"Kenapa Azila harus mengembalikan cek ini, Bi? Dengan uang ini Zila bisa membayar seluruh hutang peninggalan almarhum ayah dan kita bisa terbebas dari para rentenir dan debt kolektor itu. Selain itu, uang ini bisa Bibi pakai untuk operasi Danur nanti," tegasku. Aku kecewa Bi Nani malah memintaku untuk mengembalikan cek ini. Aku kira Bi Nani akan senang dan melompat girang ketika melihat cek ini. Ternyata dugaanku salah.
"Iya, Bibi tahu. Bibi mengerti. Bibi juga sangat butuh uang itu. Tapi, Bibi tidak mau kamu mendapatkan uang dengan jalan yang salah. Sekarang Bibi tanya? Pekerjaan apa yang Revan berikan dengan bayaran sebesar ini, kalau bukan menjual diri?" ucapnya pedas. "Lihat penampilanmu sekarang!" pekiknya keras. Emosinya meledak. Baru kali pertama, aku melihat Bi Nani semarah ini. Apakah seperti ini, sikap seorang ibu ketika mengkhawatirkan anaknya?
"Astaghfirullah,
"Selamat Pak Revan, kinerja Anda sangat bagus dalam memimpin perusahaan ini. Ibu Raihanah pasti sangat bangga pada Anda.""Selamat, Pak. Anda layak jadi CEO di sini.""Anda hebat, pemuda pemberi inspirasi! Muda dan berprestasi. Lanjutkan!""Kami tunggu gebrakan dan inovasi terbaru Anda untuk perusahaan ini!" Itulah, ucapan para penjilat setelah aku terpilih kembali sebagai CEO di perusahaan mama. Mereka adalah orang-orang yang telah papa suap untuk memenangkan vote pemilihan CEO baru pada rapat dewan direksi. "Sudah papa bilang kamu yang akan terpilih kembali, 'kan?" ucap Papa senang ketika aku akhirnya yang terpilih menjadi CEO. "Kamu pantas dan layak mendapatkan semua ini, papa bangga padamu, Nak," ucapnya bangga. "Semua salah, Pah. Jabatan ini seharusnya milik Liana. Papa tahu, semua orang tahu ... kalau aku ini bukan anak kandun
Tin! Tin! Tin! Bip! Bip!Suara monitor tanda vital menggema di seluruh ruangan ICU tempat Liana kini terbaring. Sudah hampir satu tahun sejak kecelakaan naas itu terjadi, Liana belum juga tersadar dari komanya. Namun, aku bersyukur, Tuhan masih memberikan kami kesempatan hidup setelah kejadian tabrakan itu. Walaupun Liana, hanya bisa hidup dengan bantuan dari alat-alat medis yang menempel pada tubuhnya."Maaf, aku datang terlambat, Ana!" ucapku lembut dekat dengan telinga sebelah kanan Liana.Aku sengaja membuat tempat ini khusus untuk Liana. Lokasinya berada di dalam salon Kecantikan Nonamuda. Dengan begitu, papa tidak menyadari nya. Dengan dokter dan perawat terbaik yang kudatangkan khusus untuk menjaga Liana di sini. Bukan tanpa maksud aku menempatkan Liana di sini. Semua demi menyelamatkan hidupnya. Papa yang mengetahui Liana masih hidup pasca kecelakaan itu, terus berusaha mencari cara untuk melenyapkann
Azila kini tengah berada di dalam sebuah mobil bersama seorang asisten yang telah Revan tugaskan untuk menjemputnya. Sesuai janji Revan tempo hari, ia akan mengirimkan seseorang untuk menjemputnya. "Kamu mau bawa saya ke mana? Ini bukan jalan menuju apartemen Revan, bukan?" tanya Azila pada Asisten Revan yang belum dia tahu siapa namanya. Tadi asisten itu hanya memperkenalkan dirinya tanpa menyebutkan nama. "Maaf, Nona. Saya diperintahkan untuk membawa Nona ke kediaman keluarga Tuan Yudistira yang berada di jalan Cenada. Tuan muda dan Nyonya besar sudah menunggu Anda di sana," jelas asisten itu pada Azila. "Jalan Cendana? Sepertinya aku pernah melihat sebuah tulisan 'Jalan Cendana' di buku harian ayah yang tak sengaja kutemukan ditumpukan buku-buku lamaku dulu. Tapi aku lupa jalan Cendana nomor berapa waktu itu? Apakah tempat itu, tempat di mana ayah dulu bekerja?" ucap Azila dalam hatinya, tiba-tiba setel
"Aaaaaaaa ...! Kamu bukan anakku! Kamu bukan anakku! Kamu bukan Liana? Di mana Liana? Di mana Liana?" Ibunya kembali histeris setelah sadar kalau Azila bukan anaknya. Seperti singa yang akan menerkam mangsanya, sang nyonya besar melotot tajam ke arah Azila. "Zila, sebaiknya kamu mundur. Saat ini kondisi mama sangat di luar kendali. Itu bisa membahayakan dirimu!" seru Revan agar Azila menjauh dari sang ibu. Azila tidak mengindahkan ucapan Revan, ia malah berjalan mendekatinya. "Ma, Mama sama sekali tidak mengenaliku? Apa hanya Liana yang ada di hati mama?" batin Azila sedih. Bugh! Seketika gelas yang sedari tadi ia pegang langsung melayang mengenai kepala Azila. Prang! Serpihan pecahan gelas langsung berserakan di lantai. "Ya Allah, apa ini?" Azila terkejut dan tidak sempat mengelak. Ia memegang kepalanya, ada cairan hangat yang tiba-tiba merembes
"Huahh!" Azila kembali terbangun. "Duh, kebiasaan deh, kalau lagi enak-enak tidur kebangun cuman pengen ke toilet. Tapi, toiletnya yang mana?" Azila mengucek kedua bola matanya, rasanya ia berat untuk melangkahkan kakinya. Saat ia hendak turun dan memakai sandalnya, Azila melihat salah satu gorden tersibak. "Astaghfirullah, yang tadi itu apa?" Azila yang masih dalam mode setengah sadar langsung terperanjat melihat salah satu gorden yang tadi tersibak. Ia kembali mengucek kedua bola matanya. "Ya Allah, itu apa?" gumamnya pelan. Gegas ia mencari stop kontak untuk menyalakan lampu kamarnya. Tapi naas ia tidak menemukan tombol tersebut. "Aduh, di mana tombol stop kontaknya ya? Rumah orang kaya ribet," rutuknya. Walaupun lampu tidur yang ada di meja menyala, tapi itu tidak cukup untuk menerangi seluruh kamar yang luas ini. Karena sudah tidak tahan dengan ala
Setelah Revan pergi beberapa saat yang lalu, Mbok Karsih ikut berpamitan untuk kembali ke dapur dan menyelesaikan pekerjaan rumah yang lainnya. Azila mengekor di belakang Mbok Karsih, karena tidak tahu harus berbuat apa di rumah Revan yang sangat besar ini. Apalagi Revan melarangnya untuk masuk ke kamar ibunya. Itu membuatnya kehilangan kesempatan untuk lebih dekat dengan ibunya sekarang."Mbok, saya boleh bantu?" Azila menawarkan bantuan ketika melihat Mbok Karsih sedang meracik bahan makanan."Ndak (tidak) usah toh, Non. Ini pekerjaan si Mbok, Non Zila duduk saja," tolak Mbok Karsih."Saya bosen, nggak ada yang bisa saya kerjain di sini. Oh iya, kalau stop kontak lampu yang ada di kamar Liana di sebelah mana ya, heheh," kekehnya pelan sambil menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak terasa gatal."Oh, lampu di rumah ini semua me
Revan sepertinya terkejut mendapat penuturan Azila. Beberapa saat kemudian, Revan menyuruh Mbok Karsih dan Marni untuk memeriksa kondisi ibunya. Saat Azila akan masuk, Revan langsung menahannya. "Jangan masuk, kau ikut denganku kita bicara di ruang kerjaku!" titahnya. "Tapi, ibumu?" sela Azila. "Ada Mbok Karsih dan Marni yang akan mengurus mama," jelasnya. Mereka langsung masuk ke dalam lift. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Revan ataupun Azila. Mereka membisu larut dalam pikirannya sendiri. "Mama sedang mengobrol dengan seseorang? Apa maksud ucapanmu?" tanya Revan sesaat setelah mereka masuk ke ruang kerjanya. "Iya, tadi aku seperti mendengar ibumu berbincang denga
Seketika, manajer yang ternyata bernama Sofia itu, langsung berhambur memeluk Revan."Revan, aku sangat merindukanmu. Aku minta maaf, semua salahku," Sofia terisak di pelukan Revan. Revan tidak membalas pelukan Sofia, dia hanya terdiam dan membisu. "Kak Revan, sebaiknya kita pergi ke tempat lain. Di sini harganya sangat ma--" ucapan Azila seketika terpotong saat tidak sengaja ia melihat Revan sedang berada dalam pelukan seorang wanita. Setetes cairan hangat tiba-tiba membasahi pipinya. Gegas ia menyusut cairan hangat yang tiba-tiba datang dan mendesak keluar dari matanya itu. "Kenapa aku harus menangis, apa hakku? Aku bukan siapa-siapa baginya. Tapi mengapa, hati ini begitu perih saat melihat dia berada di dalam pelukan wanita lain?" Azila memalingkan wajahnya, ia tidak kuat melihat adegan yang ada di hadapannya. ***[Zila, kamu di mana?] pek