Terlihat centang dua berwarna hijau tanda chat tersebut sudah dibaca Lula, si pemilik profil bergambar kucing anggora tersebut.Tidak ada balasan sampai beberapa detik lamanya, hingga nomorku tiba-tiba diblokir oleh Lula begitu saja.Wah, gadis ini sepertinya sudah bersiap menabuh genderang tanda perang untukku.Layar ponselku bertukar tampilan dengan gambar Masli. Tanda panggilan masuk dari sahabat baikku itu.“Di mana, Ra? Aku sudah siap mau berangkat, ini!” lontar Masli sesaat setelah aku menekan tombol hijau di layar.Aku sampai lupa kalau hari ini ingin berjumpa dengannya. Apalagi, pertemuan kami sempat tertunda semalam. Tapi aku benar-benar pusing dan juga lelah. Rasanya tidak sanggup harus pergi ke tempat lain lagi.“Maaf, ya, Li. Hari ini aku tidak bisa ke sana. Ada masalah besar di butikku.” Sebenarnya berat hatiku membuatnya kecewa.“Masalah apa? Parah banget, ya?” tanyanya penasaran.“Besok aku ceritakan, ya. Besok pagi aku janji bakalan jemput kamu!” ucapku melemah. Seakan
“Prok prok prok.”Aku mengangkat tangan ke udara, menepuk kuat kedua tanganku sambil berjalan mendekati perkumpulan wanita bergaya sosialita itu.“Zahira!”Mama terbelalak begitu melihat kemunculanku dari balik pohon buatan setinggi tiga meter tersebut.“Akhirnya mama memperkenalkan wanita itu sebagai menantu mama bukan pembantu lagi. Baguslah, aku juga sudah lelah berpura-pura tidak tahu siapa j*lang ini sebenarnya!”Aku menatap sinis pada Renita.“Apa ... Jadi kamu sudah tahu, Zahira?” Mama menarik langkah ke belakang sementara aku semakin mendekat ke arahnya.“Iya, Ma. Bahkan aku tahu di mana kalian melangsungkan resepsi pernikahan mas Adnan dan wanita murahan ini,” teriakku, menatap lekat pada tubuh Renita yang berbalut pakaian kurang bahan berwarna maroon.“Aku tidak bodoh, Ma. Menantu kampungmu ini tak sebodoh itu. Kalian semua telah menipuku dan aku hanya berpura-pura tidak tahu saja. Lalu, mama membawa Renita datang ke rumahku dan aku masih tetap berpura-pura tidak tahu bahwa
Hatiku mencelus saat mengetahui Dipo sudah berada di antara kami, dan lelaki berambut panjang inilah yang telah memberi tamparan kepada mama Sarmila. Entah sejak kapan ia sudah ada di sini.“Ayo, Mbak!”Dipo menarik tanganku, setelah memindahkan jaket kulitnya menutupi badanku yang basah. Kemudian mengambil tasku berikut dengan berkas yang masih tergeletak di atas meja tadi.“Anak kurang ajar, tak tahu diuntung!”Mama memekik, berteriak mengucapkan berbagai sumpah dan makian kepada kami berdua. Dipo menarik lenganku kuat, sehingga tanganku terasa kaku.Lalu seorang security datang menenangkan mama yang seperti orang kesurupan, dibantu Renita yang penampilannya sama kacau sepertiku. Seharusnya petugas itu datang lebih awal saat aku dan Renita bertengkar tadi. Beberapa pengunjung yang melihat keributan tadi menatapku dengan wajah penasaran.“Dipo, apa-apaan, kamu? Itu mama kamu, dia yang sudah melahirkan kamu.”Aku melepaskan pegangan Dipo dengan sekali sentakan. Kemudian memarahinya, m
Belum genap sebulan ia menikahi Renita, kini ia sudah bersama wanita lain. Untuk yang kedua kalinya ia telah menipuku keluar kota dengan dalih berkerja. Nyatanya, kini ia di tempat ini bersama keluarga barunya.Wanita itu terlihat masih muda, rambutnya tergerai indah sampai ke pinggang. Tubuhnya tinggi hampir mengimbangi mas Adnan. Wajahnya, aku tak tahu persisnya seperti apa, mungkin lebih cantik dariku. Sementara wanita berambut putih yang tadi bersandar di kursi roda, barangkali ibu dari wanita itu, artinya mertua dari istri ketiga Mas Adnan.Ada nyeri yang tiba-tiba menusuk tepat ke jantung ini. Sebuah perasaan perih yang kembali menghunjam ke ulu hati.Bahteraku yang tenggelam kini semakin karam ke dasar lautan. Duniaku yang runtuh kini semakin hancur tak bersisa. Hatiku yang luka kini semakin berdarah-darah. Aku tak menyangka, pernikahanku akan berakhir bukan hanya karena kehadiran orang ketiga, namun ada yang keempat, bahkan mungkin yang kelima dan seterusnya.Adnan Fahreza, pr
POV ADNANAku yang waktu itu duduk di kelas lima Sekolah Dasar baru saja pulang sambil berlari tergesa- gesa. Setelah seorang teman mengatakan bahwa ibuku dibawa oleh seorang laki-laki bermata sipit yang mengendarai sedan berwarna putih.“Ibu, Ibu, mana Ibuku?” teriakku saat membuka pagar besi rumahku yang setinggi dada.“Sudahlah, Nak. Tak perlu menangis lagi. Ibumu lebih memilih pria itu daripada ayah kalian. Tak perlu menangis, ada Bibi bersama kalian,” ucap wanita yang sedang mengelus lembut pucuk kepalaku yang berkeringat. Ia mengusap air yang keluar dari kedua mataku dengan sapu tangannya. Lalu memelukku, memberikan kehangatan persis seperti Ibu.Sementara, Dipo sedang meringkuk di ujung ranjang, memeluk kedua lututnya sembari menangis sesenggukan.“Ibu ... ibu, aku mau ikut,” rengeknya dalam tangisnya. Matanya merah hampir bengkak, sedang seragam TK-nya kotor dan ada noda darah di tubuhnya.“Darah ibu,” ucapnya ketika sadar aku sedang mengamatinya. Wajah imutnya berubah dekil,
“Ayolah Adnan, turuti permintaan Mama sekali saja. Kasihan wanita itu sebatang kara,” ucap mama memelas.Ini bukan kali pertama mama mengucapkan kalimat itu, memintaku kembali menikah dengan wanita yang sama sekali tak kukenal.“Kalau kasihan apa harus dinikahi, Ma?” Aku menatap mata mama yang hampir menangis, kemudian meneguk segelas air putih.“Iya harus, dia sangat cocok sama kamu. Wanita itu baik sekali, mama yakin dia bisa memberimu seorang anak laki-laki. Kamu mau anak laki-laki ‘kan?”Ia terus mencari alasan agar aku menuruti permintaan tak masuk akalnya.Mama merayuku dengan dalih anak. Padahal saat itu, Zahira istriku sedang mengandung anakku. Kehamilannya sudah menginjak usia delapan bulan, hanya menunggu sebulan lagi aku akan menimang bayi kecil yang kunantikan selama lima tahun lamanya.Hasil USG menyatakan bahwa Zahira mengandung bayi perempuan, bagiku sebenarnya tak masalah. Asal bayi itu terlahir sehat dan sempurna. Tapi mama sangat kekeh ingin punya cucu laki-laki.“Ka
“Wah bagus sekali jam tanganmu, Nak!” ucap mama sesaat ketika aku baru saja tiba di rumah penuh kenangan masa kecilku ini. Aku menyandarkan tubuh di sebuah sofa berwarna maroon yang baru dibeli mama seminggu lalu, dengan uangku.“Iya, Ma. Hadiah anniversary dari istriku,” ucapku bangga. Menatap kembali jam tangan mewah berwarna silver yang diberikan Zahira sebagai hadiah anniversary pernikahan kami yang kelima.“Oh, dari Zahira. Banyak uangnya ya!” Mama mendelik begitu menyebut nama Zahira.“Butiknya berkembang pesat, Ma. Mungkin memang rezeki Tabitha juga, hidup kami semakin bahagia sejak kehadiran bayi berlesung pipi itu.”Seulas senyum terukir indah di bibirku.Aku merasa telah menjadi lelaki yang paling bahagia.Bagaimana tidak, karirku di kantor sedang naik, aku sudah berhasil membangun rumah mewah untuk keluarga kecilku, aku pun menjadi suami dari seorang istri yang sukses mengembangkan butiknya, dan kini aku telah menjadi ayah dari seorang bayi mungil bernama Tabitha Elrumi. Le
“Kenapa, Mas? Kita baru saja melewati malam pertama kita,” ucapnya kembali hendak mendekat padaku.“Apa?”Aku merasa tidak ada melakukan apapun dengan wanita ini, dan aku hanya tidur sendirian. Lalu, bagaimana bisa ia berkata seperti itu?Aku menarik tangannya paksa, menyuruhnya keluar dari kamar ini untuk kembali ke kamarnya. Lalu memberikan selimut untuk menutupi tubuhnya yang setengah telanjang.Hari ini jadwal kepulanganku kembali ke Medan, meskipun aku mendapat perpanjangan tugas tiga hari lagi di sini, tetapi aku meminta rekanku yang lain untuk menggantikan tugasku di tanah Minang. Karena kemarin, Zahira tiba–tiba saja menelepon dan bilang akan menyusulku ke sini bersama Tabitha.Tentu aku kelabakan, aku tak tega bila Zahira harus menempuh perjalanan pesawat sambil membawa bayi, apalagi di sini masih ada Renita. Wanita itu selalu ingin mengekoriku ke manapun.Jadinya, aku harus bersikap baik pada Renita agar ia mau menuruti perintahku untuk tetap tinggal di hotel, ketika aku bek