahat, hah!?" sungut Andra, ia melihatku dengan penuh amarah.
"Tenang Zil, tahan emosimu! Sekarang, berikan ponselmu pada Bapak ini!" Revan memintaku untuk tenang. Aku lantas menyerahkan bukti rekaman percakapan tadi kepada kepala keamanan.
Di dalam video terlihat jelas apa yang tadi Andra ucapkan.
"Coba jelaskan kronologinya dari awal!" pinta kepala keamanan itu kepadaku.
"Jadi gini, Pak. Hampir saja saya tertipu oleh laki-laki biadab ini. Seminggu yang lalu saya mendapat tawaran donor ginjal dari teman kurang ajar saya ini. Saya yang sedang kesulitan keuangan akhirnya tergiur dengan tawaran yang yang dia janjikan. Ternyata baru saya tau, kemarin saya akan dijual kepada pria hidung belang kalau saja saya datang ke tempat yang telah mereka janjikan. Untungnya karena suatu sebab saya tidak datang ke tempat mereka. Kalau tidak, saya tidak tahu nasib saya sekarang bagaimana," jelasku panjang lebar.
"Benar yang dikatakan gadis ini?"
"Fitnah, semua itu hanya fitnah, Pak! Saya bukan penjahat seperti yang dia bilang."
"Sudah, Pak. Bawa saja laki-laki ini ke kantor polisi. Buktinya sudah jelas. Lagi pula lelaki payah seperti dia harus diberi pelajaran, biar jera!" seru Revan tegas.
"Baik, Tuan Revan. Kami akan proses laki-laki ini dan akan kami serahkan kepada pihak kepolisian. Terima kasih atas laporannya!" ujar kepala keamanan itu sambil berjabat tangan.
"Tidak, jangan Pak! Jangan bawa saya ke kantor polisi. Saya tidak ada sangkut pautnya dengan masalah ini," ucap si wanita sambil menangis memohon agar tidak dibawa ke kantor polisi.
"Heuh, kalian tunggu saja pembalasan dariku karena telah mempermalukan aku seperti ini!" ancam Andra kepadaku dan Revan.
"Sudah-sudah! Kalian berdua ikut kami ke kantor polisi," seru kepala keamanan dengan tegas. Mereka memberontak saat para petugas itu membawa mereka paksa.
"Aku tidak habis pikir, tega sekali dia mau menipuku dan berniat akan menjualku," ujarku geram pada Revan. Aku menarik penuh udara sekitar dan menghembuskannya secara kasar.
"Well, aku suka melihatmu ketika kamu marah seperti tadi. Kamu terlihat semakin ... cantik!" ucapnya sambil mengusap lembut pucuk kepalaku. Jantungku dibuat tak karuan dengan sikapnya yang seperti ini. Oh, Tuhan.
"Mari kita pergi dari sini! Aku akan ajak kau ke suatu tempat yang akan membuat tubuhmu lebih rileks," ajaknya sambil mengapit kedua tanganku.
'Suatu tempat yang akan membuat tubuhmu rileks? Tempat seperti apa yang dia maksud?'
"Tunggu! Biar aku obati lukamu dulu. Apa di mobilmu ada peralatan P3K?" Aku mencari kotak P3K itu di dalam mobil. "Tidak perlu, Aku baik-baik saja. Ini hanya luka kecil," tolaknya saat akan kuobati. Aku meneteskan cairan alkohol pada sebuah kapas dan mulai menempelkannya perlahan pada luka disekitar pipi dan sudut bibirnya. "Aw," ringisnya menahan perih. "Maaf, tahan sebentar. Aku beri plester terlebih dahulu." Saat hendak memasangkan plester, tiba-tiba tangan Revan memegang tanganku. Tatapan kami akhirnya bertemu. "Kamu mengingatkanku dengan Liana." Aku yang tadinya salah tingkah langsung melepaskan tangan Revan. Berusaha mengendalikan diri dan mencoba setenang mungkin. "Ya, jelas saja. Karena wajah kami mirip, bukan?" Aku lekas merapikan peralatan P3K dan menyimpannya ke tempatnya semula. Zila, Zila. Tidak sepantasnya aku memikirkan hal konyol itu. Mana mungkin dia akan menyukaiku. Kita hanya partner, jangan coba-coba mencintaiku. Pernyataannya masih ku ingat dengan jel
"Entahlah, mungkin kami sebenarnya adalah kembar yang terpisahkan oleh ... takdir," jawabku asal. Walaupun dalam hati aku berharap dia memang kembaranku. "What?" Sejak kapan memangnya Nona Liana punya kembaran?" tanya Alexa dengan mulut ternganga. "Aku bilang 'mungkin', aku sendiri bahkan belum pernah lihat semirip apa aku dengan gadis yang bernama Liana itu. Mereka hanya bilang aku mirip dan mirip tanpa memperlihatkan foto mendiang padaku." "Ya udah nanti juga yu bakal tau dengan sendirinya, iya 'kan? Eyke sekarang keluar buat manggil petugas terapisnya ke sini. Pokoknya habis ini, yu pasti beneran bakal dibuat se-rileks mungkin." Alexa pamit meninggalkan ruangan ini. "Wah, ruangannya indah sekali. Sungguh nyaman menjadi orang kaya, mereka selalu dimanjakan
"Kenapa Azila harus mengembalikan cek ini, Bi? Dengan uang ini Zila bisa membayar seluruh hutang peninggalan almarhum ayah dan kita bisa terbebas dari para rentenir dan debt kolektor itu. Selain itu, uang ini bisa Bibi pakai untuk operasi Danur nanti," tegasku. Aku kecewa Bi Nani malah memintaku untuk mengembalikan cek ini. Aku kira Bi Nani akan senang dan melompat girang ketika melihat cek ini. Ternyata dugaanku salah."Iya, Bibi tahu. Bibi mengerti. Bibi juga sangat butuh uang itu. Tapi, Bibi tidak mau kamu mendapatkan uang dengan jalan yang salah. Sekarang Bibi tanya? Pekerjaan apa yang Revan berikan dengan bayaran sebesar ini, kalau bukan menjual diri?" ucapnya pedas. "Lihat penampilanmu sekarang!" pekiknya keras. Emosinya meledak. Baru kali pertama, aku melihat Bi Nani semarah ini. Apakah seperti ini, sikap seorang ibu ketika mengkhawatirkan anaknya?"Astaghfirullah,
"Selamat Pak Revan, kinerja Anda sangat bagus dalam memimpin perusahaan ini. Ibu Raihanah pasti sangat bangga pada Anda.""Selamat, Pak. Anda layak jadi CEO di sini.""Anda hebat, pemuda pemberi inspirasi! Muda dan berprestasi. Lanjutkan!""Kami tunggu gebrakan dan inovasi terbaru Anda untuk perusahaan ini!" Itulah, ucapan para penjilat setelah aku terpilih kembali sebagai CEO di perusahaan mama. Mereka adalah orang-orang yang telah papa suap untuk memenangkan vote pemilihan CEO baru pada rapat dewan direksi. "Sudah papa bilang kamu yang akan terpilih kembali, 'kan?" ucap Papa senang ketika aku akhirnya yang terpilih menjadi CEO. "Kamu pantas dan layak mendapatkan semua ini, papa bangga padamu, Nak," ucapnya bangga. "Semua salah, Pah. Jabatan ini seharusnya milik Liana. Papa tahu, semua orang tahu ... kalau aku ini bukan anak kandun
Tin! Tin! Tin! Bip! Bip!Suara monitor tanda vital menggema di seluruh ruangan ICU tempat Liana kini terbaring. Sudah hampir satu tahun sejak kecelakaan naas itu terjadi, Liana belum juga tersadar dari komanya. Namun, aku bersyukur, Tuhan masih memberikan kami kesempatan hidup setelah kejadian tabrakan itu. Walaupun Liana, hanya bisa hidup dengan bantuan dari alat-alat medis yang menempel pada tubuhnya."Maaf, aku datang terlambat, Ana!" ucapku lembut dekat dengan telinga sebelah kanan Liana.Aku sengaja membuat tempat ini khusus untuk Liana. Lokasinya berada di dalam salon Kecantikan Nonamuda. Dengan begitu, papa tidak menyadari nya. Dengan dokter dan perawat terbaik yang kudatangkan khusus untuk menjaga Liana di sini. Bukan tanpa maksud aku menempatkan Liana di sini. Semua demi menyelamatkan hidupnya. Papa yang mengetahui Liana masih hidup pasca kecelakaan itu, terus berusaha mencari cara untuk melenyapkann
Azila kini tengah berada di dalam sebuah mobil bersama seorang asisten yang telah Revan tugaskan untuk menjemputnya. Sesuai janji Revan tempo hari, ia akan mengirimkan seseorang untuk menjemputnya. "Kamu mau bawa saya ke mana? Ini bukan jalan menuju apartemen Revan, bukan?" tanya Azila pada Asisten Revan yang belum dia tahu siapa namanya. Tadi asisten itu hanya memperkenalkan dirinya tanpa menyebutkan nama. "Maaf, Nona. Saya diperintahkan untuk membawa Nona ke kediaman keluarga Tuan Yudistira yang berada di jalan Cenada. Tuan muda dan Nyonya besar sudah menunggu Anda di sana," jelas asisten itu pada Azila. "Jalan Cendana? Sepertinya aku pernah melihat sebuah tulisan 'Jalan Cendana' di buku harian ayah yang tak sengaja kutemukan ditumpukan buku-buku lamaku dulu. Tapi aku lupa jalan Cendana nomor berapa waktu itu? Apakah tempat itu, tempat di mana ayah dulu bekerja?" ucap Azila dalam hatinya, tiba-tiba setel
"Aaaaaaaa ...! Kamu bukan anakku! Kamu bukan anakku! Kamu bukan Liana? Di mana Liana? Di mana Liana?" Ibunya kembali histeris setelah sadar kalau Azila bukan anaknya. Seperti singa yang akan menerkam mangsanya, sang nyonya besar melotot tajam ke arah Azila. "Zila, sebaiknya kamu mundur. Saat ini kondisi mama sangat di luar kendali. Itu bisa membahayakan dirimu!" seru Revan agar Azila menjauh dari sang ibu. Azila tidak mengindahkan ucapan Revan, ia malah berjalan mendekatinya. "Ma, Mama sama sekali tidak mengenaliku? Apa hanya Liana yang ada di hati mama?" batin Azila sedih. Bugh! Seketika gelas yang sedari tadi ia pegang langsung melayang mengenai kepala Azila. Prang! Serpihan pecahan gelas langsung berserakan di lantai. "Ya Allah, apa ini?" Azila terkejut dan tidak sempat mengelak. Ia memegang kepalanya, ada cairan hangat yang tiba-tiba merembes
"Huahh!" Azila kembali terbangun. "Duh, kebiasaan deh, kalau lagi enak-enak tidur kebangun cuman pengen ke toilet. Tapi, toiletnya yang mana?" Azila mengucek kedua bola matanya, rasanya ia berat untuk melangkahkan kakinya. Saat ia hendak turun dan memakai sandalnya, Azila melihat salah satu gorden tersibak. "Astaghfirullah, yang tadi itu apa?" Azila yang masih dalam mode setengah sadar langsung terperanjat melihat salah satu gorden yang tadi tersibak. Ia kembali mengucek kedua bola matanya. "Ya Allah, itu apa?" gumamnya pelan. Gegas ia mencari stop kontak untuk menyalakan lampu kamarnya. Tapi naas ia tidak menemukan tombol tersebut. "Aduh, di mana tombol stop kontaknya ya? Rumah orang kaya ribet," rutuknya. Walaupun lampu tidur yang ada di meja menyala, tapi itu tidak cukup untuk menerangi seluruh kamar yang luas ini. Karena sudah tidak tahan dengan ala