Aku mengelus dada ketika tahu bahwa Mas Haris tengah berduaan menuju hotel yang baru diresmikan orang tua angkatku. Darah ini mendidih menyaksikan suami menggandeng wanita itu mesra.
Aku coba balas lagi pesannya, siapa tahu ada video yang lebih jelas, sebab aku tidak bisa menebak-nebak siapa wanita itu sebenarnya, tubuhnya tertutup jaket Mas Haris.
[Bu Dara, boleh minta video lebih jelasnya?" tanyaku padanya.
[Hanya itu aja yang kebetulan kurekam lewat video. sekarang orangnya sudah masuk kamar.]
Akhirnya aku tidur dengan rasa penasaran yang sudah di puncak.
"Sialan kamu, Mas, berkhianat, padahal aku sudah berusaha setia." Aku bicara sendirian di kamar sambil selonjoran dan merebahkan tubuh ini.
Ketika aku miring ke kanan, tiba-tiba terlintas untuk ke rumah Gea. Selama ini dialah wanita yang selalu tahu urusan suamiku, Jangan-jangan dia orang yang tadi di hotel. Kalau Gea tidak ada di rumah, artinya memang dia orangnya.
Segera aku ambil kunci motor, tapi sebelum beranjak pergi, aku coba meyakinkan Sisil sudah tidur lelap. Kuraba depan wajahnya ternyata tidak sadar dengan adanya mamanya di hadapan Sisil. Itu artinya anakku sudah pulas, bisa ditinggal sebentar.
Aku tarik gas lalu meluncur ke rumah depan yang baru selesai renovasi itu. Di kepala ini banyak khayalan, bahkan kalau ternyata Gea terbukti tidak berada di rumah, aku siap langsung menuju hotel untuk menggeledah. Tidak ada yang bisa melarangku, karena papa dan mama sudah mempercayakan semuanya padaku.
Setelah tiba di rumah yang masih bau cat, aku mengetuk pintu yang masih terlihat mengkilap.
Jantungku berdetak kencang, seolah-olah sangat yakin bahwa orang yang berada di dalam rumah ini tidak ada.
"Argh, sial! Pasti Gea yang berada di hotel!" ujarku sendirian sambil membanting tangan.
Aku menghela napas, sebab tidak ada yang membuka pintunya. Sesekali pandangan ini menoleh ke belakang berharap Gea membuka pintu. Namun harapan itu sirna. Sudah tiga kali aku menggedor pintunya tapi tidak ada jawaban.
Namun, setelah putus asa dan hendak menunggangi motor, tiba-tiba suara jeritan pintu terbuka. Lampu ruang tamu yang tadinya gelap pun tiba-tiba menyala.
Aku menoleh kasar, karena sangat penasaran. Ternyata Gea, dia ada di rumahnya. "Gea," celetukku menyapa.
Gea mengusap matanya lalu mengikat rambutnya yang tergerai. "Ada apa sih? Ganggu orang tidur aja!" ketua Gea dengan mata menyipit, ia agak sinis memandangku.
Aku terdiam, sambil memikirkan jawaban apa yang akan kulontarkan. 'Ingat, Elena, jangan bodoh, jangan mengatakan tentang video itu pada siapa pun, bisa saja musuhmu itu adalah teman dekat,' batinku mencegah mulut ini bicara jujur pada Gea.
"Nggak, aku cuma mau ... mau itu, apa sih, emm, minta cabe, punya nggak?" tanyaku sekenanya. Tidak ada alasan yang hinggap di kepala, hanya cabai yang muncul karena memang ibu rumah tangga.
"Kamu tuh aneh, aku sales mobil, adanya brosur," jawab Gea ketus. "Dah ya, aku ngantuk banget, nggak punya pacar jadi tidur aja lah," cetus Gea membuatku tersenyum miring.
Lalu aku pamit sebelum Gea menutup pintu.
Setibanya di rumah, aku jadi semakin penasaran. "Kalau bukan Gea, siapa wanita yang Mas Haris rangkul ke hotel? Astaga, semoga laki-laki itu bukan Mas Haris, tapi cara jalan dan baju yang digunakan sama persis dengan yang di video tadi," rutukku bicara sendirian.
***
Pagi telah mengeluarkan sinarnya. Mas Haris belum juga pulang ke rumah. Aku benar-benar kalut sekarang. Pagi ini aku akan meluncur ke hotel dengan alibi menemui orang tuaku dan sebelum menyaksikan wanita yang ada di pelukan Mas Haris, aku akan minta orang tua angkatku membuka rekaman CCTV saat tamu berkunjung.
Aku memesan taksi online dan mengajak Sisil ke hotel. Sebab, tidak ada yang bisa aku titip, khawatir juga malah merepotkan.
Sebelum tiba di hotel, sepanjang jalan aku menghubungi orang tua angkat yang masih bermalam di hotel milik kami. Hari ini kemungkinan mereka akan kembali ke kampung halaman.
"Pah, bisa nggak saat aku datang ke sana lihat rekaman CCTV?" tanyaku padanya.
"Bisa, memang untuk apa?" tanya papa.
"Semalam lihat Mas Haris di sana, Pah," ucapku supaya sampai di sana langsung disodorkan CCTV olehnya.
"Sudah papa duga, tadi mamamu lihat sepintas, tapi papa pikir hanya mirip karena kok pakai mobil," cetus papa.
"Baru beli, Pah. Mas Haris baru diangkat jadi manager," jawabku sambil melihat jalan. "Aku dah mau sampe, kita ketemu di lobi ya," tambahku. Kemudian, telepon pun terputus.
***
Setibanya di hotel aku langsung dipertontonkan rekaman video CCTV oleh papa yang sudah melihatnya lebih dulu.
"Benar itu Haris, lihat saja, papa sudah yakin itu dia," kata papaku.
Aku membuka mata lebar-lebar karena tujuan melihat CCTV memang bukan hanya memastikan itu Mas Haris, tapi ingin melihat sosok perempuan yang bersamanya di hotel ini.
Kuputar dari arah depan. Betapa terkejutnya aku ketika melihat sosok wanita yang bersama Mas Haris.
"Nggak mungkin, Pah, nggak mungkin Tiara, dia sudah meninggal," cetusku Sambil menggelengkan kepala ini.
Bersambung
"Maaf Bu Elena, kami permisi dulu, kami harus menginterogasi tersangka," ucap polisi sambil menarik lengan Tiara dan Mas Haris.Keduanya tidak berontak, hanya saja tepat di hadapanku, Mas Haris berhenti."Aku titip Sisil, Elena, sudah puas kan kamu memporak-porandakan hidupku?" Mas Haris berkata dengan nada pelan. Kemudian disusul oleh Tiara di belakangnya. Ia pun sengaja berhenti di hadapanku."Aku belum kalah, Elena, lihat saja nanti," ancam Tiara dengan mata menyipit. Aku tak menjawab apalagi meladeninya, justru membiarkan keduanya pergi dengan iringan polisi.Tangan ini masih berada dalam gandengan Mbak Fitri. Ia menatapku sambil memberikan senyuman. Kedipan mata Mbak Fitri membuatku merasa tenang, tiba-tiba ada orang yang muncul dari balik vas bunga. Dia Pak Danu, kemudian beranjak ke arahku berdiri."Sudah tenang ya sekarang, berati bisa fokus nulis novel lagi, dan segera jadi penulis terkenal yang naskahnya dipinang dan difilmkan," tutur Pak Danu ternyata masih ada di hotel in
"Dia bohong, ini semua fitnah. Saya bisa laporkan kalian atas tuduhan pencemaran nama baik!" Mas Haris mulai membalikkan fakta lagi. Ia tidak sadar bahwa kesalahannya lebih banyak daripada istrinya. Begitulah manusia, kesalahan orang terus dikoreksi, sedangkan kesalahan sendiri tidak ia pedulikan.Mbak Fitri terkekeh, ia seakan puas mewakili perasaanku, menghancurkan Mas Haris dengan cara sadis sekalian, bukan dengan kekerasan, tapi mempermalukan.Seketika ruangan jadi ramai, beberapa orang berdebat dan berdiskusi mencari yang salah. Ada sebagian yang datang mendadak bubar, mungkin mereka tidak ingin ikut campur urusan beginian.Sekarang di ruangan tidak sebanyak tadi, hanya tersisa beberapa kepala saja, orang yang memiliki banyak waktu tetap di sini, tapi orang yang tidak mau membuang waktunya memilih pergi ketimbang hanya untuk pengumuman masalah rumah tangga.Tiba-tiba saja Mas Haris menarik lengan jas hitam yang ia kenakan, lalu menunjuk ke arah Pak Danu. Kini pandangan semua oran
"Ya, dia adikku, Pak, bisa jadi referensi untuk jadi calon istri nanti, aku pastikan dia akan bercerai dari suaminya," ucap Mbak Fitri sambil terkekeh. "Mbak ih," celetukku malu. Kemudian, Pak Danu menoleh dan menatapku tajam."Kok nggak mirip ya?" tanya Pak Danu."Kami hanya saudara angkat, Pak. Tapi Mbak Fitri dan orang tuanya sangat baik padaku," timpalku membuat Pak Danu mengangguk. Kemudian mata Mbak Fitri terlihat mencari sesuatu. Ternyata ia langsung menghampiri Sisil dan memeluknya."Ponakan Tante, cantik banget sih! Oh ya, nanti Sisil sama Tante cantik itu ya, di play ground main di sana!" seru Mbak Fitri. Ia langsung melambaikan tangan seraya memanggil wanita yang berseragam coklat, seragam yang dikenakan semua pegawai hotel.Pegawai itu menghampiri dan membawa Sisil. Aku tahu pasti ia tidak mau anakku tahu tentang ayahnya."Mereka sudah di dalam, aku ingin kamu buat laporan dulu, terserah kamu mau lapor masalah pernikahan mereka atau pura-pura matinya Tiara, atau kalau per
"Ya udah, aku berangkat bareng Mbok Wati, asisten rumah tangga di sini," ucapku pertanda mengakhiri telepon.Setelah sambungan telepon sudah terputus, akhirnya aku panggil Mbok Wati untuk bersiap ke hotel, sambil lihat jam yang melingkar di tangan, aku memerintahkannya dengan cepat. Mbok Wati paham, ia langsung ke kamar Sisil merapikan anakku.Di depan kaca rias, aku memoles wajah ini dengan bedak. Jadi teringat saat perias pengantin berkata padaku untuk selalu jaga penampilan di hadapan suami. Itu semua sudah kulakukan, tapi tetap saja Mas Haris tergoda rayuan Tiara. Namun, karena hal itu aku pun mengulang kembali kata-kata yang dilontarkan Tiara semalam."Dia bilang menanti belasan tahun, dan baru tiga tahun ini berhasil mendapatkan apa yang diinginkan olehnya." Aku bicara sendirian. "Ah nggak usah diingat kata-kata itu, merusak moodku aja," tambahku sambil menutup tempat make up yang kupakai. Lipstik sudah kuoles dengan warna peach, aku suka warna yang tidak mencolok, natural dan
"Len, Mbak telepon polisi ya!" teriak Mbak Fitri kemudian telepon sengaja aku putus.Plak!Tamparan keras melayang di pipiku. Ini kesempatan emasku untuk menjebak Mas Haris, agar ia tak lagi main-main denganku.Aku ambil tangannya sekali lagi dan memukul wajahku. Namun, tiba-tiba ada yang datang berkunjung.'Sial, siapa yang datang? Aku belum bonyok dan cukup bukti untuk menjebloskan Mas Haris, mukaku harus bonyok dan memar supaya ia bisa dituntut," batinku."Buka sana pintunya!" suruh Mas Haris."Kamu aja, paling istri siri kamu," ucapku agak ketus.Mas Haris terdiam, lalu melangkahkan kakinya ke depan. Ia membuka pintu kemudian aku menunggu di depan televisi. "Kok lama ya, kenapa Mas Haris tidak muncul lagi?" tanyaku bicara sendirian. Akhirnya aku menyusul untuk melihat siapa yang datang. Sebab, sudah hampir dua menit Mas Haris tidak bersuara dan balik ke ruangan keluarga.Aku lihat ke depan, mobilnya masih terparkir, tapi Mas Haris tidak ada di rumah."Ke mana dia?" Aku bertanya-t
"Sudahlah, Mas. Memang kedokmu sudah seharusnya terbongkar. Aku hanya mempermudah saja," kata Gea sambil menghindar pergi. Ia pun sengaja mengejarnya, dan tidak peduli denganku. Akhirnya aku ke arah parkiran tempat Pak Danu menunggu, mobilnya masih tampak di depan. Namun, tiba-tiba Mas Haris memanggilku dengan nada tinggi. "Heh! Perempuan nggak diuntung! Anak yatim piatu yang sudah kuurus 12 tahun, kenapa kamu malah tega menghancurkan karirku?" Pertanyaan Mas Haris terdengar melengking dari belakangku dan membuat badanku terpaksa menoleh ke arahnya. Ternyata ia tidak mengejar Gea, justru kembali mengejarku. "Masih ada lagi yang ingin kamu katakan, Mas? Silakan umpat sepuasnya, setelah itu kamu pergi dari sini!" sentakku. "Ini tempat aku kerja, seharusnya dari tadi kamu tidak injak kakimu itu ke sini!" Mas Haris balik mencaci. "Aku nggak ada niat buruk, Mas, hanya ingin mempermudah perusahaan mengeluarkan benalu seperti kamu. Sekarang perusahaan tahu bahwa anak buahnya tidaklah p