Share

Teraniaya

Status Sindiran Istriku 

Bab 7

Pov Rima

"Ampun Mas, sakit!" Aku menutup kepala dengan tangan. Suamiku memukul kepalaku dengan sepatu pantofel hitam yang sering aku semir.

Kini, sepatu itu berpindah ke kepala. Rasa berdenyut di kepala semakin terasa. Sangat menyedihkan menjadi aku. Apa kurang diri ini.

Tak ada belas kasihan untukku. Ia juga menyiramkan air ke tubuh rampingku. Rasa dingin menjalar keseluruh tubuh. Perlakuannya sangat tercela. Untung saja bukan kopi atau teh panas. 

"Kamu! Jadi istri gak tahu suami cape kerja malah ngomel-ngomel!" bentaknya tak terima. Mata tajam yang selalu kusukai memerah. Rahang yang sering bersandar di bahu mengeras.

"Aku bukannya ngomel, hanya bertanya. Mengapa kamu tak pulang sejak dari Bandara." tanyaku dengan suara terisak. Aku menunggunya semalaman, tapi nyatanya ia tak ada. 

"Aku kerja buat kamu. Kamu diem aja! Aku cape mau istirahat." Ia mendorong tubuhku hingga membentur dinding. 

Kepala terasa sakit dan nyeri. Tubuh ini tak dapat bangkit hingga pandangan menjadi gelap dan melemah. 

Kubuka mataku perlahan, melihat suamiku--Mas Ajit berjongkok depan wajahku. Ia menepuk-nepuk pipi kencang. 

"Eh, kamu ngapain tidur di sini! Lihat sudah hampir malam," ucapnya dengan nada tinggi."Bangun!" perintahnya. Suaranya mengema di dalam rumah.

Kupaksa membuka mata. Kepalaku terasa berat, tekuk leher pegal seperti batu yang menempel. Pandangan kabur terasa berputar-putar.

"Mas, aku kenapa?" tanyaku heran. Mengapa bisa tidur di lantai. 

"Mana aku tahu! Aku bangun tidur kamu malah rebahan di sini. Bangun, aku lapar. Masakkan nasi goreng untukku dan jangan lupa omeletnya." Ia berdiri meninggalkanku dan duduk di depan televisi." Cepatan malah bengong!" 

"I-iya Mas," ucapku terbata-bata. Bergegas aku bangkit dan melangkahkan kaki ke dapur. Mas Ajit masih saja mengomel. Sepertinya, ia sangat kesal. Entah apa yang dilaluinya saat bekerja. 

"Kamu itu, sudah aku kasih enak duduk manis di rumah masih aja gak becus ngurus aku. Seharusnya ngerti dong. Suami lapar waktunya makan," omelnya dari jauh. Aku masih mendengar ucapannya.

"Seluruh uang aku berikan. Kamu juga harus maksimal melayaniku." Hasil pemotretan memang ia berikan. Tapi, tak cukup memenuhi semuanya. 

Perlakuan dia kepadaku berubah setelah namanya terselip di antara nama model terkenal. Menurutku, ketenarannya belum mencapai papan atas. 

Mengaduk-aduk nasi bersama bumbunya tak lupa baso sapi dan daun bawang. Acar selalu ada di kulkas. Ia menyukai acar tanpa gula. Hanya berbumbu garam dan cuka. 

Aroma nasi goreng tercium wangi menggoda. Kupaksakan memasak dengan kepala berdenyut. Berusaha meraih gelas untuk mengambil air hangat. Meneguk pelan hingga kepala terasa ringan. 

Menyajikan nasi goreng di piring spesial kesukaan mas Ajit. Lelaki itu menggunakan barang sesuai tren, dari penampilan hingga alat-alat makan. Begitu juga perabotan rumah yang sering gonta ganti. Alasan lelaki itu bosan dan jenuh. Uang siapa yang ia gunakan kalau bukan uangku. 

"Wah, bagus sekali penampilannya." Mas Ajit mengeluarkan ponsel mahalnya dan memotret hasil masakanku. Ia mengunggah di akun medsosnya. Aku melirik malas, semua yang ia lakukan akan terekspose di akunnya.

"Rima ... sini mendekat. Tampillan senyum termanismu," ucapnya memeluk dan mencium pipi." Ih, kurang bagus. Kurang bahagia." Ia memotret lagi dengan gaya sama.

Tangannya membesarkan hasil foto di galeri." Mengapa wajahmu buruk sekali. Berminyak dan lebam. Ayo foto lagi!" Ia menarik tubuhku dan memeluknya dari belakang. Wajahku mengahadap ke depan, tak terlihat.

"Nah, ini baru bagus." Mas Ajit duduk dan menyendokkan nasi goreng ke mulutnya. Matanya melotot dan memuntahkannya. 

"Rima! Masakannya tak enak, asin sekali!" Suaranya menggema di seluruh ruangan. 

"A-asin, maaf Mas. Kepalaku pusing jadi gak sempet aku cobain." Aku memberikan air putih dingin dan ia meneguk habis. 

"Kamu mau bikin aku darah tinggi! Senang aku mat*." Gelas yang ia pegang dilemparkannya secara asal. 

"Ma-maaf Mas." Aku takut sekali mendengar teriakkannya. Dunia bagaikan segera berakhir untukku. 

"Maaf! Maaf! Aku minta uang untuk makan di luar." Ia menadangkan tangannya ke arahku. Segera bergegas masuk ke kamar dan memberikan uang berwarna merah sebanyak tiga lembar. 

"Kok tiga ratus, mana cukup aku minta tiga juta," ungkapnya. Aku terkejut dengan permintaannya.

"Kita harus bayar uang cicilan. Uang pemotretanmu belum cukup." 

"Kan, masih ada uang di brankas. Kamu juga yang salah. Masak keasinan. Aku mau makan di luar saja." 

"Biar aku masakin lagi, Mas," bujukku. Uang tiga juta lumayan besar. 

"Kelamaan, kamu lagi sakit lebih baik aku makan di restoran," ucapnya berubah lembut.

Aku mengalah, daripada berdebat lagi lebih baik kuberikan saja uang yang ia minta. 

"Ini Mas." Ia menyambar uang merah bercampur biru dengan kasar. Bergegas menganti pakaiannya. Penampilannya seperti anak muda ala korea. 

"Mas, jangan malam-malam pulangnya." Mas Ajit tak menghiraukan ucapanku. Ia keluar tanpa berkata apa-apa. 

Deru mobil terdengar mengema di halaman. Tanpa menoleh dan menjawab pertanyaan yang aku lontarkan. Mas Ajit berlalu begitu saja. 

Menyentuh dadaku, nyeri sangat nyeri. Perlakuan lelaki itu berubah sejak ketenarannya semakin bersinar. 

Meja makan seperti kapal pecah. Nasi berhamburan, gelas jatuh ke atas lantai. Hanya helaan napas yang dapat aku lakukan. 

Mengambil sendok makan di tempat tersedia. Lebih baik aku makan daripada mubajir. 

Memasukkan sedikit nasi goreng ke dalam mulut. Rasa asin tak ada malah enak dan sedap. Mengapa mas Ajit berkata rasanya asin. Ada apa dengan lelaki itu? 

****

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Begini mah ndak cukup karirnya hancur tp perlu dipenjarain jg. Np ndak dilaporin polisi coba
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status