Nana
Hidup itu terkadang penuh kejutan. Dalam seminggu terakhir ini, kejutan bertubi-tubi datang menghampiri. Di awali dari imajinasiku yaitu merancang sebuah cerita pendek tentang impianku yang ingin memiliki jodoh dokter. Selanjutnya, pertemuanku dengan dokter Galih di taman itu merupakan awal dari segala kejutan terjadi. Tentang imajinasiku yang nyaris patah tentang dokter, tentang penyakit ayah, yang pada akhirnya membawaku berada dalam satu dimensi waktu kembali dengan dokter Galih.
Soal nazarku tempo hari, bukankah dokter Galih tidak seperti dokter Nando diceritaku? Aku tidak harus mengejarnya, kan? Toh, bertemunya aku dengannya hari ini bukan karena bermaksud flirting, tapi karena memang ada yang ingin aku tanyakan.
Pukul dua belas siang, kami sepakat untuk pulang. Aku kira sewaktu pulang dari bioskop itu akan menjadi yang pertama dan ter
GalihGue tahu jika jodoh itu ada di tangan Tuhan. Tapi cara takdir bermain dalam kehidupan gue itu sadis, sampai gue tidak bisa berkutik sedikit pun. Kadang gue menertawakan takdir kejam itu, takdir soal asmara di hidup gue tentu saja. Apa ini karma?Sebab, sebelum gue memutuskan serius mengejar satu wanita, gue tidak pernah serius. Gue hobi hura-hura sama wanita. Menganggap mereka boneka yang gue buang begitu saja setelah gue mainkan. Tapi justru pada akhirnya gue yang dimainkan oleh wanita.Apa itu definisi bahwa sebagai laki-laki gue ini goblok?Gue tahu apa yang gue lakukan saat ini berisiko. Tetap berada di jalur yang sama dengan masa lalu. Gue tidak beranjak, masa lalu gue masih berkeliaran di hidup gue. Jujur, ucapan Raina soal anaknya selalu terngiang di telinga gue.“Aku berharap kamu tetap kayak gini sama Naka. Kamu boleh benci sama aku & Raka. Tapi, tolong. Jangan libatkan Naka dalam masa
NanaKatanya sebuah impian itu harus diwujudkan kalau itu bukan sesuatu yang mustahil. Tapi impianku ini menurutku sedikit konyol. Bahkan tidak pantas disebut impian, tapi obsesi. Obsesiku tentang jodoh dokter bahkan sudah kuumbar-umbar pada kedua orang tuaku. Mereka sangat tahu kalau aku terobsesi oleh lelaki yang berprofesi dokter.Di sebelahku sekarang, ada seorang dokter laki-laki yang jelas-jelas masih single. Secara fisik sudah pasti dapat poin sembilan. Dari segi sikap dan sifat, aku merasa dokter Galih sudah mulai asyik dalam setiap sesi obrolan kami.Bisakah aku mengatakan bahwa ini konspirasi alam semesta? Di saat aku mulai menyerah dengan obsesiku dan memilih menikmati kehidupanku, Tuhan mempertemukanku dengan dokter Galih. Tapi, masa iya aku harus jatuh cinta sama dia?Dia sudah tiga puluh tahun. Itu artinya dia sudah kelewat matang. Sementara aku ingin memiliki pasangan yang usianya hanya terpaut
Nana Sebagai anak kos yang mesti bangun pagi, hampir setiap hari aku dan Rani sarapan bubur yang ada di dekat kampus. Meskipun sarapan sama bubur ayam itu cepat lapar, minimal bisa mengganjal perut sampai pergantian jam mata kuliah nanti. “Udah sampai mana pendekatan lo sama dokter Galih?” Di tengah sarapan, Rani sempat-sempatnya menanyakan hal itu. Berbicara tentang dokter Galih, kejadian kemarin tidak bisa aku abaikan begitu saja. Cara dia bercanda itu berlebihan. Apa dia selalu begitu kepada setiap wanita yang dekat dengannya? Kasihan mereka pasti berpikir dokter Galih memberi harapan palsu. Sementara bagiku, aku nyaris termakan sama omongannya. Tapi kembali lagi ke realita, rasanya sulit mempercayai jika dokter Galih serius apalagi kita baru saling mengenal dan dia sendiri yang mengatakan bahwa ucapannya yang seperti melamarku itu hanya sebuah candaan belaka. “Jangan bikin gosip, Ran. Gue nggak pernah PDKT s
NanaRumah Singgah Merangkul Asa di sore hari ini cukup ramai. Ada rasa sungkan saat melihat tatapan-tatapan yang dilontarkan dari beberapa orang yang ada di sana saat aku melewati berjalan beriringan dengan dokter Galih.“Mas Galih.” Seorang wanita paruh baya berjilbab dan memakai gamis pink, melangkah lebar mendekati dokter Galih tak lupa bibirnya yang melengkungkan senyum ramah.“Sehat, Bu?” Dokter Galih mencium tangan wanita tadi dengan sopan.“Alhamdulillah sehat.”Lalu bola mata wanita yang kurasa seusia Ibu jatuh ke arahku. Mau tak mau aku tersenyum kikuk.“Ini siapa?” tanyanya padaku.“Namanya Nana, Bu. Dia yang mau ngajarin anak-anak menulis puisi. Kebetulan Nana mahasiswa sastra.” Dokter Galih yang menjawab. “Na, kenalin ini Bu Anggi. Beliau selaku Ketua Pengurus Rumah Singgah Merangkul Asa ini.”Aku mengangguk sopan
NanaHari ini diselenggarakan gladi bersih untuk pentas drama kelasku besok. Semua orang sibuk mendekorasi aula selayaknya panggung pementasan. Lighting, audio, kostum, make up, dan sebagainya dipersiapkan dengan begitu matang. Meski ini hanya pementasan biasa yang tujuan utamanya untuk mendapat nilai dari dosen, tapi dosen pemegang mata kuliah sanggar sastra memerintahkan untuk mencetak kupon untuk selanjutnya dijual kepada mahasiswa tingkat bawah dan para orang tua yang wajib hadir. Harga tiket terjangkau, hasil penjualan tiket nanti akan digunakan untuk menambah biaya sewa perlengkapan pementasan.Aku mengajak Rani ke kantin sebelum memulai gladi bersih. Memesan satu porsi nasi goreng dan es teh manis. Ah, nasi goreng mengingatkanku pada malam itu.Aku membuka ponselku. Membuka WhatsApp, klik percakapanku dengan dia si Fatamorgana. Sejak kejadian di Rumah Singgah Merangkul Asa, kami tukeran nomor handphone.
NanaAku tidak pernah merasa seoptimis ini. Kemarin memang aku benar-benar jengkel, kesal, marah, sedih, bercampur aduk sampai membuatku malas bicara. Tapi semua terobati semalam. Aku tahu dia capek, aku tahu dia lelah, tapi dia masih memaksakan diri mengajakku jalan-jalan. Dia bilang untuk menghiburku. Actually, aku terhibur.Selain itu, sampai di kosan, aku langsung menelepon Ibu dan Ayah. Meminta doa restu untuk kelancaran pentas drama hari ini. Ibu memberiku kalimat-kalimat yang akhirnya memacu semangatku.Aku melengkungkan senyum di depan cermin setelah selesai di make up oleh Anjani. Harus aku akui lagi, bahwa Anjani pintar memoles wajah hingga aku tidak mengenali sosok Nana dalam bayangan yang memantul di cermin. Tubuhku dibalut kebaya tradisional khas sunda serta rambut yang disanggul kecil namun sederhana.“Nana, astaga. Cantiknya sahabat gue yang satu ini. Selfie dulu, Na.” Rani berteriak h
GalihLo sebut mantan itu pelaku sejarah? Iya, pelaku sejarah yang menjajah hati dengan sistem kerja rodi. Yang tidak tahu aturan, yang tidak memiliki batas waktu, dan tidak kenal kompromi.Gue tidak menghitung seberapa banyak mantan gue dari SMP sampai gue setua ini. Ralat, gue belum tua, hanya menuju ke arah sana. Tapi sebelum gue tua, gue mau menciptakan sesuatu yang berharga dulu. Salah satunya membahagiakan nyokap. Nyokap sudah terlalu sering melamun sejak bokap di penjara. Waktu memang berputar sangat cepat, sampai gue hampir tidak sadar kalau bokap sudah tidur selama tiga tahun di penjara.Nyokap tidak menuntut banyak dari gue. Jika waktu kuliah dulu, dia hanya minta gue menyelesaikan kuliah gue dengan serius. Maka kali ini nyokap minta gue menjalin hubungan lagi dengan wanita. Ya, gue sudah tahu endingnya bakal seperti apa kalau permintaan nyokap nyerempet ke nikah. Tapi gue coba santai dulu. Gue tidak ingin gegaba
NanaKeluar sejenak dari penatnya aktivitas kampus. Mengambil jeda sebelum kembali bertemu dengan jutaan kata yang berderet dan bermakna dalam sebuah buku. Lewati sisa hari ini dengan warna yang cerah. Bukankah pelangi pun selalu menawarkan warna yang cerah pada penikmatnya?Menikmati ciptaan-Nya adalah salah satu warna cerah yang menghiasi hariku. Aku tidak tahu kapan tepatnya mengagumi. Aku tidak tahu kapan tepatnya menaruh keinginan untuk selalu ada dia dipergantian hari. Cukup kunikmati, meski terlintas apa yang aku lakukan saat ini adalah sia-sia, sebab dengan hubungan yang tidak terikat ini dia bisa seenaknya berlalu lalang. Seperti pelangi, ia menawarkan keindahan yang hanya sebentar.Sesuatu yang berkaitan dengan hati memang sulit untuk diterka. Karena hati bukan sebuah program komputer yang bisa diatur. Dia berjalan sendiri tanpa bisa dikendalikan.“Na, Can you explain little about y