Share

Bab 7

"Meninggal? Kamu ikut dalam proses pemakamannya?" tanya papa. Aku pun menggelengkan kepala, waktu itu hanya tahu dari Mas Haris. 

Papa mengelus punggung ini, seraya tengah menenangkan putrinya. Meskipun hanya ayah angkat, ia tetap sedih ketika melihat putrinya sedih. 

"Haris nggak boleh tahu kamu sudah Papa wariskan hotel ini," pesan papa. 

"Kamu jangan nangis ya, Mama yakin kamu anak kuat seperti almarhumah mamamu," susul mama. 

Kuat atau rapuh kondisiku saat ini yang ada di pikiran hanya Sisil, dia seorang anak wanita, dan akan tumbuh dengan semestinya, tapi ternyata memiliki seorang ayah yang tidak memiliki perasaan. Mas Haris kelewat cerdik menutupi ini semua. 

"Tapi, Pah, yang kutahu Tiara ini sudah meninggal dunia tiga tahun lalu, adiknya juga membenarkan hal itu," pungkasku. Tiba-tiba melintas chat Gea melalui inbox yang kubaca beberapa bulan lalu. 

Papa terdiam menoleh ke arah istrinya. "Tiga tahun lalu? Apa kamu diajak pulang kampung tiga tahun belakangan?" tanya papa menyelidik. 

Aku menggelengkan kepala ini. Sebab, pertanyaan papa membuatku tersentak lirih. Apa ini alasannya tidak mudik tiga tahun lamanya? Supaya bisa bersandiwara seolah-olah Tiara meninggal dunia? 

"Sepicik itu, Pah? Pura-pura meninggal hanya untuk menutupi sesuatu?" tanyaku padanya. 

"Justru ini yang menarik, tiga tahun tertutup rapat, Papa akan bantu kamu, Elena, kita selidiki, kalau terbukti dia mempermainkan pernikahan, kita bisa jebloskan Haris ke penjara," terang papaku. 

Air mataku mengembun, rasanya sulit menahannya, tapi aku malu menangis di hadapan orang tua yang telah membesarkanku. 

"Kita bisa selidiki mulai dari sosial media, Pah, belum lama ini, tepatnya dua bulan lalu, ada yang menulis status memakai akun F******k Mas Haris, aku rancu dan merasa memang bukan dia yang tulis, sempat menuduh Gea, tapi aku rasa bukan dia orangnya," tuturku pada orang tua angkatku.

"Itu soal mudah, yang terpenting sekarang, kamu santai, jangan gegabah, Haris licik, kamu harus cerdik. Papa kok gemes ya dengarnya, meskipun kamu bukan anak kandung, tapi terasa Fitri juga mengalami hal ini," ungkap papa sambil mengepal tangannya. 

"Aku di rumah harus cerdik, tapi geram, Pah, ingin rasanya membuat Mas Haris tidak betah di rumah," usulku. "Apa aku kuras hartanya, Pah?" tanyaku. 

"Nggak perlu, hartaku lebih banyak darinya, untuk apa mendapatkan harta dari orang yang licik? Tidak sudi papa, Nak," kata papa sambil mengelus rambut ini. "Minggu depan mereka pasti ke sini lagi, papa pastikan mereka akan malu seumur hidup," ancamnya.

Kemudian, aku berpamitan keluar untuk mengambil Sisil yang kutitipkan pada pegawai yang bekerja di sini, tapi sebelumnya papa pastikan lebih dulu Mas Haris sudah keluar dari hotel ini. 

"Dia baru saja keluar, sudah kamu pulang sekarang sana, oh ya papa mau pulang ke Indramayu sore ini, minggu depan insyaallah akan papa ceritakan semua ini pada Fitri. Dia pasti akan membantumu," ungkap papa. 

Aku hanya mengangguk sambil menyunggingkan senyuman. Beruntung sekali memiliki orang tua angkat yang baik, tapi karena mereka terlalu baik inilah yang membuatku kadang sungkan meminta pada mereka. 

***

Setibanya di rumah, mobil Mas Haris belum terparkir di garasi. Kemungkinan ia tengah mengantarkan Tiara, ya aku yakin itu Tiara, tidak mungkin dia punya kembaran, sedangkan dengan Gea saja ia hanya terpaut angka dua atau tiga tahun kalau tidak salah. 

Langkahku terhenti ketika mendengar panggilan dari seorang wanita. 

"Len, kamu dari mana sama Sisil?" tanya Gea yang tiba-tiba muncul dari gang. 

"Bukan urusanmu," celetukku sambil membuka pintu gerbang. 

"Mas Haris pergi? Terus kamu susulin, kan?" tanya Gea menyelidik. 

"Nggak kok," sahutku singkat. 

"Alah, jangan bohong, tadi aku ngikutin kamu loh di belakang, kamu ke hotel FitLen, kan?" tukas Gea lagi. Ternyata ia membuntutiku. Kenapa dia seperti itu sih? Apa jangan-jangan Mas Haris cepat pergi karena tahu informasi ini dari Gea? 

Tangan ini menggenggam pagar, ada jari kecil yang menarik bajuku untuk cepat masuk. Sisil mendongak menatapku dengan lirih. Dari raut wajahnya membuatku nyeri. 'Nak, kamu punya seorang ayah pembohong besar, penipu ulung yang telah mengelabui kita atas dalih tutup usia,' batinku merintih sambil menatap wajah Sisil. 

"Aku mau ke hotel, ke Indramayu tempat papa angkat, atau ke Cilacap sekalipun, tempat kampung suamiku, itu terserah aku, ngapain kamu urusin orang lain? Kurang kerjaan?" Aku bertanya dengan alis terangkat. 

Posisi berdiri Gea berubah tegak, padahal tadinya ia terlihat santai. Matanya membulat seraya ingin meluapkan emosinya. Ia melangkah ke arahku yang sudah membuka pintu gerbang. Namun, tiba-tiba Mas Haris pulang, ia memarkirkan mobilnya di pinggir jalan. Lalu ikut nimbrung dengan kami. 

"Elena, kamu dari mana?" tanya Mas Haris, dia melangkah menghampiri dan berada di tengah-tengah antara aku dan Gea. 

Sedangkan Gea terlihat tertawa kecil menyaksikan Mas Haris datang menghampiriku dengan bertanya seperti orang tengah menginterogasi. 

"Pura-pura diam dia, Mas," celetuk Gea. 

Aku terdiam mengamati tingkahnya Gea. 

"Kamu ikutin aku, Sayang? Tadi itu mendadak ada meeting antara manager, kalau nggak percaya, ini aku ada fotonya," sanggah Mas Haris sambil menyodorkan ponselnya. 

Kulihat ia tengah duduk bertiga sambil berpose menunjukkan jempol masing-masing. Mas Haris foto dengan ketiga teman sesama manager. 

Aku menyerahkan kembali fotonya, hebatnya suamiku, sandiwaranya sungguh patut diacungkan dua jempol. Sangat sempurna, tapi sayangnya aku sudah tahu semuanya, meskipun belum tahu kebenarannya, namun semakin Mas Haris menutupi kebohongannya, aku justru semakin sangat yakin bahwa Tiara benar masih hidup. 

"Ya, aku percaya kok, sekarang kita masuk, Mas, masa berdiri di depan gini," ucapku sambil menarik lengannya, ada tatapan sinis terpancar dari wajah Gea. Kemudian ia balik badan dan melangkah pulang dengan hentakan kaki penuh amarah. 

Aku sengaja berjalan berdampingan dengannya, ia sontak menggendong Sisil yang menurutku bobot tubuhnya sudah berat. Namun, tiba-tiba Mas Haris menginterogasi anaknya. 

"Sisil dari mana sama Mama?" tanya Mas Haris. 

"Dari hotel, Pah, kirain mau nginep, eh nggak," ungkap Sisil. Ia masih polos pasti bicara jujur. 

"Apa Sisil ke hotel bertemu dengan laki-laki? Pacarnya Mama gitu, kan Mama Sisil punya pacar baru," tukas Mas Haris menuduhku yang macam-macam. Sial, jangan-jangan ini sengaja ia lakukan agar Sisil jadi benci aku. 

"Mas, jangan bicara sembarangan," elakku marah. 

"Kalau tidak punya pacar jangan marah," timpal Mas Haris. 

"Marah, Mas, karena kamu memfitnah," jawabku kesal. 

"Lalu apa bedanya kamu yang buntuti suami lagi kerja?" tanya Mas Haris balik. Ia terus menerus memutar balikkan fakta. 

"Ya jelas beda, kamu bohong, Mas," ungkapku akhirnya tidak tahan. 

"Bohong apa? Sebutkan? Aku sudah tunjukkan foto bertiga loh," tantang Mas Haris. Ia benar-benar niat berbohong. 

"Aku lihat kamu bersama ...." 

Bersambung

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Lolo Lala
belum selese mengikuti ceritanya tapi sudah ke kunci
goodnovel comment avatar
Deltha FY SPd
bgus tp sayang keburu kecunci lagi.........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status