Hening menyelimuti ruang privat milik Lukman di lantai paling atas bangunan pencakar langit miliknya. Ruang itu digunakan untuk acara penting dengan tamu yang tentunya khusus dan spesial. Lukman duduk bersila di depan Khanif dan Nia, tidak bicara. Namun, tatapan matanya tertuju pada Khanif yang sibuk menatap indahnya hamparan puncak gunung dari balik kaca gedung. "Apakah kalian datang hanya untuk berdiam diri?" Lukman bertanya dengan nada santai. "Begini, Mas. Khanif ...," Ucapan Nia terjeda karena Khanif berdehem dengan sorot mata tajam ke arahnya. "Mas Khanif setuju bekerja di perusahaan Mas Lukman." Nia menambah embel Mas di belakang nama Khanif. Hampir saja ia melupakan perjanjian mereka sebelumnya. Lukman yang menyadari adanya progres dalam hubungan sang adik hanya mampu mengulum senyum bahagia. "Apakah yang disampaikan Nia itu benar?" "Iya, Mas," jawab Khanif singkat. "Sejak kapan kamu pelit bicara? Apakah Nia sekarang menjadi juru bicara kamu?" goda Lukman dengan tawa r
"Beneran Maya mau menikah dengan Mas Gilang?" tanya Nia pada Khanif. Khanif menoleh sejenak, lalu fokus pandangan ke depan. Posisinya sedang mengemudi mobil dalam kecepatan cepat karena memburu waktu agar segera sampai ke rumah yang mereka tempati sekarang. "Nggak tahu, Sayang. Memangnya kenapa, cemburu?" tanya Khanif datar. Intonasi suara seakan orang kesal jelas memekik di telinga Nia. "Cemburu? Atas dasar apa?" tanya Nia seraya merebahkan kepalanya ke bahu sang suami. Tatapannya fokus menatap wajah tampan Khanif yang nyaris tanpa ekspresi. "Ntah, mungkin belum bisa move on," ketus Khanif. Nia hendak tertawa, tapi diurungkan. Wanita cantik itu enggan memantik emosi sang suami yang sedang tidak mood diajak bercanda. Nia memuji Khanif setinggi bintang di langit, membelai pelan dada bidang sang suami seraya menghitung kancing kemeja yang membalut tubuh kekarnya. Ya, walaupun ototnya sudah mulai hilang karena sudah sangat jarang olahraga. "Jangan dipikirkankan, aku hanya bertanya,
"Mbak mau kita tinggal serumah?" tanya Daffa yang terkejut dengan permintaan Nia. Nia mengangguk pelan, bola matanya menatap lurus ke arah jalanan yang disesaki bermacam jenis mobil dan sepeda motor. "Ada apa? Kenapa mendadak?" tanya Daffa. Lelaki muda itu merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh kakak tercintanya. "Nggak ada apa-apa, pengen kamu dekat sama Mbak saja. Lagian kamu selama ini sendiri," jawab Nia. Dia masih mencoba menyembunyikan prahara yang merudungnya. "Iya sih, aku sendiri semenjak abang kerja keluar negeri." Daffa membenarkan ucapan Nia. "Jadi tidak ada penolakan, kamu setuju, 'kan?" Nada bicara Nia terdengar mendesak. "Sudah ada izin dari Mas Khanif?" "Sudah, makanya Mbak berani." Nia berbohong pada Daffa. Padahal, Khanif tidak memberikan izin secara jelas akan permintannya. Daffa tersenyum tipis, kedua tangannya tiba-tiba membingkai wajah Nia. "Mbak bahagia dengan Mas Khanif?"Nia menghela napas sejenak, berat untuk menjelaskan gejolak perasaannya saat
Suasana hening, Nia fokus pada pikirannya yang sulit diurai, sementara Lukman membiarkan Nia tenang sebelum melanjutkan ucapannya. "Sampai kapan ini akan berakhir, Mas?" lirih Nia pelan."Mas tidak menyangka bahwa Gilang belum berhenti untuk merebutmu dari Khanif. Mas bingung mikirin cara agar kita semua hidup tenang," keluh Lukman. Keduanya seakan terperangkap pada beban tanpa ujung. "Bukankah Gilang akan menikah dengan Maya dalam waktu dekat?" selidik Nia. "Menikahi Maya sahabat SMA Khanif?" Lukman mencoba memastikan karena ia belum menerima kabar apa pun tentang hal ini. "Iya, Mas. Aku mendengar hal tersebut dari Maya kemarin. Namun, aku tidak yakin mereka menikah karena cinta." Nia berspekulasi. "Mas akan bicara kepada Gilang mengenai hal ini, perkara perusahaan Khanif yang disabotase Gilang untuk sementara tolong rahasiakan dari Khanif, jangan sampai pikirannya kembali terbeban. Mas akan cari cara agar Khanif tidak tahu bahwa Gilang merupakan dalang dari ini semua," tukas Lu
Bab 1[Mulai hari ini dengan segenap kesadaran, Saya Gilang Sentawibara menceraikan istri saya Nia Nirmala dengan talak tiga.]Gawai mewahku terjatuh dari genggaman. Dada sesak, napas tercekat. Status di Facebook suamiku membuat duniaku hitam. Pusing mendera, hingga tak ada kalimat positif yang melintas di dalam kepalaku. Kling! Kling!Kling!Notifikasi whatsApp, facebook, SMS dan aplikasi lainnya terus berdering tiada henti. Dengan tangan gemetar mencoba melihat beberapa pesan yang masuk. [Nia, lihat status suamimu!!!] Chat dari salah satu sahabatku. [Nia, kalian berantem? Kenapa di publik begini?] Isi chat dari iparku. [Buk Nia, Pak Gilang kenapa?] Ya Tuhan! Rekan kerja Mas Gilang juga ikut bertanya.[Dek, kenapa suamimu?] Chat dari Kakak tertuaku. Ya Allah! Puluhan chat lain menumpuk. Aku tidak berani membukanya lagi. Ada apa dengan Mas Gilang sebenarnya? Kuabaikan ratusan pesan yang tentunya pertanyaan yang belum bisa aku jawab. Segera kucari kontak Mas Gilang. Berulang kal
Bab 2Kami semua serempak melihat ke arah pintu. "biar Ibu yang bukakan, itu Ali." Ibu bangun kembali dan berjalan ke arah pintu. Sekian detik, pintu terbuka. Wajah Ali dan istrinya terlihat oleh netra. Ada juga, Mbak Aisyah dan suaminya. Keluarga Mas Gilang sudah komplit. Hanya saja, si bungsu tidak hadir. Dia sedang menimba ilmu di Mesir. "Ali tidak habis pikir, kemana otaknya Mas Gilang. Beraninya mempermalukan diri sendiri dan keluarga," keluh Ali geram."Tenang, Mas. Mungkin saja, akun Mas Gilang di hack orang," ucap Karina lembut sambil mengusap dada suaminya. Istri solehah. "Mungkin saja. Namun yang jadi pertanyaannya sekarang, Gilang kemana? Kenapa ponselnya nggak aktif?" Mas Lukman memasang ekspresi bingung. Aah! Bukan saja dia yang bingung. Kami semua bingung. Namun, yang paling menderita di sini adalah AKU. "Mbak sudah meminta rekan-rekan Mbak mencari keberadaan Gilang. Semua tenang, ya. Akan ada jalan keluar untuk semua masalah," ujar Mbak Aisyah lembut. Dia mencium ke
Bab 3"Nia! Dengerin kata Mbak. Tenang, kita di sini mencari solusi untuk masalah ini. Tolong jangan seperti anak-anak. Mbak tahu ini menyakitkan. Namun, sabar, Nia." Mbak Aisyah dan Tari merangkulku erat. Membisikkan kata-kata semangat untukku. "Nia ngg---nggak mau pisah dengan Mas Gilang. Nia nggak mau, Mbak," lirihku. "Kalau pun ini perbuatan Mas Gilang ... Ali rasa ada hal yang membuat dia kecewa," timpal Ali yang sedari tadi diam."Mbak yakin masalah anak," sahutku."Tidak, Mas tidak sependapat dengan kalian. Gilang pada prinsipnya bukan lelaki pencundang ....""Mas Lukman! Percaya atau tidak prinsip Mas Gilang tidak seperti dulu lagi, kalau ditinjau dari perbuatannya hari ini," sela Ali. Dia membantah pernyataan kakaknya. "Mbak Nia! Aku tanya sekali lagi sama Mbak Nia. Jawab yang jujur, ya? Mbak Nia ada lakuin apa?" Pertanyaan Ali membuat mataku membulat. Seakan dia menyudutkanku. Kuarahkan pandangan ke tempat duduk Ali. Tatapannya membuat jantungku berpacu lebih cepat. Mala
Bab 4"Sssttt! Ndak baik menduga-duga hal yang buruk. Berdoa yang baik, Nia," gumam ibu pelan."Benar, Nia. Kita berharap kalau akun Gilang dibajak," jawab Mbak Tari."Sependapat dan video di bandara itu menunjukkan Mas Gilang dalam perjalanan mencari rezeki untuk Mbak," sambung Istrinya Ali."Semoga saja," lirihku lesu. Sama sekali tidak bersemangat."Harus optimis. Tak ada angin tak hujan. Gimana ceritanya langsung main talak gitu aja." Nada bicara ibu terdengar ragu.Hah! Angin dan hujannya ada, Bu. Namun, aku tidak mungkin menceritakan pada kalian. Kalimat yang hanya mampu terucap dalam hati.***"Mbak Nia, tadi ada yang telpon berulang kali, karena Mbak nggak jawab pas aku panggil, ya aku angkat saja. Nama kontaknya Nagita, tapi yang bicaranya cowok, Mbak. Pas dia dengar suara aku, di tutup terus," lapor istrinya Ali.Darahku serasa berhenti mengalir dalam beberapa detik. Mendengar ucapan iparku di hadapan seluruh keluarga."Siapa, Nia?" tanya Ibu."Itu suaminya Nagita, Bu. Mungk