Status Istriku Di Dunia Maya
Bab 1
Mataku terbelalak ketika membaca status sindiran istriku. Aliran darah dalam tubuh terasa panas tak percaya apa yang kubaca di aplikasi hijau.
Aku yang sedang santai di tempat kerja, iseng membuka status aplikasi hijau dengan logo W. Biasanya orang-orang memiliki aplikasi itu. Mengusap wajah kasar dan mengepalkan tangan. Aku tak menunggu jam pulang kerja lagi. Aliran dalam darah berubah panas hingga ke ujung kepala.
Aku bergegas menuju parkiran mobil hitam milikku. Wanita yang telah kunikahi selama lima tahun selalu saja membuat status sindiran tentangku.
Bergegas kutancap gas agar sampai ke rumah. Tak kuhiraukan klason motor ataupun mobil yang memberi peringatan kepadaku agar berhati-hati. Semua yang ada dihadapanku terlihat tak berarti. Pikiranku saat ini adalah pulang ke rumah
Rima, wanita yang selalu mengumbar masalah rumah tangga kami. Walaupun sindiran itu tak mencantumkan namaku. Aku sangat yakin kalau statusnya tentang suaminya. Jangan pikir aku tak tahu dan aku bukan orang bodoh.
Segera turun dari mobil dan membuka pagar dengan kasar tak peduli para tetangga mendengarnya. Rumah yang kami beli berada di komplek pinggiran kota. Tak jauh dari tempat aku bekerja.
Rumah bercat ungu agar terlihat segar. Setiap dua tahun sekali menganti warna dindingnya. Taman mini berada di depan. Terlihat asri dan adem. Rima selalu merawatnya.
"Rima! Rima!" Memanggil nama istriku dengan kasar dan membuka pintu rumah. Namun, terkunci. Semua jendela tertutup rapat. Melihat jam tangan hitam merek ternama yang melingkar di pergelangan tangan. Masih pukul empat sore.
Tumben sekali wanita itu menguncinya. Biasanya kalau pergi ke luar pasti memberitahuku atau meminta izin keluar. Mengambil ponsel dalam saku.
Menghubungi nomor ponsel istriku, tapi tak bisa dihubungi." Arghhhhh, ke mana dia?"
Mengambil kunci cadangan dalam tas kerja yang selalu menemaniku masih berada di mobil. Aku mengacak-acak isi tas itu.
Setelah menemukannya, langsung kubuka pintu tersebut. Suasana sepi tak ada siapapun. Aku berlari ke lantai atas tempat kamar kami yang biasa kujadikan tempat memadu kasih. Nihil, tak ada wanita itu.
Terus kuhubungi ponselnya dan mengirim pesan via aplikasi hijau. Kuketik pesan tersebut dengan emosi yang mengebu-gebu.
[Istri kurang ajar, apa maksudnya kamu membuat status seperti itu] Tak ada jawaban hanya centang dua berwarna abu-abu.
[Hapus statusmu atau aku akan ... ] pesanku yang berikutnya tetap hanya ceklist dua tanpa warna. Tak berapa lama, ia sedang online. Ceklist berubah biru. Menunggu jawaban dari wanita itu.
Segera kuhubungi dia, namun ia tak menjawab panggilanku. Darah ini semakin panas dan mendidih. Memiliki istri seperti dirinya adalah musibah bagiku.
Setiap masalah yang terjadi, ia akan membuat status di medsos. Seakan-akan aku adalah suami yang tak bertanggung jawab, jahat, kasar dan lainnya. Sering aku menegurnya, tapi ia terlihat acuh dan santai.
Ingin segera bertemu dengannya dan melayangkan tangan ini ke udara dan mendaratkan tepat di pipi kiri dan kanan. Aku tak peduli lagi kalau dia istriku.
Suara deru mobil terdengar di halaman rumah. Aku segera beranjak dari dudukku dan segera menghajar wanita pembuat onar dan bikin malu.
Keluar rumah dengan emosi mengebu. Dadaku sudah naik turun. Akan aku seret dia hingga tiada ampun. Berani sekali membuat status seperti itu.
Aku terperangah melihat sosok wanita yang datang ke rumah. Wajahnya terlihat marah dan seram. Ia datang dengan seorang lelaki dewasa. Berdiri di teras rumah tanpa memberi salam.
Wajah bengis terlihat semakin dekat dan tangannya melayang ke udara menghantam pipiku. Perih sekali rasanya. Mengusap pipi kiri perlahan agar rasa sakit hilang. Memundurkan langkah, menghindari serangan yang lain.
"Dasar suami tak tahu diri! Berani sekali kamu berbuat itu kepada menantu Mama!" teriaknya mengalahkan speaker aktif panggung dangdut yang sering aku tonton.
"Ma ... Ajit tidak salah. Ini semua ulah Rima. Ia telah mengumbar masalah rumah tangga kami di sosmed," belaku. Aku menelan saliva yang sudah menumpuk. Aku ini anaknya pasti akan membela.
Bugh!
Pukulan tepat di wajah bertambah perih dan nyeri. Papa tiriku menambahkan rasa sakit di sekujur tubuh. Ia menambahkan lagi tepat di bagian pusar.
Rima kamu pembuat masalah. Aku akan memberimu pelajaran geramku dalam hati. Aku menatap lelaki yang telah sepuluh tahun menjadi suami mamaku. Siapa dia berani sekali memukulku.
"Kamu lelaki tak bertanggung jawab. Bisanya hanya mengelak. Sudah ku pastikan kau akan menyesal!" makinya. Ia membulatkan mata tajam. Matanya memerah menahan emosi sama yang aku rasakan. Bedanya, ia kesal kepadaku dan aku kepada Rima.
"Tak kusangka kau sejahat itu, Ajit." Ucapannya membuat aku tersingung.
Bukan aku yang jahat tapi wanita itu yang sudah mencoreng nama baikku.
"Pa, aku bukan lelaki seperti itu. Semua status yang ia umbar di medsosnya hanya kebohongan saja." Aku tak terima dengan hinaan dan tuduhan mereka. Bangkit menahan sakit dan nyeri dibagian wajah dan perut.
"Mama gak pernah mengajarkan kamu untuk melakukan itu. Mama kecewa sama kamu. Kamu harus meminta maaf kepada Rima!"
"Tidak! Aku tak akan meminta maaf kepadanya. Dia yang salah bukan aku!" Suaraku semakin meninggi. Mama terlihat geram. Ia melayangkan lagi tangannya ke arahku. Perih sangat perih. Wanita yang telah melahirkan diri ini lebih membela orang lain.
"Kamu pengec*t! Jadilah lelaki yang bertanggung jawab." Mama meninggalkanku tanpa mengucapkan selamat tinggal. Terlihat guratan kekecewaan di wajah cantiknya.
Aku tergugu mengingat kesalahan-kesalahanku kepada Rima. Apakah aku salah melakukan hal itu. Sehingga, wanita yang telah menemaniku selama ini menyindir melalui statusnya.
Kuraih ponsel dalam kantung celana dan membuka akun milik istriku. Status baru tujuh menit yang lalu. Ia mengunggah foto dengan wajahnya yang penuh luka lebam. Bagian ujung bibirnya sobek dan mata sembab.
Kulempar ponselku hingga pecah berhamburan di lantai. Hidupku akan semakin hancur dan kacau. Aku pasti sangat malu bila semua teman-teman melihat status istriku.
Apa dia tak pernah berpikir apa akibatnya jika melakukan hal itu. Mencoreng nama baik dan pekerjaanku menjadi taruhannya.
"Rima!"
****
Status Sindiran IstrikuPonselku berbunyi berkali-kali.Menatap layar pipih dengan wallpaper bergambar pantai."Halo, ada apa Mbak?" bertanya kepada Mbak Shela yang menghubungiku saat aku berada di cafe"Ajit, pampers dan susu Fakhri habis.""Baik Mbak nanti aku akan belikan.""Terima kasih, Aj
Status Sindiran Istriku"Rima, ini bukan tanda tanganku. Aku bersumpah, tak pernah melakukan hal ini. Percaya padaku kali ini." Memperlihatkan semua bukti tentang papa dan Sofie. Tak menutupi semua yang telah terjadi. Masalahku harus segera terselesaikan.Rima menatapku, mungkin mencari kejujuran di sana. Ia menganggukkan kepala dan berkata," Buktikan kalau kamu tak menanda tangani ini. Karena aku merasa ragu.""Aku akan menghampiri dia. Kamu jaga diri kamu. Aku akan kembali. Aku mencintaimu." Mengecup jari jamarinya. Ia tak menolak sedikitpun. Wajahnya pucat dan suara bergetar. Aku yakin cinta itu masih ada.Aku memeluk Rima dan ia membalas pelukanku. Segera pergi mencari orang tersebut. Ibu mertua memberikan bekal dan minuman di botol untukku. Wanita itu selalu baik dan sayang kepada mantunya.Tubuhku memang lelah, tapi aku harus terus berjalan mencari kebenaran. Masalah pa
Status Sindiran IstrikuKembali Jam menunjukkan pukul sepuluh malam lewat dua puluh menit. Besok pagi aku sudah sampai di Lampung. Aku hanya membawa kopi dalam termos kecil dan makanan kecil yang berada di meja. Setidaknya, bekal ini cukup untuk di jalan. Membuka dompet berisi uang tiga ratus ribu rupiah. Lebih baik membawa motor saja. Ongkos lebih murah dan hemat. Akhirnya, memutuskan mengunakan motor matic milik Rima yang berada di garasi. Surat-surat motor itu sudah ada di dalam jok motor. Tak lupa memakai jaket yang tebal menelusuri jalan ke arah pelabuhan Merak. Kapal datang agak telat. Pelabuhan terlihat ramai oleh mobil truk pengangkut barang. Mereka mengantar barang dari pulau ke pulau lain. Pekerjaan mereka berat, meninggalkan anak istri berhari-hari untuk menyambung hidup. Perjalanan yang cukup melelahkan. Akhirnya, aku sampai di Sidomulyo tempat mertuaku berada. Aku sangat yakin Rima ada di s
Status Sindiran Istriku Kubuka mata perlahan, tangan dan kakiku diikat di ranjang. Papa dan Sofie sedang berbicara. Mereka tak tahu aku sudah sadar. "Apa yang harus kita lakukan kepadanya?" tanya Sofie. Sepertinya, ia ketakutan. "Kita harus mendapatkan semuanya atau kita akhiri hidupnya." Ucapannya membuatku bergidik ngeri tentu tidak, aku ingin menertawakannya."Siram tubuhnya dengan air es. Di tak punya siapa-siapa lagi di sini." "Bagaimana dengan kakaknya?" "Itu urusan gampang. Kita selesaikan lelaki ini. Dia penghalang bagi kita. Shela juga sedang mengandung anakku. Ia tak akan berani bertindak." Mba Shela sedang hamil, aku tak percaya. Jangan-jangan ia pura-pura ingin membalas dendam. Ah, mengapa aku tak tahu. "Pa, kalau Shela hamil dan melahirkan anakmu. Kamu akan melupakanku," ucap Sofie. Nadanya terdengar sedih. "Tentu tidak Sayang. Cuma kamu dan h
Status Sindiran Istriku Panggilan masuk dari salah satu petugas keamanan di ponselku. Menyentuh ikon berwarna hijau. "Ada apa?" tanyaku setelah menjawab salamnya. "Ada pergerakkan darinya. Ia berada dalam ruangan." "Malam-malam begini! Baiklah, terima kasih untuk infonya." Bergegas mengambil laptop di dalam ruang kerja. Membuka CCTV dari restauran.Papa sedang berusaha membuka brankas. Ia terlihat kesal dan memukul lemari besi. Terlihat wajahnya frustasi. Sengaja aku menganti kode brankas itu. Ia memukul dan menendang. Aku hanya bisa menertawakan dari layar. Ia berusaha mencongkel brankas. Sudah seminggu aku tak memberinya uang. Mungkin, uangnya telah habis. Tak lupa memblokir kartu kreditnya. Papa menghubungi seseorang. Mendengar suara papa dengan tajam. Ternyata, ia memanggil tukang las besi. Aku terkekeh. Kita lihat apa yang akan ia lakukan lagi. Dua orang petuga
Status Sindiran Istriku Papa terlihat gusar. Ia melirik brankas di dalam ruangan. Meneguk kopi dengan kasar untuk menyembunyikan perasaannya. "Papa pergi dulu ada urusan sebentar," pamitnya. Wajahnya terlihat pucat. Entah dengan siapa ia akan bertemu. Kuhubungi seseorang yang bisa aku handalkan untuk mengikuti papa."Dia sudah pergi kamu ikuti dia. Lakukan pekerjaanmu dengan baik." Memandang kotak brankas dan menekan kode dengan tanggal lahir mama. Ternyata salah. Apa si tua keladi itu menganti kodenya. Mencoba menekan angka yang sama dengan kode ponsel papa. Nihil, tak bisa. Yang membeli brankas ini adalah mama. Kucoba menekan tanggal kelahiranku. Klik.Menarik kuas brankas secara perlahan. Uang menumpuk dengan tinggi. Ternyata benar dugaanku. Isi brankas sekitar satu miliyar. Kotak brankas hampir penuh. Memasukkan semua uang ke dalam tas yang tergeletak di d