Status Sindiran Istriku
Tubuhku luruh ke lantai, pernikahan yang kudambakan ternyata tak sesuai harapan. Menatap potret pernikahanku bersamanya, senyum indah bahagia terpancar di sana.
Ternyata, keindahan setelah menikah hanya dongeng saja. Nyatanya semua bohong.
Aku hanya dijadikan pembantu dan pemuas nafsu saja. Lelaki yang dulu amat mencintaiku berubah kasar.
Sikap dan prilaku di atas ranjang menjadi gila. Tak ada rasa nikmat saat melakukan ibadah tersebut. Hanya rasa nyeri yang menjalar di tubuh.
Berkali-kali merintih kesakitan akibat perbuatannya. Ia tetap tak peduli, semakin sakit yang kurasa semakin puas mengauliku.
Hanya air mata menetes di ujungnya. Isakan tak lagi membuatnya iba. Ia terus melakukan segala aksi tanpa berperasaan apalagi penuh cinta.
Kekacauan yang telah dilakukan suamiku belum kurapihkan. Kalau begini terus aku bisa gila. Meletakkan sendok tanpa mau melanjutkan. Menatap sepiring nasi goreng yang sia-sia aku buat.
Lebih baik aku istirahat. Menenangkan pikiran yang semakin kacau. Berharap rasa sakit di seluruh tubuh dan hati hilang.
Meletakkan peralatan makan di atas wastafel. Membersihkan meja lalu masuk ke dalam kamar.
Membaringkan tubuh di atas ranjang king, menatap langit-langit kamar dan berdoa di dalam hati. Semoga semua ini segera berlalu.
-
-
Suara bel terdengar berkali-kali. Kubuka mata perlahan. Rasa sakit di kepala membaik. Tentu saja setelah meminun obat pereda nyeri.
Menurunkan kaki perlahan. Suara bel masih terdengar. Menoleh ke arah jam dinding putih di dinding.
Jam menunjukkan tiga pagi. Suara bel rumah membangunkanku. Keluar kamar menuju pintu. Kalau itu mas Ajit mengapa tidak langsung masuk saja. Bukankah lelaki itu memiliki kunci cadangan. Memutar anak kunci dan mendorong perlahan.
Seorang wanita cantik dan modis berdiri di depan pintu. Aku terperangah melihat seorang gadis merangkul suamiku di bahunya. Ia tersenyum ragu. Ah, bukan ragu tapi, takut.
"Maaf Mba, ini rumah mas Ajit bukan?" tanyanya memastikan. Tak mau menatap mataku.
"Iya, betul. Saya istrinya. Kenapa dengannya?"
Tubuh suamiku sempoyongan, kupapah dia ke bahu dengan bantuan gadis itu." Mau diletakkan di mana?" ucapnya.
"Tolong sekalian bawa ke kamar!" Ia menganggukkan kepala pelan dan mengikuti langkah kakiku.
"Suamiku kenapa?" tanyaku untuk kedua kalinya.
"Biasa Mba, mab*k. Tadi kita habis pesta di rumah Nilam."
"Pesta?" Aku menatap suamiku yang sudah berbaring di tempat tidur.
"Iya, Mba. Nilam merayakan tanda tangan kontraknya di Paris," jelasnya. "Ini kunci mobil Ajit. Aku sudah ditunggu teman."
Ia pamit kepadaku dan tak lupa aku mengucapkan terima kasih. Mengantarnya hingga ke pintu. Mobilnya terparkir di luar gerbang. Di dalam mobil itu ada tiga wanita. Sepertinya, mereka juga mabuk.
"Mengapa Mas Ajit tak mengajakku. Padahal, Nilam adalah temanku dulu. Bilangnya cari makan ternyata, pergi ke pesta," ucapku lirih. Berharap ia mendengarkan. Nyatanya, hanya haluan saja.
Kuambilkan air hangat di dalam baskom untuk membersihkan tubuhnya dan kembali ke kamar. Menatap keadaan suamiku.
Membuka sepatu serta kaos kaki putih secara perlahan. Semua pakaiannya aku lucuti. Merogoh kantung, memastikan barang yang berada di bagian celana.
Sebelum memasukkannya ke dalam mesin cuci agar mesin itu tak rusak akibat benda asing yang berada di kantung celana.
Serbuk di dalam plastik putih kecil di dalam genggamanku. Tak ada nama yang tercantum. " Serbuk apa ini?"
~~~
Status Sindiran IstrikuPonselku berbunyi berkali-kali.Menatap layar pipih dengan wallpaper bergambar pantai."Halo, ada apa Mbak?" bertanya kepada Mbak Shela yang menghubungiku saat aku berada di cafe"Ajit, pampers dan susu Fakhri habis.""Baik Mbak nanti aku akan belikan.""Terima kasih, Aj
Status Sindiran Istriku"Rima, ini bukan tanda tanganku. Aku bersumpah, tak pernah melakukan hal ini. Percaya padaku kali ini." Memperlihatkan semua bukti tentang papa dan Sofie. Tak menutupi semua yang telah terjadi. Masalahku harus segera terselesaikan.Rima menatapku, mungkin mencari kejujuran di sana. Ia menganggukkan kepala dan berkata," Buktikan kalau kamu tak menanda tangani ini. Karena aku merasa ragu.""Aku akan menghampiri dia. Kamu jaga diri kamu. Aku akan kembali. Aku mencintaimu." Mengecup jari jamarinya. Ia tak menolak sedikitpun. Wajahnya pucat dan suara bergetar. Aku yakin cinta itu masih ada.Aku memeluk Rima dan ia membalas pelukanku. Segera pergi mencari orang tersebut. Ibu mertua memberikan bekal dan minuman di botol untukku. Wanita itu selalu baik dan sayang kepada mantunya.Tubuhku memang lelah, tapi aku harus terus berjalan mencari kebenaran. Masalah pa
Status Sindiran IstrikuKembali Jam menunjukkan pukul sepuluh malam lewat dua puluh menit. Besok pagi aku sudah sampai di Lampung. Aku hanya membawa kopi dalam termos kecil dan makanan kecil yang berada di meja. Setidaknya, bekal ini cukup untuk di jalan. Membuka dompet berisi uang tiga ratus ribu rupiah. Lebih baik membawa motor saja. Ongkos lebih murah dan hemat. Akhirnya, memutuskan mengunakan motor matic milik Rima yang berada di garasi. Surat-surat motor itu sudah ada di dalam jok motor. Tak lupa memakai jaket yang tebal menelusuri jalan ke arah pelabuhan Merak. Kapal datang agak telat. Pelabuhan terlihat ramai oleh mobil truk pengangkut barang. Mereka mengantar barang dari pulau ke pulau lain. Pekerjaan mereka berat, meninggalkan anak istri berhari-hari untuk menyambung hidup. Perjalanan yang cukup melelahkan. Akhirnya, aku sampai di Sidomulyo tempat mertuaku berada. Aku sangat yakin Rima ada di s
Status Sindiran Istriku Kubuka mata perlahan, tangan dan kakiku diikat di ranjang. Papa dan Sofie sedang berbicara. Mereka tak tahu aku sudah sadar. "Apa yang harus kita lakukan kepadanya?" tanya Sofie. Sepertinya, ia ketakutan. "Kita harus mendapatkan semuanya atau kita akhiri hidupnya." Ucapannya membuatku bergidik ngeri tentu tidak, aku ingin menertawakannya."Siram tubuhnya dengan air es. Di tak punya siapa-siapa lagi di sini." "Bagaimana dengan kakaknya?" "Itu urusan gampang. Kita selesaikan lelaki ini. Dia penghalang bagi kita. Shela juga sedang mengandung anakku. Ia tak akan berani bertindak." Mba Shela sedang hamil, aku tak percaya. Jangan-jangan ia pura-pura ingin membalas dendam. Ah, mengapa aku tak tahu. "Pa, kalau Shela hamil dan melahirkan anakmu. Kamu akan melupakanku," ucap Sofie. Nadanya terdengar sedih. "Tentu tidak Sayang. Cuma kamu dan h
Status Sindiran Istriku Panggilan masuk dari salah satu petugas keamanan di ponselku. Menyentuh ikon berwarna hijau. "Ada apa?" tanyaku setelah menjawab salamnya. "Ada pergerakkan darinya. Ia berada dalam ruangan." "Malam-malam begini! Baiklah, terima kasih untuk infonya." Bergegas mengambil laptop di dalam ruang kerja. Membuka CCTV dari restauran.Papa sedang berusaha membuka brankas. Ia terlihat kesal dan memukul lemari besi. Terlihat wajahnya frustasi. Sengaja aku menganti kode brankas itu. Ia memukul dan menendang. Aku hanya bisa menertawakan dari layar. Ia berusaha mencongkel brankas. Sudah seminggu aku tak memberinya uang. Mungkin, uangnya telah habis. Tak lupa memblokir kartu kreditnya. Papa menghubungi seseorang. Mendengar suara papa dengan tajam. Ternyata, ia memanggil tukang las besi. Aku terkekeh. Kita lihat apa yang akan ia lakukan lagi. Dua orang petuga
Status Sindiran Istriku Papa terlihat gusar. Ia melirik brankas di dalam ruangan. Meneguk kopi dengan kasar untuk menyembunyikan perasaannya. "Papa pergi dulu ada urusan sebentar," pamitnya. Wajahnya terlihat pucat. Entah dengan siapa ia akan bertemu. Kuhubungi seseorang yang bisa aku handalkan untuk mengikuti papa."Dia sudah pergi kamu ikuti dia. Lakukan pekerjaanmu dengan baik." Memandang kotak brankas dan menekan kode dengan tanggal lahir mama. Ternyata salah. Apa si tua keladi itu menganti kodenya. Mencoba menekan angka yang sama dengan kode ponsel papa. Nihil, tak bisa. Yang membeli brankas ini adalah mama. Kucoba menekan tanggal kelahiranku. Klik.Menarik kuas brankas secara perlahan. Uang menumpuk dengan tinggi. Ternyata benar dugaanku. Isi brankas sekitar satu miliyar. Kotak brankas hampir penuh. Memasukkan semua uang ke dalam tas yang tergeletak di d