8 tahun kemudian, Jakarta.
"Hana tungguin." Syafa berlari sambil memegang ranselnya.
Hana yang mendengar namanya dipanggil langsung berhenti dan berbalik untuk melihat sahabatnya Syafa yang sedang lari terburu-buru. Akhirnya dengan nafas yang sedikit tidak teratur akibat berlari Syafa bisa sampai di dekat Hana.
"Sialan lo. Lo budek apa gimana sih. Dari tadi di panggilin Lo nya nggak respon." Syafa menarik nafas dan menghembuskannya.
"Sori loh Fa. Gue bener-bener nggak denger tadi." Hana mengacungkan 2 jari tanda peace lalu tersenyum lebar. Ia sama sekali tidak mengetahui jika sedari tadi Syafa sudah memanggil namanya.
Syafa kemudian memutar bola matanya jengah. "Udah yok ke mading. Mau liat, Gue di mutasi ke mana." Syafa menggandeng tangan Hana untuk berjalan ke arah mading.
"Ckk. Gaya lo mutasi segala. Yang ada juga lo mah imitasi." Hana tertawa dengan ucapannya sendiri.
"Wah sekate-kate lo ngomong kayak gitu. Sahabat tersayang lo nih." ucap Syafa. Sahabatnya ini asli Bandung, namun logat Betawi sangat cocok dengannya.
"Iya-iya. Gue mah sayang Syafa." Hana mengiyakan pernyataan Syafa.
"Gue kok geli yah denger lo ngomong kayak gitu Na." Sean tiba-tiba datang dan langsung merangkul bahu Hana. Mereka bertiga kembali melanjutkan perjalanan menyusuri koridor.
"Kirain siapa, ternyata elo kunyuk. Bilang aja kalo lo cemburukan Hana lebih sayang ama gue ketimbang situ?" Syafa mencegat jalan mereka dan mengarahkan jari telunjuknya pada Sean. "Hayo loh ngaku!"
Sean jadi salah tingkah di depan Hana dengan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Ehhh lo pada udah liat kelas baru. Ke mading nyok." ajak Sean.
"Yaelahh Sean mah gitu, suka mengalihkan perhatian mulu." ejek Syafa.
"Idih biarin. Emang urusan situ. Sono gih lo ke planet mana kek. Jangan halangin jalan gue ama tuan putri. Hush jauh-jauh sono." Sean menggerakkan tangannya tanda mengusir sedangkan yang satu lagi masih bertengger manis dibahu Hana.
"Udah-udah. Ih lo berdua, masih pagi juga udah buat keributan. Ributnya make toa lagi." Hana kini menarik lengan Syafa untuk kembali berjalan.
"Lo salah Na. Yang di bawa Syafa mah bukan toa tapi." ucapan Sean tergantung karena Syafa langsung memotong.
"Tapi apa hayo! Lo mau berantem ama gue. Panggil noh pasukan teman-teman basket lo, gue tunggu di lapangan." Syafa kini kembali emosi.
"Oke. Ayo berantem. Gue bakal bawa banyak pasukan hahahaha." Tawa Sean kini terdengar aneh di pendengaran Hana.
"Bawa aja. Bawa pasukan lo sebanyak-banyaknya. Gue nggak bakal dateng kok. Lo tenang aja."
Seketika tawa Hana pecah. Ia memang memiliki sahabat-sahabat yang absurd nya nggak ketulungan.
"Liat tu Fa. Hana makin cantikkan kalo lagi ketawa." Sean menatap Hana sambil tersenyum.
Hana yang di tatap seperti itu langsung salah tingkah.
"Lo apaan sih."
"Raja ngegombalnya mah muncul lagi Na." kembali Syafa mengejek Sean
"Udaah. Noh madingnya udah ada di depan." Hana berjalan duluan meninggalkan Syafa dan Sean menuju mading.
"Gue harap bisa sekelas ama dia." Sean berucap penuh harap.
"Au ah gelap. Kayak kulit lo." saut Syafa. Mereka memang tidak pernah lelah untuk berdebat setiap hari.
"Wah parah, mata lo perlu di periksain ke dokter deh Fa. Kulit gue putih gini lo bilang gelap." Sean sama sekali tidak terima dengan perkataan Syafa.
"Emang. Udah yok gue cape debat. Mending nyusul Hana." Syafa berjalan duluan meninggalkan Sean. Menyerah lebih awal karena ini masih terlalu pagi untuk menguras emosi.
"Woii tungguin gue nyet!"
"Gue bukan monyet!" teriak Syafa. Lihatlah, Sean kembali memulainya. Syafa pun melanjutkan jalannya mendekati Hana.
Mading kini di penuhi dengan siswa-siswi yang ingin melihat di mana kelas baru mereka berada. Sean, Hana dan Syafa bersahabat semenjak kelas sepuluh karena mereka juga satu kelas. Saat naik kelas sebelas Sean pisah, sedangkan Hana dan Syafa masih tetap satu kelas. Kini mereka memasuki awal tahun di kelas dua belas.
"Kenapa?" Syafa mendekat dan bertanya pada Hana yang hanya berdiri menatap siswa-siswi yang berdesakan di depan mading.
"Banyak orang." Hana menjawab. "Malas berdesakan gitu. Tunggu mereka pergi aja." lanjutnya.
"Udah biar gue aja yang liat." Bukan Syafa namanya jika tidak bisa menerobos kerumunan siswa-siswi. Mengingat badannya yang ramping dan memiliki tinggi yang ideal.
Syafa keluar dari kerumunan siswa-siswi tersebut. "Gila! Di sana sesak banget. Harusnya tuh antri, nggak perlu desak-desakan kayak gitu kali." Syafa mengibas-ngibaskan tangannya. Berharap angin buatannya dapat menyejukkan dirinya.
"Lo kira beli tiket, antri." kini Sean mendengus menanggapi.
"Ya kali aja. Indonesia itu seharusnya lebih mengetatkan budaya antri. Biar orang-orang Indonesia itu makin disiplin." Syafa melipat kedua tangan dan mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju dengan perkataannya sendiri.
"Wiihh. Sean gawat nih, jiwa patriotismenya Syafa kumat." Hana menyikut lengan Sean.
"He eh." Sean menanggapi. "Nah, sekarang gue mau nanya. Kita di kelas mana?" lanjutnya.
Syafa tersenyum-senyum sendiri menggesekkan kaki kanannya di lantai, kedua tangannya ia bawa ke belakang punggung dan menaik turunkan kedua alisnya secara bersamaan.
Sean yang melihat tingkah laku Syafa langsung merinding. Pikirnya Syafa kini kerasukan kucing betina yang minta kawin. Ia pun langsung bersembunyi di belakang Hana.
"Na. Syafa kenapa noh. Kesambet yah? Ampun sana gih tolong suruh dia nyebut. Kalo nggak berhasil kita tinggalin aja Na. Gue merinding nih." Sean yang masih berada di belakang Hana terus saja menunduk sambil menggenggam erat ransel Hana.
"Fa. Lo sehat." Hana mendekat dan menyentuhkan punggung tangannya pada jidat Syafa.
Syafa mengangguk dengan semangat. "Gue sehat walafiat kok Na."
"Lah trus kenapa situ senyum-senyum." Hana melepaskan tangannya dari jidat Syafa dan menoleh menatap Sean. Sean hanya membalas tatapan Hana dengan gelengan.
Seketika tawa Syafa pecah. "Gilak ekspresi lo berdua lucu kalau tegang gitu."
Sean yang langsung mengerti tentang situasi apa yang saat ini terjadi langsung kembali ke samping Hana. "Lo. Wah parah lo Fa. Asli, kalo lo akting kayak gitu lo udah kayak kesambet beneran."
"Lagian juga siapa suruh lo takut sama yang berbau mistis, jadinyakan gue gampang ngerjainnya." kembali Syafa tertawa sambil memegang perutnya.
Hana hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah sahabatnya.
"Gue nggak takut tapi phobia." Sean mendengus.
"Sama aja Sean." Syafa kini berjalan ke samping Hana dan mengedipkan mata pada Hana.
"Beda. Kalo takut kesannya gue nggak cool, kalo phobia mah semacam kelainan."
"Terserah lo dah mau ngedefenisiinnya kayak gimana. Yok Hana kita ke kelas." Syafa mengamit tangan Hana dan mulai berjalan terlebih dahulu.
"Woii kok gue ditinggalin lagi sih. Kelas gue dimana Fa?! Na, lo kok ikutan niggalin gue!" teriak Sean.
"Kita bertiga sekelas Sean. Kelas dua belas IPA 2!" balas teriak Syafa.
Sean berjalan menyusul kedua sahabatnya. "Wah. Serius lo Fa!" ucapnya dengan girang, dan mensejajarkan langkahnya dengan Hana dan Syafa.
"He eh." Syafa menanggapi.
Hana kembali dibuat geleng-geleng kepala oleh tingkah sahabat-sahabatnya. Merekalah yang membuat hari-hari Hana di sekolah lebih berwarna.
Hari ini Hana datang ke sekolah sedikit terlambat dari biasanya. Saat menyusuri lorong menuju kelasnya ia merasa ragu. Setelah kenyataan yang terungkap kemarin, dia menjadi enggan untuk bertemu dengan Gibran. Tapi mau bagaimana lagi, kewajibannya sebagai siswa adalah mengikuti pelajaran.Sesampainya di depan kelas, Hana berdiam diri. Suasana ramai yang terdengar dari dalam kelas menandakan kalau sebagian besar temannya sudah datang. Hana memegang erat totebagnya sembari berpikir keras jika masuk nanti dia berencana untuk langsung duduk saja tanpa melihat Gibran.“Hana.”Hana berbalik dan mendapati Sean yang berlari ke arahnya. Entah mengapa, Hana merasa lega dengan kehadiran Sean.“Tumben telat, biasanya juga paling awal datang. Kirain Lo absen tadi.” Ucap Sean yang kini berdiri tepat di depan Hana.“Sotoy banget sih, telat apaan coba. Bel masuk aja belum bunyi.” Dengus Hana yang dibalas tawa oleh S
Pov Hana”Abi?”Mendengar Abang Azka menyebut nama itu, aku membelalakkan mata kaget. Siapa yang kakakku panggil dengan sebutan Abi ini? Gibran? Aku langsung mengarahkan pandangan ke Gibran untuk melihat bagaimana ekspresinya saat ini. Terlihat dia juga sedikit kaget lalu dengan cepat mengubah ekspresinya seperti biasa. Ini tidak mungkin Gibran kan? Aku kembali berusaha meyakinkan diri sendiri kalau memang Abang Azka hanya asal menyebut nama. Namun tidak dengan jawaban Gibran.“Iya?” ucapnya tidak yakin.Aku menggelengkan kepala berusaha memahami suasana. Keadaan ini masih rumit untuk ku cerna.“Benarkan ini Abi? Yang dari Bandung, anaknya Pak Umar.” Azka langsung memeluk Gibran dengan cara pelukan laki-laki ke sesama lalu menepuk-nepuk pundaknya. Wajah Azka terlihat sangat senang.Aku menghampiri mereka, mungkin ada kesalahpahaman disini.“Abang.” Aku menarik
FLASHBACKSudah menjadi kebiasaan dari Keluarga Umar dan Keluarga Regar untuk kumpul bersama di hari minggu. Mereka akan bercengkrama riang sambil melepas penat karena telah bekerja seharian. Bahkan tak jarang pula mereka keluar rumah untuk mengunjungi pantai atau sekedar piknik di taman kota."Azka. Tolong ambilin hp bunda di kamar." terdengar suara Citra dari dapur."Kalian jangan dulu main tanpa aku, oke. Awas kalau kalian main curang." Azka berdiri lalu segera berlari ke kamar bundanya."Iiih, Abang Azka lama. Inikan giliran aku yang main." Ayi memberenggut kesal hingga membuat Abi tertawa."Udah, tungguin aja dulu. Barusan juga, Abang Azka pergi." Abi menggocok ember yang di dalamnya terdapat dadu, lalu melemparnya. Baru saja Abi ingin melihat angka yang keluar, namun terhalang karena Ayi lebih dulu memungutnya beserta dengan papan ular tangga dan menyimpannya di kotak khusus.
"Ya ampun, Na!" Syafa membekap mulutnya tak percaya dengan apa yang dilihatnya kini. Baru saja sepersekian detik matanya terpejam larut dalam kenyamanan, harus terganggu dengan suara ketukan yang keras di pintu kamarnya. Dan setelah dibukanya pintu itu, Syafa dikagetkan oleh Gibran yang tengah menggendong Hana dalam keadaan tak sadarkan diri.Menghiraukan keterkejutan Hana, Gibran menerobos masuk dan langsung meletakkan Hana di atas ranjang.Syafa pun turut mendekat ke sisi ranjang. "Apa yang terjadi?!" tanyanya penasaran.Gibran berdiri berkacak pinggang sembari matanya terus mengawasi tubuh yang tak sadarkan diri itu. Pikirnya, barangkali ini hanya salah satu kejahilan yang dibuat Hana, namun nyatanya tidak. Gibran mengusap wajahnya gusar, "Dia pingsan."Syafa melongo mendengar jawaban dari pertanyaannya tadi. "Gue tau dia pingsan, karena gue bisa liat sendiri Gib! Maksud gue itu, kenapa? Ken
"Gimana?""Apanya yang gimana?"Rasanya?""Lumayan.""Cuman lumayan?""Terus mau lo apa?""Ya ampun Gibran. Masakan Hana itu enak dan lo cuman bilang lumayan." Syafa geleng-geleng kepala."Udahlah Fa, ngapain sih lo butuh pendapat dia. Nggak penting banget tau nggak." Hana berdiri dari kursinya lantas menumpuk-numpukkan piring dan gelas bekas. Setelah itu ia pun berlalu menuju dapur untuk mencuci piring.Mereka bertiga baru saja selesai makan malam. Semua hidangan yang tadi tersaji adalah masakan Hana. Syafa hanya turut andil dalam mencuci bahan dan juga menyiapkannya di meja makan tadi.Masakan Hana memang luar biasa enak. Hanya saja Gibran malas untuk mengakuinya. Takutnya si Hana tengil jadi besar kepala.Syafa menyipitkan mata tidak percaya. "Kok akhir-akhir ini omongan lo nggak bisa di percaya?"
Setelah sampai di rumah Syafa. Hana sibuk mencari obat yang dibelinya tadi di dalam kantongan belanjaan. Setelah menemukan apa yang dicarinya maka ia langsung bergegas berlari menyusuri tangga menuju ke lantai dua tempat kamar Syafa berada. Meninggalkan Gibran yang berdecak kesal karena belanjaannya menjadi berantakan.Dibukanya pintu kamar berwarna coklat gelap itu dengan pelan. Hana menemukan Syafa yang sedang tidur di ranjangnya dengan posisi tengkurap sambil memegangi perutnya. Tidak. Syafa tidak tidur, ia hanya memejamkan mata. Karena Hana bisa melihat gerak gelisah pada sahabatnya itu.Hana pun berjalan mendekati Syafa dan duduk di ranjang. "Fa." Hana memegang pundak Syafa."Hngg." Hanya lenguhan yang keluar dari mulut Syafa."Sakit banget yah." Hana meringis melihat Syafa yang sepertinya masih menahan sakit.Hana memang sering merasakan kesakitan seperti itu. Tapi tidak sampai membuat d
Gibran saat ini sedang duduk di kantin bersama Ashila menikmati makanan mereka."Sayang banget kita nggak satu kelompok." Ashila kini menatap Gibran dengan bibir yang mengerucut.Gibran terkekeh melihat ekspresi Ashila yang menggemaskan. "Kan tiap hari juga ketemu."Ashila mengangguk. "Mau itu." Ashila menunjuk batagor milik Gibran.Gibran pun menusuk batagor tersebut memakai garpu dan menyuapkannya pada Ashila. Saus kacang yang belepotan di bibir Ashila langsung di bersihkan oleh Gibran menggunakan tissue."Kamu nggak bakalan ninggalin aku kan?"Gibran terhenyak heran dengan pertanyaan Ashila yang tiba-tiba. Tak lama setelahnya ia pun langsung tertawa. "Kamu kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?" ucap Gibran disela-sela tawanya.Ashila merasa sebal di tertawakan seperti itu. Ia pun berusaha untuk kembali tenang. Tak lama di lihatnya Syafa dan Hana masuk ke k
Hana tersentak terbangun dari tidurnya. Badannya gemetar dan terasa panas dingin. Ia ketakutan. Mimpi itu datang lagi untuk yang kesekian kalinya. Mimpi yang selalu menjadi bayang-bayang kegelapan dalam hidupnya.Azka merasa jika orang yang berada di sampingnya sedang bergerak gelisah. Ia pun terbangun dan mendapati Hana adiknya yang sedang duduk memeluk kedua lututnya. Keringat bercucuran keluar dari tubuhnya. Serta pandangannya kosong menatap kedepan. Azka khawatir melihat keadaan adiknya. Ia pun langsung memeluk Hana. Dirasakannya jika adiknya ini menangis. Jelas karena kaos yang dipakainya ini basah serta badan adiknya yang gemetar."Mimpi itu lagi?" Azka berucap pelan sembari mengusap lembut kepala Hana."Aku takut Abang." Hana berucap di sela tangisnya. Mimpi itu benar-benar menakutkan.Azka semakin mempererat pelukannya. "Ada Abang di sini."Lama mereka berpelukan, menunggu Hana untuk tetap t
Hana kembali memperbaiki posisinya dan memilih untuk tidur di pangkuan Azka. Kaleng minuman yang di pegangnya tadi di letakkan di meja depan sofa. Di lihatnya ponsel yang bergetar di atas meja. Hana meraih ponselnya dan melihat pesan berturut-turut dari Syafa.Syafa AA : gilak😠😠Syafa AA : gue nggak relaaaaaaaajddffjadjhkkd.Syafa AA : Sepupu gue kok makin dekat ama nek lampir.Syafa AA : Gue lebih ngerestuin lo ama Gibran😍 daripada ama tuh nek lampir😈Hana memutar bola matanya jengah. Syafa sudah tau jika saat ini Hana dan Gibran sedang mengibarkan bendera perang, tapi masih sempat-sempatnya dia mau menjodohkan mereka.Me : HEHH!!! Apaan lo. Gue mah ogah ama sepupu lo.😠Me : Najisin tau nggak!!!😬😬Syafa AA : Elahhh. Kalo di sodorin lo juga mau kan? Secara gitu sepupu gue kece abis😎Me : O