"Maaf, aku merepotkanmu dengan kondisiku seperti ini," lirihku."Tuh kamu tahu, masih saja betah di sini." Ucapan Mas Gilang membuat jantungku serasa diremas paksa."Setelah aku sembuh, aku akan pergi, Mas," ujarku pelan. Kugigit bibir kuat, jangan sampai air mata jatuh berurai."Aku ingin sebelum benih haram itu lahir, kamu segera angkat kaki dari sini," dengusnya dengan sorot mata tajam bak anak panah beracun."Ya Allah! Gilang, dunia akhirat kamu anak Ibu. Nia, dia juga sudah Ibu anggap seperti anak kandung Ibu. Tolong berdamai, tidak baik musuhan." Ibu menghela napas panjang. Seakan kehabisan kata-kata menasehati putranya."Ibu tidak berada di posisi Gilang ....""Tentu, ucapan kamu sangat benar. Dalam hidup ada hukum sebab-akibat. Itulah yang melanda hidup kalian sekarang.""Aku menyesal menikahi wanita sepertimu!" Kalimat menyakitkan yang keluar begitu saja dari mulut lelaki yang namanya masih terukir di hati. Aksara yang memporak-porandakan jiwa."Sungguh! Ini diluar kendaliku,
Lelaki tampan itu melangkah cepat mencari minyak kayu putih. Aku hanya mematung menyaksikan ibu yang tak berdaya. Beberapa detik kemudian, kembali dengan sebotol minyak putih ditangan. Dibalurkan segera ke tekuk ibu dan dioleskaan di bawah hidung.20 menit kemudian dokter keluarga Sentawibara datang memeriksa ibu."Ibu kalian tidak apa-apa. Kondisinya baik-baik saja. Cuma tensi darahnya yang agak tinggi. Kemungkinan banyak pikiran. Jadi tolong dijaga. Takutnya darah tingginya kumat dan berpotensi terkena stroke," papar dokter di hadapaku.Wanita cantik itu memberikan selembar resep pada Mas Gilang. Tidak menunggu waktu terus berjalan, Mas Gilang pergi menuju apotik. Ibu masih tak sadarkan diri. Dokter itu juga pergi setelah melakukan tugasnya."Bukankah wanita di foto itu sudah menikah dengan Gilang?" Mas Lukman terlihat bingung.Aku menceritakan kedatangan keluarga Nagita beberapa hari kemarin. Tangan Mas Lukman mendarat di sofa. Dia sangat menyayangkan perbuatan Gilang yang berujung
Malamnya keluarga Nagita kembali datang. Pembicaraan cukup menguras emosi. Aku saja geram dengan permintaan keluarga Nagita yang sangat berlebihan."Kami mau pernikahan yang meriah dan disiarkan di media," ungkap Ibu Nagita."Satu lagi maharnya harus tinggi seperti dalam video rekayasa waktu itu," sambung Ayah Nagita."Sebenarnya apa mau kalian, hah? Menikahkan anak kalian denganku atau mau memerasku?" tanya Mas Gilang emosi.Ibunya Nagita menyeringai disertai senyum miring. "anak saya ini mahal, berpendidikan tinggi, karier bagus. Paling penting dia sudah memiliki tiga orang anak dan sudah pastinya dia subur. Tidak seperti istri pertama Anda."Tak bisakah wanita itu bicara tanpa menyudutkanku. Perbuatan apa yang kulakukan padanya, sehingga dia pertama dia datang selalu menghinaku. Nagita juga tidak memberitahu bahwa aku juga hamil. Bukan aku yang tak mampu memberikan keturunan pada Mas Gilang."Tolong mulutnya dijaga, Bu. Sampaikan tujuan Ibu ke sini, tanpa harus menyindir orang lain
"Apa yang harus kita bela. Kamu salah," jawab Mas Lukman spontan."Aku tidak tidur dengan wanita itu. Aku bukan lelaki murahan yang mengumbar cinta pada banyak wanita ....""Murahan nggak, tapi baperan, iya," potong Ali dengan kekehan sarkas."Siapa suruh kamu merekayasa pernikahan? Siapa?" tanya ibu seraya berkacak pinggang. Sisi lembutnya mendadak menghilang dalam kurun waktu bulan ini. "Stop berdebat. Kamu harus menikahi Nagita. Pelajaran untuk kamu sendiri. Gunakan otak dan hati sebelum melakukan sesuatu." Ibu memegang dadanya. Dia terlihat sulit bernapas, berat beban yang menderanya. "Aku bisa klarifikasi, bahwa pernikahan kami cuma rekayasa ....""Stop Gilang! Tak ada bantahan. Terima konsekuensi dari perbuatanmu. Jangan memperburuk citra keluarga di depan media. Karena yang malu bukan kamu saja. Namun, seluruh keluarga besar Sentawibara. Sejauh ini paham!" Mas Lukman berbicara sangat tegas. Namun, Mas Gilang masih saja ngeyel."Ngapai nolak. Bini baru, Mas," goda Ali dengan
Tidak ada tukar cincin seperti pernikahan kebanyakan. Bahkan, Mas Gilang acuh tak acuh saat di minta berfoto oleh pihak keluarga Nagita. Berulang kali fotografer meminta Mas Gilang untuk tersenyum. Namun, lelaki tampan itu memasang wajah masam. Dia sama sekali tidak bisa menyembunyikan isi hatinya.Aku menarik napas panjang. Hukum tabur tuai layaknya sebuah gravitasi. Perlahan tapi pasti. Disadari atau tidak, semua akan datang dengan sendirinya. Ini lah yang sedang kami hadapi. Aku dirajam oleh pengkhianatanku tanpa ampun. Mas Gilang masuk dalam permainan yang dia ciptakan sendiri. Berusaha menjatuhkankan mentalku. Namun, begitu cepat Allah mengguak kebenarannya."Nak, ayo ke depan." Suara ibu mengagetkanku. Dia menepuk pundakku kasar. Entah dari mana ibu melangkah. Tiba-tiba saja berdiri di belakangku."Nggak, Bu. Nia di sini saja," tolakku halus dengan mengurai senyum manis."Ayo! Nggak apa-apa," ajak ibu lagi."Jangan, Bu. Jangan buat Mas Gilang semakin membenci Nia," ucapku pelan.
Setelah salat subuh, aku memilih keluar dari kamar. Semalam tak bisa memejamkan mata. Bayangan Mas Gilang dan Nagita melakukan malam pertama menganggu pikiran. Padahal, sudah kusiasati dengan salat malam dan membaca Al-Quran. Namun gejolak penasaran tak mampu kukendalikan."Nggak, Bu! Menyebalkan. Lelaki itu payah. Dia meninggalkanku sendirian." Suara Nagita terdengar jelas di telinga. Aku memilih diam di belakang tembok. Hanya berjarak tiga meter dari posisinya berdiri. Dia sepertinya sangat serius dalam berbicara. Kehadiranku tidak disadari olehnya."Nanti lah, Bu. Aku akan membuat dia bertekuk lutut di kakiku." Nada bicara Nagita penuh penekanan.Hanya pembicaraan singkat itu yang mampu kudengar. Sepertinya, Nagita sudah mematikan sambungan teleponnya.Aku mengarahkan kursi roda ke dekatnya. Dia terperangah melihat kedatanganku."Sejak kapan kamu di sini?""Dari tadi, kamu bicaranya terlalu serius sampai kehadiranku tidak kamu ketahui," balasku tenang."Hemm! Aku mau ke kamar, suam
"Sudahlah Nagita. Jangan memaksaku. Kita bertahun bersama. Kamu mengenalku baik. Tentunya sudah tahu jawaban apa yang akan kuberikan." Mas Gilang berdiri angkuh. Memasukkan kedua tangan dalam saku celananya."Mas! Untuk apa kamu terus menerus mencintai wanita itu. Dia pengkhianat, buka mata kamu, Mas. Dia sampai mengandung anak lelaki lain. Apa belum cukup alasan untuk kamu membencinya?" tanya Nagita dengan surara bergetar."Aku rasa kamu tahu jawabannya. Kamu juga tak lebih baik dari dia. Kamu juga pengkhianat. Melanggar perjanjian yang telah kita sepakati. Bahkan, lebih dari itu. Kamu menjebakku bersama keluargamu," tuding Mas Gilang.Nagita berusaha menjelaskan, jika sedari dulu dia iri dengan posisiku. Mas Gilang memperlakukanku bak ratu di depan mereka semua. Dia mencintai dan memimpikan Mas Gilang sedari dulu."Mas, aku akan berusaha menjadi yang terbaik untuk kamu. Aku akan membantu kamu melupakan wanita cacat itu ....""Sssstttt! Jangan pernah hina dia ....""Dia pantas untuk
"Penurunan detak jantung bayi dan pegerakan bayi harus diwaspadai, karena itu merupakan tanda adanya fetal distress yang beresiko kelahiran premature dan kematian janin dalam kandungan," papar Dokter Diana."Apakah itu bisa dicegah?" tanya ibu. Aku memilih diam tak tahu harus berkata apa. Antara senang dan sedih menghadapi kondisiku sekarang."Sebelumnya keadaan seperti ini berkaitan dengan kontraksi rahim, aktivitas ibu, anemia, obat-obat yang dikonsumsi ibu, dan perubahan lainnya pada kandungan. Denyut jantung janin bukan satu-satunya hal yang menjadi kriteria janin sehat atau tidak. Karena ada detak jantung sehat pas lahir meninggal. Ada juga yang detak jantungnya lemah, lahirnya sehat. Cuma kita jaga-jaga saja. Kita sama-sama mendoakan agar ibu dan bayi sehat sampai lahiran." Dokter Diana sangat pandai dalam berbicara. Sehingga, penjelasannya tidak terlalu membebani kepalaku."Apa ini ada hubungannya dengan obat yang saya minum untuk kesembuhan luka dan patah tulang yang saya der