"Meninggal? Kamu ikut dalam proses pemakamannya?" tanya papa. Aku pun menggelengkan kepala, waktu itu hanya tahu dari Mas Haris.
Papa mengelus punggung ini, seraya tengah menenangkan putrinya. Meskipun hanya ayah angkat, ia tetap sedih ketika melihat putrinya sedih.
"Haris nggak boleh tahu kamu sudah Papa wariskan hotel ini," pesan papa.
"Kamu jangan nangis ya, Mama yakin kamu anak kuat seperti almarhumah mamamu," susul mama.
Kuat atau rapuh kondisiku saat ini yang ada di pikiran hanya Sisil, dia seorang anak wanita, dan akan tumbuh dengan semestinya, tapi ternyata memiliki seorang ayah yang tidak memiliki perasaan. Mas Haris kelewat cerdik menutupi ini semua.
"Tapi, Pah, yang kutahu Tiara ini sudah meninggal dunia tiga tahun lalu, adiknya juga membenarkan hal itu," pungkasku. Tiba-tiba melintas chat Gea melalui inbox yang kubaca beberapa bulan lalu.
Papa terdiam menoleh ke arah istrinya. "Tiga tahun lalu? Apa kamu diajak pulang kampung tiga tahun belakangan?" tanya papa menyelidik.
Aku menggelengkan kepala ini. Sebab, pertanyaan papa membuatku tersentak lirih. Apa ini alasannya tidak mudik tiga tahun lamanya? Supaya bisa bersandiwara seolah-olah Tiara meninggal dunia?
"Sepicik itu, Pah? Pura-pura meninggal hanya untuk menutupi sesuatu?" tanyaku padanya.
"Justru ini yang menarik, tiga tahun tertutup rapat, Papa akan bantu kamu, Elena, kita selidiki, kalau terbukti dia mempermainkan pernikahan, kita bisa jebloskan Haris ke penjara," terang papaku.
Air mataku mengembun, rasanya sulit menahannya, tapi aku malu menangis di hadapan orang tua yang telah membesarkanku.
"Kita bisa selidiki mulai dari sosial media, Pah, belum lama ini, tepatnya dua bulan lalu, ada yang menulis status memakai akun F******k Mas Haris, aku rancu dan merasa memang bukan dia yang tulis, sempat menuduh Gea, tapi aku rasa bukan dia orangnya," tuturku pada orang tua angkatku.
"Itu soal mudah, yang terpenting sekarang, kamu santai, jangan gegabah, Haris licik, kamu harus cerdik. Papa kok gemes ya dengarnya, meskipun kamu bukan anak kandung, tapi terasa Fitri juga mengalami hal ini," ungkap papa sambil mengepal tangannya.
"Aku di rumah harus cerdik, tapi geram, Pah, ingin rasanya membuat Mas Haris tidak betah di rumah," usulku. "Apa aku kuras hartanya, Pah?" tanyaku.
"Nggak perlu, hartaku lebih banyak darinya, untuk apa mendapatkan harta dari orang yang licik? Tidak sudi papa, Nak," kata papa sambil mengelus rambut ini. "Minggu depan mereka pasti ke sini lagi, papa pastikan mereka akan malu seumur hidup," ancamnya.
Kemudian, aku berpamitan keluar untuk mengambil Sisil yang kutitipkan pada pegawai yang bekerja di sini, tapi sebelumnya papa pastikan lebih dulu Mas Haris sudah keluar dari hotel ini.
"Dia baru saja keluar, sudah kamu pulang sekarang sana, oh ya papa mau pulang ke Indramayu sore ini, minggu depan insyaallah akan papa ceritakan semua ini pada Fitri. Dia pasti akan membantumu," ungkap papa.
Aku hanya mengangguk sambil menyunggingkan senyuman. Beruntung sekali memiliki orang tua angkat yang baik, tapi karena mereka terlalu baik inilah yang membuatku kadang sungkan meminta pada mereka.
***
Setibanya di rumah, mobil Mas Haris belum terparkir di garasi. Kemungkinan ia tengah mengantarkan Tiara, ya aku yakin itu Tiara, tidak mungkin dia punya kembaran, sedangkan dengan Gea saja ia hanya terpaut angka dua atau tiga tahun kalau tidak salah.
Langkahku terhenti ketika mendengar panggilan dari seorang wanita.
"Len, kamu dari mana sama Sisil?" tanya Gea yang tiba-tiba muncul dari gang.
"Bukan urusanmu," celetukku sambil membuka pintu gerbang.
"Mas Haris pergi? Terus kamu susulin, kan?" tanya Gea menyelidik.
"Nggak kok," sahutku singkat.
"Alah, jangan bohong, tadi aku ngikutin kamu loh di belakang, kamu ke hotel FitLen, kan?" tukas Gea lagi. Ternyata ia membuntutiku. Kenapa dia seperti itu sih? Apa jangan-jangan Mas Haris cepat pergi karena tahu informasi ini dari Gea?
Tangan ini menggenggam pagar, ada jari kecil yang menarik bajuku untuk cepat masuk. Sisil mendongak menatapku dengan lirih. Dari raut wajahnya membuatku nyeri. 'Nak, kamu punya seorang ayah pembohong besar, penipu ulung yang telah mengelabui kita atas dalih tutup usia,' batinku merintih sambil menatap wajah Sisil.
"Aku mau ke hotel, ke Indramayu tempat papa angkat, atau ke Cilacap sekalipun, tempat kampung suamiku, itu terserah aku, ngapain kamu urusin orang lain? Kurang kerjaan?" Aku bertanya dengan alis terangkat.
Posisi berdiri Gea berubah tegak, padahal tadinya ia terlihat santai. Matanya membulat seraya ingin meluapkan emosinya. Ia melangkah ke arahku yang sudah membuka pintu gerbang. Namun, tiba-tiba Mas Haris pulang, ia memarkirkan mobilnya di pinggir jalan. Lalu ikut nimbrung dengan kami.
"Elena, kamu dari mana?" tanya Mas Haris, dia melangkah menghampiri dan berada di tengah-tengah antara aku dan Gea.
Sedangkan Gea terlihat tertawa kecil menyaksikan Mas Haris datang menghampiriku dengan bertanya seperti orang tengah menginterogasi.
"Pura-pura diam dia, Mas," celetuk Gea.
Aku terdiam mengamati tingkahnya Gea.
"Kamu ikutin aku, Sayang? Tadi itu mendadak ada meeting antara manager, kalau nggak percaya, ini aku ada fotonya," sanggah Mas Haris sambil menyodorkan ponselnya.
Kulihat ia tengah duduk bertiga sambil berpose menunjukkan jempol masing-masing. Mas Haris foto dengan ketiga teman sesama manager.
Aku menyerahkan kembali fotonya, hebatnya suamiku, sandiwaranya sungguh patut diacungkan dua jempol. Sangat sempurna, tapi sayangnya aku sudah tahu semuanya, meskipun belum tahu kebenarannya, namun semakin Mas Haris menutupi kebohongannya, aku justru semakin sangat yakin bahwa Tiara benar masih hidup.
"Ya, aku percaya kok, sekarang kita masuk, Mas, masa berdiri di depan gini," ucapku sambil menarik lengannya, ada tatapan sinis terpancar dari wajah Gea. Kemudian ia balik badan dan melangkah pulang dengan hentakan kaki penuh amarah.
Aku sengaja berjalan berdampingan dengannya, ia sontak menggendong Sisil yang menurutku bobot tubuhnya sudah berat. Namun, tiba-tiba Mas Haris menginterogasi anaknya.
"Sisil dari mana sama Mama?" tanya Mas Haris.
"Dari hotel, Pah, kirain mau nginep, eh nggak," ungkap Sisil. Ia masih polos pasti bicara jujur.
"Apa Sisil ke hotel bertemu dengan laki-laki? Pacarnya Mama gitu, kan Mama Sisil punya pacar baru," tukas Mas Haris menuduhku yang macam-macam. Sial, jangan-jangan ini sengaja ia lakukan agar Sisil jadi benci aku.
"Mas, jangan bicara sembarangan," elakku marah.
"Kalau tidak punya pacar jangan marah," timpal Mas Haris.
"Marah, Mas, karena kamu memfitnah," jawabku kesal.
"Lalu apa bedanya kamu yang buntuti suami lagi kerja?" tanya Mas Haris balik. Ia terus menerus memutar balikkan fakta.
"Ya jelas beda, kamu bohong, Mas," ungkapku akhirnya tidak tahan.
"Bohong apa? Sebutkan? Aku sudah tunjukkan foto bertiga loh," tantang Mas Haris. Ia benar-benar niat berbohong.
"Aku lihat kamu bersama ...."
Bersambung
Aku menghentikan ucapan yang nyaris kubongkar semuanya. Kalau aku tanya tentang Tiara, itu sama saja memudahkan Mas Haris mencari alasan. Jadi lebih baik aku pura-pura saja. "Aku kesal kamu bilang mau jenguk yang kecelakaan di Depok, tapi ternyata ke hotel bersama ketiga manager di Bekasi, itu terniat banget, Mas bohongin istri," sanggahku lagi. Mas Haris terdiam sejenak, lalu ia menarik tubuh ini ke dekatnya. "Maaf ya, tadi terpaksa bohong, aku takut kamu curiga aku ada main dengan lelaki, soalnya di hotel tempatnya," kata Mas Haris. Ia berpura-pura mesra dan takut dikira jeruk makan jeruk, padahal aku tahu mereka tidak bertemu sama sekali di hotel. Yang ia tunjukkan tadi pasti foto editan. Sebaiknya aku pura-pura percaya saja, sambil menyelidiki dan membongkar di waktu yang tepat. "Lupakan, Mas, anggap aku yang salah, kamu memang selalu benar," celetukku sambil melepaskan pelukannya dan memalingkan wajah ini darinya. Mas Haris berdecak bahagia, aku mendengarnya, dan langsung me
Padahal niat berikan obat pencuci perut hanya ingin buka-buka ponsel Mas Haris lagi, tapi ternyata malah kedapatan Gea menghubungi suamiku. Ya, itu foto Gea yang tertera dalam kontak aplikasi berwarna hijau gambar gagang telepon. Mataku berkeliling, lalu diam-diam mengusap layar ponsel, mulut ini jangan sampai terbuka dan menjawab sapaan darinya, supaya tahu mereka mau apa. "Halo, Mas," ucap kontak yang bernama Gea. Namun, kedengeran telinga ini kenapa suaranya berbeda? Aku diam tak menjawab sapaan darinya. Namun tetap meneliti dan mengenali suaranya yang memang bukan suara Gea yang kukenal. "Mas, ada istri kamu ya? Kirain udah berangkat kerja, maaf kalau gitu," cetusnya. Telepon pun terputus begitu saja. Aku terdiam sambil memegang benda pipih milik Mas Haris. 'Apa Gea lagi flu? Suaranya jauh berbeda yang biasa kudengar,' batinku. Akhirnya aku singkirkan pikiran itu, kemudian mengusap kembali ponselnya untuk membaca semua pesan yang ada di aplikasi warna hijau. Teratas kulihat
Balasan dari wanita itu datang, aku gemetar saat membacanya. [Ya udah, kita ketemuan, kita bahas Gea.]Astaga, aku harus jawab apa? Jari ini langsung mengetik pesan dengan lancarnya. [Kita ketemuan di hotel FitLen, sekarang.]Aku membalasnya dengan ide yang muncul tiba-tiba. [Memang kamu nggak kerja, Mas?][Kita ketemuan sekarang, kamu dandan yang cantik, ya. Di Cafe hotel FitLen. ][Oke, Mas.]Pesan dari wanita itu kuhapus semua, tersisa pesan Mas Haris yang menanyakan pola Gea. Aku segera meletakkan ponsel milik Mas Haris dan segera berdandan untuk bertemu dengan wanita itu. Namun, sebelum berganti pakaian, aku mengusap wajah Mas Haris dari depan. Ia terlihat pulas, aku yakin ia takkan bangun hingga selesai bertemu dengan wanita itu. Setelah yakin, barulah aku segera berangkat. Namun, tiba-tiba ada seorang wanita setengah baya datang ketika aku membuka pintu. Astaga, aku lupa bahwa hari ini adalah pertemuan dengannya. "Maaf, Bu. Saya Mbok Wati, mau ketemu Bu Elena, kata Pak Ha
Namun, mendadak bahu ini dipegang oleh seseorang. Aku menoleh ke arahnya, dan ternyata wanita itu adalah Gea. "Gea!" Aku tercengang melihat sosok wanita yang ada di belakangku. Ternyata Gea, adik dari Tiara. Astaga, mimpi apa aku semalam dihimpit masalah seperti ini? Mau memergoki malah kepergok. Tanganku dicekal hingga tak bisa berontak, tenaganya lebih kuat dariku, matanya pun menyorot penuh. "Jangan berisik, ada ruangan khusus nggak untuk kita bicara berdua?" tanya Gea. Aku pikir ia akan marah atau berkoar-koar di hadapan karyawan dan pengunjung cafe, tapi ternyata yang dilakukannya tidak seperti yang aku pikirkan. Aku menoleh sebentar, melihat ke arah Tiara yang tengah menikmati secangkir kopi. "Bukankah setelah ini kakakku akan buang air besar terus menerus?" tanya Gea lagi membuat mataku membulat. Tidak menyangka bahwa dirinya tahu semuanya. Akhirnya aku mengajaknya duduk di satu ruangan khusus, untuk kami supaya bisa ngobrol, sebab Gea tahu semua rencanaku. Kemungkinan be
"Mbak Tiara melakukan itu untuk ...."Gea menghentikan ucapannya. Membuatku semakin penasaran, matanya sengaja berkeliling seraya mengejek. "Apa, Gea?""Nanti ya, aku akan kasih tahu kamu semuanya setelah ada perjanjian di atas materai, sekarang lebih baik kamu bersembunyi, kakakku akan datang meminta pertanggungjawaban ke sini," tutur Gea membuatku terdiam, bingung, sebenarnya ia ada di pihak mana? Langkah kakinya mundur, ia terus mengukir senyuman ke arahku. "Aku akan urus Mbak Tiara, kamu urus dirimu sendiri, Elena!" suruhnya kemudian membuka pintu yang terbuat dari kaca. Lalu ia melambaikan tangannya dan perlahan menghilang dari hadapanku. Aku menghela napas sambil menggebrak meja. Lalu meraih telepon yang ada di hadapanku dan memanggil karyawan lain, selain Burhan. Setelah menunggu beberapa menit, satu orang karyawan datang, ia tertunduk, sudah tahu jati diriku. "Tolong bawakan masker dan pakaian pelayan untuk saya," suruhku. "Ta-tapi, Bu ....""Sudah jangan ngeyel," cetusk
Sisil datang dan menyergap papanya dari belakang. Anakku menyelamatkan mamanya. Dengan menghela napas aku membawa barang belanjaan ke dapur supaya Mas Haris lupa untuk memeriksa kembali. Ditambah lagi Sisil akan segera berangkat les, ia memang aku bikin jadwal les siang, karena masih sulit bangun pagi-pagi. "Aku antar Sisil dulu ya," ucap Mas Haris. Jarak tempat les nya cukup jauh, biasanya aku mengantarkan dengan motor, kali ini Mas Haris sudah membawa kunci mobil. 'Semoga ia lupa untuk tidak membicarakan perihal belanjaan tadi, atau kalau perlu aku beli sayuran dulu ke warung sayuran di dekat rumah,' batinku. "Hati-hati, Mas, aku ikut nggak?" tanyaku basa-basi. Padahal dalam hati ini masih gemetar kalau ikut pasti ia tanya-tanya di jalan. "Nggak usah, abis nganter Sisil aku nerus ke bengkel aja deh, kan setelah dari bengkel bisa langsung jemput lagi," jelas Mas Haris. 'Aku terdiam, ini mobil baru, plat aja belum datang, kenapa sudah mau dibawa ke bengkel?' Pertanyaan-pertanyaan
Aku menoleh ke arah Mas Haris, pria yang baru saja naik jabatan beberapa bulan itu tampak membasahi bibirnya. Aku tahu ia sangat shock mendengar ucapan putrinya, aku pun sama, prasangka buruk semakin menyiksaku saat ini. Dada ini bergemuruh, tapi aku tidak ingin hati Sisil semakin hancur jika mengetahui hal yang sebenarnya. Meskipun ini adalah kesalahan Mas Haris, tapi aku tidak mau anak menjadi korban dari perbuatan papanya, hingga harus menanggung malu seperti itu. "Kalau Sisil nggak mau sekolah, boleh kok, tapi kalau nanti sudah kepingin lagi, kita ke sekolah ya, Mama janji akan temani kamu," ungkapku sengaja mengalihkan pembicaraan. Meskipun dalam hati kecil menginginkan Mas Haris menjelaskan ini semua. "Beneran ya, Mah. Kalau gitu, Sisil mau bobo siang dulu," ucapnya sambil menyergap tubuhku. Kemudian, aku menggendongnya dan memanggil Mbok Wati untuk mengajak Sisil ke kamar. Kini tersisa aku dan Mas Haris. Dengan santai aku duduk di dekatnya. Laki-laki yang kini berada di dek
"Hantunya datang ya, Mas? Di depan matamu loh!" ucapku dengan disertai senyuman. Mas Haris terdiam menunduk. Sesekali ia melirik ke arah wanita yang tengah berdiri di hadapan kami. "Kakinya napak ke tanah, Mas. Berati Tiara bukan hantu," tuturku lagi. Mata Mas Haris berputar, lalu tiba-tiba saja ia menarik tangan Tiara dan agak menjauh dariku. Pesan dari Gea pun masuk. Aku membiarkan Mas Haris bicara berdua di depan rumah. [Kakakku ke sana karena aku bilang padanya bahwa Mas Haris akan mempertemukan kamu dengannya. Mbak Tiara sangat antusias dijadikan madumu, Elena.]Sekarang aku paham, Tiara melakukan hal ini untuk mendapatkan Mas Haris, ia cinta mati padanya, hingga rela disebut sudah meninggal dunia. Aku menghampiri kedua orang yang tengah berdebat di garasi rumahku. Dengan tangan dilipat di atas dada, aku pun menyunggingkan senyuman padanya. "Kalian ini cocoknya menjadi pesinetron," ucapku sambil bertepuk tangan. "Kamu salah paham, Elena," sanggah Mas Haris. "Manager yang